ISLAM DAN ADAT ISTIADAT

Islam adalah agama universal yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia. Sistem yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat kepada umat manusia. Sistem Islam tidak hanya berguna bagi masyarakat Muslim, tetapi dapat juga dinikmati masyarakat umum.

Pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan keagamaan bisa kita jumpai dari beragam ritus di masyarakat. Seperti dalam masa kehamilan, ada acara nujuh bulan ketika kandungan usia tujuh bulan dan dalam kelahiran bayi ada acara mudun lemah.

Dalam pernikahan kedua mempelai disiram air bunga, menginjak telur, dibulatkan bermacam-macam aksesori dan janur kuning berupa kembar mayang, dan lain-lain. Dalam kematian ada acara telung dino, pitung dino, patang puluh dino, satus dino, sewu dino dengan membuat kue berupa apem, menyebar beras kuning, dan seterusnya.

Apabila ditinjau melalui konteks legal-formal (baca : fiqh), secara umum nuansa ritus seperti itu pada dasarnya merupakan praktik ibadah yang memiliki motif tawasul atau tafa`ul, yang melibatkan faktor keyakinan dan tasaruf.

Dalam kacamata Islam (ahli sunnah wal jama`ah), ritus tawasul dianggap legal apabila disertai keyakinan yang lurus dan terbebas dari unsur-unsur syirik. Dalam arti tawasul hanya diposisikan sebagai sarana ikhtiar (wasilah) untuk memohon kepada Allah dan tetap menyakini hakikatnya hanya Allah semata yang mutlak memiliki qudroh dalam segalanya, dan bukan pihak yang dijadikan objek tawasul.

Keyakinan bahwa makhluk memiliki kekuatan tersendiri yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri mahkluk menurut akidah ahli sunnah dianggap fasik dan bidah, bahkan menurut sebagian ulama divonis kafir.

Menurut paham ahli sunnah, hubungan kausalitas bisa dibenarkan apabila diyakini kelaziman sebab akibat terjadi hanya secara adah robbaniyyah (kebiasaan irodah Allah). Dalam arti, ketika ada sebab, musabab "biasanya" pasti ada dan boleh jadi "kebiasaan" tersebut tidak terjadi. Dalam akidah ahli sunnah, hukum kausalitas hanya bersifat kebiasaan, yang dalam suatu waktu boleh tidak berlaku.

Adapun ritus tafa`ul (menaruh harapan baik kepada sesuatu) dalam Islam dianggap legal, lantaran tafa`ul secara subtansial memiliki esensi positif yang bisa mengantarkan kepada kewajiban berbaik sangka (husnudzon) kepada Allah.

Dengan demikian, apabila dalam tafa`ul masih tebersit kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya hal-hal negatif jika tidak melakukan ritus, dan kekhawatiran tersebut tanpa alasan yang mendasar secara adat, ritus tersebut di luar konsep tafa’ul yang diperbolehkan. Ritus yang demikian sudah termasuk praktik mengundi nasib yang diharamkan dalam Islam karena tergolong sikap berburuk sangka (suu`dzon) kepada Allah.

Dalam satu hadis qudsi, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : "Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka berprasangka baiklah kepada-Ku."

Kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala adat atau budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang telah mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak akan mengubah atau menolaknya, tetapi membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi pekerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Rasululllah SAW. bersabda : "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti."

Wallahu a`lam bishowab.***

[Ditulis oleh Oleh SUBARDI, SPd., Wali Kota Cirebon. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Minggu (Wage) 29 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]

0 comments: