KISAH PERAMPOK YANG AHLI FIQH

Dikisahkan bahwa suatu malam, seorang Oadli dari Anthokia pergi ke tanah pertanian miliknya namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang perampok yang membentak, "Serahkan semua yang engkau miliki ! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu !" "Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Oadli negeri ini, karena itu lepaskan aku," kata Oadli tadi.

"Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatupun," jawab si perampok "Menurutku, kamu ini orang yang berilmu," selidik Oadli. "Benar, sebab di atas setiap orang yang 'alim ada yang lebih 'alim," jawabnya tenang.

"Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW., 'Dien (agama) itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid'ah), maka atasnya laknat Allah.' Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid'ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini," kata Qadli mengingatkan.

"Wahai tuan Oadli, itu hadits Mursal (bagian dari hadits Dla'if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi' atau pun dari Ibn 'Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si perampok yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi' dari Ibn 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, 'Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.' Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan selamat" ujar siperampok.

"Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke tanah pertanianku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini," kata Qadli beralasan.

"Tidak mungkin, tidak mungkin ! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku," kata si perampok lagi. "Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu," kata Qadli mempertegas.

"Malik menceritakan kepada kami dari Nafi', dari Ibn 'Umar bahwa Rasulullah SAW. bersabda, 'Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku).' Allah SWT. berfirman, 'Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.' Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu !" tegas si perampok seakan tidak mau berkompromi. Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si perampok berkata, "Serahkan juga celana itu, ini harus !" "Sesungguhnya sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW. bersabda, 'Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.' Sekarang ini, sudah waktunya shalat sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman, 'Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.' Dikatakan bahwa tafsir 'hiasan' tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,"sang Qadli mulai berargumentasi.

"Adapun mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi', dari Ibn 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, 'Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.' Malik berkata, 'Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya.' Sedangkan menurut Abu Hanifah, 'mereka shalat dengan duduk.' Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna 'memandang dengan syahwat.' Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya ? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Oadli tidak berlaku," sanggah siperampok yang ahli fiqh ini. "Kalau begitu, kamulah Oadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla), kamulah Ahli Fiqh sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini," aku sang Qadli mengakhiri debat itu.

Lalu si perampok yang ahli fiqh itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya. Qadli berkata, "Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqh yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut." Dan akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai kebutuhan hidupnya.

Wallahu A'lam Bish-Shawab

[SUMBER : Mi'ah Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, hal. 62-65]

0 comments: