KARAKTERISTIK MANUSIA

Dalam kehidupan manusia, ada beberapa tipe manusia yang menolak dakwah Islam, di antaranya, tipe Abu Lahab. Dia menolak Islam karena anti dan benci kepada Muhammad dan ajaran yang dibawakannya. Padahal sebelumnya begitu simpati kepada Muhammad, sampai anaknya juga dinikahkan kepada putra nabi karena tertarik dengan akhlak Muhammad.

Namun setelah Muhammad menjadi nabi / rasul, Abu Lahab berbalik 180 derajat dan membenci Nabi bahkan untuk sekadar menyebut nama Muhammad saja tidak mau, karena arti Muhammad itu terpuji dan diganti dengan menyebut `Mudzammam` (orang tercela). Dia dan istrinya aktif menghadang dakwah Nabi, ke mana saja Nabi pergi, dia selalu membuntutinya untuk mendustakan dakwahnya.

Kedua, tipe Abu Jahal. Dia tidak berani mendustakan Nabi dan dia yakin bahwa Nabi adalah orang jujur tetapi dia berambisi untuk menjadi pemimpin.

Pada suatu malam, Abu Jahal kepergok oleh Akhnas sedang mendengarkan bacaan Al-Quran di luar rumah Nabi, kemudian ditegur oleh Akhnas, "Bukankah kamu membenci Nabi tetapi mengapa mendengarkan bacaannya ?" Abu Jahal berjanji bahwa ia tidak akan mengulangi lagi. Akan tetapi keesokan malamnya, dia kepergok lagi sedang mendengarkan Al-Quran, mungkin ada ayat-ayat Al-Quran yang ceritanya menarik.

Dia berjanji lagi kepada Akhnas bahwa ia tidak akan mengulanginya, tetapi ternyata keesokan malamnya kepergok lagi dan pada akhirnya Akhnas bertanya kepada Abu Jahal, "Bagaimana sebenarnya tanggapan kamu kepada Muhammad ?" Abu Jahal menjawab, "Memang Muhammad itu orang jujur, saya belum pernah menyaksikan Muhammad berdusta sejak kecilnya."

Kemudian Akhnas bertanya lagi, "Mengapa tidak masuk Islam saja ?" Abu Jahal menjawab, "Sebenarnya saya yang berhak menjadi pemimpin." Inilah alasan Abu Jahal, mengapa menolak ajaran Islam, yaitu karena berambisi untuk menjadi pemimpin.

Ketiga, tipe Abu Thalib. Dia seorang tokoh Quraisy yang disegani dan dihormati. Peran dia begitu besar dalam menjaga keselamatan Nabi dari ancaman orang-orang Quraisy.

Pada satu waktu, mereka datang kepada Abu Thalib sambil menawarkan seorang pemuda tampan. Mereka menganjurkan kepada Abu Thalib, "Ambillah pemuda ini dan serahkanlah Muhammad kepada kami untuk kami bunuh." Abu Thalib marah kepada mereka sambil berkata, "Sungguh jelek permintaan kamu. Kami harus menyerahkan anak kami untuk dibunuh, sementara kami harus mengurus anak orang lain."

Demikianlah jasa Abu Thalib terhadap Nabi, sehingga orang Quraisy tidak bisa membinasakan Nabi karena mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib. Akan tetapi sayangnya, Abu Thalib tidak sampai mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bukti dia masuk Islam, karena gengsi dan takut dicemooh orang banyak sebagai seorang tokoh yang plinplan dan tidak mempunyai pendirian yang kuat.

Walau demikian, di akhir hayatnya, dia pernah berwasiat, "Kami berpesan kepada kamu agar berlaku baik kepada Muhammad. Dialah orang yang terpercaya di kalangan Quraisy dan orang yang jujur di kalangan orang Arab. Dialah yang menghimpun sifat-sifat yang kami wasiatkan. Dia telah membawa ajaran yang dapat diterima oleh hati tetapi berat diucapkan oleh lisan karena takut terjadi perpecahan. Jadilah kamu sekalian pelindung Muhammad dan pembela pengikutnya. Demi Allah! Tidak sekali-kali seseorang berada di jalannya kecuali pasti mendapatkan petunjuk dan tidak mengambil hidayahnya kecuali pasti beruntung."

Semua kisah ini menunjukkan betapa mahalnya hidayah. Ternyata orang yang mencintai dan dicintai Nabi juga tidak semudah itu menerima hidayah. Juga agar dijadikan pelajaran oleh para dai dan mubalig, agar tidak sakit hati jika tidak berhasil dan tidak menepuk dada atau sombong jika dakwah kita langsung diterima. Pada hakikatnya, Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Selain itu, ada pula manusia yang digolongkan dengan predikat An`amta `Alaihim (meraih nikmat Allah). Dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 69,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa : 69)

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan nikmat Allah itu adalah 4 (empat) kelompok.
  1. Kelompok pertama, para nabi, yaitu mereka yang dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugaskan untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi. Mereka yang selalu berucap dan bersikap benar serta memiliki kesungguhan, amanah, kecerdasan, dan keterbukaan, sehingga mereka menyampaikan segala sesuatu yang harus disampaikan.
  2. Kelompok kedua, ash-shiddiqin, yaitu orang-orang yang dalam kondisi dan situasi apa pun selalu benar dan jujur. Mereka tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran. Tampak di pelupuk mata mereka yang hak. Mereka selalu mendapat bimbingan Ilahi, walau tingkatnya berada di bawah tingkatan bimbingan yang diperoleh para nabi dan rasul.
  3. Kelompok ketiga, asy-syuhada, yaitu mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebaikan melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun, dan atau mereka yang disaksikan kebenaran dan kebaikannya oleh Allah SWT, para malaikat, dan lingkungan mereka.
  4. Kelompok keempat, orang-orang saleh, yaitu mereka yang tangguh dalam kebaikan dan selalu berusaha untuk mewujudkannya. Kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran, maka itu adalah pelanggaran kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka.
Ayat di atas tidak menafikan nikmat-nikmat lainnya, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dan jabatan. Hanya jika dibandingkan dengan semua macam kenikmatan, maka nikmat agama merupakan nikmat yang paling besar dan paling tinggi nilainya.

Kekayaan jika tidak dibarengi dengan agama, maka tidak mustahil pada suatu ketika, kekayaan itu akan beralih menjadi niqmat (bencana atau malapetaka). Demikian juga kedudukan atau peraihan jabatan tanpa agama, tidak mustahil pada suatu saat akan membuat dia menderita dan tersiksa.

Tidak sedikit bukti yang kita saksikan, orang-orang yang tadinya meraih jabatan yang tinggi tetapi akhirnya harus mendekap di penjara, menjadi orang yang hina di mata orang banyak. Apa artinya jabatan dan kekayaan jika harus berakhir dengan penderitaan. Belum lagi nanti tuntutan di hari akhir, di mana siksaan dan penderitaan tiada taranya.

Qarun tidak termasuk An`amta `Alihim, walaupun dia seorang konglomerat. Demikian juga Firaun, walaupun dia seorang raja dan penguasa karena mereka tidak beragama.***

[Ditulis oleh KH. ACENG ZAKARIA, ketua Bidang Tarbiyyah PP Persis dan pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Kamis (Legi) 26 Agustus 2010 pada kolom "CIKARACAK"]

0 comments: