Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga. Jemaah calon haji (calhaj) mulai melunasi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) dengan waktu pelunasan tahap I berakhir Senin (30/8) kemarin. Kemungkinan besar pemerintah membuka pelunasan tahap II untuk calhaj yang belum bisa melunasi BPIH-nya.

Melaksanakan ibadah haji merupakan ibadah yang ditunggu-tunggu bahkan diidam-idamkan setiap Muslim, tetapi sekaligus ditakuti oleh orang yang akan menunaikannnya. Ditunggu-tunggu karena orang yang berniat haji harus rela melewati daftar tunggu yang tidak sebentar, malah bisa hingga lima tahun menunggu.

Namun ketika masa "panggilan" itu tiba tanpa tahu sebabnya, mendadak rasa takut berhaji menyelimuti hati. Hal ini karena sebelum berangkat sudah "diteror" oleh berbagai cerita tentang haji. Misalnya, ganjaran setimpal dan kontan di Tanah Suci maupun kesulitan ketika menunaikan ibadah haji.

Berhaji diibaratkan sebuah arena pembalasan terhadap semua perbuatan selama di tanah air, khususnya yang menyangkut perbuatan buruk. Kesulitan yang dialami seseorang yang berhaji adalah cerminan dari perbuatan buruk yang dilakukan selama hidupnya. Akibatnya, banyak orang yang stres sebelum berangkat dan tidak sedikit yang stres ketika di Tanah Suci.Dampak selanjutnya, ada kesimpulan yang keliru seakan-akan orang yang berhaji itu orang yang sudah suci batinnya dan sudah siap menerima risiko pembalasan apa pun. Sementara orang yang merasa masih "kotor" jiwanya merasa belum pantas dan belum siap berhaji dan menerima "pembalasan".

Padahal, Tanah Suci adalah arena untuk membersihkan diri dari berbagai "kotoran" jiwa. Bertatap langsung dengan Sang Khalik ketika bersimpuh di depan Kabah yang selama ini hanya dilihat melalui gambar. Atau, mendekatkan diri langsung dengan pembawa wahyu Ilahi ketika berziarah di makam Rasulullah di kompleks Masjid Nabawi, Madinah.

Berhaji itu perjalanan yang menyenangkan dan mudah dilakukan setiap orang. Sebagai tamu-tamu Allah, tentu Allah SWT tidak akan meneror, menelantarkan, apalagi membuat penderitaan. Yakinlah bahwa Allah dan para malaikat-Nya sebagai "panitia" penyambutan akan menjamu jemaah haji dengan jamuan terbaik.

Nah, setelah bisa melunasi BPIH, selayaknya calhaj mulai mempersiapkan diri agar bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik. Manasik haji yang lancar dan sesuai dengan teladan Rasulullah akan berpengaruh kepada pencapaian gelar mabrur yang dicita-citakan setiap jemaah haji.

Ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan calhaj, mulai dari saat ini yang tak hanya persiapan berbentuk materi, seperti bekal uang atau barang.
  1. Pertama, baca dan dalami lagi buku tentang ibadah haji sehingga ketika di Tanah Suci, tidak lagi bingung dengan manasik haji maupun tempat-tempat yang akan dikunjungi.
  2. Kedua, jangan terlalu fokus kepada hafalan doa-doa manasik haji karena akan membebani diri kita, apalagi rata-rata calhaj berusia lanjut yang sudah kesulitan menghafalkan doa-doa.
  3. Ketiga, hal-hal yang masih menjadi pertanyaan atau meragukan tentang pelaksanaan ibadah haji sedapat mungkin didapatkan jawabannya sebelum berangkat ke Tanah Suci. Jangan sampai keraguan dipendam. Utarakan persoalan kepada kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), ulama, atau ustaz yang dipercaya.
  4. Keempat, persiapkan fisik karena perjalanan haji juga membutuhkan fisik yang baik. Jalan kaki merupakan olah raga yang baik, sebab selama haji harus menjalani tawaf, sai, melontar jumrah, maupun menuju ke Masjidilharam dan Masjid Nabawi yang rata-rata berjalan kaki cukup jauh.
  5. Kelima, pelajari pula sejarah perjuangan nabi dan para sahabatnya serta tempat-tempat bersejarah sehingga akan mendatangkan hikmah (pelajaran berharga) yang patut kita teladani.
  6. Keenam, calhaj terutama yang memiliki risiko tinggi terhadap penyakit sebaiknya berkonsultasi dengan dokter, termasuk meminta saran obat-obatan yang perlu dibawa ke Tanah Suci. Meski sudah ada Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), bisa jadi kita membutuhkan obat-obatan khusus karena menderita penyakit tertentu.
  7. Ketujuh, kalau mempersiapkan bekal pakaian atau makanan jangan terlalu banyak membawanya karena berat kopor maupun tas tentengan (dibawa ke dalam pesawat) juga dibatasi. Apalagi di Tanah Suci pakaian tidak mudah kotor dan cepat kering apabila dicuci. Bahan makanan juga tersedia dengan lengkap, baik yang siap masak maupun sudah siap santap.
  8. Terakhir, hal terpenting adalah siapkan mental dan luruskan niat yakni perjalanan haji untuk beribadah kepada Allah bukan untuk berwisata apalagi berbelanja. Siapkan pula bekal sabar yang melimpah dan saling menghargai, karena di Tanah Suci kita akan mengalami antre cukup lama dan mendapati perbedaan dalam cara-cara beribadah.
Labbaik Allohumma labbaik. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu.***

[Ditulis oleh Oleh H.D. SODIK MUDJAHID, pendiri dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Qiblat Tour serta KBIH Qiblat Darul Hikam. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Legi) 31 Agustus 2010 pada Kolom "UMRAH & HAJI"]
Pemaknaan nilai hidup itu terasa lebih bermakna di bulan Ramadhan ini. Sebab, di bulan ini setidaknya ada tiga makna yang perlu dihayati. Pertama menumbuhkan semangat kepedulian, kedua pengendalian diri, dan ketiga meningkatkan kadar spiritualitas.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Nabi Musa AS. pernah mengutus tiga pemuda untuk pergi ke gua. Ketika pemuda-pemuda itu sudah berada di dalam gua yang dimaksud, mereka tidak mendapati apa-apa, hanya tumpukan batu berserakan.

Pemuda pertama kemudian membawa batu-batu tersebut ke dalam kantong celana dan bajunya. Pemuda kedua hanya membawa batu ala kadarnya. Sementara itu, pemuda yang ketiga tidak membawa batu.

Ketika sudah kembali menghadap Nabi Musa AS., ketiga pemuda tersebut memperlihatkan bawaannya. Kepada ketiga pemuda itu Nabi Musa AS. berkata bahwa batu-batu yang berada di gua nilainya sangat tinggi. Mendapat penjelasan dari Nabi Musa AS., ketiga pemuda itu mengaku menyesal dan ingin kembali lagi ke gua untuk membawa batu sebanyak-banyaknya.

Bagi saya, riwayat tersebut merupakan tamsil kehidupan. Ia serupa perumpamaan tentang perjalanan hidup di dunia yang harus diisi dengan makna. Betapa malangnya orang yang tidak dapat memaknai kehidupan. Orang yang tidak bisa memaknai nilai dalam kehidupan sama dengan ketiga pemuda tersebut yang menyesal tidak membawa batu sebanyak-banyaknya.

Peringatan agar kita mengisi hidup dan kehidupan dengan kebaikan dan amal saleh sesungguhnya banyak diutarakan dalam Al-Quran dan hadis. Sebut saja yang terdapat dalam Surat Al-Ashr yang menyebutkan, sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi, kecuali mengisinya dengan ibadah dan amal saleh. Andai saja manusia mengetahui balasan apa dari ibadah dan amal saleh yang telah dilakukannya, ia akan beribadah dan berbuat baik sepanjang hidupnya.

Berangkat dari kesadaran itulah kami sebagai orang yang dipercaya memimpin Kabupaten Cirebon akan selalu berusaha mendedikasikan pembangunan untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimanapun, kepentingan masyarakyat dan daerah harus dikedepankan karena ini adalah ciri masyarakat yang lebih mngedepankan kepentingsan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Selain itu, kita semua, baik sebagai pribadi maupun pemimpin di komunitas mana pun dituntut agar memberikan contoh bagaimana memaknai kehidupan. Karena hanya dengan inilah sesungguhnya kita sedang mengajari betapa hidup yang sangat sebentar ini lebih bermakna.

Bagi saya, jabatan itu amanah. Karena amanah, setiap jengkal kepemimpinannya harus dipertanggungjawabkan, baik kepada Allah maupun rakyat yang dipimpinnya. Agar amanah itu terasa bermakna, arah kebijakan umum (AKU) pembangunan Pemkab Cirebon akan selalu saya orientasikan kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pemaknaan nilai hidup itu terasa lebih bermakna di bulan Ramadhan ini. Sebab, di bulan ini setidaknya ada tiga makna yang perlu dihayati. Pertama menumbuhkan semangat kepedulian, kedua pengendalian diri dan ketiga meningkatkan kadar spiritualitas. Jika ketiga hal itu mampu dihayati dan diimplementasikan, insya Allah kita seperti yang disebut dalam Alquran, yakni sebagai orang yang bertakwa. ***

[Ditulis Oleh H. DEDI SUPARDI, MM., Bupati Cirebon. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Legi) 31 Agustus 2010 pada Kolom "RAMADAN KARIM"]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(31) KHUSYU'

Allah befirman tentang khusyu' ini,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu' hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) ?" (QS. Al-Hadid : 16)

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama 4 (empat) tahun." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Allah menganggap lamban hati orang-orang Mukmin. Maka Allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunnya Al-Qur'an. Lalu Allah befirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (QS. Al-Mukminun : 1-2)

Khusyu' menurut pengertian bahasa berarti tunduk, rendah dan tenang, seperti firman Allah, "Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah." Bumi juga disifati khusyu', yang artinya kering, tandus dan berupa dataran rendah, yang tidak bisa diairi dan ditanami. Firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
"Dan, sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, bahwa kalian melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur." (QS. Fushshilat : 39)

Khusyu' artinya keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk dan merendah, yang dilakukan secara bersamaan. Ada yang berpendapat, khusyu' artinya tunduk kepada kebenaran. Tapi ini bukan definisi khusyu', tapi merupakan keharusannya.

Di antara tanda-tanda khusyu' ialah jika seorang hamba dihadapkan kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Ada yang berpendapat, khusyu' artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap dada serta bercahayanya sinar di hati. Al-Junaid berkata, "Khusyu' artinya ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib."

Para ulama sepakat bahwa khusyu' itu berada di dalam hati dan hasilnya ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu' itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat seseorang yang mengacak-acak jenggotnya ketika shalat, kemudian beliau bersabda, "Sekiranya hati orang ini khusyu', tentu anggota tubuhnya juga khusyu'." Beliau juga pernah bersabda, "Taqwa itu ada di sini", sambil menunjuk ke dada. Beliau melakukannya tiga kali.

Seorang shahabat (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, "Jauhilah oleh kalian khusyu' kemunafikan."

Ada yang bertanya, "Apa artinya khusyu' kemunafikan itu ?" Dia menjawab, "Jika engkau melihat tubuh khusyu', tapi hati tidak khusyu'."

Umar bin Al-Khaththab RA. pernah melihat seseorang yang melengkungkan lehernya tatkala shalat. Maka Umar berkata kepada orang itu, "Hai pemilik leher, tegakkanlah lehermu, karena khusyu' itu tidak terletak di leher, tapi di dalam hati."

Aisyah Radhiyallahu Anha pernah melihat sekumpulan pemuda yang berjalan perlahan-lahan. Dia bertanya kepada orang yang tahu tentang mereka, "Siapa mereka itu ?"

Orang itu menjawab, "Mereka para ahli ibadah." Aisyah berkata, "Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang paling cepat jalannya, jika dia berbicara aku dapat mendengarnya dari kejauhan, jika memukul benar-benar menimbulkan rasa sakit dan jika memberi makanan, hingga yang diberinya kenyang, dan dia adalah ahli ibadah yang sebenarnya."

Al-Fudhail bin Iyadh paling benci melihat seseorang yang menampakkan khusyu' lebih banyak daripada apa yang ada di dalam hatinya.

Hudzaifah berkata, "Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu' dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Berapa banyak orang yang mendirikan shalat namun tidak ada kebaikan di dalamnya. Begitu cepat mereka masuk masjid untuk berjama'ah, namun engkau tidak melihat seorang pun diantara mereka yang khusyu'."

Pengarang Manazilus Sa'irin
berkata, "Khusyu' adalah ketundukan jiwa dan kepatuhan tabiat kepada seseorang yang diagungkan atau yang disegani."

Yang jelas, khusyu' merupakan pengertian yang sejalan dengan pengagungan, cinta, kepatuhan dan ketundukan. Menurutnya, ada 3 (tiga) derajat khusyu' :
  1. Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah karena melihat kebenaran. Tunduk kepada perintah berarti menerima, melaksanakan dan mengikuti perintah, menyelaraskan zhahir dan batin, menampakkan kelemahan, memperlihatkan kebutuhan terhadap petunjuk pelaksanaan perintah itu sebelum melaksanakannya, pertolongan saat melaksanakannya dan penerimaan setelah pelaksanaannya. Pasrah kepada hukum, artinya hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, tidak menentangnya karena berdasarkan kepada pendapat atau nafsu. Atau bisa juga diartikan pasrah kepada hukum takdir, dalam pengertian ridha terhadap takdir dan tidak marah karenanya. Makna yang paling tepat ialah hukum yang mengandung dua pengertian ini. Merendah karena melihat kebenaran, artinya hati dan anggota tubuh yang merendahkan diri karena melihat Allah, bahwa Allah melihat sekecil apa pun yang ada di dalam hati dan anggota tubuhnya. Ini merupakan salah satu dari dua penakwilan terhadap firman Allah,
    وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
    "Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya, ada dua surga." (QS. Ar-Rahman : 46)
    وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
    فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
    "Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)." (QS. An-Nazi'at : 40-41)
    • Ta'wil yang pertama ini merupakan pengetahuan tentang hamba-Nya, yang berkuasa atas dirinya. Ketakutan hamba terhadap pengetahuan Rabb-nya ini menimbulkan khusyu'-nya hati. Selagi perasaan ini semakin kuat, maka khusyu'-nya juga semakin kuat.
    • Ta'wil yang kedua ialah saat hamba menghadap Rabb-nya, yaitu saat bersua dengan-Nya.
  2. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang lain atas dirimu, menghembuskan angin kefanaan. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal artinya melihat kekurangan dan aib jiwa serta amal, karena yang demikian ini bisa membuat hati menjadi khusyu’, karena ia melihat kekurangan dan aibnya, seperti takabur, ujub, riya', tidak jujur, tidak yakin, niat yang bercabang dan aib-aib jiwa dan perusak amal lainnya.
    Melihat kelebihan orang lain atas dirimu artinya memperhatikan hak-hak orang lain atas dirimu lalu engkau harus memenuhinya dan engkau tidak melihat bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hak-mu atas mereka dan engkau juga tidak menuntut kepada mereka untuk memenuhi hakmu, engkau mengakui kelebihan mereka dan tidak melupakan kelebihan dirimu sendiri.
    Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang arif ialah yang tidak melihat satu hak pun atas seseorang dan tidak memperlihatkan kelebihannya atas orang lain. Karena itu dia tidak boleh mencela, tidak menuntut dan tidak membanding-bandingkan." Menghembuskan angin kefanaan artinya menjadikan derajat ini seperti angin sepoi-sepoi menuju kefanaan, yang merupakan kesudahan hidup manusia. Disebut angin sepoi-sepoi karena kelembutan ruh yang mengalir.
    Tidak dapat diragukan bahwa khusyu’ merupakan sebab yang menghantarkan kepada kefanaan.
  3. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan diri sendiri. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan artinya tetap menjaga jiwa agar tunduk dan merendahkan diri saat mencapai tujuan.
    Membersihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain artinya tidak hanya disibukkan oleh usahanya membersihkan waktu dari riya'. Sebab orang yang memiliki derajat ini lebih tinggi kedudukannya.
    Dengan kata lain, dia menyembunyikan keadaan dirinya di hadapan orang lain, seperti khusyu'nya dan ketundukannya, agar orang lain tidak melihatnya lalu membuatnya merasa bangga.
    Tidak melihat kelebihan diri sendiri artinya tidak melihat kemuliaan dan kebaikan dirinya kecuali kebaikan itu datang dari Allah.
    Hanya Allah-lah yang memberikan karunia tanpa ada sebab dari dirimu.
    Tidak ada pemberi syafaat yang memberinya syafaat dan tidak ada yang menghantarkannya kepada kebaikan kecuali Allah semata.
Jika ada yang bertanya, "Apa yang kalian katakan tentang shalat yang dilakukan seseorang tanpa khusyu’, apakah shalat itu dianggap ada ataukah tidak ?" Dapat dijawab sebagai berikut : Penilaian tentang shalat itu diukur dari pahala. Jelasnya tidak ada pahala yang diberikan kepada pelakunya kecuali menurut penghayatan, penelaahan dan khusyu'-nya kepada Allah.

Ibnu Abbas berkata, "Engkau tidak mendapat pahala dari shalatmu kecuali menurut apa yang engkau pahami dari bacaannya."

Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', "Sesungguhnya hamba itu benar-benar mendirikan shalat, dan tidak ditetapkan pahala baginya kecuali separohnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga mencapai sepersepuluhnya."

Allah mengaitkan keberuntungan orang-orang yang shalat dengan khusyu'-nya shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu' tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Jika dengan shalat itu ditetapkan pahala baginya, berarti dia termasuk orang-orang yang beruntung.

Kaitannya dengan hukum di dunia, jika khusyu'nya itu lebih banyak, maka shalatnya dianggap sah. Shalat-shalat sunat sebelum dan sesudahnya serta dzikir sesudahnya menyempurnakan kekurangannya. Jika yang lebih banyak adalah tidak khusyu'-nya dan juga tidak memahaminya, maka ada perbedaan pendapat tentang pengulangannya di kalangan fuqaha'. Ada yang mewajibkannya, seperti Abdullah bin Hamid dan rekan-rekan, Ahmad serta Al-Ghazaly di dalam Ihya'-nya.

Mereka berhujah, karena shalat itu tidak mendapat pahala dan tidak mendatangkan keberuntungan. Karena khusyu' dan memahami itu merupakan ruh, inti dan tujuan shalat, maka bagaimana mungkin shalat dianggap sah jika kehilangan ruh dan intinya, hanya tinggal rupa dan zhahirnya ?

Sekiranya hamba meninggalkan salah satu kewajiban shalat secara sengaja, berarti dia membatalkan shalatnya. Sebagian kewajiban yang ditinggalkan ini seperti salah satu anggota tubuh seorang budak yang dimerdekakan dalam kafarat. Bagaimana dengan shalat yang kehilangan ruh, inti dan tujuannya? Hal ini tidak jauh berbeda dengan memerdekakan budak yang putus tangannya, sebagai kafarat yang wajib dilakukan. Yang demikian ini belum dianggap sah, terlebihlagi jika budak yang dimerdekakan itu sudah mati.

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Shalat itu bagaikan budak perempuan yang dihadiahkan kepada seorang raja. Apa pendapatmu tentang orang yang menghadiahkan kepada raja itu seorang budak perempuan yang cacat, buta, tidak mempunyai tangan dan kaki, sakit atau buruk rupanya ? Bagaimana dengan shalat yang dihadiahkan hamba dan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya? Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Tentu saja shalat yang tidak mempunyai ruh bukan termasuk amal yang baik, sebagaimana bukan termasuk pembebasan budak yang baik dalam kafarat, jika budak yang dipilih adalah cacat atau bahkan mati tanpa ruh."

Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan juga lainnya, ada hadits yang dimarfu'kan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai." Hal ini berlaku untuk doa yang bersifat khusus, yaitu doa ibadah, atau yang bersifat umum, yaitu doa yang berupa permohonan. Jika maksudnya adalah doa berupa permohonan, maka doa ibadah jauh lebih layak untuk tidak dikabulkan, yang merupakan hak Allah untuk menolak doa dari hati yang lalai. Allah telah befirman,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya." (QS. Al-Ma'un : 4-5)

Lalai disini bukan berarti meninggalkan. Jika tidak, tentunya mereka tidak disebut orang-orang yang shalat. Berarti maksudnya melalaikan kewajibannya, entah yang berkaitan dengan waktu seperti yang dikatakan Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya, entah yang berkaitan dengan kehadiran hati dan khusyu'. Namun yang benar adalah dua-duanya. Allah mengakui shalat mereka dan mensifati mereka sebagai orang-orang yang lalai dari shalat itu, yaitu lalai dari waktu yang diwajibkan atau lalai dari keikhlasan dan kehadiran hati. Karena itu Allah mensifati mereka dengan riya' setelah itu. Andaikata lalai itu memang berarti lalai, tentunya mereka dibiarkan dengan riya'nya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kegunaan ikhlas dan kehadiran hati bersama Allah dalam shalat lebih kuat dalam pandangan Pembuat syariat daripada kegunaan semua kewajiban-kewajibannya. Bagaimana mungkin ada orang yang menganggap shalat tidak sah karena dia meninggalkan salah satu takbirnya, meninggalkan satu huruf dalam bacaannya, tidak bertasbih, tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidah, tidak mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian dia menganggap shalat itu sah padahal kehilangan inti, ruh, rahasia dan maksudnya yang paling besar ?

Inilah beberapa hujjah yang diajukan golongan ini. Memang ini merupakan hujjah yang cukup realistis dan kuat. Tapi kita perlu menyimak pendapat golongan kedua dan hujjah-hujjahnya.

Golongan kedua ini berpendapat, shalat itu tetap dianggap sah dan tidak perlu mengulanginya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda,

"Jika mu'adzin menyerukan adzan, maka syetan menyingkir sambil terkentut-kentut hingga tidak mendengar suara adzan. jka suara adzan sudah selesai, maka syetan datang lagi. jika iqamat diserukan, maka dia menyingkir lagi, dan jika iqamat sudah selesai, maka dia datang lagi, hingga ia berada di antara seseorang dan jiwanya, lalu ia mengingatkannya sesuatu yang tadinya tidak dia ingat. Syetan berkata, 'Ingatlah ini, ingatlah itu!' Padahal sebelumnya dia tidak mengingatnya, sampai akhirnya seseorang tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat. Jika salah seorang di antara kalian mengalami yang demikian ini, maka hendaklah dia sujud dua kali sujud saat dia duduk (tasyahhud akhir)."

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang melakukan shalat semacam ini, yang telah dilalaikan syetan hingga tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat, untuk melakukan sujud sahwi dua kali sujud. Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya. Andaikan shalat itu batal seperti pendapat golongan yang pertama, tentunya beliau memerintahkan untuk mengulanginya.

Inilah rahasia disyariatkannya sujud sahwi, sebagai penghinaan bagi syetan, karena ia telah membisiki hamba dan menjadi penghalang antara dirinya dan khusyu' dalam shalat. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut dua sujud sahwi ini muraghamatain (dua kali penghinaan), dan beliau memerintahkan melakukan dua sujud sahwi ini bagi yang lalai. Beliau tidak merinci kelalaian yang terjadi, entah sedikit entah banyak, yang mengharuskannya sujud sahwi. Beliau hanya bersabda, "Setiap kelalaian dilakukan dua sujud sahwi."

Karena syariat-syariat Islam didasarkan kepada perbuatan-perbuatan yang nyata, sedangkan hakikat-hakikat iman didasarkan kepada hal-hal yang batin, yang karenanya ada pahala dan siksa, maka Allah mempunyai dua hukum :
  1. Hukum di dunia yang didasarkan kepada syariat-syariat zhahir dan amal-amal anggota tubuh,
  2. Hukum di akhirat yang didasarkan kepada syariat-syariat yang zhahir dan amal-amal batin.
Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima apa yang ditampakkan orang-orang munafik, sedangkan apa yang mereka sembunyikan di dalam batin diserahkan kepada Allah. Karena itu mereka juga menikah, waris-mewarisi menurut syariat Islam dan shalat mereka tetap dianggap sah menurut hukum di dunia. Mereka tidak dihukumi sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat, karena memang mereka melakukannya menurut zhahirnya. Hukum pahala dan siksa bukan di tangan manusia, tapi ada di Tangan Allah. Allahlah yang akan menanganinya di akhirat.

Masih menurut golongan ini, dalam hukum syariat Islam kami menetapkan keabsahan shalatnya orang munafik dan riya', sekalipun siksaan atas dirinya tidak gugur dan dia pun tidak mendapatkan pahala di akhirat. Maka shalatnya orang Muslim yang lalai dan dibisiki syetan, sehingga mengurangi kesempurnaannya karena tidak ada khusyu', lebih layak untuk dianggap sah.

Memang shalat orang yang lalai ini tidak menghasilkan tujuan dari shalat, yaitu pahala Allah di dunia dan di akhirat. Shalat mempunyai tambahan pahala di dunia, berupa kekuatan iman di dalam hati, cahaya, kelapangan di dada, manisnya ibadah, kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan, yang bisa dirasakan orang yang menghimpun hasrat dan hatinya bersama Allah, menghadirkan hatinya di hadapan-Nya, seperti perasaan manusia saat didekati raja dan mendapat perhatiannya secara khusus. Yang demikian ini ditambah lagi dengan derajat yang tinggi di akhirat, hidup berdekatan dengan orang-orang yang taqarrub kepada Allah. Tapi semua ini tidak didapatkan jika tidak ada kehadiran hati dan khusyu'. Dua orang yang berdiri berdampingan di satu shaff, tapi perbedaan shalat di antara keduanya bisa seperti langit dan bumi.

Pendapat golongan yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar, namun Allahlah yang lebih tahu.

[Berikutnya....BUKU KEDUA]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
DR. Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Puasa menjelaskan bahwa Islam tidak mensyariatkan sesuatu selain pasti mengandung hikmah, tetapi ada yang diketahui, ada pula yang tidak. Demikian juga dengan perbuatan-perbuatan Allah tidak lepas dari berbagai hikmah yang terkandung dalam ciptaan-Nya. Dia tidak pernah mensyariatkan suatu hukum yang sia-sia.

Dalam ibadah puasa (Ramadhan) terdapat sejumlah hikmah dan maslahat, sebagaimana telah diisyaratkan oleh nas-nas syariat itu sendiri. Hikmah puasa Ramadhan di antaranya adalah tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) dengan mematuhi perintah-perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah SWT. Hikmah yang lainnya adalah tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa dan pembiasaan kesabaran.

Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Rasulullah SAW. menamakan bulan Ramadhan sebagai syahr ash-shabr (bulan kesabaran) sebagaimana sabdanya, "Puasa bulan kesabaran dan tiga hari dalam setiap bulan dapat melenyapkan kedengkian dalam dada." (HR. Bazzar dari Ali dan Ibnu Abbas, serta Thabrani dan Baghawy dari Namr bin Tulab).

Imam Al-Ghazali
dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub menuliskan keterangan tentang Ramadhan, bahwa Salman Al-Farisi berkata, Rasulullah SAW. telah berkhotbah pada kami pada hari terakhir dari bulan Sya'ban. Rasulullah SAW. berkata, "Wahai sekalian manusia, benar-benar telah datang padamu sebuah bulan yang besar... Dia adalah bulan penambahan rezeki bagi seorang mukmin. Barangsiapa yang memberi buka pada seorang yang berpuasa, maka baginya sama dengan pahala memerdekakan budak yang telah terampuni dosa-dosanya." Kami berkata,"Yaa Rasulullah, kami ini tidak menemukan sesuatu yang dapat digunakan memberi buka pada orang yang berpuasa."

Beliau SAW. bersabda,"Allah memberikan pahala pada orang yang memberi buka orang yang berpuasa secicipan susu, seteguk air, atau sebutir kurma. Dan barangsiapa yang membuat kenyang orang berpuasa, dia akan diampuni dosa-dosanya dan Tuhan akan memberinya minum dari telagaku, di mana dia tidak akan merasa haus sesudah itu untuk selama-lamanya. Di samping itu, mereka mendapat pahala semisal pahala orang berpuasa tanpa berkurang sedikit pun. Awal bulan itu penuh dengan rahmat, pertengahan penuh dengan ampunan, dan terakhirnya pembebasan dari neraka. Dan barangsiapa yang memberi keringanan kepada budaknya, maka Allah akan memerdekakannya dari neraka..."

Subhanallah... Indah dan sangat penuh makna isi khotbah Rasulullah SAW. di atas.


Allah SWT. memberikan begitu banyak lipatan pahala kepada hamba-Nya yang betul-betul mendekatkan diri kepada-Nya di bulan suci Ramadhan dalam rangka membersihkan jiwanya. Oleh karena itu, sekarang kita sudah memasuki pertengahan fase yang kedua, yaitu hari-hari Ramadhan yang penuh dengan ampunan Allah SWT. Mari kita perbanyak tilawah Al-Quran, beristighfar memohon ampunan atas segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah kita lakukan, menyambungkan dan mempererat tali silaturahim, perbanyak infaq dan sedekah sebagai tanda empati kita kepada fakir miskin, serta ibadah-ibadah lainnya.

Kita betul-betul memohon kepada Allah SWT untuk menyempurnakan ibadah kita di bulan Ramadhan ini. Manfaatkan waktu yang begitu pendek ini dengan betul-betul mengharapkan rahmat, magfirah (ampunan) Allah SWT. dan dijauhkan dari siksa api neraka. Wallahualam***

[Ditulis oleh DR. SA’DUDDIN, MM., Bupati Bekasi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Senin (Kliwon) 30 Agustus 2010 pada Kolom "RAMADAN KARIM"]
Islam adalah agama universal yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia. Sistem yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat kepada umat manusia. Sistem Islam tidak hanya berguna bagi masyarakat Muslim, tetapi dapat juga dinikmati masyarakat umum.

Pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan keagamaan bisa kita jumpai dari beragam ritus di masyarakat. Seperti dalam masa kehamilan, ada acara nujuh bulan ketika kandungan usia tujuh bulan dan dalam kelahiran bayi ada acara mudun lemah.

Dalam pernikahan kedua mempelai disiram air bunga, menginjak telur, dibulatkan bermacam-macam aksesori dan janur kuning berupa kembar mayang, dan lain-lain. Dalam kematian ada acara telung dino, pitung dino, patang puluh dino, satus dino, sewu dino dengan membuat kue berupa apem, menyebar beras kuning, dan seterusnya.

Apabila ditinjau melalui konteks legal-formal (baca : fiqh), secara umum nuansa ritus seperti itu pada dasarnya merupakan praktik ibadah yang memiliki motif tawasul atau tafa`ul, yang melibatkan faktor keyakinan dan tasaruf.

Dalam kacamata Islam (ahli sunnah wal jama`ah), ritus tawasul dianggap legal apabila disertai keyakinan yang lurus dan terbebas dari unsur-unsur syirik. Dalam arti tawasul hanya diposisikan sebagai sarana ikhtiar (wasilah) untuk memohon kepada Allah dan tetap menyakini hakikatnya hanya Allah semata yang mutlak memiliki qudroh dalam segalanya, dan bukan pihak yang dijadikan objek tawasul.

Keyakinan bahwa makhluk memiliki kekuatan tersendiri yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri mahkluk menurut akidah ahli sunnah dianggap fasik dan bidah, bahkan menurut sebagian ulama divonis kafir.

Menurut paham ahli sunnah, hubungan kausalitas bisa dibenarkan apabila diyakini kelaziman sebab akibat terjadi hanya secara adah robbaniyyah (kebiasaan irodah Allah). Dalam arti, ketika ada sebab, musabab "biasanya" pasti ada dan boleh jadi "kebiasaan" tersebut tidak terjadi. Dalam akidah ahli sunnah, hukum kausalitas hanya bersifat kebiasaan, yang dalam suatu waktu boleh tidak berlaku.

Adapun ritus tafa`ul (menaruh harapan baik kepada sesuatu) dalam Islam dianggap legal, lantaran tafa`ul secara subtansial memiliki esensi positif yang bisa mengantarkan kepada kewajiban berbaik sangka (husnudzon) kepada Allah.

Dengan demikian, apabila dalam tafa`ul masih tebersit kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya hal-hal negatif jika tidak melakukan ritus, dan kekhawatiran tersebut tanpa alasan yang mendasar secara adat, ritus tersebut di luar konsep tafa’ul yang diperbolehkan. Ritus yang demikian sudah termasuk praktik mengundi nasib yang diharamkan dalam Islam karena tergolong sikap berburuk sangka (suu`dzon) kepada Allah.

Dalam satu hadis qudsi, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : "Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka berprasangka baiklah kepada-Ku."

Kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala adat atau budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang telah mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak akan mengubah atau menolaknya, tetapi membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi pekerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Rasululllah SAW. bersabda : "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti."

Wallahu a`lam bishowab.***

[Ditulis oleh Oleh SUBARDI, SPd., Wali Kota Cirebon. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Minggu (Wage) 29 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(30) ISYFAQ

Di antara tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah isyfaq. Allah berfirman,
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَهُمْ مِنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang takut akan adzab) Rabb mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat." (QS. Al-Anbiya' : 49)
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ
قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ
فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ

"Dan, sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanya-menanya. Mereka berkata, Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, merasa takut (akan adzab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka." (QS. Ath-Thur : 25-27)

Isyfaq artinya rasa takut yang amat lembut terhadap orang yang ditakutinya. Perbandingannya dengan rasa takut seperti rasa belas kasihan dengan kasih sayang. Jadi ini merupakan kasih sayang yang amat lembut. Karenanya pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Isyfaq adalah kewaspadaan secara terus-menerus yang disertai rasa sayang. Ada 3 (tiga) derajat isyfaq :
  1. Isyfaq terhadap jiwa kalau-kalau beralih ke pengingkaran, atau mengikut jalan nafsu dan kedurhakaan serta pengingkaran ubudiyah. Sedangkan isyfaq terhadap amal ialah kalau-kalau amal itu sia-sia. Artinya takut kalau-kalau amalnya itu seperti yang difirmankan Allah,
    وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
    "Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al-Furqan : 23)
    Amal yang diibaratkan debu yang beterbangan itu ialah amal-amal yang dimaksudkan untuk selain Allah, tidak menurut perintah-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Rasa takut ini juga berlaku untuk amal-amal yang akan datang, kalau-kalau dia meninggalkannya atau karena kedurhakaan yang dilakukannya, sehingga amal-amal itu menjadi hilang, hingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah,
    أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ
    "Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dalam kebun itu dia mempunyai segala macam buah-buahan," (QS. Al-Baqarah : 266)
    Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada para shahabat, "Kepada siapakah ayat ini diturunkan ?"
    Mereka menjawab, "Allahlah yang lebih mengetahuinya."
    Mendengar jawaban mereka ini, Umar marah, lalu dia berkata, "Katakan saja, kami tahu atau kami tidak tahu."
    Ibnu Abbas berkata, "Wahai Amirul-Mukminin, aku mempunyai selintas pengertian tentang ayat ini."
    Umar menyahut, "Wahai anak saudaraku, katakanlah, dan janganlah engkau terlalu merendah diri."
    Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini merupakan perumpamaan tentang suatu amal."
    "Amal macam apa ?" tanya Umar.
    Ibnu Abbas menjawab, "Tentang seseorang yang kaya raya dan juga rajin melakukan ketaatan kepada Allah, lalu Allah mengutus syetan kepadanya, dan dia pun melakukan kedurhakaan, sehingga menenggelamkan semua amalnya."
  2. Isyfaq terhadap waktu kalau-kalau ia ternodai perpisahan. Dengan kata lain, seseorang mewaspadai waktunya agar tidak tercampuri sesuatu yang bisa memisahkan kebersamaannya dengan Allah. Sedangkan isyfaq terhadap hati, kalau-kalau ia terisi penghalang, entah berupa syubhat, syahwat atau sebab apa pun yang menghambat perjalanan.
  3. Isyfaq yang menjaga usaha seorang hamba dari ujub, menahannya agar tidak memusuhi akhlak dan membawanya agar menjaga kesungguhannya. Yang pertama berkaitan dengan amal, yang kedua berkaitan dengan akhlak dan yang ketiga berkaitan dengan kehendak. Pada masing-masing bagian ini ada sesuatu yang bisa merusaknya. Ujub merusak amal. Merasa takut terhadap usahanya yang bisa dirusak ujub ini dapat menjaga usaha tersebut. Memusuhi akhlak merupakan perusak akhlak. Merasa takut terhadap akhlak yang bisa dirusaknya ini dapat menjaga akhlak tersebut. Keinginan bisa dirusak oleh tidak adanya kesungguhan, yaitu canda dan senda gurau. Merasa takut terhadap keinginan yang bisa dirusak senda gurau ini dapat menjaga keinginan tersebut.
[Berikutnya....(31) Khusyu']

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]
Ramadhan merupakan bulan yang penuh magfirah. Oleh karena itu, Ramadhan harus kita sambut dengan penuh gembira, kemudian mengisinya dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat, termasuk memperbanyak amal ibadah.

Pada bulan yang suci ini pula, hendaknya setiap orang bisa berlomba-lomba dan menjadikannya sebagai pembelajaran pada berbagai bidang kehidupan. Di bulan yang suci ini hendaknya bisa membentuk kualitas hidup masing-masing individu. Kemudian pada gilirannya, hasil pembelajaran selama satu bulan ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan selanjutnya pasca-Ramadhan.

Berbagai kegiatan untuk mengisi bulan yang suci ini sangat beragam, seperti tarawih, tadarus, hingga zakat. Saum di bulan Ramadhan merupakan wujud dari pengendalian diri atau pengendalian hawa nafsu. Sementara zakat adalah wujud pembentukan kesadaran akan tumbuhnya kepedulian sosial terhadap orang lain.

Zakat mengandung nilai-nilai sosial, sikap peduli terhadap sesama. Zakat juga merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh karena itu, setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat. Apalagi, zakat merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.

Zakat juga merupakan sarana membersihkan harta yang kita miliki karena sesungguhnya pada sebagian harta itu terdapat hak orang lain yang dititipkan melalui rezeki yang kita peroleh. Dengan mengeluarkan zakat, harta menjadi bersih dan pemanfaatannya akan memberikan berkah yang lebih baik.

Dari implementasi zakat yang dikeluarkan para muzaki sebagai wujud penyucian diri ini tentu dapat membangun keselarasan hidup apabila di kelola dengan baik dan sungguh-sungguh, dan pemerataan kesejahteraan umat dalam berbagai hal dapat terlaksana dengan baik

Zakat secara harfiah bisa berarti tumbuh, berkembang, menyucikan, atau membersihkan. Sementara secara syariat, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu.

Salah satu makna tumbuh dan berkembang dalam zakat ini sepertinya bukan suatu kebetulan jika Islam mengarahkan bidang-bidang yang dizakati pada bidang usaha bernilai keuntungan tinggi. Selain itu, hanya mereka yang sudah mencapai nisab sajalah yang mendapat kewajiban zakat.

Di sinilah nilai Islam menemukan ruangnya, di mana setiap orang didorong menjadi warga produktif secara ekonomi dan sejahtera. Namun, menjadikan harta ada di genggaman tangan, bukan di hati. Dengan begitu, ketika panggilan empati datang, tidak akan berat melepaskan sebagian untuk berbagi.

Zakat juga memiliki kekuatan dan energi yang baru. Kekuatan itu di antaranya bisa diketahui dalam makna zakat sebagai penyuci harta dan jiwa, sehingga zakat mampu menghasilkan energi bagi setiap pribadi atau institusi. Kemudian pada gilirannya, bisa mendorong produktivitas masing-masing sehingga berjalan semakin efektif karena selalu dibersihkan.

Sesungguhnya Allah SWT. itu Mahabersih dan Mencintai Kebersihan. Salah satu upaya kita menggapai cinta-Nya bisa ditempuh dengan membersihkan diri, lingkungan, hati, dan harta. Ya... Allah SWT., jadikanlah kami orang-orang yang "bersih".***

[Ditulis Oleh Drs. H. TJETJEP MUCHTAR SOLEH, MM., Bupati Cianjur. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Sabtu (Pon) 28 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]
Pernahkah kita menghitung dosa yang kita lakukan dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan sepanjang usia kita ? Andaikan saja kita bersedia menyediakan satu kotak kosong, lalu kita masukkan semua dosa-dosa yang kita lakukan, kira-kira apa yang terjadi ? Saya menduga kuat bahwa kotak tersebut sudah tak berbentuk kotak lagi, karena tak mampu menahan muatan dosa kita.

Bukankah shalat kita masih "bolong-bolong" ? Bukankah pernah kita tahan hak orang miskin yang ada di harta kita ? Bukankah pernah kita kobarkan rasa dengki dan permusuhan kepada sesama muslim ? Bukankah kita pernah menyelipkan selembar amplop agar urusan kita lancar ? Bukankah pernah kita terima uang tak jelas statusnya sehingga pendapatan kita berlipat ganda ? Bukankah kita tak mau menolong saudara kita yang dalam kesulitan walaupun kita sanggup menolongnya ? Daftar ini akan menjadi sangat panjang....

Lalu, apa yang harus kita lakukan ? Allah berfirman dalam Surat Az-Zumar : 53,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah, Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Indah benar ayat ini, Allah menyapa kita dengan panggilan yang bernada teguran, namun tidak diikuti dengan kalimat yang berbau murka. Justru Allah mengingatkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Allah pun menjanjikan untuk mengampuni dosa-dosa kita. Karena itu, kosongkanlah lagi kotak yang telah penuh tadi dengan taubat pada-Nya. Kita kembalikan kotak itu seperti keadaan semula, kita kembalikan jiwa kita ke pada jiwa yang fitri nan bersih.

Jika kita mempunyai onta yang lengkap dengan segala perabotannya, lalu tiba-tiba onta itu hilang. Bukankah kita akan sedih ? Bagaimana kalau tiba-tiba onta itu datang kembali berjalan menuju kita lengkap dengan segala perbekalannya ? Bukankah kita akan bahagia ? "Ketahuilah," kata Rasul, "Allah akan lebih senang lagi melihat hamba-Nya yang berlumuran dosa berjalan kembali menuju-Nya !" Allah berfirman :

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
"Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)." (QS. Az-Zumar : 54)

Seperti onta yang sesat jalan dan mungkin telah tenggelam di dasar samudera, mengapa kita tak berjalan kembali menuju Allah dan menangis di "kaki kebesaran-Nya" mengakui kesalahan kita dan memohon ampun-Nya...

Wahai Tuhan Yang Kasih Sayang-Nya lebih besar dari Murka-Nya, Ampuni kami semua. Ya Allah Ya Mujibas Sailin.

Amin !

[Tulisan dari Buletin Da'wah "AL-FATIHAH" Edisi 290 Tahun ke 7 2010 M/1431 H]
Di dalam Al-Qur'an paling tidak, ada 2 (dua) peristiwa yang menyebabkan langit hampir pecah, yaitu :
  1. Pertama, dalam surat Maryam ayat 90 - 91 disebutkan :

    تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا
    أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا

    "Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak."
  2. Kedua, Al-Qur'an menginformasikan kepada kita peristiwa lain yang juga hampir saja membuat langit pecah, yaitu dalam surat Asy-Syura ayat 5 :

    تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ ۚ وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
    "Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dua peristiwa dengan dua sebab yang berbeda hampir saja menghasilkan kejadian yang luar biasa, yaitu pecahnya langit. Pada peristiwa yang pertama, langit hampir pecah karena kemurkaan Allah SWT. terhadap mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Ucapan dan tuduhan itu begitu dahsyat kemungkarannya. Betapa tidak, Allah yang berbeda dengan makhluk manapun itu --"mukhafalatu lil hawadits"-- diserupakan dengan manusia (yang mempunyai anak) yang justru diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Penyerupaan ini jelas membuat Allah sangat murka !

Peristiwa kedua terjadi justru karena kebesaran Allah. Malaikat pun bertasbih serta memuji Allah dan memohonkan ampunan bagi penduduk bumi. Kebesaran dan keagungan Allah tidak terkira sehingga ketika Dia diminta Nabi Musa AS. menampakkan wujud-Nya, bukit Tursina tempat Musa berdiri menjadi hancur dan Musa jatuh pingsan. Kali ini Allah menampakkan kebesaran-Nya pada langit, dan langit yang demikian luas itu hampir pecah karena tak mampu menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah-kisah diatas ?

Seringkali ketika kita berkuasa, kita bertingkah laku hendak menyerupai Allah. Kitalah pemegang nasib bawahan kita. Hanya dengan selembar kertas yang kita tandatangani, seorang anak manusia bisa jatuh terduduk atau bisa meloncat-loncat kegirangan. Ketika ada rakyat yang hendak datang ke kantor, kita lempar ia dari satu meja ke meja berikutnya. Semua kebijakan tergantung petunjuk kita; semua pengacau kekuasaan kita beri hadiah "adzab yang pedih" dan nyawa mereka tak ada harganya bagi kita. Senyum kita menjadi tanda tanya; apakah sedang suka atau sedang marah. Bawahan kita sibuk menafsirkan gerak tubuh kita hanya untuk menyelami apakah kita sedang suka atau tengah berduka.

Saya khawatir pada saat kita berperilaku menyerupai kekuasaan Allah SWT., maka langit akan pecah karena murka Allah. Bukankah segala bentuk penyerupaan harus ditiadakan; apakah itu berarti memiliki kekuasaan tiada batas, memberi adzab ataupun menentukan nyawa orang lain. Segala bentuk kesombongan dan takabur harus dilenyapkan, karena hanya Allah yang berhak untuk takabur (Al-Mutakabbir).

Sementara itu, di hari yang ke-17 dan sepuluh malam terakhir Ramadhan ini, kita menunggu langit yang hampir pecah, saat Malaikat bertasbih memuji Allah dengan suara yang bergemuruh, mereka turun atas perintah Allah dan memohon ampun untuk penduduk bumi. Kita sambut kehadiran malaikat itu dengan gemuruh suara tasbih dan rintihan tangisan memohon ampunan Allah. Puji-pujian dari penduduk langit kepada Allah bertemu dengan puji-pujian penduduk bumi untuk Allah. Boleh jadi langit hampir pecah pada malam-malam akhir Ramadhan ini.

Bukankan itu suatu pertanda untuk diambil sebagai bahan pelajaran bagi kita. Pertanyaannya, tengoklah diri kita sekarang baik-baik. Yang mana yang kita tunggu ? Apakah kita menunggu langit hampir pecah karena murka Allah atau karena kebesaran-Nya ?

Wallahu A'lam Bish-Shawab.

[Tulisan dari Buletin Da'wah "AL-FATIHAH" Edisi 290 Tahun ke 7 2010 M/1431 H]
Secara historis sosiologis, terdapat tiga konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pertama, komunisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individu. Kedua, kapitalisme dengan prinsip menitikberatkan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Ketiga, prinsip Islam dengan menjaga keseimbangan antara hak individu dan sosial yang direalisasikan dalam ajaran zakat, infak, dan sedekah.

Lembaga-lembaga pengelola zakat dan peran fungsi pemberdayaan zakat diarahkan menjawab permasalahan kemiskinan secara permanen. Tugas para pengelola zakat tidak berhenti pada pemberian santunan dana semata dan bersifat sementara, tetapi bagaimana upaya-upaya pemberdayaan umat penerima zakat agar terbebas dari jerat kemiskinan. Bukan membiarkan umat-umat tersebut dalam kemiskinan hingga terbiasa dan bangga, serta menjadi komoditas.

Beberapa langkah yang dimungkinkan bisa dilakukan dalam memberi solusi terhadap permasalahan zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan, antara lain :
  1. Pertama, sosialisasi dan edukasi, menyampaikan pengetahuan, pencerahan, dan penyadaran secara terus-menerus kepada masyarakat dari berbagai kalangan melalui berbagai media. Masyarakat diharapkan semakin menyadari bahwa zakat itu adalah ibadah yang memiliki dimensi dan hikmah yang sangat luas.
  2. Kedua, penguatan institusi amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah dan profesional. Hal ini sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan dari masyarakat.
    Kepercayaan merupakan unsur yang sangat penting. Masyarakat harus yakin betul bahwa jika zakatnya disalurkan melalui amil. Dengan demikian, amil zakat pun harus memiliki program-program yang jelas dan terencana.
    Pelaporan pada muzaki menjadi suatu keharusan. Itulah sebabnya, pada zaman Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat, yang ditugaskan menjadi amil zakat itu selalu orang-orang yang sudah terkenal kesalehan dan keamanannya, seperti Muadz bin Jabal, Ali bin Abi Thalib, Ibn Luthaibah, dan lain-lain.
  3. Ketiga, program penyaluran dan pendistribusian zakat yang tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan syariah. Setiap zakat yang dikeluarkan harus mengena pada mustahik zakat yang delapan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Attaubah : 60.
    Sesuai dengan kondisi dan situasi, tentu saja makna dan pengertian masing-masing mustahik dapat berkembang dari waktu ke waktu.
  4. Keempat, sinergi dan kerja sama antarkomponen masyarakat, seperti pemerintah, para ulama, para tokoh, ormas Islam, termasuk antarinstitusi amil zakat, sehingga zakat itu dapat dirasakan menjadi tanggung jawab bersama.
Sudah waktunya antarsesama amil zakat saling membantu, misalnya dengan melakukan sinergi dalam pendayagunaan dan memetakan posisi muzakki serta mustahik. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Maidah : 2,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."***

[Ditulis Oleh : DR. H. EDI SISWADI MSi., Sekretaris Daerah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 27 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
"Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah : 185)

Tidak terasa, kini umat Islam telah memasuki hari ke-17 bulan Ramadhan. Hari yang diyakini sebagai waktu turunnya Al-Quran yang sekarang sangat mudah untuk didapatkan lalu dibaca oleh para penganut agama Islam. Bahkan akhir-akhir ini, Al-Quran digital pun rasanya sudah tidak menjadi hal yang asing lagi bagi umat Islam Indonesia karena sudah banyak merek telefon genggam yang menawarkan fasilitas semacam ini. Untuk itu, tidak perlu lagi dipermasalahkan mengenai ukuran dan bobot fisik dari Al-Quran karena kini Al-Quran sudah dapat dibawa dengan mudah, hanya dalam satu genggaman tangan dan dibuka dengan sentuhan jari.

Selain kemudahan, Al-Quran masih memiliki keaslian dan tetap terjaga, seperti pada saat pertama kali diturunkan. Kaum Muslim tidak perlu lagi khawatir akan pembajakan Al-Quran karena sudah banyak para hafiz yang senantiasa menjadi salah satu perantara Allah SWT. dalam menjaga keaslian Al-Quran. Dengan demikian, umat Islam seharusnya bisa mengoptimalkan keadaan ini dengan senantiasa membaca Alquran dan mengamalkannya.

Semua kemudahan yang sekarang dirasakan tentunya tidak terlepas dari peran seorang manusia yang setia membawa risalah dari Allah SWT. dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, yaitu Rasulullah SAW. Seorang laki-laki pilihan Allah yang berakhlak paling mulia, ibadah yang paling sempurna, dan pemaaf yang paling baik di antara semua manusia di dunia ini. Bukanlah sesuatu yang mudah untuk menerima wahyu dan menyampaikannya hingga wahyu tersebut sampai kepada kita yang berbeda masa dengan beliau. Banyak hambatan dan ujian yang beliau hadapi dalam proses dakwah ini, mulai dari penghinaan, pengucilan, sampai dengan ancaman pembunuhan yang datang dari pamannya sendiri. Namun, Rasulullah SAW. tidak menyelesaikan semua masalah ini dengan amarah dan balas dendam. Justru pintu maaf yang amat lebar beliau sediakan untuk orang-orang yang telah mencelakainya.

Sayangnya, contoh yang telah beliau tunjukkan kepada kita selaku umatnya belum dapat diikuti dengan cukup baik. Hal tersebut berawal dari perubahan keadaan sosial yang kini sudah tidak lagi bernuansa ketimuran. Bahkan dalam acara reality show di beberapa stasiun televisi swasta, menayangkan beberapa masalah yang selalu dihadapi oleh masyarakat dengan amarah. Begitu juga yang terjadi di masyarakat yang sebenarnya.

Bangsa Indonesia ini sepertinya telah terwarnai oleh paham liberalisme yang menjadikan kita lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Selain itu, tidak kalah pula dengan budaya mengeluh yang senantiasa berkomentar tanpa mengambil tindakan yang pasti untuk memperbaiki suatu kerusakan. Tidaklah heran jika ada sebuah pepatah yang mengatakan, "Kemerdekaan itu diperjuangkan oleh orang-orang ikhlas, dimenangkan oleh orang-orang berani, tetapi dinikmati oleh para pengecut."

Bangsa yang sudah merdeka ini tidak seharusnya bercerai-berai dan gemar mengkritik tanpa memberikan solusi. Ada kalanya bila rakyat menginginkan perubahan, mereka harus memercayai pemimpinnya secara utuh. Begitu pula dengan para pemimpin yang tidak boleh diam saja menerima kepercayaan rakyatnya. Jangan hanya karena segelintir pejabat yang melakukan korupsi rakyat menyebut pemerintahan saat ini sangat korup. Masyarakat mengatakan bahwa hidup di zaman ini sangat sulit, tetapi entah mengapa kendaraan bermotor terus saja bertambah dan pusat perbelanjaan pun semakin ramai. Tidak terkecuali dengan para pejabat dan politikus yang kini sedang berebut citra ’bersih’ di mata masyarakat, dengan saling merendahkan satu sama lain. Entah virus apa yang telah menjangkiti orang-orang di negeri ini sehingga negara Indonesia yang damai, adil, makmur, dan sejahtera, sepertinya sangat tidak mungkin untuk dicapai.

Ramadhan, khususnya hari ke-17 kali ini yang bertepatan dengan Nuzulul Quran, seyogianya menjadi saat yang tepat untuk bercermin kepada akhlak Rasulullah SAW. Bagaimana beliau menerima wahyu itu sendiri lalu bersedih dalam kesunyian karena orang-orang di sekitarnya tidak ada yang mau mendengar seruannya. Padahal, hal yang beliau lakukan semata-mata untuk memperingatkan dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang mengikuti seruannya. Bahkan yang senantiasa ia tangisi bukanlah keselamatannya, melainkan keselamatan umatnya yaitu kita. Sikap peduli dan simpati menjadikan beliau dapat merasakan dan memahami kesulitan dari para sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Ditambah lagi dengan sifat pemurah beliau yang senantiasa memaafkan dan tidak pernah merendahkan orang lain, sehingga Rasulullah mendapat gelar orang paling berpengaruh di antara seratus orang paling berpengaruh di dunia. Lalu, apa lagi yang diragukan untuk mencontoh perbuatan Rasulullah SAW. setelah ada bukti yang begitu jelas ?

Semoga Ramadhan kali ini bisa menjadi awal dari perubahan yang baik bagi bangsa ini. Puasa yang dilakukan saat ini, hendaknya dapat ditransformasikan menjadi kebiasaan menahan diri yang kuat ke dalam kehidupan sehari-hari di bulan selain Ramadan. Karena manusia yang paling kuat adalah manusia yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan setiap perilakunya. Dengan pribadi yang dapat saling mendengar dan saling memahami, tentunya kita dapat memulai segala sesuatunya dari awal dan menciptakan suatu situasi dan kondisi yang diidam-idamkan bersama.***

[Ditulis oleh : FAIZ URFAN, staf Lembaga Dakwah Kampus Unit Kegiatan Dakwah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (LDK UKDM UPI). Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 27 Agustus 2010 pada kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Dalam kehidupan manusia, ada beberapa tipe manusia yang menolak dakwah Islam, di antaranya, tipe Abu Lahab. Dia menolak Islam karena anti dan benci kepada Muhammad dan ajaran yang dibawakannya. Padahal sebelumnya begitu simpati kepada Muhammad, sampai anaknya juga dinikahkan kepada putra nabi karena tertarik dengan akhlak Muhammad.

Namun setelah Muhammad menjadi nabi / rasul, Abu Lahab berbalik 180 derajat dan membenci Nabi bahkan untuk sekadar menyebut nama Muhammad saja tidak mau, karena arti Muhammad itu terpuji dan diganti dengan menyebut `Mudzammam` (orang tercela). Dia dan istrinya aktif menghadang dakwah Nabi, ke mana saja Nabi pergi, dia selalu membuntutinya untuk mendustakan dakwahnya.

Kedua, tipe Abu Jahal. Dia tidak berani mendustakan Nabi dan dia yakin bahwa Nabi adalah orang jujur tetapi dia berambisi untuk menjadi pemimpin.

Pada suatu malam, Abu Jahal kepergok oleh Akhnas sedang mendengarkan bacaan Al-Quran di luar rumah Nabi, kemudian ditegur oleh Akhnas, "Bukankah kamu membenci Nabi tetapi mengapa mendengarkan bacaannya ?" Abu Jahal berjanji bahwa ia tidak akan mengulangi lagi. Akan tetapi keesokan malamnya, dia kepergok lagi sedang mendengarkan Al-Quran, mungkin ada ayat-ayat Al-Quran yang ceritanya menarik.

Dia berjanji lagi kepada Akhnas bahwa ia tidak akan mengulanginya, tetapi ternyata keesokan malamnya kepergok lagi dan pada akhirnya Akhnas bertanya kepada Abu Jahal, "Bagaimana sebenarnya tanggapan kamu kepada Muhammad ?" Abu Jahal menjawab, "Memang Muhammad itu orang jujur, saya belum pernah menyaksikan Muhammad berdusta sejak kecilnya."

Kemudian Akhnas bertanya lagi, "Mengapa tidak masuk Islam saja ?" Abu Jahal menjawab, "Sebenarnya saya yang berhak menjadi pemimpin." Inilah alasan Abu Jahal, mengapa menolak ajaran Islam, yaitu karena berambisi untuk menjadi pemimpin.

Ketiga, tipe Abu Thalib. Dia seorang tokoh Quraisy yang disegani dan dihormati. Peran dia begitu besar dalam menjaga keselamatan Nabi dari ancaman orang-orang Quraisy.

Pada satu waktu, mereka datang kepada Abu Thalib sambil menawarkan seorang pemuda tampan. Mereka menganjurkan kepada Abu Thalib, "Ambillah pemuda ini dan serahkanlah Muhammad kepada kami untuk kami bunuh." Abu Thalib marah kepada mereka sambil berkata, "Sungguh jelek permintaan kamu. Kami harus menyerahkan anak kami untuk dibunuh, sementara kami harus mengurus anak orang lain."

Demikianlah jasa Abu Thalib terhadap Nabi, sehingga orang Quraisy tidak bisa membinasakan Nabi karena mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib. Akan tetapi sayangnya, Abu Thalib tidak sampai mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bukti dia masuk Islam, karena gengsi dan takut dicemooh orang banyak sebagai seorang tokoh yang plinplan dan tidak mempunyai pendirian yang kuat.

Walau demikian, di akhir hayatnya, dia pernah berwasiat, "Kami berpesan kepada kamu agar berlaku baik kepada Muhammad. Dialah orang yang terpercaya di kalangan Quraisy dan orang yang jujur di kalangan orang Arab. Dialah yang menghimpun sifat-sifat yang kami wasiatkan. Dia telah membawa ajaran yang dapat diterima oleh hati tetapi berat diucapkan oleh lisan karena takut terjadi perpecahan. Jadilah kamu sekalian pelindung Muhammad dan pembela pengikutnya. Demi Allah! Tidak sekali-kali seseorang berada di jalannya kecuali pasti mendapatkan petunjuk dan tidak mengambil hidayahnya kecuali pasti beruntung."

Semua kisah ini menunjukkan betapa mahalnya hidayah. Ternyata orang yang mencintai dan dicintai Nabi juga tidak semudah itu menerima hidayah. Juga agar dijadikan pelajaran oleh para dai dan mubalig, agar tidak sakit hati jika tidak berhasil dan tidak menepuk dada atau sombong jika dakwah kita langsung diterima. Pada hakikatnya, Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Selain itu, ada pula manusia yang digolongkan dengan predikat An`amta `Alaihim (meraih nikmat Allah). Dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 69,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa : 69)

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan nikmat Allah itu adalah 4 (empat) kelompok.
  1. Kelompok pertama, para nabi, yaitu mereka yang dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugaskan untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi. Mereka yang selalu berucap dan bersikap benar serta memiliki kesungguhan, amanah, kecerdasan, dan keterbukaan, sehingga mereka menyampaikan segala sesuatu yang harus disampaikan.
  2. Kelompok kedua, ash-shiddiqin, yaitu orang-orang yang dalam kondisi dan situasi apa pun selalu benar dan jujur. Mereka tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran. Tampak di pelupuk mata mereka yang hak. Mereka selalu mendapat bimbingan Ilahi, walau tingkatnya berada di bawah tingkatan bimbingan yang diperoleh para nabi dan rasul.
  3. Kelompok ketiga, asy-syuhada, yaitu mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebaikan melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun, dan atau mereka yang disaksikan kebenaran dan kebaikannya oleh Allah SWT, para malaikat, dan lingkungan mereka.
  4. Kelompok keempat, orang-orang saleh, yaitu mereka yang tangguh dalam kebaikan dan selalu berusaha untuk mewujudkannya. Kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran, maka itu adalah pelanggaran kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan mereka.
Ayat di atas tidak menafikan nikmat-nikmat lainnya, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dan jabatan. Hanya jika dibandingkan dengan semua macam kenikmatan, maka nikmat agama merupakan nikmat yang paling besar dan paling tinggi nilainya.

Kekayaan jika tidak dibarengi dengan agama, maka tidak mustahil pada suatu ketika, kekayaan itu akan beralih menjadi niqmat (bencana atau malapetaka). Demikian juga kedudukan atau peraihan jabatan tanpa agama, tidak mustahil pada suatu saat akan membuat dia menderita dan tersiksa.

Tidak sedikit bukti yang kita saksikan, orang-orang yang tadinya meraih jabatan yang tinggi tetapi akhirnya harus mendekap di penjara, menjadi orang yang hina di mata orang banyak. Apa artinya jabatan dan kekayaan jika harus berakhir dengan penderitaan. Belum lagi nanti tuntutan di hari akhir, di mana siksaan dan penderitaan tiada taranya.

Qarun tidak termasuk An`amta `Alihim, walaupun dia seorang konglomerat. Demikian juga Firaun, walaupun dia seorang raja dan penguasa karena mereka tidak beragama.***

[Ditulis oleh KH. ACENG ZAKARIA, ketua Bidang Tarbiyyah PP Persis dan pimpinan Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Kamis (Legi) 26 Agustus 2010 pada kolom "CIKARACAK"]
Sungguh merupakan sebuah kebahagiaan yang sangat luar biasa, kita diberi kesempatan menikmati bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan, ampunan, rahmat, dan kasih sayang Allah SWT.

Ramadhan adalah bulan paling agung dan mulia, bulan yang sungguh istimewa. Kehadirannya selalu dirindukan dan dinantikan umat Islam di seluruh dunia. Karena pada bulan ini, Alquran yang merupakan kitab suci umat Islam diturunkan. Bulan Ramadan semakin luar biasa karena pada bulan tersebut terdapat malam lailatulqadar.

Pada bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Dengan demikian, beruntunglah orang-orang yang dengan tulus ikhlas memanfaatkan bulan Ramadan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebaliknya, barangsiapa yang terhalang mendapatkan kebaikan di bulan ini, sungguh merugilah dia. (HR. Imam Ahmad dari Abu Hurairah)

Dalam menghiasi bulan Ramadhan, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan meningkatkan ibadah baik ibadah wajib maupun sunah, hendaknya bulan ini dijadikan momentum untuk menggapai rida Allah SWT. melalui amal saleh, berbuat kebajikan kepada sesama seperti halnya memupuk sikap mudah memaafkan.

Memaafkan merupakan salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al-Quran, seperti tertulis dalam firman-Nya :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf....." (QS. Al- A`raf : 199)

Firman lain-Nya menyatakan bahwa hamba yang lebih mulia di hadapan Allah SWT. adalah hamba yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan. Dalam ayat lain Allah SWT. berfirman :
أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
"....dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada...Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur : 22)

Ada perbedaan pemahaman ’memaafkan’ antara pemahaman orang-orang beriman dan mereka yang tidak menjalani hidup sesuai dengan ajaran Al-Quran. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang telah menyakiti mereka, perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka.

Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini. Belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang yang beriman juga mampu memaafkan walaupun sebenarnya mereka benar dan orang lain salah.

Sikap lain yang harus dipupuk adalah tidak hasad. Jika manusia hasad dan tamak menginginkan sesuatu dari orang lain, ia akan menjadi "buta". Rasulullah SAW. bersabda : "Cintamu terhadap sesuatu bisa menjadikanmu buta dan tuli, sehingga hendaknya kita memerangi rasa dengki/hasud/hasad, karena melakukan hasud tidak sekadar dosa biasa, bahkan dianggap berbahaya."

Dalam Al-quran Surat Al-Falaq, Allah SWT. memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud.

Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh tawakal dan kesabaran serta mampu mengendalikan diri. Dengan demikian, kita meraih visi hidup yang paling kita dambakan, yaitu mencapai derajat kemanusiaan tertinggi, derajat muttaqin. Marhaban Ya Ramadhan***

[Ditulis Oleh: H. AANG HAMID SUGANDA, Bupati Kuningan. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Kamis (Legi) 26 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]