BUDAYA MEMAAFKAN

Ibnu Khaldun, salah seorang sejarawan Muslim dari Tunisia, dalam magnum opus-nya, Muqaddimah (pendahuluan) pernah mengatakan, "Al-insanu hayawanun nathiq." Arti harfiahnya, manusia adalah hewan yang bisa berbicara. Maksudnya, manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa bergumul, bergaul, dan bersosialisasi. Tidak hanya dengan manusia lainnya, tetapi juga dengan Zat yang menciptakan manusia, Allah SWT. Pada proses pergumulan itulah biasanya manusia berbuat kesalahan.

Merupakan sesuatu yang mustahil apabila manusia luput dari kesalahan. Bahkan para nabi dan rasul sekalipun. Perbedaannya, jika para nabi dan rasul berbuat kesalahan mendapat teguaran langsung dari Allah melalui wahyu, sedangkan kita sebagai manusia biasa tidak. Pada situasi seperti inilah proses saling mengingatkan (tawashi bil haq) antarsesama manusia sangat diperlukan. Rasulullah SAW. pernah bersabda, "Setiap anak cucu Adam pasti pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah ialah yang banyak bertobat." (HR. Tirmidzi)

Apabila manusia berbuat salah kepada Allah SWT., biasanya akan sangat mudah untuk memohon ampun kepada-Nya. Hal itu terjadi, selain karena Allah merupakan Zat yang mempunyai hak untuk dimintai ampunan, juga karena secara psikologis manusia sadar kalau posisinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah. Jadi sangat wajar apabila makhluk meminta ampunan kepada Khalik untuk kesalahan yang telah diperbuat.

Persoalannya, apabila manusia berbuat salah kepada sesama manusia, biasanya agak sulit untuk meminta maaf. Padahal dia tahu kalau sebenarnya ia salah. Penyebabnya, karena konstruksi sosial budaya kita biasanya menganggap bahwa meminta maaf merupakan perbuatan hina yang akan merendahkan diri sendiri di hadapan orang yang dimintai maaf. Secara logika, kalau meminta maaf saja susah untuk dilakukan, apalagi memberi maaf kepada orang yang pernah berbuat salah kepada kita.

Dalam salah satu hadits Qudsi diriwayatkan bahwa Nabi Musa AS. pernah bertanya kepada Allah SWT. "Wahai Tuhanku, hamba-Mu manakah yang paling mulia menurut pandangan-Mu ?" Allah berfirman, "Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan." (HR. Kharaithi dari Abu Hurairah)

Dari hadits Qudsi tersebut dapat disimpulkan bahwa memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada kita pada saat kita dapat melakukan balas dendam kepadanya adalah satu perbuatan yang sangat baik dan tinggi nilainya di sisi Allah. Hal ini menjadi prasyarat utama untuk membangun masyarakat yang damai, saling menghargai, dan sebagainya.

Salah seorang yang layak kita jadikan referensi dalam hal ini tentu saja adalah Rasulullah SAW. Sejarah mencatat beberapa kejadian yang menunjukkan perilaku dan ketinggian budi pekerti Rasulullah SAW. dalam memberikan maaf kepada orang-orang yang pernah berbuat aniaya terhadapnya.

Ahmad Muhammad al-Haufi dalam bukunya, Min Akhlaqin bahwa Nabi SAW., memaparkan beberepa peristiwa tersebut, di antaranya sebagai berikut.
  • Pertama, pada saat Perang Uhud, Nabi Muhammad terluka dan beberapa giginya patah. Salah seorang sahabatnya berkata, "Cobalah Engkau berdoa agar mereka celaka !" Nabi menjawab, "Aku diutus bukan untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat." Lalu beliau menengadahkan tangannya dan berdoa, "Ya Allah ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui."
  • Kedua, pada saat Perang Khaibar, Zainab binti al-Harits, istri Salam bin Misykam, salah seorang pemimpin Yahudi, berhasil memperoleh hadiah karena dapat membubuhkan racun pada makanan yang disajikan kepada Nabi SAW. Rasulullah makan bersama Bisyr bin Bara` bin Ma`rur. Bisyr sempat menelan makanan beracun itu, tetapi Nabi baru mengunyahnya untuk kemudian beliau muntahkan. Beliau bersabda, "Makanan ini menginformasikan kepadaku bahwa ia beracun." Beberapa hari kemudian, Bisyr meninggal. Nabi Muhammad SAW. memanggil wanita Yahudi tersebut dan bertanya kepadanya, "Mengapa Engkau sampai hati melakukan hal itu ?" Wanita itu menjawab, "Sudah bukan merupakan rahasia umum kalau kaumku berhasrat sekali untuk membunuhmu. Seandainya engkau seorang raja, pasti akan mati dengan racun itu dan kami akan merasa senang. Tetapi jika engkau seorang nabi, tentu akan diberitahu oleh Allah bahwa makanan itu beracun. Nyatanya engkau adalah seorang nabi." Nabi Muhammad SAW. tidak menghukum perempuan Yahudi tersebut, padahal beliau sudah menguasainya. Beliau memaafkannya dan melepasnya.
  • Ketiga, rasanya tak ada suatu kaum yang lebih memusuhi Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya selain kaum Quraisy Kuffar Mekkah. Selama tiga belas tahun mereka memusuhi nabi dan para sahabatnya yang sudah masuk Islam. Mereka ditindas, dizalimi, dianiaya, diteror, dan diintimidasi dengan beragam ancaman dari musyrikin Quraisy yang mengakibatkan Rasulullah dan para sahabatnya hijrah ke Madinah.
    Setelah Nabi Muhammad dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Kota Mekah dan setelah orang-orang kafir dapat dikuasai sepenuhnya oleh Nabi, mereka dikumpulkan di hadapan Nabi bukan untuk mendapatkan balas dendam, akan tetapi untuk mendapatkan ampunan.
    Rasulullah bersabda, "Aku berkata seperti apa yang dikatakan saudaraku Yusuf, "Mulai hari ini tidak ada cerca dan nista atas perbuatan yang telah kalian lakukan. Allah mengampuni kalian dan Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Setelah mendengar ucapan beliau, mereka bubar dengan perasaan lega. Mereka akhirnya berduyun-duyun masuk Islam sebagaimana yang diceritakan dalam surat An-Nashr. Hal itu mereka lakukan karena kelapangdadaan dan kerendahhatian Nabi Muhammad SAW. yang mau memaafkan mereka padahal mereka telah melakukan aniaya terhadap Nabi dan kaum Muslimin ketika masih berada di Mekah.
Masih banyak lagi peristiwa yang menunujukkan keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad SAW. tentang budaya minta maaf dan memaafkan. Kalau Nabi Muhammad SAW. dalam posisinya sebagai nabi dan utusan Allah bisa memaafkan orang-orang yang berbuat aniaya kepada beliau, apalagi kita sebagai manusia biasa. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bisa bisa memaafkan kesalahan orang-orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Persoalannya adalah mau atau tidak.

Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya gesekan, perselisihan, pertentangan, dan konflik yang biasanya berujung dengan hilangnya nyawa manusia adalah rendahnya budaya minta maaf dan memaafkan. Yang salah merasa hina untuk mau meminta maaf, yang lain merasa gengsi untuk memberikan maaf.

Seandainya tradisi Rasulullah SAW. yang ada kaitannya dengan budaya maaf-memaafkan kita jaga dan lestarikan, bukan tidak mungkin kondisi harmonis yang pernah terjadi di masa Nabi Muhammad SAW. pada periode Madinah akan terwujud di negeri kita. Dan alangkah baiknya apabila pelestarian budaya tersebut kita awali mulai dari lingkungan terkecil, mulai dari diri kita, keluarga, tetangga, lingkungan tempat kerja, dan selanjutnya. Perubahan besar biasanya diawali dari hal-hal yang kecil. Wallahualam bissawab.***

[Ditulis Oleh ERICK HILALUDDIN, pernah mondok di Pesantren Modern Mathla`ul-Huda Baleendah Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 4 Oktober 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

0 comments: