BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(2) ZUHUD

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud.

Di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.

Saya pernah mendengar
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."

Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'.

Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "
Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."

Dia juga berkata, "
Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia."

Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya
tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud ? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."

Catatan kaki :
    Zuhud dalam sesuatu menurut Bahasa Arab artinya berpaling darinya karena menganggapnya hina dan remeh serta yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Lafazh ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an selain keterangan tentang orang-orang yang menjual Yusuf dengan harga yang murah,
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
    "Dan, mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf."(QS. Yusuf : 20)
Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.

Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada 3 (tiga) perkara : Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki ma'rifat.

Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud, seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki', Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.

Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini : Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka. Sudah barang tentu Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begitu pula Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa'd, yang semuanya merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.

Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali."

Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak ?

Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.

Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruhlah bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpaksa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada 3 (tiga) derajat zuhud :
  1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir Radhiyallahu Anhutna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati."
    Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang tercela. Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu di mata Allah.
  2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddiqin.
    Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu.
    Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotongnya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenikmatan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang bermanfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah.
    Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkan-nya. Zuhud adalah zuhud hati.
  3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara : menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini.
    Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau
    ditinggalkannya terlalu remeh di matanya.
    Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.
[Berikutnya....(3) Wara']

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
Nabi Muhammad SAW. memiliki banyak sifat mulia. Allah SWT. telah menilainya sebagaimana firman-Nya, "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung."

Nabi Muhammad SAW. pun sudah selayaknya dijadikan panutan oleh umat Islam karena Allah SWT. telah memberikan predikat sebagai uswah hasanah, keteladanan yang utama dalam segala hal, baik dalam ibadah, muamalah, munakahat, demikian pula dalam siyasah. Di antara sifat-sifat Nabi yang dinyatakan dalam Al-Quran,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin." (QS. At-Taubah : 128)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Nabi SAW. memiliki 3 (tiga) sifat kepemimpinan yang inti / utama :
  1. Pertama, pembebasan hamba sahaya. Nabi SAW. berusaha keras untuk membebaskan hamba sahaya dengan berbagai cara yang tidak merugikan majikan. Demikian pula dengan syariat zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan dengan penuh kesadaran dan kejujuran dari para agniya, membuat fakir dan miskin banyak tertolong dan mendapatkan santunan. Oleh karena itu, hilanglah kecemburuan sosial dan iri hati dari kaum yang miskin. Selain itu, Nabi SAW. sendiri mengharamkan menerima zakat untuk dirinya dan keluarganya juga keturunannya. Dengan itu pula, hilanglah tuduhan negatif dari umat terhadap Nabi SAW. bahwa ia berupaya menimbun harta kekayaan atau mementingkan keluarganya.
  2. Kedua, Nabi SAW. senantiasa berpikir untuk mengangkat harkat dan martabat umat dan meningkatkan SDM mereka dengan jalan menyampaikan pesan-pesan Al-Quran. Karena hanya dengan memedomani Al-Quran dan sunah, bangsa akan mulia dan terhormat berada dalam derajat A`la `illiyyin (makhluk yang paling tinggi martabatnya). Sementara dengan meninggalkan agama pasti akan menjadi asfala safilin (makhluk yang paling rendah), dan akan lebih rendah daripada binatang.
    Sahabat Umar bin Al-Khattab RA. adalah orang yang kejam, kasar, serta tidak berperikemanusiaan. Dia pernah membunuh anak perempuannya hidup-hidup. Setelah mendapat hidayah / petunjuk Allah melalui Al-Quran, beliau mampu menjadi amirul mu`minin yang disegani, bersahaja, dan berwibawa. Hatinya begitu lembut dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya. Dia mampu menegakkan supremasi hukum, menegakkan keadilan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu.
  3. Ketiga, Nabi SAW. senantiasa bersikap lembut dan penuh kasih sayang walau kepada orang yang memperlakukan tidak sopan kepadanya.
Itulah di antara sifat-sifat kepemimpinan Nabi SAW. dan dengan itu pula Nabi SAW. berhasil membina umatnya menjadi umat dan bangsa yang mulia dan terhormat.

Visi dan misi kepemimpinan Nabi SAW. dijelaskan dalam Al-Quran.
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali Imran : 164)

Tiga program Nabi SAW. yang terkandung dalam ayat tersebut,
  1. Pertama, membacakan / menyampaikan ayat-ayat Allah. Baik ayat quraniyyah maupun kauniyyah untuk menggugah kesadaran mereka sebagai seorang makhluk yang harus mengabdi kepada Khaliqnya. Sadar bahwa amal perbuatannya akan diminta pertanggungjawabannya nanti di hari kiamat. Sadar bahwa dirinya, keluarga, harta, dan kekayaannya adalah amanah dari Allah. Dengan ini diharapkan akan bertambah kuat keimanannya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, "Dan apabila telah dibacakan ayat-ayat-Nya, mereka akan bertambah kuat imannya."
    Apabila iman telah kuat, apa pun perintah Allah akan mudah dilaksanakan meski bertentangan dengan kehendak nafsunya. Demikian pula apa yang dilarang Allah akan mudah ditinggalkannya walau dirasakan menguntungkan dan menjanjikan.
  2. Kedua, membersihkan mereka. Membersihkan akidah dari syirik, ibadah dari hal-hal yang bidah, membersihkan akhlak, sistem ekonominya, dan kehidupan sosialnya. Dengan dilandasi yatlu alaihim, ternyata Nabi SAW. berhasil memberantas minuman keras hanya denga tiga ayat saja. Mereka dapat meninggalkan kebiasaan yang telah membudaya di kalangan mereka, dengan nada pertanyaan dari Allah di ujung ayat. "Apakah kalian akan meninggalkan perbuatan itu ?" Dan ternyata mereka serentak menyatakan, "Akan kami tinggalkan, ya Allah." Kemudian mereka yang masih mempunyai persediaan minuman keras, langsung menumpahkan di halaman rumahnya. Hingga saat itu, seolah ada banjir karena mereka serempak menumpahkan persediaan minuman yang ada di rumahnya.
    Barangkali tidak ada negara di dunia yang berhasil memberantas minuman keras, kecuali pada zaman Nabi SAW. Itulah kekuatan iman jika telah melekat di dada. Demikian pula Nabi berhasil memberantas sistem riba yang telah melanda di kalangan orang Arab, hanya dengan satu tantangan dari Allah, "Dan jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan) riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangi kalian."
    Dengan ungkapan seperti itu, sadarlah mereka dan tidak ragu untuk meninggalkan sistem riba. Dan dengan itu, membaiklah ekonomi mereka, ekonomi yang penuh persaudaraan, saling memercayai, dan tidak ada manipulasi.
  3. Ketiga, Nabi SAW. mengajarkan Al-Quran dan sunah kepada mereka secara intensif. Ada banyak arti Al-Hikmah, di antaranya ada yang berarti As-Sunnah. Oleh karenanya dengan menyampaikan ajaran, pedoman, dan petunjuk yang ada di dalam Al-Quran dan sunah, Nabi berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa Arab menjadi bangsa yang mulia dan terhormat. Padahal sebelumya, bangsa Arab berada dalam kesesatan yang nyata.
Dalam tempo 23 tahun Nabi berhasil menyampaikan pesan-pesan Al-Quran seluruhnya sebanyak 30 juz, 114 surat, dan 6.236 ayat. Al-Quran bukan hanya dibaca, tetapi dihafal dan diamalkan, sekaligus didakwahkan. Disampaikan lagi kepada yang lain dengan penuh keberanian, kesabaran, dan keyakinan bahwa tidak ada kehidupan yang lebih sempurna kecuali dengan berpedoman kepada Al-Quran dan sunah.

Imam Malik berkesimpulan : "Tidak akan beres urusan umat ini kecuali hanya dengan konsep dan resep yang ternyata telah berhasil memperbaiki umat yang dulu."

Tiga program di atas sebagai visi dan misi Nabi SAW., wajar dijadikan bahan rujukan, kajian oleh para tokoh, para pemimpin yang mendambakan keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya. Wajar kalau sistem pendidikan nasional dievaluasi kembali yang hanya memberikan porsi pendidikan agama hanya dua jam dalam seminggu; dari mulai tingkat SD sampai tingkat SMU, dan hanya dua SKS untuk jenjang perguruan tinggi.***

[Ditulis Oleh KH. ACENG ZAKARIA, Ketua Bidang Tarbiyyah PP Persis dan Pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Dan tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Legi) 30 September 2010 pada Kolom "CIKARACAK"]
Orang Muslim melihat dalam dirinya nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma di perut ibunya hingga ia menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat tersebut dengan lisannya dengan memuji-Nya dan menyanjung-Nya, karena Dia berhak mendapatkan sanjungan dan ia bersyukur dengan anggota badannya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya. Ini etikanya terhadap Allah Ta‘ala, sebab tidak etis mengingkari nikmat, menentang keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri nikmat-nikmat-Nya.

Allah SWT berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah(datangnya).” (QS. An-Nahl : 53)
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl : 18)
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah : 152)

Orang Muslim mengakui pengetahuan Allah Ta’ala kepadanya, dan penglihatan-Nya terhadap seluruh kondisinya, kemudian hatinya penuh dengan ketakutan kepada-Nya, dan ia mengagungkan-Nya. Ia malu bermaksiat kepada-Nya, menentang-Nya, dan tidak tidak taat kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Allah Ta’ala. Sebab, sangat tidak etis seorang hamba mempertontonkan kemaksiatannya kepada Tuhannya, atau mempersembahkan keburukan kepada-Nya, padahal Dia melihatnya dan menyaksikannya.
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا
وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا

Mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah ? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakn kalian dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS. Nuh : 13-14)
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ
Dan Allah mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan.” (QS. An-Nahl : 19)
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi kalian di waktu kalian melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.” (QS. Yunus : 61)

Orang Muslim berpendapat bahwa Allah Mahakuasa atas dirinya dan memegang ubun-ubunnya. Ia tidak mempunyai tempat melarikan diri, atau tempat menyelamatkan diri, kecuali kepada-Nya. Kemudian ia lari menghadap kepada-Nya, menjatuhkan diri di depan-Nya, menyerahkan seluruh persoalannya kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Tuhan dan Penciptanya. Sebab, tidak etis lari kepada pihak yang tidak bisa memberikan perlindungan, bergantung kepada pihak yang tidak mempunyai kekuasaan, dan menyerahkan diri kepada pihak yang tidak mempunyai daya dan upaya.
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ ۚ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا
Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-alah yang memegang ubun-ubunnya.” (QS. Huud : 56)
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah, sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian.” (QS. Adz-Dzariyat : 50)
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)

Orang Muslim melihat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dalam semua urusan-Nya, rahmat-Nya kepadanya, kepada semua makhluk-Nya, kemudian ia ingin mendapatkan tambahan rahmat-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan doa yang ikhlas, bertawwasul kepada-Nya dengan perkataan yang baik dan amal perbuatan yang shahih. Inilah etikanya terhadap Allah Ta’ala, sebab, tidak etis merasa putus asa dari mendapatkan tambahan rahmat yang meliputi segala hak, putus asa dari kebaikan yang mencakup semua makhluk, dan putus asa dari kebaikan Yang Mengatur alam raya.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-Araaf : 156)
اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ
Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Asy-Syuura : 19)
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
Dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf : 87)
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar : 53)

Orang Muslim melihat kedahsyatan kekuatan Tuhannya, kekuatan pembalasan-Nya, dan kecepatan penghisaban-Nya, kemudian ia bertakwa dengan taat dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ini etikanya terhadap Allah Ta‘ala, sebab, tidak etis bagi orang-orang berakal, kalau hamba yang lemah dan tidak berdaya melakukan kemaksiatan kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa, Mahakuasa, Mahakuat, dan Maha Menang.
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selama Dia.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya adzab Tuhanmu benar-benar keras.” (QS. Al-Buruj : 12)
وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
Dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan.” (QS. Ali Imran : 4)

Orang Muslim melihat kepada Allah Ta‘ala ketika ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya. Ia merasa seolah-olah ancaman Allah Ta’ala telah mengenai dirinya, siksanya telah terjadi padanya, dan hukumannya telah turun padanya. Ia juga melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia taat dan mengikuti syariat-Nya. Ia merasa seolah-olah Dia telah memberikan janji-Nya kepadanya, dan pakaian keridhaan telah dikenakan padanya. Kemudian ia berbaik sangka kepada-Nya, sebab, tidak etis seseorang berlaku buruk terhadap Allah Ta‘ala, kemudian ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya, serta berpendapat bahwa Allah Ta‘ala tidak melihat dirinya, dan tidak menghukumnya atas pelanggarannya.
وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Namun kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Tuhan kalian, prasangka itu membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Fushshilat : 22-23)

Juga tidak etis terhadap Allah Ta‘ala, kalau seseorang bertakwa kepada-Nya dan taat kepada-Nya, kemudian ia berprasangka bahwa Dia tidak mengganjarnya karena amal perbuatannya yang baik, tidak menerima ketaatan dan ibadahnya.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur : 52)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97)
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-An’am : 160)

Kesimpulannya, bahwa kesyukuran orang Muslim kepada Allah Ta‘ala atas nikmat-nikmat-Nya, rasa malunya kepada-Nya jika ia cenderung bermaksiat kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya, berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menetapi janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah Ta‘ala pasti melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan hamba-hamba-Nya adalah etika terhadap Allah Ta’ala. Semakin ia konsisten dengan etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi, kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-Nya, dan sasaran nikmat-Nya.

Inilah puncak keinginan orang Muslim dan yang diidam-idamkan sepanjang hidupnya. Ya Allah, berilah kami perlindungan-Mu. Jangan haramkan kami atas pemeliharaan-Mu. Jadikan kami orang-orang bertakwa di sisi-Mu, ya Allah, wahai Tuhan alam semesta.

[Disalin dari http://addiin.wordpress.com/2008/03/12/etika-terhadap-allah-swt/]
Dikisahkan seorang suami istri yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Meskipun melarat, mereka taat kepada perintah Allah. Segala yang dilarang Allah dihindari dan ibadah mereka tekun sekali. Si suami adalah seorang yang alim yang takwa dan tawakal.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota hendak mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar yang sedang disembah dan dipuja oleh masyarakat sekitar. Melihat pohon disembah orang, tergerak hatinya untuk menebang pohon itu. Akan tetapi, ketika hendak menuju pohon besar itu, tiba-tiba ia dihadang oleh seseorang yang tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis.

Iblis itu menghalangi laki-laki alim tersebut sehingga terjadilah perkelahian di antara mereka. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah dibinasakan. Namun, ternyata iblis menyerah kalah dan ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakitan, dia berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akan berani lagi mengganggu Tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan shalat Subuh, di bawah tikar tuan saya sediakan uang emas empat dinar."

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia teringat akan istrinya yang ingin hidup berkecukupan. Patah niatnya semula hendak memberantas kemungkaran. Hari pertama, ketika si alim selesai shalat, dibukanya tikar yang menjadi alas shalatnya. Betul, di situ tergolek empat benda berkilat, empat dinar uang emas. Dia meloncat riang, istrinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikarnya, masih didapatinya uang itu. Akan tetapi, pada hari keempat, dia mulai kecewa. Di bawah tikarnya tidak ada apa-apa lagi, keculai tikar pandan yang rapuh. Istrinya mulai marah karena uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

Merasa dipermainkan oleh si iblis, lelaki tersebut langsung bergegas hendak menebang pohon besar yang disembah penduduk. Di tengah perjalanan, iblis berdiri siap menghadang lagi. Akhirnya terjadilah perkelahian yang kedua kalinya. Akan tetapi, kali ini bukan iblis yang kalah, tetapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, "Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya ? Padahal, dulu engkau tidak berdaya sama sekali."

Iblis itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja engkau dahulu boleh menang, karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andai kukumpulkan seluruh bala tentaraku menyerangmu sekalipun, aku tak akan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada uang di bawah tikar sajadahmu. Maka, biarpun kau keluarkan seluruh kekuatanmu, tidak mungkin kamu mampu menjatuhkan aku."

Mendengar penjelasan iblis ini, si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Sebab tujuannya adalah karena harta benda, mengatasi keutamaan Allah dan agama.

Cerita di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa iblis dan setan akan selalu menggoda dan menjerumuskan seorang mukmin dengan strategi-strategi jitu yang sudah dipersiapkannya. Menurut Ashabuny dalam tafsir ayat Al-Ahkam, setan berasal dari kata syathana artinya menjauh. Dinamai setan karena dia menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Setan pernah bersumpah akan menjauhkan manusia dari jalan yang benar dan akan menyesatkan manusia dari segala penjuru.

Dalam QS. Al-A’raf ayat 16-17 dinyatakan,
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

"Setan berkata, ’Karena engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi manusia dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur’."

Setiap manusia berpeluang terjerumus dalam jeratan setan karena Allah menyertakan setan pada diri manusia, bahkan ia berada pada aliran darah manusia. Dalam hadis dinyatakan, "Sesungguhnya setan berada pada peredaran darah manusia dan aku khawatir ia membisikkan keburukan pada hatimu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam menjalankan strateginya, setan mempunyai dua target, yaitu memperbudak manusia dan mengondisikan manusia untuk lupa kepada Allah SWT.
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa kepada Allah. Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi." (QS. Al-Mujadilah : 19)

Untuk menjadikan manusia budaknya dan lupa kepada Allah, setan telah memasang jebakan-jebakan untuk menjerat setiap orang Mukmin. Jebakan-jebakan itu di antaranya,
  • Pertama, waswasah ini digunakan setan dengan membisikkan keraguan pada manusia agar tidak bersegera melakukan kebaikan dan amal saleh. Ketika tugas dan kewajiban memanggil untuk segera dilaksanakan, setan membisikkan dengan kenikmatan tayangan televisi atau kegiatan lain yang tidak bermanfaat. Kita lebih nikmat terbalut selimut daripada bersegera wudhu dan pergi ke masjid. Itulah waswasah-nya setan.
  • Kedua, jebakan tazyin. Strategi ini digunakan setan dengan membungkus kemaksiatan dengan kenikmatan. Salah satu contohnya adalah kita kadang merasa terkesan jalan-jalan saat pacaran dibandingkan dengan setelah menikah. Ini adalah karena unsur tazyin. Pacaran itu maksiat, sedangkan nikah itu ibadah.
  • Ketiga, jebakan tamanni. Jeratan ini digunakan setan untuk memperdaya manusia dengan khayalan dan angan-angan. Jeratan ini berhasil terhadap manusia yang terlalu banyak keinginan, angan-angan, dan harapan, sedangkan kenyataan hidupnya jauh dari angan-angan tersebut. Akhirnya dengan menghalalkan segala cara, ia berupaya menggapai, merebut, dan merampas segala keinginannya.
  • Keempat, jebakan ’adawah. Strategi ini digunakan setan untuk menumbuhkan permusuhan di antara sesama Muslim. Setan menumbuhkan prasangka buruk di antara manusia agar mereka saling membenci dan bermusuhan. ’Adawah ini menyeret manusia menjadi makhluk pemarah, iri dan hasud, serta tamak dan rakus terhadap sesama.
  • Kelima, jeratan takhwif. Strategi ini menjadikan manusia enggan berbuat baik karena ketakutan-ketakutan yang tidak mendasar. Mungkin kita sering merasa takut menginfakkan sebagian harta kita karena takut jatuh miskin. Kita sering takut berbuat jujur dan mengungkapkan kebenaran karena takut dipecat oleh atasan.
  • Keenam, jebakan shaddun. Strategi ini dijalankan setan dengan menghalang-halangi manusia menjalankan perintah Allah SWT. dengan menggunakan berbagai hambatan. Kita sering merasa malas untuk melaksanakan shalat sunat padahal biasanya rajin. Kita sering merasa ngantuk sewaktu membaca Al-Quran padahal kita sudah cukup tidur. Itulah shaddun setan.
Semua strategi jebakan di atas dijalankan oleh setan secara sungguh-sungguh. Maka, upaya agar terhindar dari jeratannya, kita harus selalu ingat kepada Allah SWT karena Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Jangan lengah dari aturan-aturan-Nya, barengi seluruh aktivitas kita dengan doa dan dzikir serta memohon perlindungan-Nya. ***

[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, pegiat Majelis Taklim Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Wilayah Pacet, Koordinator Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung. Tulisan disalin Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 24 September 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(1) IKHBAT

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu'. Menurut Ibrahim An-Nakha'y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Allah befirman,

وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
"Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-Hajj : 34)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَخْبَتُوا إِلَىٰ رَبِّهِمْ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (QS. Hud : 23)

Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada 2 (dua) makna : Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah.

Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman", seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bemapas, maka ikhbat ini bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma'ninah maka hilanglah keragu-raguan darinya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhbat ini didasarkan kepada 3 (tiga) derajat :
  1. Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.
  2. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguh-sungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalansendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, "Kesendirianmu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari." Yang lain berkata, "Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa."
    Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencariannya
    sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.
  3. Sama bagi dia saat mendapat pujian ataupun celaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya.
Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.

Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satu-satunya jalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita. Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara syetan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan syetan, dan lemahnya hasrat dan niat orang yang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang. Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah.

Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan syetan yang menakut-nakuti dan meraperingatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, tinggal turun ke lerengnya.

"Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya", artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.

[Berikutnya....(2) Zuhud]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
Umat Muslim sangat meyakini akan hak kedua orang tua terhadap dirinya, yaitu kewajiban berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Bukan hanya karena keduanya faktor penyebab keberadaannya di dunia atau karena keduanya memberikan banyak hal kepadanya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya. Tetapi, lebih karena Allah Azza wa Jalla sangat mewajibkan untuk taat, serta menyuruh untuk berbakti, dan berbuat baik kepada keduanya.

Lebih jauh bahkan, Allah Ta‘ala kemudian mengaitkan hak orang tua tersebut dengan hak-Nya yaitu berupa penyembahan kepada Diri-Nya dan tidak kepada yang lain. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ : 23)

Allah SWT. berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)

Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW., “Siapakah orang yang berhak mendapatkan pergaulanku yang baik ?Rasulullah SAW. menjawab, “Ibumu.Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi ?Rasulullah SAW. menjawab, “Ibumu.Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi ?Rasuluilah SAW. menjawab, “Ibumu.Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi ?Rasulullah SAW. menjawab, “Ayahmu.

Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang tua, menahan hak, dan mengubur hidup anak perempuan. Allah membenci untuk kalian gosip, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (Muttafaq Alaih)

Rasulullah SAW. bersabda, “Maukah kalian aku jelaskan tentang dosa yang paling besar ?Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.Rasulullah SAW. bersabda, “Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu, Rasulullah SAW. bersandar, kemudian beliau duduk, dan bersabda, “Ketahuilah (setelah itu ialah berkata bohong, dan kesaksian palsu). Ketahuilah, berkata bohong, dan kesaksiaan palsu.Rasulullah SAW. terus-menerus mengatakan kalimat terakhir, hingga Abu Bakar RA. berkata, “Ah, seandainya Rasulullah SAW. diam tidak mengatakan secara terus-menerus kalimat terakhir.” (Muttafaq Alaih)

Rasulullah SAW. bersabda, “Seorang anak tidak bisa membalas ayahnya, kecuali ia menemukan ayahnya menjadi budak, kemudian ia membelinya, dan memerdekakannya.” (Muttafaq Alaih)

Abdullah bin Mas’ud RA. berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW., ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah Ta‘ala ?Rasulullah SAW. menjawab, “Shalat di awal waktu.” Aku bertanya, ‘Kemudian amalan apa lagi ?Rasulullah SAW. menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.Aku bertanya lagi, ‘Kemudian amalan apa lagi ?Rasulullah SAW. bersabda, “Jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim)

Salah seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW. untuk meminta izin berjihad, kemudian beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?Sahabat tersebut menjawab, “Ya, keduanya masih hidup.Rasulullah SAW. bersabda, “Mintalah izin kepada keduanya, kemudian berjihadlah.” (Muttafaq Alaih)

Salah seorang dan kaum Anshar datang kepada Rasulullah SAW., kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya ?Rasulullah SAW. bersabda, “Ya ada, yaitu 4 (empat) hal : mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah kematian keduanya.” (HR. Abu Daud)

Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya bakti terbaik ialah hendaknya seorang anak tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya setelah ayahnya menyambungnya.” (HR. Muslim)

Setelah seorang Muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya, dan menunaikannya dengan sempurna karena mentaati Allah Ta’ala, dan merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini terhadap kedua orang tuanya :
  1. Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah dan pelanggaran terhadap syariat-Nya. Karena, manusia tidak berkewajiban taat kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan dalil-dalil berikut :
    Firman Allah Ta‘ala,
    وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
    Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)
    Sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya ketaatan itu hanya ada dalam kebaikan.” (Muttafaq ‘Alaih)
    Sabda Rasulullah SAW., “Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah.
  2. Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak bepergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.
  3. Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan, dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan pakaian kepada keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat dari keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.
  4. Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dan jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman keduanya.
[Sumber : http://agoesramdhanie.wordpress.com/2008/12/09/etika-terhadap-orang-tua-dalam-islam/]
Menyikapi semakin maraknya musibah, bencana atau bala yang menimpa manusia saat ini, menuntut kita (umat muslim) untuk bertindak cerdas dan tepat sesuai dengan tuntunan agama. Tindakan tersebut direfresentasikan dalam suatu bentuk ibadah yang bertujuan atau dengan harapan (Semoga dikabulkan oleh Allah SWT.) agar diri dan lingkungan kita terhindar dari segala bentuk bala serta semakin mendekatkan kita kepada Allah SWT. Dalam tuntunan agama Islam terdapat suatu ibadah / shalat sunah untuk mencegah atau menolak dari berbagai bala yang akan menimpa yaitu SHALAT LIDAF'IL BALA.
  1. Apa yang dimaksud Shalat lidaf’il bala ?
    Pengertian Shalat lidaf’il bala artinya Shalat sunah untuk mencegah atau menolak dari berbagai bala yang akan menimpa. Maka dianjurkan untuk melaksanakannya setiap hari pada waktu yang tidak ditentukan / kapan saja.
  2. Adakah hadist dan qaul ulama tentang Shalat lidaf’il bala ?
    Dalam Kitab Khozinatul Asror halaman 39, hadist shahih dari Abi Ali Hasim bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “idzaa ashobatkum mushibatun aw najalat bikum faaqotun fatawadhouu wa sholuu arbaa rakaatin wayaquulu ba’dahaa ad-du’a paraja Allahu bikum..
    Artinya : “Dimana menimpa kamu semua yaitu musibah atau bala maka berwudlulah dan shalatlah 4 rakaat dan setelahnya berdoalah maka Allah akan melepaskan dari semua itu..
    Dalam Kitab Sunanun Mardhiyah Fii Amaliyah Mursyid Kamil hal 50, Syekh Kamil Faridudin Sakarjanji bahwa setiap setahun sekali Allah menurunkan 320.000 bala / musibah.
    Dalam Kitab Makanatut Dzikri, Allah menurunkan musibah atau bala pada akhir bulan shafar jumlah 320.000 ini tersimpan dalam kekuasaan Allah untuk satu tahun ini turun ke bumi tanpa mengenal waktu, tempat, hari dan bulan. Bisa jadi pada bulan rajab, mulud, bulan Sya’ban dan lain sebagainya.
  3. Kapan dan bagaimana tatacara Shalat lidaf’il bala ?
    Berikut ini cara shalat sunat lidafil bala bulan shafar dan shalat sunat lidafil bala dilakukan setiap hari :
    • Cara shalat sunat lidaf'il bala hari rabu diakhir bulan shafar.
      Dalam Kitab Sunanun Mardhiyah ini karya Syekh Abdul Ghaust Saefullah Al-Maslul hal 50; Barang siapa yang melaksanakan shalat sunat Lidafil bala pada hari rabu akhir di bulan shafar (guna terhindar dari bala), Dilaksanakan sesudah shalat isroq (sekitar jam 06.00 lebih atau 06.30) ba'da membaca Al-Fatihah, baca Al-Kautsar 17 kali, kemudian Al-Ihklas 5 kali, Al falak 1 kali, Annas 1 kali. Dilaksanakan sebanyak 4 rakaat dengan 2 kali salam...dan dilanjutkan dengan pembacaan shalawat.
    • Cara shalat sunat lidaf'il bala yang dilaksanakan setiap hari.
      Shalat sunat ini dilaksanakan setelah shalat sunat ba’da Isya. Jumlah shalat sunat lidaf’il bala ini yaitu 2 rakaat. Setiap rakaat membaca Ayat Kursy 1 kali, Al-Ikhlas 1 kali, Al-Falaq 1 kali, Annas 1 kali, dan Al-Ikhlas 1 kali.
Sebelum memulai shalat sunat melafalkan Istighfar 3 kali. Dengan lafadz istighfarnya sebagai berikut :Astaghfirullahal ’azhiim alladzi laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaiih, taubata ’abdin zhoolimin la yamliku linafsihi dhorron walaa naf’aan, wala mautan, walaa hayaatan, walaa nusyuuron.

Artinya : “Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, Dzat yang tiada Tuhan kecuali Dia, Yang Maha Hidup dan Maha Tegak dan aku bertaubat kepada-Nya. Taubat hamba yang zhalim, yang tidak bisa menguasai dalam dirinya kemadharatan yang ada padanya, kemanfaatannya, matinya, hidupnya, dan pada waktu dikembalikannya.

Niat shalat lidaf’il bala :Usholli sunnatan lidaf’il balaa-i rokataini lillahi ta’ala.

Artinya : “Aku berniat shalat sunah lidaf’il bala dua rakaat karena Allah Ta'ala.

Setelah selesai shalat sunat melafalkan doa sebanyak 3 kali, dengan lafadz doanya sebagai berikut :
Bismiillaahiirahmaaniirahiim yaa sadiidaaquwaa wa yaa sadiidaalmihaali allahumma innii a’udzuubika bikalimaatikat taammaati kullihaa minar riihil ahmari waminad daa-il akbari fin nafsi waddami wallahmi wal’udzmi wal ’uruuqi subhaanaka idzaa qhodhoita amron an taquula lahuu kun fayakuun (Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar) birrohmatika yaa arhamarrohimiin.

Artinya : “Ya Allah, dengan kalimat-Mu yang sempurna, sesungguhnya aku berlindung dari Riihil Ahmar (Angin Merah) dan dari cobaan yang besar dalam diri, dalam darah, dalam daging, dalam tulang, dan dalam setiap tetes keringat. Maha Suci Engkau (Dzat Yang) jika Engkau menghendaki sesuatu maka Engkau berkata padanya : 'Jadilah', maka jadilah. (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar), dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

(Catatan : Dalam tulisan doa tersebut di atas bila ada huruf aa, ii, uu artinya panjang.)

Terimakasih semoga tulisan nan singkat ini dapat bermanfaat. Dan semoga Allah melepaskan diri kita dari berbagai bala dan ujian serta bencana yang menghalangi diri kita untuk dekat kepada Allah SWT. Terutama untuk negara kita ini Semoga termasuk negara yang baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghoffur... dan umumnya Alam semesta ini.

[Dikutip, disarikan serta disusun dari berbagai sumber]
Bulan Ramadhan telah berlalu dengan membawa sejuta kenangan karena di dalamnya kita terlibat aktif melaksanakan rangkaian ibadah, mulai yang wajib hingga yang sunah, sehingga hati menjadi tenang dan puas karenanya. Idulfitri juga telah kita rayakan, semoga kita kembali ke kesucian semula bagaikan bayi yang baru lahir karena Allah telah mengampuni dosa-dosa kita semua sebagaimana janji-Nya, serta kita telah saling bermaafan sesama manusia, bersihlah jiwa kita keluar Ramadhan.

Bulan Syawal sebagai kelanjutan dari bulan Ramadhan, jika dilihat dari arti kata itu, yakni peningkatan, rasanya sangatlah tepat. Setelah sebulan penuh kaum beriman menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, yang diharapkan dari ibadah itu agar meraih derajat takwa. Dengan bersambung ke bulan Syawal, makna yang diharapkan adalah peningkatan ibadah kita kepada Allah dalam segala aspek. Namun yang sering kita dapati adalah tatkala keluar dari Ramadhan keimanan sering mengalami penurunan seiring dengan ibadah kita yang tidak seintensif pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu, agar keimanan kita tetap stabil pasca-Ramadhan, harus tetap kita jaga dengan hal-hal berikut :
  1. Mujahadah (bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah). Target dari puasa Ramadhan adalah menjadi orang yang bertakwa, yaitu bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya. Mujahadah berasal dari kata jahada (jihad) yang artinya kesungguhan (optimalisasi).
    Kesungguhan dalam pelaksanaan ibadah serta penerapan nilai Islam dalam kehidupan. Optimalisasi ibadah kita di bulan Ramadhan harus tetap kita pelihara dengan sungguh-sungguh pula pada bulan-bulan berikutnya.
  2. Melanjutkan kebiasaan puasa. Allah SWT. mewajibkan puasa hanya pada bulan Ramadhan. Namun, Allah SWT. tetap memberi kesempatan kapada hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya melaului puasa-puasa sunah, seperti sabda Rasulullah SAW., "Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya." (HR. Bukhari)
    Di antaranya dengan melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal yang apabila kita kerjakan pahalanya sama dengan puasa setahun. Sabda Rasulullah SAW., "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR. Muslim) Kemudian dilanjutkan dengan puasa sunah lainnya, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa di pertengahan bulan (tanggal 13, 14, dan 15), tanggal 9 Dzulhijah, 10 Muharam, dan lainnya, kalau masih dirasa kurang bisa melakukan puasa Daud, yaitu sehari puasa sehari tidak. (HR. Muslim)
  3. Menjaga shalat malam. Rangkaian ibadah yang tak pernah kita tinggalkan pada bulan Ramadhan selain puasa adalah qiyamu Ramadhan / shalat Tarawih, atau kalau pada bulan lain disebut qiyamul lail (shalat malam) / Tahajud. Hal yang juga tak pernah dilewatkan adalah bangun untuk makan sahur pada waktu sepertiga malam terakhir (waktu sahur).
    Alangkah baiknya jika kebiasaan selama bulan Ramadhan untuk bangun pada waktu sepertiga malam terakhir itu tetap kita lanjutkan dengan melaksanakan shalat malam / Tahajud, karena itulah waktu yang mulia bagi seorang hamba untuk merendahkan diri di hadapan-Nya seraya mengagung-agungkan asma-Nya, memuji kebesaran-Nya, kemudian memohon ampun atas segala salah dan dosa kita.
    Telah banyak ayat Al-Quran dan hadis yang menerangkan keutamaan waktu malam dan mengisinya dengan ibadah, seperti tertera dalam Al-Quran Surat Al-Israa’ ayat 79,
    وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
    "Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat terpuji."
  4. Menjadikan tilawah Quran sebuah kebutuhan. Tadarus Al-Quran sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan umat Islam pada bulan Ramadhan. Rasanya kurang afdal kalau tidak khatam Al-Quran pada bulan tersebut. Akan tetapi, setelah memasuki bulan Syawal, kebiasaan itu meredup dan Al-Quran kembali menjadi pajangan dalam bufet di rumah masing-masing, atau kotor berdebu di rak-rak masjid karena tak pernah dibaca kembali. Padahal Rasulullah SAW. bersabda, "Seutama-utama ibadah umatku, ialah membaca Al-Quran." (HR. Baihaqi)
    Al-Quran kelak akan menemui sahabatnya, yaitu orang-orang yang rajin membaca, mempelajari, dan mengamalkannya. Seperti sabda Nabi SAW., "Sesungguhnya Al-Quran itu akan menemui sahabatnya ketika dibangkitkan dari kubur dalam bentuk seperti seorang yang pucat. Kemudian ia berkata, ’Apakah kamu mengenalku ?’ Orang itu menjawab, ’Aku tidak mengenalmu.’ Ia berkata lagi, ’Akulah temanmu. Aku Adalah Al-Quran yang telah membuat kamu haus karena kamu membaca dengan mengeluarkan suara dan membuatmu bergadang pada malam-malam harimu. Sesungguhnya setiap pedagang itu mempunyai hasil dari setiap dagangannya. Pada hari ini kamu mendapatkan hasil dari daganganmu itu.’ Kemudian orang itu diberikan kerajaan di tangan kanannya dan kekekalan di tangan kirinya, lalu diletakkan di atas kepalanya mahkota kewibawaan. Kedua orang tuanya juga dipakaikan yang keindahan dunia tidak sebanding dengannya. Kedua orang tuanya ini pun bertanya, ’Karena apa kami dipakaikan ini?’ Ia menjawab, ’Karena anak kalian berdua telah mengambil (mempelajari/menghafal) Al-Quran.’ Kemudian dikatakan kepadanya, ’Baca dan naiklah ke tangga surga dan kamar-kamarnya.’ Kemudian ia akan terus menaikinya selama ia masih tetap membaca Al-Quran, baik dengan cepat ataupun lambat." (HR. Ahmad, Hakim, Nasa’I, Baihaqi)
Semoga kita tetap bisa mempertahankan amalan pada bulan Ramadhan di bulan-bulan berikutnya dengan istikamah, amin.***

[Ditulis oleh H. JATIMAN KARIM, santri Tahfidzul Quran Pontren Daarut Tauhiid Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 17 September 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]