4. TABATTUL

BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(4) TABATTUL

Kaitannya dengan tempat persinggahan tabattul ini Allah telah berfirman,
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
"Dan sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (QS. Al-Muzzammil : 8)

Tabattul artinya pemutusan atau pemisahan, merupakan kata aktiva dari bail yang artinya putus atau pisah. Maryam disebut al-batul karena dia terpisah dari hubungan dengan suami mana pun, yang artinya perawan atau bujang, dan tidak ada seorang pun wanita yang dapat menandinginya, sehingga dia lebih unggul dan lebih dari semua wanita yang ada pada zamannya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tabattul artinya memisahkan diri dari segala sesuatu agar bisa beribadah kepada Allah secara total. Firman Allah, "Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) doa yang benar", artinya perlucutan secara total. Perlucutan ini artinya tidak memperhatikan imbalan. Orang yang tabattul tidak bisa seperti buruh yang tidak mau bekerja kecuali untuk mendapatkan upah. Jika dia sudah mendapat upah itu, maka dia akan meninggalkan pintu orang yang mengupahnya.

Berbeda dengan hamba yang berbakti karena penghambaannya, bukan karena untuk mencari upah. Dia tidak meninggalkan pintu tuannya kecuali karena memang dia bermaksud untuk melarikan diri darinya. Sementara hamba pelarian tidak memiliki kehormatan sama sekali sebagai hamba dan juga tidak mempunyai kemerdekaan.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, terdapat 3 (tiga) derajat tabattul :
  1. Memurnikan pemutusan hubungan dengan keinginan-keinginan terhadap dunia, karena takut, mengharap atau pun karena selalu memikirkan-Nya.
    Menurut hemat saya, tabattul memadukan dua perkara, menyambung dan memisahkan. Tabattul tidak dianggap sah kecuali dengan dua perkara ini.
    Memisahkan artinya memutuskan hati dari segala sesuatu yang mencampuri kehendak Allah dan dari apa-apa yang mengarahkan hati kepada selain Allah, entah karena takut kepada-Nya, mengharapkan-Nya, atau karena selalu memikirkan-Nya.
    Sedangkan menyambung tidak akan terjadi kecuali setelah memutuskan. Maksudnya adalah menyambung hati dengan Allah, menghadap kepada-Nya dan menghadapkan wajah kepada-Nya, karena mencintai, takut, berharap dan tawakal kepada-Nya.
  2. Memurnikan pemutusan hubungan dari mengikuti nafsu, dengan menjauhi hawa nafsu, menghembuskan rahmat Allah dan memasukkan kilat cahaya ilmu.
    Perbedaannya dengan derajat pertama, bahwa derajat pertama pemutusan hubungan dengan makhluk, sedangkan derajat ini merupakan pemutusan hubungan dengan nafsu.
    Caranya ada 3 (tiga) macam :
    • Menjauhi nafsu dan melarang dirinya mengikuti nafsu. Sebab para pengikut nafsu menghalangi tabattul.
    • Menghembuskan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya. Kedudukan rahmat bagi ruh seperti kedudukan ruh bagi badan. Jadi rahmat merupakan sesuatu yang disenangi ruh. Rahmat ini bisa diperoleh dengan menjauhi nafsu. Pada saat irulah bisa dirasakan hembusan rahmat Allah. Sebab jiwa itu membutuhkan gantungan. Ketika terputus ketergantungan jiwa dengan hawa nafsu, maka jiwa tersebut akan mendapatkan ketentraman dengan bergantung kepada Allah.
    • Memasukkan kilat cahaya ilmu. Ilmu di sini bukan upaya mengungkap apa-apa yang di dalam batin manusia, tapi ini adalah ilmu mengungkap tempat-tempat persinggahan, mengungkap aib diri dan amal serta mengungkap makna-makna sifat, asma' Allah dan tauhid.
  3. Memurnikan hubungan agar dapat terus maju ke depan, dengan cara membenahi istiqamah, tekun untuk mencapai tujuan dan melihat apa yang terjadi saat berdiri di hadapan Allah.
[Berikutnya....(5) Raja']

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

0 comments: