2. ASH-SHIRATHUL-MUSTAQIM

BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(2) ASH-SHIRATHUL-MUSTAQIM

Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan diketahui secara jelas, karena ada lam ta'rif dan karena ada keterangan tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya :
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya." (QS. Al-An'am : 153).

Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian beliau menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada syetan yang mengajak kepadanya'. Kemudian beliau membaca ayat, 'Dan bahwa...'."

Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu, yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada Allah kecuali lewat jalan ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka berbagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu. itu terkunci.

Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang pernah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini disebutkan di dua tempat dalam Al-Qur'an :

إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus." (QS. Hud : 56)

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus ?" (QS. An-Nahl : 76).

Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya ? Perkataan Allah benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil.

Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka lebih memprioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara Al-Kalby berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus."

Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathulmustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

Jika ada yang mengatakan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam menyuruh kepada keadilan", berarti beliau berada di atas ash-shirathulmustaqim. Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut : Inilah yang memang sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. Allah berada di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah. Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk menggambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendirian dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah juga mengingatkan tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin. Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitarnya karena dia sendirian saat meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbeda dengan orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah golongan minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan sebagian salaf, "Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang-orang yang mengikuti jalan ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya." Jika engkau meniti jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan menoleh ke arah mereka sekalipun mereka memanggil-manggilmu, karena jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat perjalananmu.

Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permohonan yang paling tinggi nilainya, maka Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya, kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada 2 (dua) macam tawassul dalam doa :
  1. Tawassul dengan asma' dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
  2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.
Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua tawassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling penting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya layak dikabulkan.


[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in" (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit : Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

0 comments: