PEMBALASAN ALLAH SWT.

Dalam bahasa Arab, akar kata "malaka" mempunyai beberapa lafaz dengan arti yang berbeda-beda. Ada lafaz al-mulku, yang berarti kerajaan. Ada juga al-milku, dengan arti kepunyaan atau milik. Ada pula al-malaku. yang berarti malaikat. Ada juga al-maliku yang berarti raja. Ada pula maaliki, dengan arti yang memiliki atau merajai.

Dalam surat al-Fatihah ayat keempat disebutkan "
Maaliki yaumiddin". Lafaz maaliki, itu mengandung arti yang memiliki atau merajai. Sementara itu yaum berarti hari dalam pengertian 1 x 24 jam walaupun ada yang mengartikan hari itu dengan musim atau masa. Sementara lafaz ad-din, mengandung arti agama sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 19, "Sungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam." Selain itu, ad-din mengandung arti pembalasan. Sebagaimana dalam ungkapan bahasa Arab yang artinya, "Sebagaimana engkau membalas, demikian pula engkau akan dibalas." Dengan demikian, ayat "Maaliki yaumiddin" dapat diterjemahkan menjadi yang merajai di hari pembalasan.

Ayat di atas, dalam kaidah Ilmu tafsir, ternyata ada hubungahnya dengan ayat sebelumnya, yaitu "
ar-Rahman ar-Rahim" yang disebut dengan korelasi antar ayat (tanasub al-ayat). Seperti dalam surat al-Ghasiyah ayat 17 dan 18. Disebutkan pada ayat 17, "Tidakkah mereka memperhatikan bagaimana unta diciptakan". Dalam ayat selanjutnya disebutkan, 'dan langit bagaimana ditinggikan'. Sepintas tidak terdapat hubungan antara kedua ayat tersebut. Setelah membicarakan unta, kemudian membahas langit ! Ternyata ada benang merah antara unta dan langit. Ketika unta sedang berada di padang pasir yang gersang dan sulit air, unta biasanya sering menengadah ke langit, berharap kapan Allah SWT akan menurunkan hujan.

Para ahli tafsir berpendapat bahwa penyebutan "
ar-Rahman ar-Rahim", menunjukkan akan kasih sayang Allah di dunia ini untuk makhluk-Nya yang tidak terhingga dan menyeluruh dengan tanpa kecuali. Sementara itu "Maaliki yaumiddin" disebutkan supaya manusia sadar bahwa Allah juga penguasa di akhirat nanti.

Muhammad Rasyid Ridla dalam tafsir Al-Manar mengatakan bahwa penyebutan "
ar-Rahman ar-Rahim" adalah sebagai targhib (motivasi) untuk mengharapkan kasih sayang Allah. Sementara itu "Maaliki yaumiddin" disebutkan sebagai tarhib (peringatan) bahwa sekalipun Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tetapi Allah akan menegakkan keadilan, memberikan ganjaran kepada yang melanggar aturan Allah.

Diharapkan manusia tidak akan mengandalkan kasih sayang Allah saja, tetapi juga harus takut dengan siksaan dan hukuman-Nya. Dalam QS.
Al-Hijr ayat 49-50 disebutkan, "Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih."

Banyak orang di dunia ini menganggap, ketika melakukan pelanggaran, atau lolos dari jeratan hukum karena tidak diketahui si pelakunya, atau lolos dari ancaman hukuman dengan berbagai dalih dan alibi, seakan merasa bangga dan telah selamat dari maut. Para koruptor pun, dengan pergi ke Singapura, seakan urusan mereka telah selesai. Padahal di hari akhir, kelak Allah akan memperhitungkan sekecil apa pun kebaikan seseorang dan sekecil apa pun pelanggaran seseorang.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhori disebutkan, "
Hendaklah setiap Muslim itu bersedekah. Nabi ditanya oleh para sahabat, bagaimana kalau tidak bisa melaksanakannya ? Jawab Nabi, hendaklah ia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya dan dapat bersedekah. Para sahabat bertanya kembali, jika tidak mampu ? Nabi menjawab, hendaklah ia menolong orang yang membutuhkan. Para sahabat bertanya lagi, jika tidak mampu ? Nabi menjawab, hendaklah ia mengerjakan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan. Sesungguhnya itu merupakan sedekah bagi dirinya."

Dalam hadis riwayat Iman Bukhori lainnya disebutkan, "
Jagalah dirimu dari api neraka walaupun (bentuk sedekahnya) dengan separuh dari buah kurma." Atau dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud disebutkan, "Telah diperlihatkan kepadaku, pahala-pahala umatku, bahkan (pahala) seseorang yang mengeluarkan sampah dari masjid."

Selain itu, kita dituntut untuk mawas diri dengan perbuatan dosa kita. Nabi bersabda, "
Sesungguhnya orang Mukmin melihat dosa-dosanya itu seolah-olah ia duduk di bawah gunung. Dia merasa takut gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka (fajir), dia melihat dosa-dosanya itu bagaikan lalat yang lewat di depan hidungnya." (HR. Bukhori) Tentu saja, sekecil apa pun dosa kita, hendaklah disadari bahwa itu merupakan satu kesalahan yang jika kita tidak meminta ampun, bisa bertumpuk menjadi besar. Dalam pepatah bahasa Arab disebutkan, "Tidak terhitung dosa besar jika ditaubati dan tidak dihitung dosa kecil jika dilakukan terus-menerus." Padahal janji Allah dalam QS. al-Zalzalah ayat 8 disebutkan, "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah (biji sawi) pun, niscaya dia (orang tersebut) akan melihat (balasan)-nya pula."

Nabi Muhammad SAW. dalam satu hadisnya menyinggung tentang perkara orang yang pailit (bangkrut) di akhirat nanti. Yaitu orang yang amal kebaikannya habis dan tidak tersisa sedikit pun, dipotong dengan perhitungan amal jahatnya. "
Sesungguhnya Rasulullah bersabda, apakah kalian tahu siapa orang yang pailit / bangkrut ? Sahabat menjawab, orang yang pailit / bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya harta (dirham) dan kesenangan. Nabi menjawab, orang yang pailit / bangkrUt di antara umatku ialah orang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, shaum, zakat, tetapi ia sungguh telah memaki seseorang, menuduh orang lain, makan harta orang lain, membunuh orang, dan memukul orang. Maka diberikanlah kebaikan orang ini kepadanya dan kepada yang lainnya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya sebelum ia diadili, lalu diambillah dosa-dosa mereka kemudian diserahkan kepadanya (sebagai ganti), kemudian ia diseret ke dalam api neraka." (HR. Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa perhitungan amal baik dan amal buruk itu, hendaklah kita perhitungkan sendiri selagi masih hidup di dunia, sebagaimana anjuran sahabat Umar bin Khattab RA., "
hisablah dirimu sebelum dihisab di hari akhir." Jika terdapat kesalahan terhadap Allah, segeralah memohon ampunan kepada-Nya. Dan jika terdapat kesalahan kepada sesama manusia, mohonkanlah maaf kepada orang itu supaya tidak menuntut kepada diri kita di hari akhir nanti.***

[Ditulis oleh : KH. ACENG ZAKARIA, Ketua Bidang Tarbiyyah PP. Persis dan Pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut, disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi hari Kamis (Pon) 15 April 2010 pada kolom "CIKARAKCAK"]

0 comments: