KEUTAMAAN SHAUM

Suatu ketika, seorang sahabat, Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah SAW., "Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku amal apa yang dapat menjamin diriku memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat serta masuk surga ?"

Rasulullah SAW. langsung menjawab, "shaum."

Tak puas dengan jawaban itu, Abu Umamah kemudian bertanya kembali sampai tiga kali dengan pertanyaan yang sama. "Wahai Rasulullah, yang saya maksud adalah amal yang barangkali berat, tetapi menjamin saya memperoleh keselamatan."

Rasul SAW. pun menjawab, "shaum."

Tidak ada amal yang setara dengan shaum atau puasa. Tentu shaum yang dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. shaum itu bukan sebatas menahan makan dan minum atau perbuatan yang membatalkan shaum dari subuh sampai magrib.

"Banyak orang yang shaum, tetapi tidak memperoleh apa pun kecuali lapar dan dahaga." (Hadits).

Shaum yang dimaksud Rasulullah SAW. termasuk menjauhi berbagai perbuatan yang mengurangi pahala, sehingga seluruh pancaindra dijaga. Bahkan, angan-angan pun tidak dipakai untuk melamunkan hal-hal tidak baik. Keinginan tidak diarahkan kepada niat berbuat maksiat. Hatinya tidak pernah digetarkan untuk menyusun rencana-rencana busuk.

Dengan demikian, shaum seperti dalam Hadits Qudsi ataupun Hadits Nabi Muhammad SAW. merupakan ibadah yang sangat penting maknanya karena beberapa hal.
  • Pertama, shaum merupakan Rukun Islam yang kelima.
  • Kedua, shaum adalah setengah dari kesabaran.
  • Ketiga, shaum ibarat perisai untuk mencegah kejahatan dan dosa.
  • Keempat, shaum akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada hamba-hamba Allah di hari kiamat.
  • Kelima, shaum dapat menjauhkan dari murka dan azab Allah SWT.
  • Keenam, shaum mendorong seseorang menuju surga Allah.
  • Ketujuh, shaum penghapus dosa dan kesalahan.
  • Kedelapan, shaum adalah ibadah istimewa yang nilainya tidak terbandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
  • Kesembilan, ibadah yang urusannya hanya dengan Allah, dan
  • Kesepuluh, shaum dapat melahirkan manusia bertakwa.
Ajaran Islam mengenal berbagai jenis puasa, seperti dilihat dari status hukumnya yang wajib terdapat puasa Ramadhan yang saat ini dilaksanakan. Jenis puasa lainnya adalah kada yakni mengganti puasa Ramadhan bagi orang-orang tertentu karena tidak bisa melaksanakan puasa Ramadhan.

Puasa lainnya adalah nazar karena telah berjanji untuk berpuasa apabila terpenuhi keinginannya. Selain itu, puasa kifarat sebagai denda atas pelanggaran, seperti berhubungan intim dengan pasangan yang sah di siang hari pada bulan Ramadhan, melakukan zihar (menganggap istri laksana ibunya disertai dengan sumpah), atau bersumpah palsu dengan nama Allah lalu tidak ditepatinya.

Ada juga puasa bersifat sunah, semisal puasa Senin dan Kamis, puasa Arafah pada 9 Zulhijjah, puasa pada pertengahan bulan Qamariyyah yakni tanggal 13, 14, dan 15. Di samping itu, terdapat puasa yang diharamkan, seperti berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha, hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah, puasa matigeni dengan tidak berbuka selama beberapa hari atau puasa berpantang terhadap sesuatu barang seperti garam, dan bagi seorang istri yang melaksanakan puasa sunah tanpa seizin suaminya ketika suami berada di rumah. Rasulullah SAW. bersabda, "Tidak halal bagi seorang istri berpuasa dan suaminya ada kecuali atas izinnya."

Puasa juga haram dilakukan bagi wanita yang sedang "kedatangan tamu" (haid) dan nifas bagi wanita yang melahirkan. Wajib hukumnya bagi wanita haid atau nifas untuk berbuka puasa dan menggantinya di hari-hari lainnya.

Rasulullah SAW. juga mengatur secara khusus agar umat Islam sebaiknya tidak berpuasa sunah pada hari Jumat sehingga alim ulama memasukkannya dalam hukum makruh (kurang baik dilakukan), termasuk makruh hukumnya bagi orang yang bepergian jauh atau sakit payah, tetapi memaksakan berpuasa di bulan Ramadhan.

Bagi mereka yang tidak kuat berpuasa, seperti lanjut usia atau sebab lain dibolehkan berbuka, tetapi wajib membayar fidiah dengan memberikan makan seorang fakir miskin setiap harinya senilai dengan makanan yang biasa kita makan. Ada juga orang yang boleh tidak berpuasa dengan konsekuensi mengada atau membayar fidiah (bisa pilih di antara keduanya), yakni bagi wanita hamil atau menyusui anaknya.

Bahkan, Kitab Tafsir Almanar menyatakan, mereka yang menghadapi kesukaran berat, seperti lanjut usia, sakit menahun dan tidak ada harapan sembuh, perempuan hamil/menyusui, bahkan pekerja keras sehingga kalau berpuasa tidak bisa bekerja mencari nafkah, diperbolehkan tidak berpuasa tetapi dengan membayar fidiah.

Semua puasa baik wajib maupun sunah membutuhkan keikhlasan, yakni semata-mata mengharapkan rida Allah. Apalagi, di antara doa yang paling banyak dikabulkan Allah adalah doa orang yang sedang berpuasa.

Semoga shaum Ramadhan kali ini meningkatkan kualitas dan kuantitas iman, ilmu, dan amal kita. Insya Allah.....! ***

[Ditulis Oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, dosen ITB, Ketua Yayasan Unisba, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 19 Agustus 2010 pada kolom "CIKARACAK"]

0 comments: