MAKNA FITRAH


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Arum : 30)

Ketika Allah SWT berfirman kepada makhluk-Nya, bahwa Dia akan menciptakan manusia (baca : Adam AS.) sebagai wakil-Nya di muka bumi, beragam tanggapan yang bernada pesimistis pun bermunculan dari makluk lain, terutama kalangan malaikat. Kenapa harus menciptakan manusia yang akan selalu membuat kerusakan serta menumpahkan darah di antara sesamanya. Keraguan para malaikat itu langsung mendapatkan jawaban dari Allah SWT dengan memerintahkan Adam AS. untuk menyebutkan nama benda-benda yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui para malaikat (QS. Al-Baqarah : 30-33).

Dialog tadi yang terdokumentasikan dalam Al-Quran memberikan petunjuk kepada kita tentang derajat kemuliaan manusia sebagai anugerah jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Sebab, Allah SWT. dalam menciptakan manusia selain dengan bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya (QS. at-Tin : 4) juga melengkapinya dengan adanya fitrah. Dan fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya, baik dari aspek kedudukan (QS. Al-Isra : 70), fungsi (QS. al-Baqarah : 30), maupun tugasnya (QS. Ad-Dzariat : 56).

Secara bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab (bentuk qiyasan mashdar dari kata fathara-yafthuru-fathran), artinya sifat, asal kejadian, kesucian, kemuliaan, bakat, atau agama yang benar. Yang semuanya disandarkan kepada manusia. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan fitrah, di antaranya Asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani, sebuah karakter yang senang dalam menerima agama; Raghib al-Isfahani, kekuatan dan kemampuan yang diberikan Allah SWT. kepada manusia untuk mengenal iman; menurut ahli fikih, karakter yang bersifat suci dan asli yang dibawa manusia sejak lahir; sedangkan ahli filsafat mengartikan sebagai suatu persiapan sebelum lahir ke dunia untuk melaksanakan hukum Allah SWT. yang akan mampu membedakan antara hak dan batil.


Kalau kita merujuk pada definisi fitrah tadi (menurut bahasa dan istilah), tentu fitrah yang dianugerahkan Allah SWT. kepada manusia tidak terbatas nilai dan jumlahnya. Lebih jauhnya lagi akan menghasilkan pemahaman tentang makna fitrah yang lebih luas, karena segala suatu yang berhubungan dengan proses penciptaan (fathara) manusia dinamakan fitrah. Legalitas pemberian fitrah pun tidak hanya ketika lahir ke dunia tetapi terus berlaku tetap (istamara) bahkan akan sampai pada hari perhitungan di alam akhirat kelak. Tentu ini berlaku bagi umatnya Nabi Muhammad SAW., yakni dengan adanya syafa'at udzma dari Beliau (QS. al-Isra : 79).


Fitrah yang diberikan Allah SWT. kepada manusia bersifat universal (kuttiyyuri). Dan secara garis besar (ijmal)-nya mencakup pada empat bidang, yaitu : fitrah ketauhidan (al-fitrahfi al-tauhid); fitrah suci dari dosa (al-fitrahfi al-dzunub); fitrah kemuliaan (al-fitrahfi al-ikraman); dan fitrah sosial (al-fitrahfi al-ijti-maiyyah).
  1. Pertama, fitrah ketauhidan (al-fitrahfi al-tauhid), sebenarnya sebelum manusia diciptakan bentuknya, dia telah membawa naluri ketauhidan (monoteisme) sebagai fitrahnya, yaitu naluri untuk bertuhan. Hal ini dikenal dengan istilah perjanjian primordial antara manusia (makhluk) dengan Khaliknya di alam roh, ketika Allah SWT. hendak menciptakan manusia (QS. Al-Araf : 172).
    Dengan fitrah ketauhidan inilah, manusia akan dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Dengan sendirinya, ia akan merasa tenteram dan bahagia hidupnya apabila dia memihak pada kebenaran, kebaikan, atau kesucian, karena hal itu sesuai dengan fitrah ketauhidannya. Sebaliknya, manusia akan kehilangan rasa ketenteraman hati serta ketenangan jiwanya manakala dia melakukan kejahatan (al-fahsya), kekejian (al-munkar), kepalsuan (al-batil), dan perbuatan dosa lainnya, karena bertentangan dengan hakikat fitrahnya (Nurcholish Madjid, 1998 : 52-53).
  2. Kedua, fitrah suci dari dosa (al-fitrahfi al-dzunub), ketika manusia lahir ke dunia dari kandungan ibunya, dia dalam keadaan suci, bersih tanpa noda ataupun dosa bagaikan kertas putih dalam Islam tidak ada istilah dosa warisan orang tuanya. Justru Islam mengajarkan agar menjaga dan melindunginya dengan baik, sebab dia termasuk titipan (amanat) Sang Ilahi, dan berdosa besar bagi orang yang menelantarkannya.
    Ketika terjadi suatu perang, banyak di antara sahabat yang membunuh anak-anak kaum musyrikin. Mengetahui akan kejadian itu, Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Jangan begitu ! Ingatlah bahwa yang terkemuka di antara kamu sekarang ini adalah anak-anak orang musyrikin, maka janganlah membunuh keturunan-nya. Ingatlah bahwa tiap-tiap orang yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai lidahnya bisa berucap." Lalu lahirlah hadits Abu Hurairah, "Tiadalah dilahirkan seorang anak melainkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ibu bapaknya lah yang me-yahudi-kannya, me-nasrani-kannya, atau me-majusi-kannya" (HR. Muslim).
  3. Ketiga, fitrah kemuliaan (al-fitrahfi al-ikramari), manusia diciptakan dengan bentuk yang sempurna sebagai perwujudan atas kemuliaannya di hadapan Allah SWT. (QS. Al-Isra (17): 70). Ismail bin Umar ibn Katsir menafsirkan, Allah SWT. memuliakan manusia dengan memberi susunan anatomi yang paling sempurna (QS. At-Tin (95) :4), yakni dapat berjalan dehgan dua kaki, makan dengan tangan yang membedakan dengan hewan berjalan dengan empat kaki dan makan dengan mulutnya juga diberi penglihatan, pendengaran, serta hati (al-fu'ad) sebagai sarana untuk mengetahui kemaslahatan atau kemudaratan urusan dunia dan agamanya (Tafsir Ibn Katsir, V : 97).
  4. Keempat, fitrah sosial (al-fitrahfi al-ijtimaiyyah), fitrah jenis ini pernah ditunjukkan Nabi Adam AS. yang memohon kepada Allah SWT. agar menciptakan makhluk lain yang akan ikut menemaninya hidup di surga. Untuk itu, melakukan hubungan interaksi antar sesama manusia merupakan sebuah kebutuhan yang sifatnya sunatullah (natural of law). Sebab, manusia yang notabene sebagai makhluk social animal, tentu tidak akan mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifahfil ardl secara kaffah (komprehensif) tanpa adanya bantuan dari pihak lain.
Wallahu a'lam bissawab.***

[Ditulis olah : MUHAMAD DANI SOMANTRI, mahasiswa Fakultas Syariah IAILM Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Jumat (Pon) 30 April 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

0 comments: