HAJI DAN KEBAHAGIAAN

Pada akhirnya, siapa pun ingin bahagia dalam hidup, setidaknya di dunia. Tentu saja, mereka yang meyakini kehidupan sesudah hidup di dunia mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sesuai dengan doa, "Rabbana aatinaa fiddunya hasanah wafil aakhirati hasanah wakinaa adzaabannaar."

Namun pada kenyataannya, tidak semua orang bertemu dengan kebahagiaan. Pada dasarnya, mereka yang menilai kebahagiaan dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya memiliki harga sesuai dengan kemampuan manusia untuk menghargainya. Manusia juga punya kecenderungan untuk rindu pada sesuatu yang belum ada padanya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan.

Contohnya Rockefeller, miliuner Amerika yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan. Namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Pada usianya yang sudah 97 tahun, dia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi seratus tahun.

Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekadar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat. Sesuatu yang belum kita miliki sering disangka menjanjikan kebahagiaan. Namun manusia kerap kali tidak mampu menghargai apa pun yang sudah dimilikinya.

Demikian pula Raja Midas yang bertapa dan memohon kepada dewa agar setiap yang disentuhnya berubah menjadi emas. Dia ingin menjadi yang paling kaya. Permohonannya diperkenankan para dewa. Pulanglah Raja Midas ke istana. Kemudian disentuhnya pagar istana, lalu pagar pun berubah menjadi emas. Disentuhnya pilar istana dan pilar pun menjadi emas. Karena rindu kepada istrinya, dia pun segera menemui isterinya dan ketika dia memeluk isterinya karena rindu, ternyata istrinya pun berubah menjadi patung emas. Raja Midas meraung-raung menyesali diri.

Salah satu gerbang untuk meraih kebahagiaan adalah jika kita mampu meraih hidup yang bermakna. Hidup yang bermakna positif akan membuat manusia bahagia meskipun harus menjalani realitas kehidupan yang berliku. Manusia hidup tidak berdasarkan pada realitas objektif. Namun manusia hidup didasarkan pada penafsiran atas realitas. Misalnya, seorang pebisnis memasang tulisan di dinding kantornya, "Aku pernah bersedih karena kehilangan sepatu, sampai aku bertemu orang yang kehilangan kedua kakinya!"

Pengusaha itu bangkrut dan harus menutup usahanya, lalu dia memutuskan pulang kampung. Saat dia menyeberang jalan di kampungnya, seseorang dengan kursi roda menyapanya dengan sangat akrab dan ekspresif. Saat itu, dia menyadari hidupnya masih bisa bangkit karena dia masih punya dua kaki, dua tangan, dan tubuh yang utuh.

Ada gejala missing style syndrome sehingga setitik derita menjadi seolah raksasa karena perhatian hanya tertuju padanya. Manusia mengabaikan setitik itu yang sesungguhnya berada di tengah belantara bahagia.

Lalu, bagaimana hubungan haji dan kebahagiaan hakiki? Ujian haji kadang tampak sepele, mengutip tausiah Hj. Fatimah Avalpo (Ibu Empet, mubaligah senior di Bandung). Pada dasarnya, haji itu bisa sengsara bisa bahagia, antara lain sangat bergantung pada bagian tubuh yang 5 cm, yaitu bibir kita. Jika bibir banyak digunakan untuk ngomel dan ngedumel, maka kita akan sengsara karena kesulitan yang ditambah omelan akan membuat kesulitan itu makin terasa sulit. Apalagi ketika membandingkan kesulitan kita dengan kesenangan orang lain.

Sebaliknya jika bibir ini digunakan untuk berzikir dan memuji Allah, maka akan lahir ketenangan dan ketenteraman dalam hati kita. Jika hati sudah bersih dan tenteram, maka dunia pun akan berubah. Kesulitan akan dirasa sebagai ujian ketaatan dan kesenangan akan dirasa sebagai sebuah anugerah Allah, yang takkan mampu diraih tanpa pertolongan Allah. Dengan hati yang selalu ingat kepada Allah, ditambah dengan pengetahuan yang cukup tentang manasik dan sejarah serta hikmah haji, maka setiap episode haji akan menjadi jalan kebahagiaan. Tawaf akan sangat membahagiakan, menggoreskan kenangan indah tak terlukiskan, ketika kaki menapak perlahan di tengah hiruk-pikuk sesama hamba yang sama-sama mengejar cinta Ilahi. Apalagi yang berkesempatan mencium Hajar Aswad dan berdoa tepat di multazam. Subhanallah !

Sai akan sangat impresif dan berkesan mendalam apalagi bagi kaum ibu, karena sai napak tilas perjalanan Siti Hajar. Seorang wanita tangguh, istri salehah yang sangat taat pada suami, dan ibu yang sangat penyayang pada anaknya, segera melupakan rasa lelah, sambil tiada berputus asa mengejar rahmat dan karunia Allah.

Buah perjuangan Siti Hajar sangatlah menakjubkan, berupa zamzam yang menjadi sumber pelepas dahaga dan pelepas kerinduan ke tanah suci. Zamzam menjadi oleh-oleh paling dirindukan keluarga dan kerabat. Bahkan meminumnya pun kita berdoa dengan doa yang khusus. "Ya Allah, karuniakan kami ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, amal yang diterima, kesembuhan dari segala penyakit, dan terhindar dari kepedihan dengan rahmat-Mu wahai yang Mahapengasih di antara yang Pengasih."

Sepulang haji, jemaah mesti bertanya apakah haji saya mabrur ? Ketika Rasulullah SAW. ditanya mengenai tanda-tanda haji mabrur, Rasul yang mulia itu menjawab, "Haji mabrur itu gemar memberi makan orang miskin dan bersikap santun kepada sesama."

Sebelum kita pulang ke tanah air, sesaat ketika kita akan meninggalkan Tanah Suci, Mekah atau Madinah, maka berbesar hatilah wahai saudaraku jemaah haji. Karena Allah sesungguhnya telah mengundang dan memperkenankan kita untuk hadir di rumah-Nya. Kita berbesar hati dan berbaik sangka bahwa kita telah diterima di rumah Allah dan Allah sebagai tuan rumah pastilah memilih siapa yang diperkenankan masuk dan berasyik masyuk di rumah-Nya.

Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaika laa syarikalaka Labbaik. Innal Hamda wanni`mata laka wal mulka laa syarikalaka.***

[Ditulis oleh H. BUDI PRAIYITNO, pembimbing Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour. Disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Wage) 2 November 2010 pada Kolom "UMRAH&HAJI"]

0 comments: