Belakangan ini setelah heboh kasus Bailout Bank Century dan berlanjut dengan terbentuknya Pansus di badan legeslatif / DPR yang belakangan dalam perkembangannya makin menyudutkan pemerintah negeri ini. Maka muncul lagi gonjang-ganjing yang tidak kalah ramainya dengan kasus tersebut di atas tadi yaitu kontroversi Revisi UU No. 1 Tahun 1974, yang salah satunya adalah pencantuman ancaman pidana bagi pelaku nikah siri berupa perampasan kemerdekaan selama enam bulan dan denda berupa uang. Sontak masyarakat seperti terkena aliran listrik, maklum sebagian besar pelaku nikah siri adalah masyarakat golongan bawah. Belum lagi pemberitaan yang sangat gencar dari media masa, membuat kalangan masyarakat bawah yang notabene pelaku nikah siri menjadi panik dan takut. Hal ini wajar terjadi karena banyak faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan nikah siri.

Kemudian banyak pertanyaan yg timbul dalam pikiran saya tentang hal ini diantaranya adalah :
  1. Apakah tidak terpikirkan, pilihan lain selain memberikan sangsi pidana dan denda berupa uang ?
  2. Tidakkah lebih arif jika mencari dan memperbaiki sumber-sumber penyebab nikah siri sebelum membuat revisi UU tersebut ?
Berikut ini adalah tulisan yang saya salin dari harian "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 19 Februari 2010 pada kolom "OPINI" dengan judul tulisan "OPSI "NON PENAL" NIKAH SIRI" dan ditulis oleh EDI SETIADI, beliau adalah Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Kopertis Wilayah IV dpk Fakultas Hukum Unisba, Wakil Rektor I Unisba. Dari tulisan ini banyak sekali menambah wawasan saya tentang "Revisi UU No. 1 Tahun 1974" dan semoga demikian juga bagi teman-teman semua :
KEMENTERIAN Agama melalui salah satu dirjennya telah merilis bahwa bakal ada revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Salah satu revisi yang sangat menarik perhatian masyarakat dan juga mendapat penekanan tersendiri dari Kementerian Agama adalah ancaman pidana bagi pelaku nikah siri berupa perampasan kemerdekaan selama enam bulan dan denda berupa uang.

Politik hukum dari keluarnya ancaman pidana bagi pelaku nikah siri berdasarkan keterangan pejabat Kementerian Agama tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi wanita dan anak-anak dari hasil perkawinan siri tersebut, baik ketika rumah tangganya masih terjalin harmonis apalagi kalau terjadi perceraian di antara pasangan siri tersebut. Alasan agamis juga diberikan, yaitu untuk menghindarkan perbuatan dosa dari laki-laki yang melakukan penelantaran terhadap pasangan wanita sirinya.

Sudah merupakan fenomena umum, hampir semua produk legislasi di Indonesia, baik itu berupa undang-undang, peraturan pemerintah sampai peraturan daerah, gemar mencantumkan sanksi pidana seringan apa pun.

Kementerian Agama semestinya mengetahui pencantuman sanksi pidana dalam sebuah peraturan (apa pun bentuknya) berkaitan dengan apa yang disebut
legislated environment yang mensyaratkan adanya penaatan terhadap asas legalitas, pilihan alternatif pemidanaan, dan prioritas yang akan dikriminalisasikan. Dalam legislated environment ini harus dipikirkan supaya tidak terjadi over criminalization, artinya jangan sampai suatu perbuatan yang tadinya bukan kejahatan / tindak pidana (misalnya nikah siri) dijadikan suatu tindak pidana yang menyebabkan masalah baru, sebab salah menentukan kebijakan akan berakibat kebijakan tersebut menjadi faktor kriminogen (faktor timbulnya kejahatan).

Secara kasat mata, pengenaan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri memperlihatkan pemerintah c.q. Kementerian Agama lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi. Alasan melindungi kepentingan hukum wanita dan anak-anak yang dihasilkan dari nikah siri menunjukkan kepanikan dan ketidakberdayaan negara dalam mengatur dan memberi kepastian kepada warganya. Pencantuman sanksi pidana bagi pelaku nikah siri menunjukkan pemerintah melakukan tindakan seperti membunuh tikus dalam lumbung padi, sebab akan timbul pertanyaan kenapa pemerintah tidak menjalankan opsi
non penal (di luar hukum pidana) dalam mengatur nikah siri.

Mengingat
non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya (nikah siri) sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya nikah siri tersebut. Faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan nikah siri. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Tanpa memberikan pendapat tentang setuju dan tidak setuju terhadap perbuatan nikah siri, penulis berpendapat, upaya penggunaan jalur
penal terhadap perbuatan nikah siri tidak sesuai dengan kecenderungan internasional yang sudah sedikit demi sedikit menghindari penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hukum di masyarakat. Dunia internasional sudah sepakat bahwa strategi pencegahan harus didasarkan kepada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Apabila selama ini merebak nikah siri di masyarakat dengan alasan takut berbuat zina, tentu saja alasan seperti ini dapat dibenarkan sebab zina adalah dosa besar yang menduduki peringkat ketiga dari dosa-dosa besar. Sekarang tinggal mencari alasan sosial mengapa banyak yang menikah siri ? Pertama-tama kita harus melihat kepada aturan normatif dari UU Perkawinan, apakah UU ini sudah memenuhi rasa keadilan ? Apakah UU ini dapat ditegakkan atau kalaupun ada pengaturan seperti dulu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10, apakah peraturan ini tidak mengatur hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan ? Ababila hal ini terjadi, UU Perkawinan itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perbuatan nikah siri. Apabila nikah siri ini nantinya dikatakan sebagai kejahatan karena diberi sanksi pidana, maka dapat disimpulkan, UU Perkawinan merupakan faktor
kriminogen dari perbuatan nikah siri.

Alangkah eloknya apabila pemerintah dalam merevisi UU Perkawinan
in casu di dalamnya perbuatan nikah siri lebih memilih jalur non penal, yaitu melalui jalur kebijakan sosial termasuk jalur prevention without punishment. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri semestinya diikuti dan melihat nilai-nilai kultural, mencakup strategi perlindungan masyarakat secara menyeluruh serta direncanakan secara rasional dan proposional, bukan hanya menutupi kelemahan negara dalam mengatur kehidupan warganya.

Revisi UU Perkawinan semestinya diarahkan kepada hal-hal yang menghambat orang untuk berbuat baik yang dibenarkan agama tetapi masih dianggap sebagai pelanggaran hukum oleh negara atau sebaliknya, melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tetapi dari sudut syara justru merupakan perbuatan dosa.

Pencantuman sanksi pidana terhadap pelaku nikah siri harus didasarkan pada perhitungan apakah nikah siri menimbulkan korban yang besar dalam masyarakat dan menimbulkan kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali. Apabila tidak, sebaiknya pemerintah menempuh jalur
non penal dan jalur kebijakan sosial dengan alasan jalur penal efektivitasnya diragukan dalam mencapai tujuan pemidanaan, bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja efektivitas penggunaan sanksi pidana diragukan. Efektivitas penanggulangan kejahatan lebih dipengaruhi oleh bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan.***
Setelah dilaksanakan Revisi UU No.1 Tahun 1974 nantinya, mudah-mudahan saja masyarakat Indonesia tidak merasa seperti memakan buah simalakama, bila dimakan mati ibu jika tidak dimakan mati bapak. Sebuah ironi................ Wallahu a'lam Bishawab.
AL-GHAZALI, seorang ulama terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihya Ulumuddin, memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Dia lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H / 1058 M. Pada masa kecilnya, ia belajar di bawah bimbingan Ahmad Ar-Radzkani.

Selepas itu, ia pergi ke Jurjan dan belajar kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, kembali ke Thus sebelum merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini yang mendapat gelar Imam Al-Haramain dan mendampingi gurunya hingga sang guru berpulang pada 478 H / 1085 M. la lalu melanjutkan kelana ilmiahnya ke Al-'Askar.

Enam tahun kemudian, Al-Ghazali memasuki Bagdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Empat tahun lamanya ia mengajar di lembaga pendidikan kenamaan tersebut. Melalui jabatannya sebagai mahaguru, namanya berkibar sehingga dipandang sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi.

Pada 488 H/1O95 M, Al-Ghazali meninggalkan Bagdad dengan memberikan kesan akan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, sejatinya kala itu sedang mengalami krisis dalam rohaniahnya, hingga untuk mengatasinya meninggalkan segala hasil keilmuannya dan ketenaran namanya, lalu memilih hidup berkontemplasi.

Dari Mekah Al-Mukarramah, pada 489 H/1O96 M, Al-Ghazali merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah, ia menyusun karya puncaknya, Ihya Ulumuddin. Nah, kepada orang yang melaksanakan umrah dan telah berada di Mekah Al-Mukarramah, Al-Ghazali dalam karya besarnya itu berpesan. "Ketika memasuki Mekah Al-Mukarramah, hendaknya Anda ingat, kini Anda telah tiba dengan aman di Tanah Haram milik Allah SWT. Selain itu, hendaknya di kota itu Anda mengharap, dengan memasuki Kota Suci itu dengan aman, kiranya Anda akan aman pula dari siksa Allah," demikian tulis Al-Ghazali.

Jemaah umrah juga diingatkan agar merasa khawatir karena sejatinya tidak berhak mendekati kota itu. "Dengan memasuki Tanah Haram, membuat diri Anda merugi dan layak menerima celaan. Namun, walau demikian, dalam seluruh waktu Anda, hendaknya harapan Andalah yang lebih kuat. Ini karena kedermawanan Allah ada di mana-mana dan la adalah Zat Yang Maha Penyayang. Lagi pula, kemuliaan Baitullah begitu agung dengan hak peziarah akan dipelihara dan permohonan perlindungan orang yang memohon perlindungan tidak akan disia-siakan."

Kemudian, ketika orang yang bermaksud melaksanakan umrah itu telah berada di lingkungan Masjidil Haram, tokoh yang mendapat sebutan Hujjah Al-Islam itu berpesan, "Selanjutnya, ketika pandangan Anda terarah ke Baitullah, seyogyanya dalam kalbu anda timbul perasaan betapa agungnya Baitullah. Andaikanlah diri Anda saat itu seakan melihat Yang MemiliKi Baitullah karena Anda sangat mengagungkan Baitullah. Hendaknya Anda berharap, kiranya Allah menganugerahkan kepada Anda kesempatan memandang wajah-Nya Yang Maha Mulia, laksana kesempatan yang telah dikaruniakan kepada Anda untuk memandang rumah-Nya yang agung."

Jemaah umrah juga diingatkan agar bersyukur kepada Allah karena telah diantarkan hingga ke peringkat ini dan dimasukkan dalam jemaah yang datang dan menghadap kepada-Nya. Pada saat itu, hendaknya ingat peristiwa dihimpunnya seluruh anak manusia pada hari kiamat kelak.

Kemudian ketika melaksanakan tawaf di Baitullah, hendaknya ingat tawaf adalah shalat hingga hadirkan dalam kalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan tawaf, sejatinya mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar 'Arasy.

Janganlah berpandangan bahwa tawaf adalah melaksanakan tawaf mengelilingi Kabah dengan tubuh, melainkan tawaf dengan kalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah. Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.

Manakala kita telah rampung melaksanakan tawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sai, Al-Ghazali berpesan. laksanakanlah sai laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja. Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterima atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, maka mengharapkan meraih kasih sayang pada kali kedua.

Tokoh yang melewatkan usia senja di tempat kelahirannya hingga menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumadi Tsani 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain, Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad, Ayyuha Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Maqashid Al-Falasifah, dan Tahafut Al-Falasifah. Al-Ghazali menutup pesannya dengan memberikan pesan indah, "Ketika bolak-balik di antara Bukit Safa dan Bukit Marwah, hendaknya Anda ingat pulang-pergi Anda di antara dua timbangan (al-mizari) pada lapangan sangat luas pada hari kiamat kelak. Hendaknya Bukit Safa Anda umpamakan laksana timbangan kebaikan dan Bukit Marwah laksana timbangan keburukan. Selain itu, hendaklah Anda ingat, bolak-balik Anda di antara dua timbangan itu dengan memandang pada berat dan ringannya, sedangkan pikiran Anda bolak-balik di antara siksaan dan ampunan."

Selamat menjalankan ibadah umrah. Ingatlah pesan Imam Al-Ghazali.***

[Ditulis oleh : AHMAD ROFI' USMANI, pembimbing Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour, disalin dari Harian "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Pahing) 23 Februari 2010 pada kolom "UMRAH & HAJI"]
POLIGAMI : SEBUAH USAHA MEMAHAMI TEKS

Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Sekaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapusnya. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan di mana poligami juga merupakan salah satu kajiannya. Dalam masalah poligami, Islam tidak diam saja membiarkan apa yang telah terjadi dahulu, melainkan seperti biasanya, Islam memberikan beberapa aturan. Syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya, hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Dan itu semua karena sang pembuat hukum ini adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Poligami bukan sekedar sarana untuk menyalurkan syahwat tetapi ada tujuan-tujuan mulia di baliknya yang perlu diperhatikan. Tetapi, memandang masalah poligami tidak boleh lepas dari masalah perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi tujuan sebuah perkawinan juga harus ada pada poligami. Memisahkan masalah poligami dari perkawinan adalah awal terjerumusnya siapa saja yang ingin mengkaji masalah poligami. Tujuan poligami tidak lepas dari tujuan perkawinan. Dan, perkawinan sebagai salah satu perintah Allah tidak lepas dari tujuan penciptaan manusia.

Dengan kondisi yang seperti ini, bila tujuan penciptaan manusia adalah penyembahan kepada-Nya yang akan berakhir pada liqa’ullah, maka salah satu elemen yang dapat menghantarkan manusia mencapai tujuan penciptaannya adalah perkawinan. Itulah mengapa Nabi SAW., dalam hadis masyhurnya, perlu menekankan bahwa, "
An Nikahu sunnati, perkawinan adalah sunnahku dan barang siapa yang membencinya bukan termasuk ummatku." Nah, bila perkawinan merupakan sebuah unsur yang dapat membantu seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah maka poligami pun demikian.

Perkawinan adalah jembatan bagi pasangan suami dan isteri untuk meraih ketenangan, cinta dan kasih sayang maka poligami juga bertujuan untuk itu. Sebagaimana yang disinggung oleh ayat al-Qur’an : “
Allah menjadikan pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri; supaya kalian merasakan ketenangan dan menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang; sesugguhnya yang demikian ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Ar Ruum : 14)

Dua tujuan perkawinan yang telah disebutkan di atas mewakili tujuan-tujuan yang sifatnya non materi. Sedangkan tujuan perkawinan seseorang yang sifatnya materi yang dimensi, berbanding searah dengan jumlah yang melakukannya.

Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana juga memberi beberapa tuntunan mengenai tujuan perkawinan yang sifatnya materi ini. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Namun bukan sembarangan keturunan yang dihasilkan, tetapi keturunan yang dapat menghantarkan mereka (orang tua dan anak) mencapai tujuan tersebut di atas. Allah berfirman, "
Dan orang-orang berdoa, Ya Allah! karuniakanlah kami isteri dan anak-anak yang baik dan menyenangkan dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang beriman." (QS. Al Furqaan : 74)

Perkawinan juga merupakan sarana untuk mengendalikan dan menyalurkan kebutuhan seks. Perkawinan dapat mencegah perzinahan.
Imam Shadiq a.s berkata, “Sesungguhnya orang yang paling dahsyat azabnya pada hari kiamat adalah yang meletakkan nutfahnya dalam rahim yang haram baginya (zina)”. Sebagaimana perkawinan adalah sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan banyak masalah sosial, poligami juga demikian.

Kebolehan poligami dalam Islam jangan dipandang sebagai sebuah keharusan. Sebagaimana perkawinan itu sendiri tidak harus (baca: wajib) bagi setiap orang. Boleh jadi kondisi mengharuskan seseorang untuk menikah, namun bisa saja bagi orang lain haram dan yang lainnya sunnah, makruh atau sah-sah saja (mubah). Semua tergantung pada kondisi pribadi masing-masing. Poligami pun demikian. Poligami dalam Islam tidak disyariatkan untuk semua orang. Hukum poligami disiapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana untuk menanggulangi beberapa masalah yang ditemui oleh pasangan suami isteri dalam perkawinannya atau karena ada tujuan-tujuan lebih penting lainnya. Sebagaimana hal itu dengan gamblang disebutkan pada awal ayat yang membolehkan berpoligami.

Sekalipun kedua syarat di atas (adanya problem dalam rumah tangga baik dari sisi suami atau wanita dan guna meraih tujuan mulia lainnya) telah dimiliki oleh seseorang, bukan berarti ia langsung bisa melakukan poligami begitu saja. Ada satu hal penting yang harus dimiliki seorang suami. Dan, itu adalah siap untuk berlaku adil. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat tiga surat an-Nisa’, ‘.
..Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka seyogyanya beristeri tidak lebih dari satu ....

Syarat terakhir (berlaku adil) yang diberlakukan oleh Allah bukan untuk memberatkan apalagi mengharamkan masalah poligami, namun itu lebih nyata pada dampak sosial yang akan terjadi bila seorang suami tidak berlaku adil kepada isteri-isterinya. Terlebih-lebih ayat tersebut berkaitan erat dengan pengasuhan anak yatim yang setelah ditinggal ayahnya, ia masih harus menerima perlakuan tidak adil dan itu tentunya akan diwarisinya. Artinya generasi yang akan dihasilkan bukan yang baik dan menyenangkan dan bisa mendoakan orang tuanya tetapi malah sebaliknya. Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan tadi. Terlebih-lebih isteri dan anak adalah amanat Ilahi yang perlu dijaga dan tidak boleh dibiarkan rusak. Syarat harus berlaku adil adalah untuk membantu suami agar dapat menjaga amanat Ilahi dengan lebih baik.

Dalam poligami tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. Masalah poligami kembali pada penerapannya. Kesiapan seorang suami dituntut sebelum melakukan poligami, sama seperti kesiapan calon suami isteri untuk melakukan perkawinan. Semua perbedaan-perbedaan yang ada dibicarakan untuk ditanggulangi di kemudian hari. Dalam melakukan poligami paling sedikit ada tiga orang yang berperan penting. Pertama, suami kemudian isteri pertama dan terakhir isteri kedua, begitu seterusnya sampai isteri kempat. Namun yang paling berperan adalah sang suami.

Berbicara mengenai penerapan poligami dapat ditinjau dari berbagai sudut, namun dengan tidak melupakan tiga syarat di atas. Tanpa mengindahkan ketiga syarat di atas, memang seseorang masih saja dapat melakukan poligami. Hal itu dikarenakan tidak adanya teks-teks agama yang mengharamkannya. Namun, hal itu akan memiliki dampak negatif yang luas :
  1. Pertama, orang akan memandang Islam mensyariatkan sesuatu yang malah memiliki akibat berbeda dari yang diinginkan. Inginnya memberi petunjuk namun malah membuat banyak orang memandang negatif kepadanya. Kedua, wanita-wanita yang menjadi “korban” poligami akhirnya membenci aturan syariat agama.
  2. Kedua hal inilah yang paling mendasar bagi mereka yang tidak meyakini atau sekurang-kurangnya tidak menerima hukum poligami. Benar, yang menanggungnya kedua-duanya adalah wanita. Akhirnya, poligami bukan hanya tidak memiliki tujuan-tujuan mulia bahkan isinya, kata sebagian orang, hanya dehumanisasi wanita.
Satu hal yang sering terlupakan adalah penerapan yang akhirnya menimbulkan dampak negatif ini (baca : salah) disikapi sebagai pandangan Islam juga. Padahal, penerapan yang ada biasanya hanya mengambil halalnya saja, sementara syarat-syarat dan aturan-aturannya tidak pernah diperhatikan. Lebih dari itu, sebenarnya penerapan poligami lebih didominasi oleh budaya masyarakat setempat. Islam memiliki tuntunan-tuntunan berkaitan dengan poligami dan tidak hanya tiga syarat penting di atas. Namun ini tidak pernah diperhatikan dengan baik oleh mereka yang akan melakukan poligami. Dan di sisi lain, terdapat kelemahan ulama dalam mensosialisasikan masalah ini kepada masyarakat. Akan tetapi, ini bukan menjadi bukti bahwa penyelewengan yang dilakukan atas nama poligami semuanya bersumber dari Islam.

Beberapa alasan dikemukakan berkenaan dengan penolakan akan poligami. Namun, dalam tulisan ini akan coba diangkat beberapa kritikan yang menurut penulis bisa menjadi titik temu beberapa alasan sekaligus :
  1. Dari sisi dalil : ayat al-Qur’an dan hadis menyatakan bahwa poligami dilarang dan bukan sunnah Nabi.
  2. Dari sisi sejarah : telah terjadi lembaran-lembaran hitam bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami.
  3. Dari sisi kesejahteraan : poligami penyebab terlantarnya isteri tua dan anak-anak yang pada akhirnya menambah jumlah keluarga broken home.
Al-Qur’an menyebutkan,“Nikahilah sebagian dari perempuan yang sesuai bagi kalian; dua, tiga atau empat”. Sebagian orang mengatakan bahwa poligami bukanlah sunnah Nabi dan dilarang oleh al-Qur’an. Dalil mereka adalah dengan menggabungkan ayat 3 dan 129 surat an-Nisa; “Jika kalian takut tidak bisa berbuat adil maka cukup satu isteri saja.” dan ayat berikutnya yang mengatakan,“sama sekali kalian tidak akan bisa berbuat adil”. Karena ayat yang pertama menyatakan bolehnya berpoligami dengan syarat menjaga keadilan di antara isteri-isteri, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa tidak ada kemungkinan bagi suami untuk menjaga keadilan di antara para isteri, maka kesimpulan dari penggabungan dua ayat ini adalah pelarangan poligami.

Jelas bahwa penggabungan dua ayat dengan bentuk semacam ini hasilnya tidak lain kecuali hanya menggeserkan ayat-ayat al-Qur’an. Bagaimana mungkin dari satu sisi Allah mengizinkan manusia untuk berpoligami dengan mensyaratkan berbuat adil di antara para isterinya dan dari sisi lain mengatakan bahwa : kalian sama sekali tidak akan bisa berbuat adil, otomatis hasilnya adalah poligami dilarang. Perkataan manusia biasa saja tidak bisa kita terima apalagi perkataan Allah yang maha fasih dan tinggi bahasanya.

Allah dalam memberikan taklif (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) kepada hamba-Nya senantiasa berdasarkan hikmah-Nya. Allah tidak menugaskan seseorang kecuali berdasarkan kemampuannya (
Al-Baqarah : 286). Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah, ketika kita menggabungkan dua ayat ini, kita harus melihat kalimat akhir ayat 129 surat an-Nisa, sehingga jelas keadilan apa yang diminta oleh Allah dari laki-laki yang mau berpoligami. Akhir ayat 129 mengatakan, “wa lan tastatiu an ta’dilu bain annisai wa lau harastum” yang artinya : "kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara isteri-isteri kalian."

Ayat ini menunjukkan pada keadilan yang tidak mungkin bisa dilakukan artinya menjaga persamaan secara mutlak di antara para isteri dan itu tidak mungkin terjadi. Karena keadilan dalam berpoligami ini ada dua macam :
  1. Pertama, keadilan secara hukum (qanun) seperti memenuhi kebutuhan materi dan ini mungkin dapat dilakukan.
  2. Kedua, keadilan menjaga persamaan secara mutlak di antara para isteri dalam hal cinta dan kasih sayang.
Dan ini tidak mungkin bisa dilakukan, karena hal ini di luar ikhtiyar manusia. Karena wajar saja kalau perbedaan dalam mencintai dan menyayangi seseorang akan menyebabkan perbedaan juga dalam memperlakukannya.

Dengan demikian, bila seseorang memiliki isteri lebih dari satu dan dia ingin memperlakukan semua isterinya dengan sama, baik dalam memenuhi kebutuhan materi maupun batin di antara mereka, hal ini tidak mungkin terjadi. Karena semua orang tidak ada yang memiliki kesamaan antara satu dengan lainnya. Boleh jadi yang satu lebih cantik dan yang lain agak jelek, atau yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua, yang satu lebih menarik dan yang lain tidak menarik dan perbedaan-perbedaan lain yang ada pada setiap isteri.

Perbedaan yang ada pada setiap isteri inilah yang dengan sendirinya akan menyebabkan perbedaan derajat cinta suami terhadap mereka. Dan perbedaan rasa cinta ini jugalah yang dengan sendirinya akan mempengaruhi perlakuan lahiriah suami terhadap mereka. Allah tidak menginginkan keadilan yang semacam ini (dari sisi batin seperti cinta dan kasih sayang) dari hamba-Nya untuk menjaganya secara sama karena hal ini tidak mungkin. Tetapi yang diinginkan Allah adalah suami jangan sampai berlebihan dalam memperhatikan kebutuhan salah satu dari para isteri sementara dia tidak menghiraukan yang lainnya, hingga isteri yang diabaikan kelihatan bukan sebagai isterinya. Dan jangan sampai terjadi salah satu dari isterinya merasa tidak mendapatkan keadilan dari suaminya sekalipun itu kebutuhan materi. Inilah yang bisa kita pahami dari ayat “
wa lan tastatiu an ta’dilu bainan nisai wa lau harastum fa la tamilu kul almaili fatadzaruha ka al mu’allaqah”.

Untuk mencerahkan pemikiran sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami, dapat dikatakan bahwa penetapan hukum poligami dalam Islam tidak berlaku untuk setiap laki-laki, melainkan bagi mereka yang sudah mempertimbangkan apakah kalau dia melakukan poligami tidak menyebabkan munculnya keburukan bagi keluarga maupum masyarakat. Bahkan dengan berpoligami justru mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi keluarga dan masyarakatnya.

Kebaikan hukum poligami kembalinya pada kehidupan masyarakat. Batasan-batasan dan ketentuan yang ditetapkan juga dengan tujuan mencegah terjadinya keburukan yang sudah dipertimbangkan sebelumnya. Dengan demikian praktek poligami bisa dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa dirinya mampu menjaga keadilan di antara isteri-isterinya. Ketika seorang laki-laki berkeyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan syarat-syarat poligami dan memiliki sarana untuk melakukannya, maka dialah salah satu dari orang yang diizinkan oleh agama untuk berpoligami. Sebaliknya orang yang hanya memikirkan kebutuhan pribadinya tanpa melihat kebaikan dan keburukan keluarganya, hanya sibuk memenuhi kebutuhan seksnya dan berpikir bahwa perempuan hanya sebagai sarana dan alat untuk memenuhi syahwat laki-laki; Islam tidak mengizinkan orang semacam ini untuk berpoligami.

Yang sangat disesalkan adalah adanya praktek-praktek poligami yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam setelah terjadinya perubahan sistem pemerintahan agamis menjadi sitem pemerintahan dinasti. Pengalaman semacam ini lalu dinisbatkan kepada Islam. Sementara Islam tidak membenarkan praktek mereka. Yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa undang-undang dan hukum Islam dari sisi dasar dan metode sangat berbeda dengan undang-undang yang ada di kalangan masyarakat.

Undang-undang sosial yang ada pada masyarakat tertentu bisa berubah bersamaan dengan perubahan waktu dan bergantung dengan kebutuhan mereka; undang-undang Islam (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) selamanya tidak akan berubah. Sekaitan dengan hukum mubah seseorang bisa meninggalkannya atau mengerjakannya. Kalau seseorang ingin berpoligami dengan dasar kebaikan, artinya dia tidak merubah hukum poligami. Karena poligami itu hukumnya mubah maka seseorang bisa meninggalkannya.

Dengan demikian karena hukum poligami dibolehkan bukan berarti harus dilakukan bahkan boleh juga untuk ditinggalkannya. Tetapi, walaupun Islam yang menetapkan hukum poligami, jika terjadi pelecehan terhadap kaum perempuan, itu bukan berarti Islam yang salah. Tapi karena penerapan yang salah, yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendapatkan izin dari Islam untuk berpoligami. Sebagaimana dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari keluarga poligami, sering terjadi istri tua tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari suami dan anak-anak juga tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang cukup dari ayahnya. Hal inilah yang menjadi masalah dan kekhawatiran kaum perempuan dan orang-orang yang kontra poligami.

Masalah ini juga kembalinya kepada pribadi-pribadi yang tidak memiliki syarat untuk berpoligami. Yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Tentu saja harus dilihat apakah problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum (undang-undang) atau dengan moral. Kalau problem yang terjadi ada kaitannya dengan hukum seperti : isteri tidak mendapatkan haknya secara layak, maka dia bisa mengadukan masalahnya kepada pengadilan. Namun bila kasusnya berkaitan dengan moral bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa poligami bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan sebagaimana sebagian orang merasa ketakutan dengan poligami, khususnya kaum perempuan, yang menjadi korban dan budak nafsu kaum laki-laki pelaku poligami. Tentu saja harus dilihat juga bahwa di antara perempuan-perempuan yang dimadu, sering muncul penyakit hasud dan cemburu sesama mereka sendiri secara berlebihan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakharmonisan dengan suami dan keterlantaran anak-anak. Hal ini dapat timbul karena sikap suami yang tidak menjaga keadilan sesama mereka.

Konklusinya adalah semua harus saling sadar bahwa hidup ini sebagai jembatan untuk mencapai pada kesempurnaan, sehingga masing-masing bisa memacu yang lain untuk bisa sampai pada kesempurnaan. Jika ini terjadi pada kelurga poligami maka keluarga ini merupakan sebuah contoh sempurna dari “
rumahku adalah surgaku.”

Wallahu a'lam Bishawab.
(Ditulis : Emi Nur Hayati Ma’sum Said : Mahasiswi S2 Jurusan Tarbiyah Islamiyah & Akhlak di Universitas Jamiah Azzahra, Qom-Iran)

POLIGAMI MUBAH
Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan yaitu penganiayaan terhadap para isteri.

Dasar hukum poligami disebutkan dalam Al-Quran yang artinya: "
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya." (QS. An Nisa' : 3) Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain.

Hal ini berdasarkan keterangan
Aisyah RA. ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA. mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu : "Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya."

POLIGAMI HARAM
Sehubungan dengan ini,
Syekh Muhammad Abduh mengatakan : Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya: "Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)

Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama
Qais bin Harits yang artinya: "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda : "Pilihlah empat orang dari mereka." (HR. Abu Daud)

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan : "
Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah ?" Dalam masalah ini ada 2 (dua) pendapat :
  1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
  2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT yang artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS. An Nisa' : 129) Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.

Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'.

Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.

Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat,
Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain :
  1. Isteri mandul.
  2. Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin.
  3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
  4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)." (QS. An Nisa' : 19)

Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin / kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (li
hat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.

Wallahu a'lam Bishawab.

(Diolah dari tulisan Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo & Artikel lain : Nikah Mut'ah)
Amru bin Ash ketika akan wafat ia menangis tersedu-sedu, lalu ia memalingkan mukanya ke dinding, sedang putranya memanggil, "Oh, ayah, bukankah Rasulullah SAW. telah memberi kabar gembira padamu akan mendapatkan ini dan itu (pahala yang besar) ?" Lalu ia memandang anaknya dan berkata, "Sebaik-baik yang kami sediakan adalah kalimat syahadat Laa ilaaha illa Allah wa anna Muhammadar Rasulullah, sungguh saya telah mengalami tiga tingkatan dalam hidup ini."

Pertama, saya benci kepada Rasulullah dan tidak ada keinginanku pada waktu itu melainkan mendapat kesempatan untuk membunuh beliau, dan andaikata waktu itu saya mati, niscaya saya jadi ahli neraka.

Kedua, Allah memasukkan Islam ke dalam hatiku, lalu saya datang kepada Rasulullah seraya berkata, "Ulurkan tanganmu, saya akan berbai'at kepadamu." Ketika beliau mengulurkan tangannya, maka aku menarik lagi tanganku. Lalu Nabi bertanya, "Mengapakah engkau hai Amru ?" Saya menjawab, "Saya minta suatu syarat." Beliau bertanya, "Syarat apakah itu ?" Saya berkata, "Semua dosa saya diampunkan." Lalu Nabi menjawab, "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa sebelumnya, dan haji itu juga menghapuskan dosa-dosa sebelumnya."

Pada tingkatan ketiga ini tidak ada seorang pun yang saya muliakan dan saya kasihi lebih dari Nabi Muhammad SAW., hingga saya tidak berani mengangkat mata di hadapannya karena hebatnya. Maka, sekiranya seseorang bertanya kepadaku sifat Nabi SAW., saya tidak akan sangggup menerangkannya, sebab saya tidak pernah berani memandang beliau sepenuhnya. Sekiranya saya mati ketika itu, niscaya saya mengharapkan surga.

Wallahu A'lam Bish-Shawab.

(Sumber: 1001 Kisah Nyata, Achmad Sunarto)
Abu Hurairah RA. mendengar Rasulullah SAW. bercerita bahwa dahulu di kalangan Bani Israil ada 3 (tiga) orang : belang (sopak), botak, dan buta. Allah SAW. hendak menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk datang kepada orang yang belang (sopak), lalu bertanya kepadanya : "Apakah yang Anda inginkan ?" "Warna yang bagus dan kulit yang baik," jawab orang itu. "Sebab, kini aku telah dijauhi orang." Maka diusaplah badan orang itu oleh malaikat tersebut, sehingga dengan izin Allah hilanglah penyakitnya dan kulitnya berubah menjadi sangat bagus dengan warna yang indah. Lalu orang itu ditanya lagi, "Harta kekayaan apakah yang engkau inginkan ?" "Unta," jawabnya. Maka diberinya unta betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah SWT. memberkahinya.

Setelah itu, malaikat tersebut mendatangi orang yang botak dan bertanya, "Apakah gerangan yang Anda inginkan ?". "Rambut yang bagus," jawabnya dengan mantap. "Dan hilangkan botakku ini, sebab orang selalu mengejekku." Lalu malaikat itu mengusap kepalanya dan dengan izin Allah botaknya langsung hilang dan rambutnya tumbuh kembali dengan bagus. Orang itu kemudian ditanya, "Kini harta kekayaan apa yang anda inginkan ?" "Sapi" jawabnya. Orang itu kemudian diberi sapi betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah SWT. memberkatinya.

Dan terakhir, malaikat datang pada orang yang buta dan bertanya, "Apakah yang anda inginkan ?" "Aku ingin sekiranya Allah mengembalikan penglihatan mataku, supaya aku dapat melihat segala sesuatu," jawabnya meminta. Maka diusaplah kedua matanya oleh malaikat itu, dan dengan izin Allah seketika itu pula ia dapat melihat kembali. "Sekarang harta kekayaan apa yang engkau inginkan ?" "Kambing," jawabnya. la kemudian diberi kambing betina yang sedang bunting.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, serta tahun pun berganti tahun. Seiring itu pula hewan-hewan ternak ketiga orang itu bertambah banyak. Hingga akhirnya masing-masing telah memiliki satu lembah unta, satu lembah sapi, dan satu lembah kambing.

Malaikat itu kemudian kembali datang pada orang yang dulunya belang (sopak). Kedatangannya kali ini sengaja menyamar seperti bentuk rupa orang itu ketika masih belang dulu. Setelah sampai di tempat orang itu, ia berkata, "Saya ini orang miskin yang tengah putus perjalanan dan kehilangan kontak. Maka tiada yang dapat menyampaikan aku pada tujuan, kecuali pertolongan Allah SWT. kemudian bantuanmu. Aku mohon padamu, demi Allah yang memberimu warna dan kulit yang bagus serta kekayaan, agar memberiku satu onta untuk menyampaikan aku pada tujuanku bepergian ini." Mendengar ucapan yang demikian, orang itu kemudian menjawab : "Hak-hak orang lain masih banyak." "Aku seperti kenal denganmu," sahut malaikat itu, "Tidakkah anda dulu belang, dibenci orang, lagi miskin, setelah itu anda diberi kekayaan oleh Allah ?" "Sungguh aku mewarisi harta kekayaan ini dari orang tuaku," jawabnya membantah. "Jika anda berdusta, semoga Allah mengembalikan anda pada keadaan yang dulu," kata malaikat.

Setelah itu, malaikat tersebut datang pada orang yang dahulunya botak dengan menyamar menyerupai bentuknya ketika masih botak. Saat tiba di tempat orang itu, malaikat berkata padanya sebagaimana yang dikatakan pada orang pertama tadi. Ternyata jawabannya sama saja dengan orang sopak tadi, sehingga malaikat mendoakan pula, "Jika engkau berdusta, semoga Allah mengembalikan engkau pada keadaanmu dahulu."

Terakhir, malaikat itu datang pada orang yang dulunya buta. la berkata, "Seorang miskin yang dalam perjalanan telah putus hubungan. Maka aku takkan dapat sampai pada tujuanku kecuali dengan pertolongan Allah melalui perantaraan bantuanmu. Aku mohon demi Allah, Dia-lah yang telah mengembalikan penglihatanmu dan memberimu kekayaan, oleh karena itu berilah aku seekor kambing untuk bekal yang dapat mengantar aku sampai pada tujuanku." "Benar," jawab orang itu, "Dahulu aku buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, dan miskin, lalu Allah memberiku harta kekayaan. Karena itu, sekarang ambillah sesukamu. Demi Allah, aku takkan keberatan dengan sesuatu yang engkau ambil karena Allah." Maka malaikat pun berkata : "Tahanlah hartamu. Kamu bertiga sebenarnya sedang diuji oleh Allah. Maka Allah pun ridha padamu dan murka pada dua orang temanmu itu." (HR Bukhari & Muslim).

Oleh karena itu, dapatlah dimengerti bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan lain sebagainya merupakan ujian dari Allah SWT. Banyak orang yang berhasil melewati ujian ketika ia sakit, miskin, dan sebagainya. Namun, amatlah sedikit orang yang berhasil melewati ujian dalam keadaan sehat, kaya, dan sejahtera, tinggi jabatan dan kedudukan. Kecuali hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Wallahu A'lam Bish-Shawab.
Mu'adz bin Jabal RA. berkata, "Aku pernah berkata, 'wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku amal yang dapat memasukkanku ke surga dan menjauhkan dari neraka'."

Beliau menjawab, "Engkau menanyakan sesuatu yang besar, namun hal itu menjadi ringan bagi siapa saja yang diringankan oleh Allah SWT. Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah."

Kemudian Beliau bersabda, "Inginkah engkau kuberitahukan mengenai pintu-pintu kebaikan ?; Puasa adalah perisai, shadaqah itu dapat menghapus kesalahan sebagaimana air dapat menghapus api dan shalatnya seseorang di tengah malam." Kemudian Beliau membaca surat As-Sajdah ayat 16,

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
"lambung-lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan harap-harap cemas."

Kemudian beliau bersabda, "Inginkah kalian kuberitahukan pokok dari segala urusan dan puncak mahkotanya ?" Aku menjawab, "Ingin, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Pokok dari segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad."

Lalu beliau bersabda, "Maukah kalian kuberitahu kunci dari semua itu ?" Aku menjawab, "Mau, wahai Rasulullah." Maka beliau menunjuk lidahnya seraya bersabda, "Kendalikan ini !" Aku bertanya, "Wahai Nabiyullah, apakah kami akan diminta pertanggungjawaban dengan apa yang kami katakan ?" Beliau bersabda, "Celakalah engkau hai Mu'adz ! Bukankah yang menjerumuskan manusia kedalam api neraka dengan wajah tersungkur adalah akibat lidah mereka ?" (HR. Tirmidzi dan hadits Hasan Shahih)

Wallahu a'lam Bishawab.
Allah SWT. berfirman dalam sebuah hadits qudsi (yang artinya): "Akulah yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Siapa saja yang beramal dengan menyekutukan Aku di dalamnya, maka Aku akan menyerahkan dirinya kepada sekutunya itu." (HR. MUSLIM)

Hadits ini terkait dengan tuntutan atas seorang Muslim untuk selalu bersikap ikhlas dalam beramal. Tuntutan ini bersikap tegas sehingga ikhlas hukumnya wajib. Karena itu, ada konsekuensi seseorang yang amalnya tidak ikhlas akan ditolak, bahkan ia dimasukkan ke dalam neraka.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda : "Sesungguhnya orang yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat adalah para syuhada. Dia akan dihadapkan kepada Allah. Lalu Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya kepadanya dan diapun mengakuinya. Allah kemudian bertanya, 'Karena apa kamu berbuat demikian (berperang di jalan Allah) ?' Dia menjawab, 'Saya berperang semata-mata karena-Mu hingga saya gugur sebagai syahid.' Allah berfirman, 'Bohong kamu! Kamu berperang karena ingin disebut pahlawan !' Kemudian diperintahkan agar orang itu diseret wajahnya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.' Selanjutnya, seorang pembelajar, pengajar sekaligus pembaca Al-quran dihadapkan kepada-Nya. Allah lalu memperlihatkan nikmat-Nya kepadanya dan dia mengakuinya. Allah lalu bertanya, 'Karena apa kamu berbuat demikian (belajar, mengajar dan membaca Al-quran) ?' la menjawab, 'Saya mempelajari ilmu dan membaca Al-quran semata-mata karena-Mu.' Allah berfirman, 'Dusta kamu ! Kamu mempelajari ilmu supaya disebut ulama dan kamu membaca Al-quran supaya disebut qari !' Kemudian diperintahkan agar orang itu pun diseret wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka. Selanjutnya adalah seseorang yang dikaruniai harta yang banyak oleh Allah. Dia dihadapkan kepada-Nya. Allah lalu memperlihatkan kenikmatan-Nya kepadanya dan dia pun mengakuinya. Kemudian Allah bertanya, 'Apa yang telah kamu lakukan dengan harta kekayaanmu ?' Dia menjawab, 'Saya tidak membiarkan satu jalan pun yang pantas diberi infak, kecuali saya menginfakkan harta saya semata-mata karena-Mu.' Allah berfirman, 'Kamu dusta! Kamu berbuat demikian agar kamu disebut dermawan dan kamu sudah mendapatkannya!' Kemudian diperintahkan agar orang itu pun diseret wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka." (HR. MUSLIM)

Ikhlas sering didefinisikan oleh para ulama sebagai beramal semata-mata karena Allah SWT., bukan karena selain-Nya. Ikhlas adalah kata yang sering mudah diucapkan, tetapi tidak selalu gampang dipraktikkan. Meski seseorang sering ikhlas dalam beramal, tetapi tidak selalu keikhlasan itu mudah dijaga dalam seluruh amalnya. Tidak jarang, karena kelalaian, atau karena godaan setan, sesekali sikap ikhlas itu lenyap dari kalbunya. Misal, ada seorang da'i, karena sudah berhasil meraih kedudukan di masyarakat, ia mulai mengkomersilkan dakwahnya; ia lebih mengutamakan undangan ceramah dari pejabat dan orang kaya ketimbang undangan dari masyarakat biasa; ia berdakwah dengan materi-materi yang menghibur ketimbang menyampaikan kebenaran apa adanya karena khawatir dijauhi 'penggemar' dakwahnya; dll. Bahkan ada juga ulama yang lebih bersemangat diundang ke istana penguasa atau pejabat dan cenderung sering mengabaikan undangan dakwah dari sesama aktifis dakwah. Padahal ulama salaf dulu sangat menjauhi istana para penguasa/pejabat. Semua ini tentu saja cerminan dari telah bergesernya sikap ikhlas.

Ikhlas tentu tidak sekadar sikap tidak riya' (ingin dilihat orang) atau sum'ah (ingin didengar orang) dalam beramal, yang lebih mencerminkan sikap ingin dipuji manusia. Ikhlas bukan sekadar berorientasi "ke dalam". Ikhlas pun akan selalu tercermin "ke luar". Salah satunya cerminannya, seorang yang ikhlas dalam beramal akan selalu menjaga kualitas amalnya. Seorang yang ikhlas dalam shalat, misalnya, akan selalu berusaha mempersembahkan shalat terbaik kepada Allah SWT.; ia selalu berusaha menjaga waktu-waktu shalatnya; memelihara rukun-rukun maupun sunnah-sunnahnya; juga selalu berupaya untuk khusyuk dalam setiap shalatnya. Tidak ikhlas atau kurang ikhtas namanya jika seorang Muslim mempersembahkan ibadahnya kepada Allah SWT. secara asal-asalan, asal gugur kewajiban.

Contoh lain : Seorang yang ikhlas dalam berdakwah akan selalu berupaya mempersembahkan dakwah terbaik untuk Allah SWT.; ia akan mengorbankan sebagian besar waktu, harta bahkan jiwanya untuk dakwah; selalu bersemangat berdakwah meski sering dihadapkanpada tantangan, hambatan dan gangguan; tidak sekadar memanfaatkan "waktu sisa" dari bekerja dan berbisnis untuk berdakwah; tidak futurdi jalan dakwah. Tidak ikhlas atau kurang ikhlas namanya jika seorang aktifis dakwah mempersembahkan dakwahnya kepada Allah SWT. dengan kualitas minimalis dan apa adanya.

Wallahu a'lam Bishawab.

Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam barisan orang-orang yang ikhlas. Amin.

(Ditulis oleh : ARIEF B. ISKANDAR, disalin dari "Buletin Dakwah & Bisnis Islami MADANI" Edisi 008/3/Februari 2010/Shafar 1431 H/Tahun ke-4)
GIBAH secara bahasa merupakan musytaq dari al ghib, artinya lawan dari tampak, yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui manusia baik yang bersumber dari hati maupun yang bukan dari hati. Gibah menurut istilah yaitu membicarakan keburukan sesama Muslim, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran.

Dalam Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah menyebutkan bahwa makna gibah adalah menyebut-nyebut saudaramu yang tidak ada di sisimu dengan perkataan yang tidak disukainya, baik yang berhubungan dengan kekurangan badannya seperti badannya pendek dan lainnya, maupun yang menyangkut nasabnya seperti ayahnya berasal dari rakyat jelata, orang fasik, dan lainnya. Atau yang menyangkut akhlaknya, seperti, "Dia akhlaknya buruk dan orangnya sombong." Atau yang menyangkut pakaiannya, seperti pakaiannya longgar, lengan bajunya terlalu lebar, dan lain-lain.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW. bersabda : "Tahukah kalian apa itu gibah ?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Maka kata Nabi SAW. berkata, "Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya." Kata para sahabat, "Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu ?" Nabi saw. menjawab, "Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya, maka kamu telah menggibahnya. Jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya, maka kamu telah membuat kedustaan atasnya." (HR. Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)

Membicarakan kejelekan orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak, terkadang sudah menjadi kebiasaan orang. Termasuk ketika ada orang yang bertamu, gibah dijadikan sebagai menu utama dalam menjamunya, atau menjadi "buah tangan" ketika tamu pulang.

Berkenaan dengan gibah,
Allah SWT. berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya, "Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentang gibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu, Allah menyerupakan orang yang berbuat gibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya." Sebagaimana firman Allah dalam ayat di atas, sesungguhnya ancamannyalebih dahsyat dari gambaran tadi karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauhi dari perbuatan gibah.

Dalam sebuah hadits dari
Anas Bin Malik RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda : "Pada malam Isra' Miraj aku melewati suatu kaum berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu Aku bertanya kepada Jibril, "Siapa Mereka ?" Jibril menjawab, "Mereka itu suka 'memakan daging manusia', suka membicarakan dan menjelekkan orang lain. Mereka inilah orang-orang yang gemar akan gibah." (HR. Abu Daud)

Begitulah Allah dan Rasul-Nya mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk Hal tersebut untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan gibah. Gibah bisa datang melalui televisi, berbagai pertemuan, obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindari gibah tidak mudah, kita harus ekstra hati-hati. Ada beberapa cara untuk menghindari gibah, di antaranya sebagai berikut :
  1. Berpikirlah sebelum berbicara. Sebelum berbicara, alangkah lebih baiknya memikirkan dahulu apa yang akan dibicarakan. Bukan saja topiknya, tetapi dari sisi tujuan, manfaat, dan mudarat dari pembicaraan kita. Berarti otak harus digunakan dalam keadaan sesantai apapun. Seperti halnya Nabi Muhammad SAW. biasa memberi jeda sesaat untuk berpikir sebelum menjawab pertanyaan.
  2. Berbicara sambil berzikir. Maksudnya, selalu menghadirkan ingatan kepada Allah SWT. sehingga pembicaraan kita terkontrol.
  3. Tingkatkan rasa percaya diri. Membicarakan keburukan orang lain biasanya untuk menutupi kelemahan diri pribadi. Atau, mengikuti pembicaraan temannya walaupun mengandung gibah. Untuk itu, perlu tingkatkan diri untuk mengendalikan pembicaraan ke arah positif tanpa disertai gibah.
  4. Buang penyakit hati. Kebanyakan gibah tumbuh karena didasari rasa iri, benci, dan ketidak ikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung dari kita. Berusahalah untuk membuang perasaan tersebut dan menghadirkan bahwa semuanya ada yang mengatur, yaitu Allah SWT. Selanjutnya, tingkatkan ikhtiar dan doa sambil berserah diri kepada Yang Maha Kuasa.
  5. Introspeksi diri. Dalam arti, seandainya kita yang digibahkan orang lain maka kita akan merasa tidak suka. Untuk itu, pertahankan diri untuk tidak melakukannya karena akan menyakiti hati yang digibahkan.
  6. Usahakan untuk menghindari, kalau tidak bisa lebih baik diam atau pergi. Hindari segala sesuatu yang mendekatkan pada gibah, seperti acara-acara bernuansa gibah di televisi dan radio atau media lainnya. Jika kita terjebak dalam situasi gibah, ingatkanlah penggibah tersebut. Jika tidak mampu, setidaknya diam dan tidak menanggapi gibah tersebut, atau memilih pergi dengan cara yang santun dan selanjunya "menyelamatkan diri".***
(Ditulis oleh : ASEP JUANDA, adalah Ketua DKM At-Taqwa di Kecamatan Cihampelas, Kab. Bandung Barat, disalin dari harian "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Jumat (Pon) 19 Februari 2010 pada kolom "RENUNGAN JUMAT")
Banyak definisi yang disampaikan para ulama tentang makna ibadah. Secara bahasa, ibadah itu adalah tunduk dan merendah diri. Seorang hamba sahaya disebut 'abdun karena dia siap mengabdi dan menyerahkan diri kepada majikannya. Semua waktu, aktivitas, hasil usahanya, bahkan dirinya, adalah milik majikannya.

Demikian pula halnya dengan manusia, disebut dengan abdullah (hamba Allah). Manusia seharusnya pasrah dan berserah diri kepada Allah SWT. Apa pun tuntutan Allah sebagai Khaliq (Sang Pencipta), Rabb (Sang Pengurus), dan Raziq (Pemberi Rizki), siap untuk ditaati, baik melaksanakan perintah-Nya maupun meninggalkan larangan-Nya. Bahkan, dalam membaca doa iftitah ketika salat, Kita biasa berdoa, "Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanya karena Allah, Tuhan semesta alam." Manusia menjadi hamba Allah pada prinsipnya akan menjadi golongan orang mulia dan terhormat. Berbeda dengan 'abdun (hamba sahaya), tergolong kepada orang yang hina dan rendah.

Dalam surat Al-Fatihah, yang kita baca sehari-hari, pada ayat kelima, sebenarnya kita sudah berulang-ulang mengikrarkan diri kita dengan ungkapan "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu" (Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta pertolongan). Sudah ratusan bahkan ribuan kali kita menyatakan diri sebagai abdullah.

Menurut tata bahasa Arab, susunan kalimat "Iyyaka nabudu wa iyyaka nasta'inu" dengan mendahulukan objek ("iyyaka") dari subjek ("na'budu" dan "nasta'inu") mengandung arti pengkhususan "lil hashr." Oleh karena itu, lafadz "iyyaka" diterjemahkan dengan "hanya kepada-Mu."

Dalam ayat itu pula, terjadi pengulangan kata "iyyaka", untuk lafadz "na'budu" dan "nastainu." Padahal dalam susunan biasa, pengulangan tersebut cukup memakai huruf "athaf", seperti "wa" atau "fa" yang berarti dan, yaitu hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah dan kami meminta pertolongan.

Para ulama sepakat untuk berpendapat bahwa pengulangan lafadz "iyyaka" itu memberi arti penekanan. Antara "na'budu" dan "nasta'inu", itu sama-sama penting dan keduanya menjadi kebutuhan manusia. Namun pada kenyataannya, mungkin saja ada orang yang sadar beribadah kepada Allah, tetapi masih meminta pertolongan kepada dukun, paranormal, dan lainnya. Atau mungkin saja, kita meminta pertolongan kepada Allah, seperti saat sedang musim kemarau panjang, di kala ada musibah, ada cobaan, atau ada hajat hidup lainnya. Akan tetapi, kita tidak sadar diri, ternyata kita tidak melaksanakan perintah Allah, baik itu shalat wajib, shalat Jumat, shaum Ramadan, zakat, infak, maupun perintah lainnya.

Padahal dalam surat Al-Fatihah ayat kelima itu, Allah mengajarkan kepada kita tentang kewajiban dan hak asasi manusia. Kewajiban manusia terkandung dalam lafadz "iyyaka na'budu." Sementara hak asasi manusia terkandung dalam lafadz "wa iyya nasta'inu." Beribadah sebagai kewajiban manusia. Manusia dituntut untuk taat dan menyerahkan diri kepada Allah SWT. Istianah sebagai hak asasi manusia, yaitu manusia memohon pertolongan kepada Allah untuk menutupi segala kekurangan dirinya dengan mendapatkan pertolongan Allah SWT.
Beribadah berarti mengerjakan sesuatu untuk dan karena Allah SWT., sedangkan istianah adalah mengharapkan sesuatu dari Allah SWT. Dengan beribadah, kita mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, dan dengan istianah, kita mengharapkan nikmat atau rahmat Allah SWT. Dengan demikian, semakin kuat dan hebat ibadah seseorang, akan semakin besar pula harapannya untuk bisa mendapatkan nikmat dan rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, tuntutan menunaikan kewajiban harus didahulukan daripada menuntut hak. Ini sifatnya sangat mutlak !

Imam Ibnu Taimiyyah memberikan definisi ibadah dengan sebuah pengertian, "Ibadah adalah nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridhoi Allah, baik ucapan maupun perbuatan yang tampak atau yang tersembunyi." Pada prinsipnya, ibadah itu dapat disimpulkan dalam beberapa pengertian.
  1. Bentuk pengabdian diri kepada Allah yang disertai keikhlasan dan kesadaran dalam melaksanakannya.
  2. Taat kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
  3. Upaya untuk meraih cinta Allah dan ridho-Nya.
  4. Memenuhi aturan dan ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW.
  5. Meliputi seluruh aktivitas manusia, baik ritual maupun sosial.
Dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud disebutkan, apabila seseorang telah selesai makan, kemudian berdoa dengan membaca "Alhamdulillahilladzi ath'amani hadza ath-tha'ama warazagani-hi min ghairi haulin wala quwwatin" (segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini kepadaku dan memberi rezeki ini kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku), niscaya akan diampuni dosa yang telah dilakukan dan dosa yang kemudian.

Ini berarti bahwa peluang untuk meraih pahala dalam beribadah sangat banyak, bukan hanya shalat atau shaum. Seandainya kita hanya mengandalkan ibadah shalat, itu tidak akan cukup. Kalau kita menghitung dengan hitungan matematis waktu hidup kita untuk shalat, itu berarti, 1 (satu) kali shalat hanya 5 (lima) menit. Dalam satu malam hanya 25 (dua puluh lima) menit. Dalam sebulan hanya 750 (tujuh ratus lima puluh) menit atau (12,5 jam). Kalau usia kita mencapai 60 (enam puluh) tahun, waktu yang digunakan untuk shalat hanya sekitar 285 hari. Itu pun belum dipotong shalat jamak qasar, lupa, atau belang betong.

Apalagi untuk perempuan, terdapat potongan menstruasi sebanyak 25 persen. Atau ditambah masa nifas setelah melahirkan sebanyak 40 (empat puluh) hari. Kalau mempunyai 5 (lima) anak, berarti terdapat potongan waktu shalat sebanyak 200 (dua ratus) hari.

Sementara untuk waktu tidur itu minimal 8 (delapan) jam per hari. Artinya, sepertiga usia kita dihabiskan untuk tidur. Kalau usia kita 60 (enam puluh) tahun, itu berarti, 20 (dua puluh) tahun dihabiskan untuk tidur saja. Oleh karena itu, siapkanlah seluruh hidup kita untuk beribadah kepada Allah, baik dalam bentuk ibadah ritual maupun yang bersifat sosial lainnya. "Hayatuna kulluha ibadatun." Hidup kita semuanya hanyalah ibadah ! Wallahu a'lam Bishawab.*********

(Ditulis oleh : K.H. ACENG ZAKARIA, Pimpinan Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Disalin dari Harian "Pikiran Rakyat" Edisi Kamis (Pahing) 18 Februari 2010 pada Kolom "Cikaracak")
PENDAHULUAN
Menurut Harun Nasution, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan seorang guru Mursyid. Tarekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di samping itu tarekat berusaha membuka pintu Surga bagi publik. Tarekat adalah jalan untuk memastikan kesamaan peluang untuk masuk Surga bagi semua lapisan masyarakat, baik yang alim, awam, kaya atau pun miskin.

Ruh sebelum masuk ke tubuh memag suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Sufi-sufi besar kemudian merintis jalan sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat (jalan).

Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada kehadirat Tuhan sebagai jalan. Pembagian 3 (tiga) jalan dalam agama Islam menjadi Syariat,Tarekat dan Hakikat. Jalan tri tunggal kepada Allah dijelaskan dalam suatu hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut : “Syariat adalah perkataanku (aqwali), tarekat adalah perbuatanku (Ahwali), dan hakikat adalah keadaan batinku (Ahwali)." (anemari h. 123)

Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut Syar sedang anak jalanan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.

Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan sufi) sampai secepat mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.

Di antara berbagai macam tarekat yang ada terdapat tarekat yang bernama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan penggabungan dari dua Tarekat besar yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah Tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Jadi tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia merupakan tarekat yang mandiri yang di dalamnya terdapat unsur-unsur Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

ASAL USUL GERAKAN TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
Jika ditelaah secara sosiologis yang lebih mendalam, lahirnya tarekat lebih dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur yang ada pada saat itu. Lahirnya trend pola hidup sufistik tidak lepas dari perubahan dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri (110 H) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh pejabat Bani Umayyah.

Hasan al-Basri termasuk pendiri madzhab Basrah yang beraliran zuhud. Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan al- Basri itu dijadikan pedoman bagi ahli tasawuf. Pandangan tasawuf Hasan al-Basri di antaranya pandangan dia terhadap dunia yang diibaratkan sebagai ular yang halus dalam pegangan tangan tetapi racunnya membawa maut.

Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang dilanda krisis hebat. Di bagian timur dunia Islam seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang dikenal dengan Perang Salib selama lebih kurang dua abad (490-656 H / 1096-1248 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.

Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah jarahnya. Demikian juga di Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasaan di antara dinasti-dinasti Turki. Keadaan ini menjadi sempurna keburukannya dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulaqu Khan.

Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrin yang dapat menentramkan jiwanya dan menjalin hubungan damai dengan sesama muslim dalam kehidupan.

Umat Islam memiliki warisan kultural dari para Ulama sebelumnya yang dapat digunakan terutama di bidang tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya tarekat-tarekat pada masa itu. Misalnya Abu Hamid al- Ghazali (wafat 505 H / 1111 M) dengan karyanya yang monumental : Ihya Ulum al- Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) telah memberikan pedoman tasawuf secara praktis yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh sufi berikutnya seperti Syekh Abd al- Qadir al- Jailani yang merupakan pendiri Tarekat Qadiriyah.

Mula-mula tarekat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara individual. Akan tetapi, kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekat-nya kepada murid baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tarekat pun berarti jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tarekat sebagai nama sebuah organisasi sufi.

Pada dasarnya munculnya banyak tarekat dalam Islam secara garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak mazhab dalam fiqih dan firqah dalam kalam. Di dalam fiqih berkembang mazhab-mazhab seperti : mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’i.

Di dalam kalam juga berkembang firqah-firqah, seperti: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sementara mazhab dalam tasawuf disebut tarekat. Bahkan tarekat dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak dari pada mazhab dalam fiqih maupun firqah dalam kalam.

Di Indonesia terkenal sebuah Tarekat bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al- Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al- Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abd al-Qadir al-Jailani selalu menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al-Jailani juga mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam. Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tarekat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan tarekatnya.

Tarekat Qadiriyah terus meluas jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manaqib (sejarah kelahiran dan sejarah keistimewaanya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tarekat ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi tarekat.

Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717-791 H./ 1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia.

Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Dalam Tarekat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang syekh Tarekat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Syekh Abdul Qadir al- Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.

Syekh Khatib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M), dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya merupakan murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas yang menonjol adalah di bidang tasawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat Qadiriyah yang berpusat di Mekah pada waktu itu. Di samping itu beliau juga sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah.

Pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan ia mendapat baiat tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadu dan ta’zim Syekh Khatib Sambas kepada pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari ijtihadnya.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.

Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadkan kalimat lailahailalah dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir siri ismu dzat yaitu melafadkan kalimat Allah dalam hati.

Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.

Lain halnya di pulau Jawa tarekat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama asal Banten tersebut.

Khalifah dari Kyai Tholhah Cirebon yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Abdul Karim Banten di Mekah. Pada dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya K.H.A. Sohibul Wafa Tadjul Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga sekarang Abah Anom Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya.

Sampai sekarang di Indonesia ada 3 (tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yaitu :
  1. Pondok Pesantren Rejoso, Jombang - Jawa Timur,
  2. Pondok Pesantren Mranggen, Jawa Tengah,
  3. Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya - Jawa Barat.
POKOK-POKOK AJARAN TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian. Ada beberapa ajaran yang diyakini paling efektif dan efesian sebagai metode untuk mendekatkan diri dengan Allah. Pada umumnya metode yang menjadi ajaran dalam tarekat ini didasarkan pada al-Qur’an, Hadis, dan perkataan para sufi.

Ada beberapa pokok ajaran dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di antaranya ajaran tentang :
  1. KESEMPURNAAN SULUK,
  2. ADAB KEPADA PARA MURSYID,
  3. DZIKIR.
1. KESEMPURNAAN SULUK, Ajaran yang sangat ditekankan dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah), adalah jika berada dalam 3 (tiga) dimensi keimanan, yaitu : Islam, Iman, dan Ikhsan. Ketiga term tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan three in one yang sangat populer dengan istilah syariat, tarekat,dan hakikat .

Syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah, melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. baik yang berupa perintah maupun larangan. Tarekat merupakan dimensi pelaksanaan syari’at tersebut. Sedangkan hakikat adalah dimensi penghayatan dalam mengamalkan tarekat tersebut, dengan penghayatan atas pengalaman syari’at itulah, maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan ma’rifat.

Para sufi menggambarkan hakikat suluk sebagai upaya mencari mutiara yang ada di dasar lautan yang dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, tarekat, dan hakikat) menjadi mutlak penting karena berada dalam satu sistem. Syariat digambarkan sebagai kapal yang berfungsi sebagai alat transportasi untuk sampai ke tujuan. Tarekat sebagai lautan yang luas dan tempat adanya mutiara. Sedangkan hakikat adalah mutiara yang dicari-cari. Mutiara yang dicari oleh para sufi adalah ma’rifat kepada Allah. Orang tidak akan mendapatkan mutiara tanpa menggunakan kapal.

Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diajarkan bahwa tarekat diamalkan justru dalam rangka menguatkan syari’at. Karena bertarekat dengan mengabaikan syariat ibarat bermain di luar sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.

Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh pendiri tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hal ini dapat dimaklumi, karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqih.

2. ADAB KEPADA PARA MURSYID, Adab kepada mursyid (syekh), merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam tarekat. Adab atau etika murid dengan mursyidnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi Muhammad SAW. Hal ini diyakini karena muasyarah (pergaulan) antara murid dengan mursyid melestarikan sunnah (tradisi) yang dilakukan pada masa nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan mursyid menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran).

Seorang murid harus menghormati syekhnya lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan ditangan syekh, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh syekhnya.

3. DZIKIR, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam tarekat. Dalam suatu tarekat dzikir dilakukan secara terus-menerus (istiqamah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadah al-nafs) agar seseorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan. Dzikir merupakan makanan spiritual para sufi dan merupakan apresiasi cinta kepada Allah. Sebab orang yang mencintai sesuatu tentunya ia akan banyak menyebut namanya.

Yang dimaksud dzikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (batin) sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh mursyid.

Dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu
  1. Dzikir nafi isbat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “lailahaillallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yasrib (madinah) di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali mempunyai keberanian dan tawakaal kepada Allah yang luar biasa dalam menghadapi maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan dzikir keras adalah karena karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang, terbuka, serta suka menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan suara keras.
  2. Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sedangkan dzikir ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika sedang menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan sekaligus oleh seorang mursyid pada waktu baiat yang pertama kali. Dapatlah difahami bahwa tarekat adalah cara atau jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal munculnya, tarekat hanya sebuah metode bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri dengan Allah dan masih belum terikat dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi pada perkembangan berikutnya tarekat mengalami perkembangan menjadi sebuah pranata kerohanian yang mempunyai elemen-elemen pokok yang mesti ada yaitu: mursyid, silsilah, baiat, murid, dan ajaran-ajaran.

Tujuan seseorang mendalami tarekat muncul setelah ia menempuh jalan sufi (tasawuf) melalui penyucian hati (Tasfiyatul Qalb). Pada prakteknya tasawuf merupakan adopsi ketat dari prinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar mencapai ridha Allah.

[Ditulis : Kurniawan, alumni Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Sosiologi Agama. Pernah menjadi wartawan di salah satu media cetak nasional dan saat ini tengah menempuh Program Magister]
______________
DAFTAR PUSTAKA :
  1. Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980)
  2. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1995), cet. ke-2
  3. Al-Barsany, Nur Iskandar, Tasawuf, Tarekat, dan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. ke-1
  4. AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet. ke-2
  5. Akib, Kharisudin, Al- Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), cet. ke- 1
  6. Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, ( Bandung: Pustaka, 1985) Arifin, Sohibul Wafa Tajul, Mifatahus Shudur diterjemahkan oleh Abu Bakar Aceh dengan judul Kunci Pembuka Dada, (Suryalaya: Yayasan Serba Bhakti, 1974)
  7. Bruinessen, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4
  8. Dahlan, Abdul Aziz, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis dalam Tasawuf (Jakarta: Paramadina, tt)
  9. Dofir, Zamahsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1996)
  10. Jalaluddin, Sinar Keemasan, Jilid I, ( Ujungpandang: PPTI, 1987)
  11. --------------, Sinar Keemasan, jilid II, (Ujungpandang: PPTI, 1987)
  12. Nasution, Harun, ed, Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah; Sejarah Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1991)
  13. ----------------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1990)
  14. Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), cet. ke-4
  15. Said, H.A. Fuad, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996), cet. ke-2
  16. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 200)
  17. Shihab, Alwi, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya di Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 2001)
  18. Syata, Sayid Abu Bakar ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), cet. ke-1
  19. Tafsir, Ahmad, Tarekat dan Hubungannya dengan tasawuf, dalam Harun Nasution, ed, Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabndiyah: Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, 1991)
  20. Yahya, Zurkani, Asal-usul Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyah, dalam Harun Nasution, ed, Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyyah: Sejarah, Asal-usul, dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1990)