فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Arum : 30)

Ketika Allah SWT berfirman kepada makhluk-Nya, bahwa Dia akan menciptakan manusia (baca : Adam AS.) sebagai wakil-Nya di muka bumi, beragam tanggapan yang bernada pesimistis pun bermunculan dari makluk lain, terutama kalangan malaikat. Kenapa harus menciptakan manusia yang akan selalu membuat kerusakan serta menumpahkan darah di antara sesamanya. Keraguan para malaikat itu langsung mendapatkan jawaban dari Allah SWT dengan memerintahkan Adam AS. untuk menyebutkan nama benda-benda yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui para malaikat (QS. Al-Baqarah : 30-33).

Dialog tadi yang terdokumentasikan dalam Al-Quran memberikan petunjuk kepada kita tentang derajat kemuliaan manusia sebagai anugerah jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Sebab, Allah SWT. dalam menciptakan manusia selain dengan bentuk dan rupa yang sebaik-baiknya (QS. at-Tin : 4) juga melengkapinya dengan adanya fitrah. Dan fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya, baik dari aspek kedudukan (QS. Al-Isra : 70), fungsi (QS. al-Baqarah : 30), maupun tugasnya (QS. Ad-Dzariat : 56).

Secara bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab (bentuk qiyasan mashdar dari kata fathara-yafthuru-fathran), artinya sifat, asal kejadian, kesucian, kemuliaan, bakat, atau agama yang benar. Yang semuanya disandarkan kepada manusia. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan fitrah, di antaranya Asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani, sebuah karakter yang senang dalam menerima agama; Raghib al-Isfahani, kekuatan dan kemampuan yang diberikan Allah SWT. kepada manusia untuk mengenal iman; menurut ahli fikih, karakter yang bersifat suci dan asli yang dibawa manusia sejak lahir; sedangkan ahli filsafat mengartikan sebagai suatu persiapan sebelum lahir ke dunia untuk melaksanakan hukum Allah SWT. yang akan mampu membedakan antara hak dan batil.


Kalau kita merujuk pada definisi fitrah tadi (menurut bahasa dan istilah), tentu fitrah yang dianugerahkan Allah SWT. kepada manusia tidak terbatas nilai dan jumlahnya. Lebih jauhnya lagi akan menghasilkan pemahaman tentang makna fitrah yang lebih luas, karena segala suatu yang berhubungan dengan proses penciptaan (fathara) manusia dinamakan fitrah. Legalitas pemberian fitrah pun tidak hanya ketika lahir ke dunia tetapi terus berlaku tetap (istamara) bahkan akan sampai pada hari perhitungan di alam akhirat kelak. Tentu ini berlaku bagi umatnya Nabi Muhammad SAW., yakni dengan adanya syafa'at udzma dari Beliau (QS. al-Isra : 79).


Fitrah yang diberikan Allah SWT. kepada manusia bersifat universal (kuttiyyuri). Dan secara garis besar (ijmal)-nya mencakup pada empat bidang, yaitu : fitrah ketauhidan (al-fitrahfi al-tauhid); fitrah suci dari dosa (al-fitrahfi al-dzunub); fitrah kemuliaan (al-fitrahfi al-ikraman); dan fitrah sosial (al-fitrahfi al-ijti-maiyyah).
  1. Pertama, fitrah ketauhidan (al-fitrahfi al-tauhid), sebenarnya sebelum manusia diciptakan bentuknya, dia telah membawa naluri ketauhidan (monoteisme) sebagai fitrahnya, yaitu naluri untuk bertuhan. Hal ini dikenal dengan istilah perjanjian primordial antara manusia (makhluk) dengan Khaliknya di alam roh, ketika Allah SWT. hendak menciptakan manusia (QS. Al-Araf : 172).
    Dengan fitrah ketauhidan inilah, manusia akan dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Dengan sendirinya, ia akan merasa tenteram dan bahagia hidupnya apabila dia memihak pada kebenaran, kebaikan, atau kesucian, karena hal itu sesuai dengan fitrah ketauhidannya. Sebaliknya, manusia akan kehilangan rasa ketenteraman hati serta ketenangan jiwanya manakala dia melakukan kejahatan (al-fahsya), kekejian (al-munkar), kepalsuan (al-batil), dan perbuatan dosa lainnya, karena bertentangan dengan hakikat fitrahnya (Nurcholish Madjid, 1998 : 52-53).
  2. Kedua, fitrah suci dari dosa (al-fitrahfi al-dzunub), ketika manusia lahir ke dunia dari kandungan ibunya, dia dalam keadaan suci, bersih tanpa noda ataupun dosa bagaikan kertas putih dalam Islam tidak ada istilah dosa warisan orang tuanya. Justru Islam mengajarkan agar menjaga dan melindunginya dengan baik, sebab dia termasuk titipan (amanat) Sang Ilahi, dan berdosa besar bagi orang yang menelantarkannya.
    Ketika terjadi suatu perang, banyak di antara sahabat yang membunuh anak-anak kaum musyrikin. Mengetahui akan kejadian itu, Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Jangan begitu ! Ingatlah bahwa yang terkemuka di antara kamu sekarang ini adalah anak-anak orang musyrikin, maka janganlah membunuh keturunan-nya. Ingatlah bahwa tiap-tiap orang yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, sampai lidahnya bisa berucap." Lalu lahirlah hadits Abu Hurairah, "Tiadalah dilahirkan seorang anak melainkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ibu bapaknya lah yang me-yahudi-kannya, me-nasrani-kannya, atau me-majusi-kannya" (HR. Muslim).
  3. Ketiga, fitrah kemuliaan (al-fitrahfi al-ikramari), manusia diciptakan dengan bentuk yang sempurna sebagai perwujudan atas kemuliaannya di hadapan Allah SWT. (QS. Al-Isra (17): 70). Ismail bin Umar ibn Katsir menafsirkan, Allah SWT. memuliakan manusia dengan memberi susunan anatomi yang paling sempurna (QS. At-Tin (95) :4), yakni dapat berjalan dehgan dua kaki, makan dengan tangan yang membedakan dengan hewan berjalan dengan empat kaki dan makan dengan mulutnya juga diberi penglihatan, pendengaran, serta hati (al-fu'ad) sebagai sarana untuk mengetahui kemaslahatan atau kemudaratan urusan dunia dan agamanya (Tafsir Ibn Katsir, V : 97).
  4. Keempat, fitrah sosial (al-fitrahfi al-ijtimaiyyah), fitrah jenis ini pernah ditunjukkan Nabi Adam AS. yang memohon kepada Allah SWT. agar menciptakan makhluk lain yang akan ikut menemaninya hidup di surga. Untuk itu, melakukan hubungan interaksi antar sesama manusia merupakan sebuah kebutuhan yang sifatnya sunatullah (natural of law). Sebab, manusia yang notabene sebagai makhluk social animal, tentu tidak akan mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifahfil ardl secara kaffah (komprehensif) tanpa adanya bantuan dari pihak lain.
Wallahu a'lam bissawab.***

[Ditulis olah : MUHAMAD DANI SOMANTRI, mahasiswa Fakultas Syariah IAILM Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi hari Jumat (Pon) 30 April 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Alangkah bahagianya bila seseorang mengetahui bagaimana menjadi seorang hamba Allah yang tertuntun dalam cahaya Islam. Dia tidak akan merelakan sesaat pun kecuali menjadi jalan untuk mendapatkan curahan kasih sayang dan keridhaan-Nya.

Dia selalu mewaspadai segala sikapnya. Pandangannya disiapkan untuk menjadi mata yang dapat memandang Allah di akhirat kelak. Dia menahan diri dari segala hal yang tidak diridhai-Nya. Dia juga menjaga pendengaran dan mempersiapkannya menjadi telinga yang hanya mendengar hal-hal yang baik.

Ditutupnya rapat-rapat segala ucapan hina, suara yang kotor dan sia-sia, yang membuat hati membatu. Namun sebaliknya, dibukanya lebar-lebar segala ucapan dan suara-suara yang dapat membuatnya semakin mengenal dan mengerti Rabb-nya.


Dia tidak terjebak mempersulit masalah urusan duniawi, tetapi dia mengarahkan kekuatan pikirannya untuk menerjemahkan segala urusan dan kejadian di sekitarnya, sehingga menjadi sarana untuk semakin mengenal dan mengagumi kehebatan Zat Maha Kuasa dan Maha Penentu Segala-galanya. la tidak sempit dan picik pandangan, tetapi luas dan sangat dalam.


Lisannya jauh dari selera rendah. Perhitungannya senantiasa matang, berpikir sebelum berucap, sehingga kata-katanya benar-benar bermutu, menyejukkan, dan merasuk lembut menyentuh kalbu. Sementara lidahnya selalu basah menyebut asma-asma-Nya.


Ia tak pernah jemu memohon pertolongan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang agar hatinya tetap jernih karena dia sangat yakin bahwa tidak akan pernah ada ketenangan dan kemuliaan, kecuali dengan hati yang bersih dan jernih, tidak akan pernah seseorang merasakan kenikmatan dan kelezatan taat, kecuali dengan hati yang bersih dan tidak akan pernah ada seorang mengenal, mencintai, dan merindukan pertemuan dengan Allah, kecuali dengan hati yang bersih.


Setiap panggilan azan berkumandang, ia tidak pernah menunda-nunda langkahnya menuju rumah Allah. Dia berwudhu dan wudhunya senantiasa bersih dan sempurna. Hari-harinya sarat dengan sujud dan ibadah dalam rangka menggapai karunia-Nya.


Wahai saudaraku, sama sekali tidak sulit bagi Allah memilih kita menjadi orang yang mulia. Oleh karena itu, berjuanglah sekuat tenaga sehingga Allah memandang layak untuk menempatkan kita dalam kursi kemuliaan.


Kehidupan manusia memang sungguh tak ubahnya seperti roda berputar. Kadang ia berada di atas, tetapi pada saat yang lain tiba-tiba berada di bawah. Hari ini seseorang mungkin tengah asyik dan terlena menikmati karunia kemuliaan. Akan tetapi esok lusa, mungkin ia jatuh terpuruk menjadi makhluk yang hina dina. Hidup berlumuran aib, sehingga ke mana pun kakinya melangkah, cercaan, celaan, dan cibiran sehantiasa menimpanya. Beruntunglah jika semua itu sekadar ujian dari Allah. Akan tetapi, sungguh amat celaka bile semua itu berupa laknat Allah.


Sayangnya, manusia telah mabuk dengan gemerincing harta, pangkat, dan kedudukan, serta beranggapan bahwa kemuliaan akan datang bilamana segala aksesori duniawi itu tergenggam erat di tangan. Padahal, hal-hal seperti itulah yang dapat membuat penyakit amat berbahaya yang sangat potensial menjadi penghancur kemuliaan seseorang.


Jika ingin derajat kemuliaan kita diangkat oleh Allah, kuncinya terletak pada sejauh mana kesungguhan kita mendekatkan diri kepada-Nya.


Sekiranya seorang hamba senatiasa berjuang keras untuk meningkatkan mutu ibadahnya, niscaya ia akan menyaksikan betapa kasih sayang Allah itu nyaris tak ada jarak dengan hamba-Nya. Salah satunya ialah meningkatkan mutu ibadah mahdhah kita, misalnya, pada saat kita wudhu menjelang shalat. Seyogianya bagi kita harus ada wudhu yang lebih tinggi lagi nilainya, sehingga ketika berwudhu itu kita akan mendapatkan banyak pelajaran. Ketika membasuh tangan, kita bisa mengevaluasi aib-aib dan maksiat yang pernah dilakukan oleh tangan.


Begitu seterusnya ketika membasuh anggota badan lainnya. Dengan kata lain, proses wudhu itu benar-benar dinikmati sebagai pengguguran dosa-dosa kecil dalam rangka penyiapan mental karena kita akan menghadap Allah.


Selanjutnya, kita juga harus mulai belajar menikmati shalat yang bermutu.


"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya." (QS. al-Mu'minun [23] : 1-2)


Kalau shalat itu dilakukan dengan mutu yang tinggi, dampaknya sungguh luar biasa. Dengan shalat yang bermutu, Allah akan memberikan kejernihan berpikir dan ide-ide akan lebih mudah dituangkan sehingga kita lebih lapang dalam menjalani hidup ini.


Marilah terus evaluasi aspek ibadah mahdhah kita agar senantiasa meningkat mutunya. Selain ibadah mahdhah, kita harus menyempurnakan pula aspek ibadah pendukung lainnya, seperti ibadah-ibadah sunah serta setiap perbuatan yang bersifat maslahat.


Semua ibadah ini harus mendapat perhatian yang optimal. Perjalanan waktu yang kita lalui haruslah menjadi momentum penambahan mutu diri kita. Apa pun amalan yang kita lakukan, hendaknya ditargetkan utuh diterima oleh Allah. Intinya adalah bahwa kita harus senantiasa sungguh-sungguh berjuang agar amalan kita tetap terjaga kualitasnya. Semoga, dengan demikian, kita termasuk orang yang dapat meraih derajat kemuliaan di sisi Allah. Amin. Wallahualam.***


[Ditulis oleh KH. ABDULLAH GYMNASTIAR, Pimpinan Pondok Pesantren "DAARUT TAUHID" Bandung, serta disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Hari Kamis (Pahing) 29 April 2010 pada kolom "CIKARACAK"]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(15) KENDALA-KENDALA TAUBAT ORANG-ORANG YANG BERTAUBAT

Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan 3 (tiga) kerusakan :
  1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikan-kebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
    Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur'an. Jika engkau tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan, engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu, maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca 1 (satu) ayat atau 1 (satu) surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu untuk khusyu' saat mengerjakan 2 (dua) rakaat shalat sunat, maka shalat berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya, adalah taubatnya orang awam.
  2. Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang pun yang bisa selamat dari neraka dengan amalnya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.
  3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekedar berbuat dengan amal-amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri kepada Allah, maka bisa menimbulkan 3 (tiga) macam kerusakan ini dan juga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecuali yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu'an.

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan. Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga dosa. Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini, berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tapi orang-orang awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersama Allah dan tidak dikotori debu.

Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang orang khusus, yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekedar meridhai amalnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya, maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa besar. Jadi taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka merupakan 1 (satu) warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.

Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuai dengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yang sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.

[Berikutnya....(16) Pernik-Pernik Hukum yang Berkaitan Dengan Taubat]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
NASIHAT SPRITUAL
MAULANA SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
Hilangnya Agama Ini karena 4 (empat) hal :
  1. Karena anda tidak mengetahui apa yang anda amalkan.
  2. Karena anda mengamalkan perkara-perkara yang anda tidak mengetahuinya.
  3. Karena anda tidak mau belajar hal-hal yang anda tidak mengerti, lalu anda terus menerus bodoh.
  4. Anda menghalangi orang-orang yang belajar pengetahuan, dimana mereka tidak tahu.
Wahai kaum Sufi….
Jika anda menghadiri majlis dzikir, ternyata anda menghadirinya agar masalah anda terpecahkan. Anda malah kontra dengan nasehat kebajikan, lalu anda pelihara kesalahan dan ketergelinciran, bahkan anda tertawa dan main-main. Anda benar-benar mengkawatirkan, padahal anda bersama Allah Azza wajalla.

Karena itu bertobatlah kalian dari situasi itu, jangan sampai anda ini seperti para musuh Allah Azza waJalla. Raihlah manfaat dari apa yang anda simak disana.Anak-anak, anda sudah terikat dengan ibadah, dan Allah mengikat dengan Anugerah-Nya. Hendaknya anda berpijak pada Sang Penyebab, bukan pada akibat, dan bertawakallah pada-Nya. Hendaknya anda tidak mengabaikan amaliah, hendaknya pula ikhlas dalam beramal.

Allah SWT. berfirman : "Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah." Allah tidak menciptakan mereka untuk berdusta, tidak menciptakan mereka untuk bermain-main hampa, mencipatakan mereka bukan untuk makan dan minum, tidur dan kawin. Ingatlah! Wahai orang-orang yang alpa dari kealpaanmu. Ingatlah, anda melangkahkan hatimu satu langkah, Allah menuju kepadamu beberapa langkah, dan Dia paling layak untuk anda rindukan semua dibanding yang lain-Nya. "Allah memberi rizki pada yang dikehendaki tanpa terhingga."

Jika Allah menginginkan pada hamba-Nya, Allah menyediakan langsung padanya. Ini sesuatu yang berhubungan dengan makna hakiki bukan rupa fisik. Bila si hamba benar dalam ubudiyahnya ini, maka benarlah zuhudnya di dunia dan akhirat.Selain Allah Ta’ala, ketika anda datang padanya, anda bisa tetap benar, baik raja, sultan, pemerintah, maka kedatangan anda, atom anda adalah bukit, tetesannya adalah lautan, bintanya adalah rembulan, rembulannya adalah matahari, sedikitnya adalah banyak, terhapusnya adalah tetapnya, fana’nya adalah baqo’nya, geraknya adalah tetapnya. Pohonnya menjulang hingga menyentuh Arasy, dan akarnya membubung sampai ke bintang Tsurayya, dan dahan-dahannya melindungi dunia dan akhirat. Pohon apakah ini ? Pohon Hikmah dan Pengetahuan.

Dunia seperti lingkaran cincin, bukan dunia yang anda miliki, bukan akhirat yang anda kait, yang tidak dimiliki oleh raja maupun budak, tidak bisa dihalangi oleh apa pun atau diambil oleh siapa pun, tidak bisa dikotori. Jika anda bisa memenuhi semua itu, anda akan bagus ketika berada di tengah-tengah khalayak publik.

Manakala Allah menghendaki kebajikan pada hamba-Nya, maka Allah menjadikan hamba itu sebagai dalil bagi mereka, menjadikan dokter bagi mereka, menjadikan pendidik dan pengatur mereka. Sang hamba dijakdikan penerjemah untuk mereka, dijadikan riasan bagi mereka, dijadikan lampu dan matahari bagi mereka. Bila Allah menghendaki, segala terwujud. Jika tidak demikian, si hamba ditirai dari segala hal selain Diri-Nya.

Individu-individu jenis manusia seperti ini memang ditugaskan di tengah-tengah makhluk tetapi dengan perlindungan dan kesalamatan menyeluruh pada dirinya. Allah menolong hamba ini untuk sebuah kemashlahatan makhluk dan memberikan jalan menuju hidayah.

Orang yang zuhud dari dunia, diuji dengan akhirat. Orang yang zuhud dari dunia dan akhirat, diuji oleh Pencipta dunia dan akhirat. Kalau semua telah alpa, seakan-akan kalian tidak pernah bakal mati, seakan-akan kalian tidak akan dihamparkan di padang mahsyar, anda tidak di hisab di sana, anda tidak melewati jembatan Shirothol Mustaqim ?

Ini sifat-sifat anda, padahal anda mengajak Islam dan Iman. Ini Al-Quran dan Ilmu sebagai argumentasi bagi kalian. Jika kalian hadir dalam majlis Ulama, dan anda menolak apa yang dikatakan mereka, maka kehadiran anda sebagai hujjah yang membuat anda berdosa. Sebagaimana anda semua bertemu Rasulullah SAW., di hari kiamat nanti, sementara anda tidak menerima beliau, ketika seluruh makhluk dalam ketakutan atas kebesaran, keagungan dan keadilan serta kesombongan-Nya, maka ketika itu seluruh kerajaan dunia musnah, dan hanya kerajaan Ilahi yang abadi, semuanya di hari kiamat kembali kepada-Nya.

Sementara itu para pemuka kaum Sufi juga tampak di sana dengan kemuliaan dan kelengkapannya, dan bagaimana Allah memuliakan mereka di hari itu. Para paku bumi, adalah penegak bumi, yaitu mereka sebagai penguasa makhluk dan pemukanya sekaligus sebagai wakil Tuhan Azza wa-Jalla. Mereka hari ini tidak tampak dalam rupa, tapi dalam makna, tetapi esok mereka tampak dalam rupa.Para pemberani dalam argumentasi dan perang adalah mereka yang melawan orang kafir. Sedangkan sang pemberani dari kalangan orang-orang sholeh adalah yang melawan hawa nafsunya, watak manusiawinya, syetan dan para kolaborator kejahatan. Mereka ini adalah syetan-syetan manusia. Sedangkan sang pemberani dari kalangan Khowash adalah keberaniannya dalam Zuhud dunia dan akhirat dan zuhud dari segala hal selain Allah secara total.

[dari : http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/nasihat-sultan-auliya-syyaikh-abdul-qodir-al-jilani-qsa/]
Di dalam kehidupan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari dinamika kehidupan bermasyarakat dan bertetangga. Interaksi sosial yang terjadi di dalamnya akan memengaruhi kenyamanan, kebahagiaan atau tidaknya seseorang dalam melangsungkan kehidupannya.

Jika di dalam kehidupan bertetangga satu sama lain tidak saling peduli, tidak saling memperhatikan, bersikap arogan, bahkan saling menyakiti, akan mengakibatkan ketidaknyamanan, kesusahan, bahkan akan menyebabkan kehancuran sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, membina hubungan harmonis dengan tetangga merupakan hal yang harus diperhatikan. Karena ketika terjadi suatu musibah yang menimpa satu keluarga, maka tetanggalah yang pertama kali akan membantu dan menolongnya dibandingkan dengan saudaranya yang jauh dari tempat tinggalnya. Sebagai seorang Muslim, sudah selayaknya kita senantiasa memperhatikan, menjaga, memelihara, dan membina hubungan antar tetangga, yakni dengan senantiasa berbuat baik kepadanya. Sebab, semua itu diperintahkan oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari firman-firman Allah SWT. dan hadis Nabi Muhammad SAW.
  1. Allah SWT. memerintahkan berbuat baik terhadap tetangga disandingkan dengan perintah ibadah kepada-Nya. Firman Allah SWT. dalam surat An Nisa ayat 36 :

    وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
    "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."
  2. Malaikat Jibril AS. selalu berpesan kepada Nabi SAW. untuk berbuat baik dengan tetangga. Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan A'isyah Radhiyallahu'anhuma; keduanya berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda : "Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku (agar berbuat baik) dengan tetangga sehingga aku menyangka bahwa ia akan memberikan hak waris kepadanya." (Muttafaqun'alaih)
  3. Berbuat baik kepada tetangga merupakan barometer keimanan seseorang. Rasulullah SAW. bersabda : "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya." (HR. Bukhori)
  4. Keengganan untuk berbuat baik terhadap tetangga menghalanginya untuk masuk surga Rasulullah SAW. bersabda : "Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari berbagai gangguannya." (HR. Muslim)
  5. Berbuat buruk terhadap tetangga akan menyeret manusia mendapat siksa neraka. Suatu hari datang seseorang kepada Rasulullah Muhammad SAW. la menanyakan tentang seorang wanita yang selalu puasa di siang harinya dan qiyaumul lail di malam harinya, tetapi wanita itu menyakiti tetangganya. Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW. bersabda : "Wanita tersebut masuk neraka."
Cukup kiranya hal ini menjadi dasar bagi setiap Muslim untuk menyadari bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan menjadikannya untuk selalu berbuat baik kepada tetangganya. Kebaikan adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, keuntungan, kemakmuran dan kebahagiaan. Allah SWT. memerintahkan kita untuk berbuat baik dan akan membalas setiap kebaikan yang dikerjakan. Ini sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman. Rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhan-mu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (QS. Al-Hajj : 77)

Tetangga sebagai orang lain yang paling dekat hubungannya mempunyai tempat khusus dalam agama Islam sehingga baik buruknya bertetangga, sebagai barometer dan ukuran tebal tipisnya iman seseorang.

Bagaimanakah bentuk berbuat baik kepada tetangga ? Allah SWT. melalui Rasul-Nya memberikan bimbingan kepada kita tentang hal ini, diantaranya sebagai berikut :
  1. Pertama, senantiasa menolongnya jika ia minta pertolongan, membantunya jika ia meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, menghiburnya jika ia mendapatkan musibah, memulai mengucapkan salam kepadanya, berkata kepadanya dengan lemah lembut dan penuh kesantunan, membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya, melindungi area tanahnya, memaafkan kesalahannya, tidak mengintip auratnya, tidak menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya, dan tidak menyakiti dengan air yang mengenainya atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya. Ini semua merupakan perbuatan yang baik terhadap tetangga yang diperintahkan Allah SWT. dalam surat An-nisa ayat 36.
  2. Kedua, berderma kepada tetangga. Sebagaimana sabda-sabda Rasulullah SAW. : "Wahai wanita-wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangga yang lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing." (HR. Bukhori)
    Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, kemudian berikan kepada tetanggamu.
    " (HR. Bukori)
    Aisyah Radhiyallahu anha bertanya kepada Rasulullah SAW. : "Aku mempunyai dua tetangga, maka yang manakah yang berhak aku beri hadiah ?" Rasulullah SAW. bersabda : "Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat kepadamu." (Muttafaqun 'alaih)
  3. Ketiga, tidak menyakitinya dengan ucapan ataupun perbuatan. Rasulullah SAW. bersabda : "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya." (Muttafaqun 'alaih)
  4. Keempat, menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu atau sejenisnya di temboknya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya hingga ia bermusyawarah dengan tetangganya. Sabda Rasulullah SAW. : "Salah seorang dari kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakan kayu di dinding rumahnya." (Muttafaqun 'alaih)
Semoga hal ini menjadi rujukan bagi kita semua dalam membina hubungan yang harmonis dan serasi antar tetangga sehingga dengannya terbentuk masyarakat yang madani, masyarakat yang baldatun thoyyibatun wa robun ghofur. Amin. Wallahualam.***

[Ditulis oleh : H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah Sarijadi, anggota Komisi Pendidikan dan Dakwah MUI Kel. Sarijadi serta disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 23 April 2010 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Pada suatu malam Sultan Harun al-Rasyid mengajak tangan kanannya, al-Abbas, untuk berziarah mengunjungi seorang ulama besar, Fudhail bin 'lyadh di rumahnya. Tiba di depan pintu rumah ulama yang sederhana itu, kedengaran oleh sultan dan ajudannya suara Fudhail bin 'lyadh sedang mengaji Al-Qur'an, persis pada saat ulama tersohor itu sampai ayat Al-Qur'an yang berbunyi, "Apakah orang yang beriman sama dengan orang yang durhaka ? Mereka tidak sama" yakni penggalan dari surat Hamim As-Sajdah.

Sultan tertunduk dan berbicara kepada al-Abbas, "Andaikata kita dapat mengambil hikmah dari bunyi ayat tadi, sungguh akan besar manfaatnya buat kita, bukan ?" Al-Abbas mengangguk, seolah merasa tersindir, bukan oleh ucapan Sultan, tetapi oleh bacaan Fudhail bin 'lyadh. la agak mendongkol pada waktu memanggil dengan suara keras, "Hai Fudhail, Raja datang bertamu, keluarlah Engkau !" Ulama yang wara' itu menjawab dari dalam, "Apa Sultan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh ulama di saat-saat seperti sekarang, sehingga Sultan bertamu malam-malam ?"

Fudhail tidak mau keluar. la hanya membukakan pintu, lalu duduk kembali di atas alas sembahyangnya setelah cepat-cepat mematikan lampu sampai ruangan berubah gelap gulita. Sultan masuk terantuk-antuk. la meraba-raba di mana Fudhail berada. Ketika tangan Sultan menyentuh badannya, Fudhail berkata, "Alangkah halusnya tangan Sultan di dalam gelap."

Raja tersindir. la sadar, memang selama ini kelembutannya seakan-akan hanya tampak di tempat gelap, pada saat orang lain tidak melihat apa yang sebenarnya sering dilakukan di luar pengetahuan rakyatnya. la gemetar, apalagi ketika Fudhail melanjutkan ucapannya, "Sayang, tangan sehalus ini belum tentu selamat dari jilatan api neraka."

Ucapan ini masih diteruskan dengan tegurannya tanpa takut-takut, "Wahai Sultan, hendaknya engkau bersiap-siap apabila tiba masanya diminta pertanggung-jawaban di hadapan Allah beserta rakyat yang kau pimpin. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa di antara mereka yang paling keras dipertanyakan dalam pengadilan mahkamah Allah adalah penguasa yang mengambil haknya dari rakyat, tetapi dirinya tidak memberi manfaat kepada rakyat dan tidak sanggup melindungi mereka dari kedazliman atau aniaya, yaitu raja yang dipatuhi oleh rakyatnya namun tidak memperlakukan sama antara yang kuat dengan yang lemah, tidak berlaku adil antara yang besar dengan yang kecil, serta kalau berbicara semaunya sendiri, hanya berdasarkan hawa nafsu belaka ?"

Mendengar perkataan Fudhail itu, Sultan menangis tersedu-sedu, menyadari besarnya beban amanat yang harus dipikulnya, dan alangkah dahsyat petaka yang akan menimpanya seandainya ia tidak dapat menunaikan kewajibannya secara adil dan jujur.

Al-Abbas menegur marah melihat atasannya bersedih hati, "Hai Fudhail ! Hentikan ocehanmu ! Apakah engkau akan membunuh Sultan ?"

Fudhail memotong sama kerasnya, "Hai Haman, pembantu Fir'aun! Engkau dan konco-koncomu kaum penjilatlah yang sebenarnya hendak membunuh Sultan."

Harun al-Rasyid bertanya lirih, "Wahai Guru yang budiman, engkau tak kan menyebut al-Abbas pembantuku dengan nama Haman kalau engkau tidak menganggap aku sama dengan Fir'aun."

Fudhail tidak menjawab. Lantas Sultan berkata pula, "Wahai Guru yang baik ! Terimalah hadiah saya sebesar seribu dinar yang dibawa oleh al-Abbas ini. Ambillah !"

Cepat Fudhail memotong, "Tidak ! Saya tidak mau menerima hadiahmu karena saya tahu uang tersebut bukan benar-benar milikmu. Kembalikanlah seribu dinar itu kepada orang-orang dari mana engkau telah mengambilnya."

Sultan pun berdiri, dan dengan kecewa tetapi telah memperoleh peringatan yang berguna, Harun al-Rasyid lalu meninggalkan Fudhail yang beberapa lama kemudian telah kembali membaca Al-Qur'an dan melakukan muthala'ah hingga jauh malam.

Wallahu A'lam Bish-Shawab.

[Disalin dari Buletin Da'wah "AL-FATIHAH" Edisi 273 Tahun ke-7 2010 M./ 1431 H.]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(14) TAUBAT SEBAGAI PERSINGGAHAN PERTAMA DAN TERAKHIR

Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.

Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia beralih ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu menyertainya. Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mendesak, tak berbeda dengan permulaannya. Allah befirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." (QS. An-Nur : 31)

Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan Allah mengaitkan Keberuntungan dengan satu sebab, dan juga menggunakan kata "supaya", yang mengindikasikan pengharapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung. Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan mereka. Di samping itu, Allah juga befirman tentang kebalikan dari golongan ini,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Hujurat : 11)

Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak bertaubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberikan kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim dari dirinya, karena dia tidak tahu Allah dan hak-Nya, tidak tahu aib dirinya dan kekurangan amalnya.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari."

Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat pernah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan berikut,
"Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun."

Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti ash-shirathul-mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan mengesakan-Nya. Urutan-urutan semacam ini sudah terangkum secara baik dan lengkap di dalam Al-Fatihah. Siapa yang memberikan hak kepada Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan ma'rifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk mengikuti ash-shirathul-mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terus-menerus dilakukan. Karena itu taubat dianggap tidak sah kecuali setelah mengetahui dosa dan mengakuinya, lalu berusaha mencari jalan keselamatan dari akibat yang akan diterima di kemudian hari.

Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi dalam taubat, yaitu penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan kelemahan serta ketidakberdayaan.

Hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. 3 (tiga) syarat ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.

Menurut Abu Ismail, rahasia hakikat taubat ada 3 (tiga) macam :
  1. Memisahkan ketakutan dari kemuliaan.
  2. Melupakan dosa dan kesalahan.
  3. Taubat dari taubat.
Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa taubat itu harus dimaksudkan sebagaiwujud ketakutan kepada Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Dia juga harus meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya dari-Nya, takut terhadap siksa-Nya dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kemuliaan. Karena bagaimana pun juga ketaatan itu mempunyai kemuliaan dalam lahir maupun batin. Siapa yang bertaubat dengan maksud untuk mencari kemuliaan, maka taubatnya itu menjadi sia-sia.

Melupakan dosa dan kesalahan harus dirinci lebih lanjut lagi. Bahkan ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan orang-orang yang meniti jalan kepada Allah. Di antara mereka ada yang berpendapat, sibuk mengingat dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Mempergunakan waktu bersama Allah jauh lebih bermanfaat bagi orang yang bertaubat. Maka ada pepatah, "Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah kemarau." Ada pula yang berpendapat, memang yang lebih tepat ialah tidak melupakan dosa itu dan dosa itu seakan-akan harus selalu hadir di depan matanya, sehingga membuat hatinya senantiasa sedih.

Yang benar dalam masalah ini, jika seorang hamba merasakan adanya ujub pada dirinya, melupakan karunia dan tidak merasa membutuhkan Allah atau tidak melihat kekurangan dirinya, maka mengingat dosa lebih bermanfaat baginya. Namun pada saat dia melihat karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya, hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah, kerinduan untuk bersua dengan-Nya, merasakan kebersamaan dengan-Nya, melihat keluasan rahmat dan ampunan-Nya, maka melupakan dosa dan kesalahan lebih bermanfaat baginya. Sebab jika seorang hamba terus menerus mengingat dosa dan kesalahannya, sementara dia dalam keadaan yang kedua ini, maka dia akan turun dari tingkatan yang tinggi ke tingkatan yang rendah, dan ini termasuk tipu daya syetan. Sebab 2 (dua) keadaan ini harus dibedakan.

Sedangkan taubat dari taubat, merupakan istilah yang masih rancu, bisa berarti benar dan bisa berarti salah. Taubat termasuk kebaikan yang paling agung. Taubat dari kebaikan merupakan keburukan yang paling besar dan kesalahan yang paling buruk, bahkan bisa disebut kufur. Sebab dengan begitu tidak ada bedanya antara taubat dari taubat dan taubat dari Islam serta iman. Layakkah dikatakan taubat dari iman ? Jika seorang hamba senantiasa beserta Allah, senantiasa mengingat karunia, menyebut asma' dan sifat-sifat-Nya serta senantiasa menghadap kepada-Nya, namun dia juga masih mengingat-ingat dosanya yang telah lampau sebagai perwujudan taubat, maka dia perlu bertaubat dari taubatnya itu.

[Berikutnya....(15) Kendala-Kendala Taubat Orang-Orang Yang Bertaubat]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(13) MUHASABAH DAN PILAR-PILARNYA.

Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari 4 (empat) persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan al-azm. 4 (empat) persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan. Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati 4 (empat) persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halamannya, tidak berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan kembali lagi.

Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.

Yang pasti, taubat itu ada di antara 2 (dua) muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara 2 (dua) muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. Al-Hasyr : 18)

Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."

Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada 3 (tiga) pilar yang menopang muhasabah, yaitu :

1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu.

Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.

Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.

Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.

Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki 3 (tiga) indikator :
  1. Cahaya hikmah
  2. Buruk sangka terhadap diri sendiri
  3. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk. Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipentingkan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya sekedar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

3 (tiga) indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika 3 (tiga) hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan 2 (dua) hal ini.

2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban

Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.

Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerjakan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.
  1. Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam.
  2. Yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang.
3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan

Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (QS. An-Nashr : 1-3).

Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan : Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.

[Berikutnya....(14) Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(12) PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU DI DALAM HATI SAAT MENGADAKAN PERJALANAN KEPADA ALLAH

Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya 1.000 (seribu), ada pula yang menyebutnya 100 (seratus), ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing-masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya. Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di antara persinggahan ini.

Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan alazm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.

Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

Al-Bashirah itu didasarkan pada 3 (tiga) derajat, siapa yang dapat menyempurnakan 3 (tiga) derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah-nya, yaitu : Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman.

Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.

Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbeda beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih tunduk kepada kebenaran.

Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum dari nash.

Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksikan penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya. Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.

Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan.

Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan :
  1. Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri dari keragu-raguan.
  2. Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi.
  3. Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.
Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bulat, lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada Allah. Firman-Nya :
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." (QS. Ali Imran : 159)

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupakan permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi.

Tekad ini ada 2 (dua) macam :
  1. Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.
  2. Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih khusus lagi.
Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum muhasabah.

Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yaqzhah (kesadaran) harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun tempatnya, begitu pula al-bashirah, al-iradah, al-azm maupun at-taubah. Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di permulaannya dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah menjadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka lakukan, dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu." (QS. At-Taubah : 117)

[Berikutnya....(13) Muhasabah dan Pilar-Pilarnya]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli :
Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(11) TINGKATAN-TINGKATAN IYYAKA NA'BUDU DAN PENOPANG UBUDIYAH

Ditilik dari ilmu dan amal,
ubudiyah itu mempunyai beberapa tingkatan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada 2 (dua) tingkatan : Ilmu tentang Allah dan ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada 5 (lima) macam : Ilmu tentang Dzat, sifat, perbuatan, asma' Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada 2 (dua) macam : Ilmu yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang sekaligus merupakan jalan lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan ilmu yang berkaitan dengan pahala serta siksa.

Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat menyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempurnakan tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari 3 (tiga) bagian ini mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum ubudiyah ada 5 (lima) macam : Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. 5 (lima) hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.

Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada yang diperselisihkan.
Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya', ujub, dengki, lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam 2 (dua) perkara : Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada 2 (dua) macam, besar dan kecil. Kedurhakaan yang besar seperti riya', takabur, ujub, membanggakan diri, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharaman zina dan minum khamr serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak memperhatikannya. Tugas iyyaka na'budu dibebankan kepada hati terlebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.

Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid'ah adalah kefasikan. Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang meninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia mendapat pahala.

Sedangkan ubudiyah lisan ada 5 (lima) macam : Yang wajib adalah mengucapkan syahadatain, membaca apa yang harus dibaca dari isi Al-Qur'an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikir-dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, membalas ucapan salam, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunat bagi lisan adalah membaca Al-Qur'an, terus menerus menyebut asma Allah, menggali ilmu yang bermanfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram bagi lisan ialah mengucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyampaikan bid'ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya, menyeru kepada bid'ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta, memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa didasari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik. Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.

Ubudiyah yang harus dilakukan anggota tubuh ada 25 (dua puluh lima), karena indera ada 5 (lima) dan masing-masing indera mempunyai 5 (lima) kewajiban, yang meliputi wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

[Berikutnya....(12) Persinggahan Iyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan Perjalanan kepada Allah]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]