PENGHORMATAN ISLAM TERHADAP WANITA DALAM POLIGAMI


A. Pendahuluan.

Di pertengahan tahun 2004, pembicaraan tentang poligami menghangat kembali ketika muncul ide untuk memberikan poligami award kepada pasangan suami isteri yang melakukannya. Pro dan kontra mengiringi ide pemberian award itu. Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sempat menggelar dialog tentang hal ini dengan menampilkan Ustadz Qomar-selebritis yang aktif berdakwah di lingkungannya dan Dr. Siti Musdah Mulia, yang tampil meyakinkan, dalam setiap paparannya mengesankan dia mengusai masalah yang didiskusikan, terutama yang terkait dengan masalah gender dan pandangan Islam. Para panelis membicarakan masalah pernikahan khususnya poligami di Indonesia.

Ustadz Qomar, mengemukakan bahwa pernikahan adalah ibadat. Pendapat ini di-pertanyakan oleh sang aktifis perempuan, dia menanyakan di mana letak ibadat dalam pernikahan itu?. Pertanyan ini berimbas pada persepsi yang berbeda antara kedua panelis tentang pernikahan dan poligami. Ustadz Qomar mengatakan bahwa poligami diperbolehkan dalam Islam, sementara Dr. Siti Musdah Mulia mengatakan haram. Sebab menurutnya, poligami adalah salah satu bentuk penghinaan, kalau tidak disebut pelecehan terhadap kaum perempuan karena poligami meletakkan perempuan pada kedudukan yang tidak menguntungkan. Dalam poligami perempuan tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya dimiliki, ia dianggap sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki.

Dialog ini menggelitik penulis untuk menelusuri hal yang sebenarnya ada dalam poligami itu. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran penulis setelah usai dialog yang digelar adalah :
  1. Bagaimana seharusnya kita menyikapi poligami itu ?
  2. Hak dan kewajiban apa yg dimiliki oleh suami isteri dalam pernikahan yang dibangunnya ?
  3. Apakah hak itu hanya milik satu isteri dan tidak menjadi milik isteri yang lain kalau seorang suami berpoligami ?
  4. Apakah memang tidak ada penghargaan agama terhadap wanita dalam poligami ?
  5. Benarkah poligami hanya berfungsi sebagai pembenaran terhadap legalisasi “penguasaan” kaum laki-laki terhadap kaum perempuan ?
Tulisan ini diharapkan dapat mengantarkan pada pemahaman yang tepat tentang hal itu, sehingga kita dapat mendudukkannya pada posisi yang sebenarnya dan yang seharusnya ada menurut tuntunan agama, kita tidak apriori menyetujui atau menolak poligami tanpa pengetahuan yang mendasari itu. Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang tujuan pemberlakuan hukum Islam dan bagaimana pandangan para ulama tentang hukum poligami, dilanjutkan dengan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami isteri dalam suatu ikatan pernikahan, dan diakhiri dengan penghargaan Islam terhadap wanita dalam poligami.

B. Tujuan Pemberlakuan Hukum Islam.

Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya melalui sunah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadis. Pada garis besarnya hukum Islam dapat dibagi dalam tiga bidang;
  1. Meliputi petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang benar tentang Allah SWT dan alam gaib (alam yang tidak terjangkau oleh penginderaan manusia), yang disebut “ah-kam syar’iyat i'tiqadiyat,” yang menjadi bidang bahasan ilmu tauhid/ilmu kalam.
  2. Meliputi petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaik-an yang ada dalam diri manusia, supaya ia menjadi makhluk terhormat yang riil, yang disebut ““ahkam syar’iyat khuluqiyat” yang menjadi bidang garapan tasa-wuf/akhlaq.
  3. Meliputi berbagai ketentuan dan seperangkat peraturan hukum untuk menata hal-hal praktis dalam cara melakukan ibadah kepada Allah, melakukan hubungan (pergaulan) sehari-hari sesama manusia dalam rangka memenuhi hajat hidup, melakukan hubungan dalam lingkungan keluarga, dan melakukan penertiban umum untuk menjamin tegaknya keadilan dan terwujudnya ketentraman dalam pergaulan masyarakat, yang disebut “ahkam syar’iyat ‘amaliyat” yang menjadi bidang bahasan ilmu fikih. (Yafie, 1992: 81)
Fokus bahasan kita adalah pada butir ketiga yaitu “ahkam syar’iyat ‘amaliyat” yaitu bagaimana hukum poligami dalam struktur hukum fikih, yang dirumuskan dalam komponen munakahat.

Melalui ijtihad para ulama yang berkompeten untuk melakukannya, ahkam syar’iyat ‘amaliyat berkembang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang didapati oleh umat Islam, ia bersifat dinamis dengan tetap mengacu pada landasan pokoknya yaitu Al-Qur’an dan al-Hadis.

Dinamisasi hukum fikih hanya dapat dilakukan jika dapat memahami maksud dan tujuan hukum itu baik secara tekstual maupun konstektual. Pemahaman ini tidak semudah yang kita duga, misalnya dengan hanya mengandalkan kemampuan berpikir kritis dan analogis kita dapat merekonstruksi hukum fikih, karena pemikiran itu dimungkinkan bisa bias disebabkan keterbatasan-keterbatasan akal itu sendiri. Subyektifitas pribadi misalnya bisa menyebabkan bergesernya pemahaman yang tepat terhadap maksud dan tujuan hukum Islam. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk merekonstruksi hukum fikih seperti menguasai bahasa Arab dan imu-ilmu yang berkaitan dengannya, juga menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis agar hasilnya tidak keluar dari mainstreamnya. Karena itu segala produk hukum fikih tidak boleh bertentangan dengan tujuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Secara umum tujuan syariat Islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala manfaat dan mencegah atau menolak madharat yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia (Akhzdu al- mashalih wa Dar-u al-mafasid). Tujuan itu dirumuskan dalam lima pokok pemberlakuan hukum yang disebut“al-mabaadi-u al-khamsah” yaitu;
  1. Hifzdu ad-din yaitu memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam.
  2. Hifzdu al-a’qli yaitu memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan umat.
  3. Hifzdu an-nafsi yaitu memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang primer, sekunder maupun suplementer.
  4. Hifzdu al-maal yaitu memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampui batas maksimal dan mengurangi batas minimal.
  5. Hifzdu an-nasl yaitu memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik maupun ruhani. (Mahfudz, 1994; 210)
Kelima pokok ini menjadi acuan utama dalam menetapkan hukum agama, termasuk di dalamnya poligami. Apakah maksud yang terkandung dalam tujuan tersebut bisa terwujud atau tidak dalam poligami ? Kesejahteraan dan ketentraman yang dituntut oleh agama dapatkah terpenuhi atau tidak olehnya?

C. Berbagai pandangan ulama tentang hukum Poligami dalam Islam.

Informasi tentang hukum poligami kita peroleh dalam surat An-Nisa’ : (3) “Wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama fankihu ma thaba lakum min al-nisa-i matsna wa tsulatsa wa ruba-a, fa in khiftum alla ta’dilu fa wahidatun aw ma malakat aymanu kum dzalika adna alla ta’ulu”

Artinya :“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

Ayat lain yang berhubungan dengan ayat di atas adalah surat An-Nisa’: (129) “Wa lan tastathi’u an ta’dilu bayna al-nisai wa lau harashtum fa laa tamilu kulla al-maili fa tadzaruha ka al-mu’allaqati wa in tushlihu wa tattaqu fa innallaha kana ghafura ar-hima”

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Sebuah catatan penting yang kita peroleh dalam kedua ayat ini adalah bahwa dalam poligami harus dijamin terwujudnya keadilan di antara para isteri. Keberadaan keadilan ini menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ fikih tentang hukum poligami.

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa poligami itu dilarang. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa keadilan yang dituntut oleh Allah dalam ayat di atas tidak akan bisa terpenuhi. Sebagian yang lain berpendapat bahwa poligami hukumnya adalah halal, sebab keadilan yang dimaksud bukanlah persamaan di dalam segala hal, pada yang dimiliki dan yang tidak dimiliki yaitu hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Keadilan yang dikehendaki adalah hendaknya seseorang yang berpoligami tidak terlampau cenderung kepada salah seorang saja di antara isteri-isterinya sedang yang lainnya terabaikan dalam keadaan terkatung-katung. (Syaltut, 1966: 190).

Syariat Islam membolehkan poligami selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiyaan terhadap para isteri. Maka jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiyaan itu dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan terjadi karena mengabaikan kesejahteraan para isteri dianjurkan agar mencukupkan beristeri satu orang saja. Di sini diperlukan komitmen seorang laki-laki yang berpoligami untuk memenuhi perintah Allah dalam ayat tersebut, penekanan (stressing) keadilan seorang laki-laki seperti yang dimaksud dalam Al-Qur’an harus menjadi perhatian utama suami. Karena itu perkawinan dalam Islam sebenarnya adalah satu isteri untuk satu suami. Kalaupun Islam membolehkan poligami tentunya ada hikmah tertentu di dalamnya, karena Allah tidak membuat atau menentukan sesuatu dengan sia-sia.

Merujuk kepada firman Allah tentang poligami di atas, Islam memerintahkan agar menikahi wanita yang disenangi dua, tiga atau empat. Perintah (amar) dalam ayat tersebut bukan berarti kita wajib menikahi banyak wanita, dua, tiga atau empat, bisa saja amar itu hanya dimaksudkan sebagai anjuran atau kebolehan sebab adakalanya kata perintah dalam Al-Qur’an bermakna wajib, atau sunah atau mubah.

Dalam kaidah fiqhiyah kita mengenal berbagai fungsi amar dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, ada di antaranya yang dimaksudkan untuk perintah wajib (al-ashlu fi al-am ri li al-wujubi) misalnya firman Allah dalam surat Al-Muzammil: (20) “Wa aqimu shalata wa atuz-zakah”, ada pula yang dimaksudkan untuk perintah sunah (al-ashlu fi al-amri li al-nadbi) misalnya firman Allah “Wa min al-laili fa tahajjad bihi nafilatan laka” dalam surah al-Isra : (79) dan ada pula perintah yang bersifat mubah (al-ashlu fi al-am ri li al-ibahah) seperti fir-man Allah “Fa kulu min ma razaqakum Allahu halalan thayiba” dalam surah An-Nahl : (114).

Dalam kaitan poligami, ulama berbeda pendapat tentangnya. Dari pendapat-pendapat tersebut Mahmud Syaltut dalam bukunya “al-Islam aqidah wa syaria’ah” menyimpulkan hukumnya adalah mubah, kebolehan berpoligami tidak terkait sama sekali dengan sesuatu, selain terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, sekalipun demikian Mahmud Syaltut (1966) masih memberikan catatan bahwa;
  1. Syariat Islam membatasi poligami pada jumlah bilangan yang bisa menjamin terpenuhinya hajat lelaki dengan cara yang tidak mempengaruhi masa-masa seorang wanita tidak ada kesediaan untuk menerima.
  2. Syariat Islam mewajibkan seorang laki-laki agar berlaku adil di dalam memenuhi berbagai tuntutan kehidupan di antara isteri-isteri tersebut, sehingga dapat membantu tetap terpeliharanya ketenangan dan kedamaian, dan dijauhkan dari kezdaliman, penyimpangan dan penyelewangan.
Hukum asal dari poligami ini bisa saja dipahami lain, misalnya haram li ghoirihi (haram secara sebab) sebagaimana dikemukakan oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI. Menurut Siti Musdah Mulia, ketua kelompok tersebut mengatakan bahwa “Perkawinan poligami lebih banyak membawa penderitaan bagi isteri”, “Dari segi realitas yang merugikan perempuan dan anak yang dilahirkan, poligami haram secara sebab, li ghoirihi “ kata Abdul Moqsith Ghazali menambahkan (Tempo, 17 Oktober 2004).

Karena hukum poligami yang demikian ini yakni haram li ghorihi pokja Pengarusutamaan Gender ini mengajukan gagasan halalnya kawin mut’ah untuk menjaga kesejahteraan kaum perempuan dan demi kebebasan mereka untuk menikah dengan laki-laki yang sesuai dengan keinginannya. Poligami dinilai sebagai pemanjaan terhadap kaum laki-laki dan hak yang berlebihan terhadap wanita. Menurut mereka ini tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam seperti persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha) dan keadilan (al-adl). “Kaum laki-laki jangan egois dong. Kalau bicara tentang poligami, kenapa tidak bicara juga tentang poliandri?” demikian kata Nurul Arifin ketika mengomentari poligami, secara pribadi ia menyatakan tidak mau dimadu. (Tempo, 17 Oktober 2004).

Dalam hemat penulis, pokja berkeinginan membatalkan poligami karena adanya penderitaan dan merugikan perempuan dan anak-anak yang dilahirkannya, lalu bagaimana jika akibat itu tidak ada ? apakah tetap haram atau tidak ? Haruskah poligami diganti dengan yang lain misalnya dengan poliandri seperti ungkapan Nurul Arifin, karena dengan poliandri ini perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki ?

Hukum sesuatu memang bisa berubah dari asalnya karena ada sebab yang mengiri nginya seperti yang kita temukan dalam kaidah fiqhiyah “Al-hukmu yaduru ma’a al-illati wujudan wa ‘adaman”, misalnya ayam hasil mencuri; ia haram dimakan karena dicuri da ri orang lain, jika sebab ini tidak ada maka boleh memakannya. Haramnya makan ayam karena ada sebab lain (haram li ghoirihi) bukan karena subtansinya (haram li dzatihi).

Poligami yang dikatakan haram li ghoirihi tidak ubahnya dengan haramnya ayam yang dicuri dari orang lain tersebut. Ayam itu sendiri adalah mubah, boleh dimakan atau tidak dimakan, hukum ini tetap melekat pada ayam itu selama ia menjadi hak milik seseorang, ia akan berubah menjadi haram ketika ayam yang dimakan itu hasil curian. Hal yang sama ada pada poligami, ia baru dikatakan haram ketika ada sebab yang menyertainya yaitu penderitaan atau kerugian yang dialami oleh pelakunya. Jika sebab ini tidak ada, maka ia kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Rasulullah SAW bersabda; ”al-halalu ma ahallallahu fi kitabihi, wa al-haramu ma harramallahu fi kitabihi wa maa sakata ‘anhu fa huwa min maa ‘afa ‘anhu” artinya; ”Yang halal adalah sesuatu yang di-halalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan di da-lamnya. Dan apa-apa yang didiamkan oleh-Nya maka itu dimaafkan” (riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dari hadis ini lahirlah dalil ushuliyah yang menyatakan bahwa hukum asal sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil syar’i yang mengharamkannya „al-ashlu fi al-asy-yai al-ibahah illa ma harramahu asy-syari’ah”

Rekonstruksi hukum fikih memang diperlukan sepanjang syarat-syarat untuk hal itu terpenuhi. Sebagai lahan ijtihad ia masih terbuka dan perlu dikaji ulang selama syarat-syarat untuk berijtihad dapat dipenuhi, sebagaimana dipahami dari ungkapan „al-ijtihadu maftuhun wa lam tazal, wa asy-syuruthu mathlubun wa lam tazal” Hal ini berlaku pula pada poligami jika kita hendak mengkaji ulang hukumnya. Ia haram karena akibat yang mengiringinya, jika sebab itu tidak ada seharusnya ia dikembalikan kepada hukum asal-nya yaitu mubah yang merupakan eskalasi terendah dalam perintah agama (amar), bukan mengharamkannya atau menghilangkannya dari struktur hukum fikih dan menggantinya dengan poliandri. Bukankah untuk membasmi tikus dalam gudang tidak harus dengan membakar gudangnya?

D. Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan.

Perkawinan adalah sebuah lembaga yang mempertautkan hati, memelihara kemaslahatan dan memadukan cinta kasih antara kedua belah pihak yang berteman hidup. Ia me rupakan perjanjian yang kuat (mitsaqan gholizdo) antara suami dan isteri. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 adalah ”ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Rumusan ini menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya sekedar kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan, melainkan ibadat yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, ia merupakan sunah Rasul sebagaimana kita temukan dalam sabda Beliau ”An-nikaahu sunnati fa man raghiba ‘an sunnati fa laisa minni” Nikah itu adalah sunnahku barangsiapa yang membenci sunnahku ia tidak termasuk golonganku”. Di dalam perkawinan kita dapat bersedekah seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana terdapat dalam suatu hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Dzar R.A. : Para Sahabat Rasul menghadap Beliau dan berkata ”Orang-orang kaya beruntung dengan pahala yang mereka peroleh. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa seperti kami berpuasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Rasulullah SAW bersabda; “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat kalian sedekahkan ? sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan di dalam “mendatangi” isterimu adalah sedekah” Mereka bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami melampiaskan syahwat kami ada pahala di dalamnya?” Beliau menjawab; “Bagaimana pendapatmu jika itu kalian lakukan di tempat yang haram apakah itu dosa ? demikianlah jika itu kalian lakukan di tempat yang halal maka ada pahala di dalamnya”.

Hadis ini secara jelas menyatakan nilai pahala dalam perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri. Ia merupakan bentuk pengabdian (ibadat) kepada Allah dengan meme-nuhi perintah-Nya untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan yang menurut Al- Qur’an disebut sakinah (Ar-Rum; 21).

Sakinah akan terwujud apabila ada kerja sama antara suami dan isteri dengan melakukan apa yang menjadi kewajiban masing-masing. Kewajiban utama dibebankan kepada suami sebagai penanggung jawab dan pemimpin keluarga dalam surah an-Nisa’ : (34) yaitu memper gauli isteri dengan ma’ruf, sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa’ : (19) “Wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf” dan pergaulilah isterimu dengan makruf.

Al-Baidhowi menafsirkan al-ma’ruf dengan “al-inshofu fi al-fi’li wa al-ijmalu fi al-qouli” yaitu kerja sama dalam pekerjaan dan santun dalam perkataan. Suami dan isteri membagi tugas-tugas rumah tangga secara adil (proporsional) dan tepo seliro dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Al-Maraghi menafsirinya dengan “tidak ada kesempitan dalam pembelanjaan, tidak ada ucapan yang menyakitkan dan wajah yang muram” (`adamu al-tadhyiq fi an-nafaqah, wa `abu:sa al wajhi). Sementara Rasyid Ridha memaknai dengan “musyawarah, persamaan, dan menyenangkan untuk dilihat”.

Tafsir ayat Al-Qur’an ini mengisyaratkan bahwa Allah memerintahkan agar suami bersikap baik kepada isteri sehingga tercipta rumah tangga yang penuh kedamaian dan ke sejukan, suami memberikan hak-hak isteri sebagaimana mestinya, ”wa la-hunna mitslu al-lazdi ‘alaihinna bil-ma’ruf” dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara-cara yang makruf seperti dalam surah Al-Baqarah : (228). Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengajak isteri-isteri beliau bercengkerama, bergurau dan memberi nafkah yang cukup. Ini meninggalkan kesan yang mendalam kepada Sayyidah Aisyah ketika ditanya bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadapnya, katanya; “Rumah menjadi semarak ketika Beliau ada, sunyi senyap ketika Beliau tiada. Beliau makan apa yang tersedia tanpa bertanya sesuatu yang tak ada”.

Sebagai pemimpin, suami bertugas :
  1. Ar-ria’yah yaitu melindungi keluarga dari segala hal yang mengganggu kebahagiaan rumah tangga, menjauhkannya dari bahaya yang dapat merusak keutuhan keluarga, dan menjaganya dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghilangkan keharmonisan kehidupannya Penafsiran Al-Maraghi tentang “Wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf” di atas merupakan gambaran perlindungan suami terhadap isterinya baik perlindungan secara batiniah maupun ruhaniyah.
  2. Al-wilayah yaitu mengatur kehidupan keluarga, mengarahkan anggota keluarga kepada hal-hal yang dapat menyejahterakan mereka. Memimpin dan mengajak mereka menuju kehidupan yang sakinah. Memikirkan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan anak-anak dan isterinya.
  3. Al-Kifayah yaitu mencukupi kebutuhan keluarganya dengan memberikan nafkah yang layak, halal dan dibenarkan oleh agama dan negara. Mencukupi sandang, pangan dan papan mereka. Perekonomian keluarga menjadi tanggung jawab suami, ia berkewajiban memenuhinya dalam batas kewajaran, tanpa berlebih-lebihan atau kekurangan. Kewajiban ini ada di tangan suami, sementara isteri berkewajiban men jaganya dan membelanjakannya dengan baik, ia tidak berkewajiban mencari nafkah keluarganya. Memberi mereka belanja yang cukup dan tidak mempersempit nafkah keluarga adalah perintah agama sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW da-lam sebuah hadis “termasuk golongan manusia yang buruk adalah orang yang mem persempit nafkah keluarganya”
Suami yang memenuhi kriteria ini yang dimaksud dalam al-Qur’an sebagai Qowwa-muna ‘ala an-nisa’ yang bertindak sebagai pemimpin yang bertanggung jawab kepada keluarga. Suami seperti ini layak didampingi oleh isteri yang baik dan taat yang menurut Al Qur’an disimbulkan dengan kata “al-sholihat qanitat” yang akan bertindak :
  1. Hifdzu al-nafsi yaitu memelihara diri dan kehormatannya dari godaan yang bersifat kebendaaan dan kejiwaan. Godaan untuk hidup mewah tanpa memperhatikan kemampuan suami dapat menjerumuskannya ke dalam kehancuran keluarga, seperti diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis riwayat al-Khottobi; “Akan datang suatu saat kehancuran suami berada di tangan isteri, orang tua dan anaknya. Mereka mencelanya karena ketidak mampuannya dan membebaninya dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya, dia memasuki daerah yang dapat menghilangkan agamanya maka binasalah ia”. Memelihara diri juga berarti tidak berlaku curang, serta menyimpan rahasia keluarga.
  2. Hifdzu maali yaitu menjaga harta keluarganya dengan memanfaatkannya sebagaimana diperintahkan agama, tanpa berlebihan dan berkekurangan. Isterilah yang mengatur harta milik keluarganya, membelanjakan nafkah yang diberikan oleh suami dengan bijaksana. Perilaku wanita-wanita yang beradab terdahulu yaitu pada jaman para Sahabat RA, apabila suami mereka akan keluar mencari nafkah, maka para isteri dan puteri-puteri mereka berpesan “Hati-hatilah, jangan mencari penghasilan yang haram, sesungguhnya kami sabar menghadapi lapar, tetapi kami tidak sabar menghadapi neraka”. (AlKhasyt, 1999).
  3. Hifzdu ahli, yaitu memelihara keluarga, memelihara, merawat dan mendidik anak-anaknya. Isteri yang baik tidak membiarkan anak-anaknya diasuh pembantu atau oleh tangan orang lain. Dia mendidik anak-anaknya dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, istiqamah, dan akhlak serta perilaku mulia. “almar-atu ra:’iyatun fi baiti zaujiha, wa hiya mas-ulatun ‘an ra’iyatuha” demikian sabda Rasulullah. Se-orang penyair berkata “al-ummu madrasatun izda a’dadtaha, a’dadta sya’ban thoy yiba al-‘ara:qi”(Ibu adalah bagaikan sebuah sekolah, bila anda menyiapkannya, anda menyiapkan bangsa yang berakar baik).
  4. Hifzdu al-manzili, yaitu memelihara rumah. Kenyamanan rumah tangga berada di tangan seorang isteri, ia akan membersihkan tempat tinggalnya, pakaian, dan lingkungannya. Kenyamanan rumah tangga yang dikelola dengan baik oleh isteri menjadi pengikat suami dan anggota keluarga untuk betah di rumah, Rasulullah mengibaratkannya dengan sebuah surga, kata Beliau “Baiti jannati”.
E. Penghargaan Islam terhadap Wanita dalam Poligami.

Monogami adalah bentuk perkawinan yang paling alami. Dalam monogami terdapat semangat eksklusif yang khusus, yakni perasaan saling “memiliki” secara khusus dan individual... Si isteri maupun si suami memandang perasaan, kasih sayang, dan keuntungan seksual mereka sebagai milik dan hak timbal balik masing-masing.

Monogami inilah yang menjadi prinsip dasar dalam pernikahan Islam. Berdampingan dengannya manusia mengenal bentuk perkawinan yang lain yaitu perkawinan ganda (poligini), yaitu;
  1. Komunisme seksual, yaitu bentuk perkawinan di mana tidak ada suatu keeksklusifan pada kedua belah pihak; tidak ada laki-laki yang mempunyai hubungan eksklusif dengan seorang wanita tertentu, dan tidak ada wanita yang terpaut secara eksklusif pada seorang laki-laki tertentu. Will Durant (dalam Muthahhari, 2004; 206) menyebutnya dengan “perkawinan kelompok” di mana sejumlah pria yang termasuk satu kelompok secara kolektif mengawini sejumlah perempuan yang termasuk dalam satu kelompok lain. Di Tibet, misalnya, adalah adat bahwa sekelompok laki-laki bersaudara mengawini sekelompok wanita bersaudara, dan kedua kelompok suami isteri ini mempraktekkan komunisme seksual di kalangan mereka; setiap orang para suami melakukan hubungan seks dengan setiap orang dari para isteri itu.
  2. Poliandri, yaitu seorang wanita dalam waktu yang sama mempunyai lebih dari seorang suami Di jaman Jahiliyah berlaku praktek perkawinan semacam ini dengan versi yang agak berbeda, yaitu seorang suami mengoperkan atau menitipkan istrinya kepada pria lain selama waktu tertentu dengan maksud untuk mendapatkan anak bangsawan melalui pria itu. Si suami menjauhkan diri dari isterinya dan menyerahkan isterinya kepada bangsawan yang dimaksud. Apabila telah jelas bahwa isteri telah hamil maka suami kembali melakukan hubungan seksual dengan isterinya. Perlakuan ini dimaksudkan untuk memperbaiki keturunan mereka dan memperbaiki kelompok mereka. Jenis perkawinan ini, yaitu mengawinkan isteri untuk sementara kepada pria lain dinamakan nikah istibdha’ (pernikahan untuk mencari keuntungan). Poliandri juga dapat berupa, sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh orang, mengadakan hubungan seksual dengan seorang wanita. Apabila si wanita hamil, dan si anak telah dilahirkannya, wanita itu memanggil seluruh anggota kelompok itu. Lalu si perempuan memilih ayah dari anak yang dilahirkannya sesuai dengan kecenderungannya. Pria yang dipilih tidak berhak mengingkari anak itu sebagai anaknya sendiri. Bentuk lain dari poliandri adalah si wanita secara resminya adalah sejenis pelacur. Setiap pria, tanpa kecuali dapat mengadakan hubungan seksual dengannya. Biasanya si wanita memasang bendera di atas rumahnya agar dapat dikenali. Apabila lahir seorang anak darinya, dengan disaksikan oleh ahli nujum dan fisiognomis, ia mengumpulkan semua pria yang pernah mengadakan hubungan seksual dengannya. Pemilihan ayah dari anak yang dikandungnya didasarkan atas tanda-tanda distinktif serta wajah si anak, para ahli nujum dan fisiognomis menyatakan pandangannya tentang anak siapakah si bayi itu. Pria yang ditunjuk wajib menerima pendapat fisiognomis tersebut dan memandang anak itu sebagai anaknya sendiri. Baik komunitas seksual maupun poliandri tidak ditolerir oleh Islam. Sebab keduanya gagal membangun keluarga yang harmonis. Dalam komunitas seksual, keterpautan pribadi pada suami atau isteri tersingkirkan, sehingga isteri tidak mempunyai suatu kepentingan khusus kepada seorang pria tertentu, demikian pula seorang suami tidak mempunyai kepentingan khusus dengan seorang wanita. Sedang dalam poliandri kesulitan terbesar dalam perkawinan ganda model ini ialah karena ayah si anak tidak dikenal. Selain itu ia bertentangan dengan watak manusia baik bagi kaum pria maupun wanita. Dari segi kaum pria terdapat dua sebab yaitu; (1) tidak sejalan dengan kecenderungannya ke arah keterpautannya yang eksklusif dan terbatas, dan (2) tidak sesuai dengan kepastian tentang garis kebapakan anak yang menjadi dasar keterpautan bapak kepadanya, yang bersifat alami dan naluri bagi manusia. Dari segi kaum wanita, ia bertentangan dengan wataknya dan juga kepentingannya. Seorang wanita membutuhkan pria bukan hanya sebagai sumber atau faktor dalam pemuasan dorongan seksualnya... Wanita membutuhkan pria yang hatinya berada di tangannya. Si pria harus menjadi pelindung dan pembelanya. (Muthahhari 2004 ; 216). Sebab-sebab ini menepis pandangan yang mengganggap bahwa poliandri memberikan kesamaan (ikha`) hak kepada kaum wanita. Perlindungan, pembelaan dan keterpautan khusus kepada seorang pria lebih berarti daripada banyak suami, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa “lebih banyak pria lebih bahagia”.
  3. Poligami, Islam tidak mengawali adat perkawinan ini, melainkan membatasi jumlahnya dan menetapkan persyaratan yang tegas baginya. Adat ini telah dilaksanakan bukan hanya di kalangan Arab Jahiliyah tetapi juga di beberapa bangsa, seperti dikemukakan oleh Montesque dalam tulisannya L’ Esprit des Louis (dalam Muthahhari, 2004; 209), “Hukum ini juga berlaku di kepulauan Maladewa di mana laki-laki bebas untuk mengawini tiga orang istri... Beberapa sebab tertentu juga mendorong orang-orang Valentinia untuk mengizinkan poligami di imperium Romawi.”
Ditulis oleh Ustadz H. Moh. Dahlan Ridlwan dan disalin dari blog Ustadz Ahmad Syafaat (bisa langsung klik di sini.)

0 comments: