IKHTIAR SITI HAJAR

Sebagai tanda hormat kepada Tuan Rumah, Allah SWT., setiap tamu yang datang ke Kota Mekah Al-Mukaramah harus melakukan tawaf qudum. Caranya, jemaah datang ke Masjidilharam, kemudian mengelilingi Kabah sebanyak tujuh putaran. Setelah melakukan beberapa kegiatan sunah, jemaah kemudian mengakhirinya dengan melakukan sai, yaitu berlari-lari kecil dari Bukit Safa ke Bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Sai dimulai dari Bukit Safa dan diakhiri di Bukit Marwah.

Melakukan sai merupakan ibadah peninggalan Siti Hajar. Saat istri Nabi Ibrahim AS. ini melahirkan seorang bayi yang diberi nama Ismail, suaminya mendapatkan wahyu dari Allah SWT. agar mengajak istri dan anaknya ke suatu lembah yang bergunung batu di tengah padang pasir. Hanya karena keimanan yang kuat, Siti Hajar menerima apa pun keputusan suami yang berasal dari Tuhannya.

Maka, berangkatlah mereka bertiga ke lembah yang gersang itu. Setelah sampai di lembah yang dimaksudkan, Ibrahim memegang kendali onta dan pergi meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah. Dengan wajah murung tanpa sepatah kata pun ia melangkah. Mengetahui Ibrahim akan meninggalkannya, Siti Hajar mengejar suaminya.

Sembari memegang kendali onta yang dipegang Ibrahim, Siti Hajar bertanya, "Wahai suamiku, hendak ke manakah engkau ? Apakah akan meninggalkan aku dan anakmu ?" Ibrahim seperti tidak bisa berkata sepatah pun. Sembari menunduk ia hanya mengatakan, "Ini perintah Allah."

Kalau saja Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di tengah padang yang tandus karena menuruti hawa nafsu, Siti Hajar akan memberontaknya. Namun karena ini perintah Tuhan, ia pun rela melepas suaminya kembali ke tempat istri tuanya, Siti Sarah. Ia melepas kepergian suaminya dengan tatapan mata kosong.

Siti Hajar kembali tersadar setelah mendengar anaknya, Ismail, menangis. Hajar ingin memberi Ismail minum. Namun, ia justru semakin bingung karena kedatangannya ke lembah ini tidak dilengkapi perbekalan yang cukup. Siti Hajar berupaya mencari air ke sana ke mari, tetapi tidak menemukannya.

Dari kejauhan ia melihat gundukan tanah seperti ada air, maka ia menuju ke bukit itu yang kemudian diketahui bernama Bukit Safa. Namun, air tersebut tidak ditemukan. Dari Bukit Safa, Siti Hajar melihat air di gundukan tanah yang jauhnya sekitar 500 meter di depan. Maka, Siti Hajar pun berlari-lari dengan panik ke arah Bukit Marwah. Di tempat ini, Hajar juga tak menemukan air. Maka, Siti Hajar bolak-balik dari Bukit Safa ke Bukit Marwah sebanyak tujuh kali, tetapi tidak menemukan juga air yang diinginkan.

Setelah nyaris putus asa, Siti Hajar kembali menuju tempat anaknya, Ismail. Melalui gerakan kaki Ismail, Siti Hajar mengetahui tanah yang diinjak anaknya mengandung air. Maka, ibu muda ini segera meng-aduk tanah tersebut. Luar biasa, air pun memancar dari dalam tanah. Bahkan, pancuran air ini masih ada sampai saat ini yang bisa diminum jutaan umat dan tidak kunjung kering. Inilah yang disebut sumur zamzam.

Kisah Siti Hajar dalam kehidupan kontemporer telah menjadi teladan umat manusia. Kerja keras seorang ibu yang selalu berikhtiar mendidik dan membesarkan anaknya. Ibu yang tidak kenal putus asa, ibu yang selalu berusaha tanpa mengenal lelah, dan akhirnya berhasil.

Peristiwa Siti Hajar ini sekaligus menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi kehidupan modern, di mana untuk mencapai kesuksesan seseorang harus melewati suatu krisis. Kesuksesan tidaklah datang begitu saja (taken for granted), melainkan harus diraih dengan susah payah. Baru setelah krisis terlewati, keberhasilan bisa diraih. Bahkan tingkat pencapaiannya (achievement) sama, jika yang satu diraih dengan begitu saja, sedangkan yang lain diraih dengan susah payah, maka perolehan yang diraih dengan seluruh upaya itulah yang lebih dapat dinikmati.

Ikhtiar yang dilakukan Siti Hajar itulah yang memenuhi otak kami sepanjang melaksanakan sai. Malam itu jemaah umrah yang melaksanakan sai cukup banyak. Namun membeludaknya jemaah bisa diatasi dengan melipatgandakan tempat sai dalam beberapa tingkat. Selain dibangun tempat sai di basement, juga dibangun mas’a (tempat sai) di lantai dua dan lantai tiga. Dengan demikian, semua mas’a berjumlah empat lantai.

Tempat sai tidak penuh seperti tempat tawaf. Hal ini karena tidak semua orang yang melakukan tawaf kemudian mengakhirinya dengan sai. Di Masjidilharam tidak dikenal salat Tahyatul Masjid. Penggantinya, setiap jemaah yang datang ke masjid ini menghormati masjid dengan melakukan tawaf.

Tempat tawaf hanya satu di sekitar Kabah itu. Hanya saat jemaah penuh sesak, sebagian jemaah melakukan tawaf di lantai bagian atas, bahkan ada yang di lantai dua dan lantai tiga. Tentu saja, putaran tawaf di lantai atas tersebut lebih lebar dibandingkan dengan tawaf di sekitar Kabah. Konon, sekali putaran tawaf di lantai atas setara dengan satu kilometer.

Sementara "kompetisi" ibadah di tempat sai tidak sedahsyat seperti tawaf. Hanya, jemaah di Bukit Safa banyak yang berhenti untuk berdoa. Demikian juga di Bukit Marwah, banyak jemaah yang setelah menyelesaikan sainya, mereka berdoa. Hal tersebut sesekali menghambat jemaah yang masih akan meneruskan sai. Demikian juga jemaah yang tengah melakukan tahalul, kadang sempat menghambat jemaah yang akan lewat. Namun, sebagian besar dari mereka berdiri di pojok bagian belakang sehingga tidak saling mengganggu.

Selesai melakukan sai, kami pun memotong rambut, minimal tiga helai, sebagai tanda tahalul. Sebagian jemaah segera keluar dari mas’a dan mendatangi tempat pangkas rambut. Tempat pangkas rambut cukup banyak berjejer di luar mas’a. Cara memotong rambut pun luar biasa cepat. Memotong rambut satu kepala tak lebih dari lima menit, bahkan mungkin hanya tiga menit. Hasilnya, juga luar biasa bersih

Laki-laki di mana pun biasanya suka bersolek dan berupaya tampil trendi. Namun yang tren di kalangan jemaah haji justru tampil gundul. Mereka berusaha tampil sederhana, menggunduli rambutnya dan memanjangkan jenggot. Ini pula yang menjadi modal hidup, kesederhanaan.***

[Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Pahing) 26 Oktober 2010 pada Kolom "GEMA HAJI"]

0 comments: