PENDIDIKAN KARAKTER

"Undang-undang adab dan budipekerti membentuk kemerdekaan bekerja. Undang-undang akal membentuk kemerdekaan berpikir. Dengan jalan menambah kecerdasan akal, bertambah murnilah kemerdekaan berpikir." (Hamka)

Akhir-akhir ini, santer kembali pentingnya pendidikan yang membentuk karakter anak didik. Bahkan, Menteri Pendidikan Nasional, Prof. DR. M. Nuh, yang "mengomandokan" pentingnya pendidikan karakter. Tema utama Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) belum lama ini pun adalah pendidikan karakter.

Sesungguhnya bagi lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah, pendidikan karakter bukan hal asing lagi. Bahkan, di tengah keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki, ternyata mampu membentuk anak-anak didik yang berakhlak baik atau berkarakter mulia.

Inti pendidikan karakter adalah tauhid, karena tauhid sebagai landasan terhadap segala aspek kehidupan. Ulama terkenal Prof. KH. Quraish Shihab merumuskan masalah tauhid sebagai kesatuan kehidupan antara dunia dan akhirat karena semuanya dari satu sumber, yaitu Allah SWT.

Tauhid juga bermakna kesatuan ilmu, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, seperti yang terjadi di masyarakat, sebab semua ilmu bersumber dari Allah.

Selain itu, tauhid juga berarti kesatuan iman dan akal karena masing-masing dibutuhkan dan saling melengkapi. Makna tauhid lainnya adalah kesatuan agama, sebab agama yang dibawa para nabi sejak Nabi Adam sampai nabi terakhir, bersumber dari Allah dengan prinsip tauhid yang sama. Terakhir, makna tauhid adalah kesatuan antara individu dan masyarakat, karena keduanya harus saling menunjang.

Pendidikan dalam kacamata Islam adalah upaya menyiapkan kader-kader manusia sebagai khalifah di muka bumi, sehingga bisa membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis, dan lestari. Dengan makna itu, pendidikan islami merupakan hal ideal karena tidak sebatas mengedepankan akademik, berupa pengasahan otak tanpa melibatkan aspek keimanan dan karakter.

Intinya, khalifah sebagai hasil dari proses pendidikan, seharusnya menjadi manusia-manusia yang bersyukur dengan memanfaatkan alam semesta untuk kepentingan kebaikan bersama. Dia tidak sebatas memperlakukan alam sebagai objek apalagi mengeksploitasinya. Alam diperlukan sebagai komponen integral kehidupan.

Untuk mewujudkan anak didik sebagai khalifah, salah satu komponen utama dalam pendidikan adalah peran guru. Rasulullah SAW. bersabda, "Tinta alim ulama lebih tinggi nilainya daripada darah para syuhada." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Hadits tersebut menggambarkan, ketinggian kedudukan seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, karena dapat melahirkan manusia-manusia yang berpikir dan beramal. Namun, tentu seorang pendidik yang tinggi kedudukannya adalah mereka yang mampu melaksanakan amar makruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Mereka menggunakan prinsip tauhid dalam penyebaran iman, ilmu, amal, dan ihsan.

Abdurrahman Al Nahlawi menyebutkan, tanggung jawab guru untuk mendidik individu agar beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya. Guru juga mendidik siswa agar beramal saleh, bahkan mendidik masyarakat untuk saling menasihati dalam melaksanakan kebenaran dan kesabaran. (QS. Al Ashr)

Konsekuensinya, siapa yang memuliakan guru secara tidak langsung telah memuliakan Rasulullah SAW. Tentu tak ada dikotomi antara guru sekolah umum dan sekolah agama. Sebaliknya, bila durhaka kepada guru, berarti durhaka kepada Rasulullah dan Allah pasti murka. Tentunya seorang guru harus memiliki kualitas yang baik dari segi akademik, akhlak, maupiin amalan dalam keseharian. Ulama Al Kanani menyebutkan beberapa syarat sebagai guru, sebagai berikut :
  1. Hendaknya sadar akan pengawasan Allah dalam segala perkataan dan perbuatan. Guru memegang amanah Ilahi yang amat berat, hingga ia tidak berani mengkhianatinya.
  2. Guru hendaknya memuliakan ilmu, sehingga tidak berhak mengajarkan kepada orang-orang yang hanya mengejar duniawi.
  3. Guru bersikap zuhud dengan mencari dunia, sekadar memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya.
  4. Hendaknya guru tidak berorientasi kepada persoalan duniawi, dengan mendudukkan ilmu sebagai alat untuk mencari jabatan, harta, kebanggaan, atau gelar.
  5. Hendaknya guru menjauhi usaha-usaha yang hina dalam pandangan Islam dan menjauhi kondisi yang bisa menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.
  6. Guru hendaknya memelihara syiar Islam, seperti memelihara shalat berjemaah di masjid, mengucapkan salam, dan menjalankan amar makruf nahi mungkar. Guru juga hendaknya rajin dalam melaksanakan sunah agama, seperti dzikir, shalat tengah malam, dan membaca Alquran.
  7. Guru hendaknya mengisi waktu luang dengan hal-hal bermanfaat, seperti membaca dan mengarang. Guru juga hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu menerima ilmu dari orang lain.
Dengan karakter guru seperti itu, akan bisa mewarnai pendidikan menjadi pendidikan berkarakter. Insya Allah !***

[Ditulis Oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Yayasan Pesantren di Sukabumi. Tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Kamis (Kliwon) 27 Mei 2010 dari kolom "CIKARAKCAK"]

0 comments: