Manusia makhluk yang paling sempurna dan mulia, baik dalam penciptaannya maupun dalam keberadaannya sebagai makhluk.


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra: 70)

Allah memberikan kemudahan, kelancaran, kelapangan, kesejahteraan, dan kemuliaan dalam kehidupan manusia. Kita hanya diberi tugas sebagai khalifah untuk mengatur dan memelihara dunia ini untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Kelebihan dan kemuliaan ini harus dipelihara. Jangan dibiarkan terjerumus dalam kehinaan dan kenistaan.

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)

Salah satu bentuk kemuliaan yakni suami dan istri harus dapat menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Kesucian diri dari melakukan maksiat dan perzinaan. Sering kali perzinaan dan perkosaan telah terjadi di mana-mana, terutama di kalangan usia remaja. Para orangtua belum dapat mencegah secara optimal kepada putra putrinya dari masalah perzinaan.

Hal itu disebabkan pergaulan bebas belum bisa dicegah secara utuh dan ajaran agama yang dianutnya hanya masih bersifat wacana. Sesungguhnya Allah SWT. melarang perbuatan zina dengan melarang unsur-unsur yang mendekatkan orang berbuat zina.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra: 32)

Pelaku zina bukan hanya dia berdosa dan diancam dengan azab neraka di akhirat kelak, tetapi di dunia pun ia terhina dan dikucilkan di tengah masyarakat. Berarti diri dan kehormatannya terinjak. Akankah perbuatan itu harus terus berlangsung? Hendaknya kita memelihara jiwa, diri, dan kehormatan dari kehinaan dan kenistaan.

Selain itu, suami dan istri harus bisa menjaga kebaikan keturunannya. Memelihara jiwa, diri, dan kehormatan dari perbuatan zina merupakan bagian dari memelihara keturunan. Selain itu, memelihara keturunan juga bisa menjaga keutuhan, keharmonisan, ketenangan, dan keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Rasulullah memberikan contoh kecil pada sebuah haditsnya dalam membina dan memelihara keturunan seseorang, yaitu bahwa dia tidak boleh saling mencaci bapak dan ibu masing-masing di antara kita, sebagaimana dalam potongan haditsnya,


"...fa yasubbu abaahu wa yasubbu ummahu" (dilarang masing-masing kita mencaci ayah dan ibu orang begitu pula sebaliknya).
Menjaga keturunan harus terlibat seluruh personal anggota keluarga itu. Jika salah seorang baik, seluruh akan terbawa baik. Akan tetapi, jika salah seorang buruk, semua akan kena getahnya.

Tugas lain dari orangtua dalam keluarga adalah menjaga kemaslahatan harta bendanya. Orang yang memelihara harta bukan termasuk hubbud dunyaa (cinta dunia) dan takut mati. Akan tetapi, bagaimana harta dunia yang ia miliki harus menjadi perantara atau sarana dalam berbakti dan beribadah kepada Allah SWT.
Dunia perlu dijaga dan dipelihara. Memelihara dunia bukan karena takut dicuri orang tetapi bagaimana dunia/harta yang dimiliki itu dari mana diperolehnya. Apakah dari jalan yang halal atau haram? Lalu, ke mana harta itu digunakan? Apakah untuk foya-foya atau untuk ibadah?

Sering kali terjadi di masyarakat seseorang mencari harta tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Banyak di antara mereka berkata, "Mencari harta yang haram saja sulit apalagi yang halal."

Bukankah kita mengetahui bahwa harta yang dimakan dari jalan haram maka akan timbul dan tumbuh seluruh aktivitasnya mengarah kepada perbuatan haram. Pikirannya selalu condong kepada yang diharamkan. Sari pati makanan itu meresap ke mata, maka mata itu ingin selalu melihat yang diharamkan. Sari pati makanan itu meresap ke kaki, maka kaki itu akan selalu ingin melangkah ke tempat-tempat yang diharamkan, begitu seterusnya.

Terakhir, menjaga kemaslahatan agama yang akan menjaga kita dari kekacauan, kehancuran, dan kebinasaan dalam menempuh kehidupan dunia hingga menghadap Allah pada kehidupan akhirat kelak.

Dalam menjalankan agama Islam ada lima pokok ajaran yang harus dilaksanakan, yang dikenal dengan Rukun Islam. Lima perkara ini adalah asas terbesar dan rukun terpenting dalam Islam. Rasulullah menggambarkan agama Islam seperti sebuah kemah yang disangga oleh lima batang tiang. Tiang tengahnya adalah syahadat, sedangkan empat tiang lainnya adalah tiang pendukung untuk menyangga keempat sudut kemah itu. Tanpa tiang tengah, kemah itu tidak akan berdiri tegak, sedangkan jika satu tiang dari keempat sudut itu tidak ada, kemah itu masih bisa berdiri tetapi kondisinya miring dan tidak sempurna.

Setelah membaca hadits ini, mari kita lihat keadaan kita, keadaan rumah tangga kita, sejauh mana kita tegakkan tiang-tiang Islam itu dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga kita. Di antara lima tiang itu, tiang manakah yang kita tegakkan dengan sempurna?

Wallahu a'lam.***

[Ditulis Oleh H. HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL AYDARUS, Ketua Yayasan Assalaam dan mantan Ketua PW NU Jabar. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 29 Desember 2011 / 4 Safar 1433 H, pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Setiap orang pasti pernah mengalami sakit, apakah itu sakit ringan ataupun sakit berat. Namun, baik ringan maupun berat, setiap orang berbeda dalam menyikapinya. Bagi sebagian orang, sakit ringan bisa dirasakan begitu menyiksa sehingga terlihat lebih berat dari semestinya. Akan tetapi, bagi sebagian lagi, sakit berat bisa dirasakan ringan jika hati menerimanya dengan ikhlas. Ada anak muda yang terlihat menderita gara-gara jerawat tumbuh di wajahnya. Ia tidak mau keluar rumah karena malu memiliki jerawat yang mengganggu penampilannya. Akan tetapi, ada juga orang yang diberi penyakit berat tetapi ia tetap tegar dengan penderitaannya. Ia tetap beraktivitas seolah-olah tidak sakit.

Secara umum, kondisi sakit mempunyai dua sisi rasa. Namun, yang kerap kita rasakan hanya salah satu sisinya, yakni penderitaan. Sisi lain berapa hikmah dan kenikmatan di balik sakit sering kali kita lupakan. Padahal, jika kita mau merenungkannya, banyak hikmah yang dapat dipetik dari sakit yang diderita.

Beberapa hikmah itu adalah sebagai berikut,
  • Pertama, secara medis sakit merupakan suatu peringatan (warning) mengenai tingkat kekuatan tubuh kita. Jika tubuh kita mengalami satu kondisi, kemudian berakibat sakit, hal itu merupakan peringatan agar kita menghindari kondisi yang sama yang dapat menyebabkan sakit tersebut. Sakit juga memberi kesempatan kepada kita untuk beristirahat dan berkonsultasi dengan dokter sehingga penyakit yang ada tidak menjadi lebih parah dan sulit diobati. Tak jarang, sakit yang dialami mencegah seseorang agar tidak terkena penyakit yang lebih berat lagi.
  • Kedua, sakit dapat menjadi penggugur dosa. Penyakit yang diderita seorang hamba menjadi sebab diampuninya dosa yang telah dilakukan, termasuk dosa-dosa setiap anggota tubuh. Rasulullah SAW. bersabda,
    "Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersama dosa-dosanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Ketiga, orang yang sakit akan mendapatkan pahala dan ditulis untuknya bermacam-macam kebaikan dan ditinggikan derajatnya. Rasulullah SAW. bersabda,
    "Tiadalah tertusuk duri atau benda yang lebih kecil dari itu pada seorang Muslim, kecuali akan ditetapkan untuknya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu kesalahan." (HR. Muslim)
  • Keempat, sakit dapat menjadi jalan agar kita selalu ingat pada Allah. Dalam kondisi sakit biasanya orang merasa benar-benar lemah, tidak berdaya, sehingga ia akan bersungguh-sungguh memohon perlindungan kepada Allah SWT. Zat yang mungkin telah ia lalaikan selama ini. Kepasrahan ini pula yang menuntunnya untuk bertobat.
  • Kelima, sakit bisa menjadi jalan kita untuk membersihkan penyakit batin. Pendapat Ibnu Qayyim, "Kalau manusia itu tidak pernah mendapat cobaan dengan sakit dan pedih, ia akan menjadi manusia ujub dan takabur. Hatinya menjadi kasar dan jiwanya beku. Oleh karena itu, musibah dalam bentuk apa pun adalah rahmat Allah yang disiramkan kepadanya, akan membersihkan karatan jiwanya dan menyucikan ibadahnya. Itulah obat dan penawar kehidupan yang diberikan Allah untuk setiap orang beriman. Ketika ia menjadi bersih dan suci karena penyakitnya, martabatnya diangkat dan jiwanya dimuliakan, pahalanya pun berlimpah-limpah apabila penyakit yang menimpa dirinya diterimanya dengan sabar dan ridha."
  • Keenam, sakit mendorong kita untuk menjalani hidup lebih sehat, baik sehat secara jasmani maupun rohani. Sakit membuat orang tahu manfaat sehat. Tidak jarang orang merasakan nikmat justru ketika sakit. Begitu banyak nikmat Allah yang selama ini lalai ia syukuri. Bagi orang yang banyak bersyukur dalam sakit, ia akan memperoleh nikmat.
  • Ketujuh, secara sosial sakit mengajarkan kepada kita bagaimana merasakan penderitaan orang lain, seperti halnya puasa yang mendidik kita agar mengetahui bagaimana pedihnya rasa lapar dan dahaga yang dialami kaum papa. Rasa sakit harusnya melahirkan kepekaan sosial yang lebih tinggi.
Kapan rasa sakit bisa berubah menjadi nikmat dan karunia? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang Muslim agar sakit yang diderita menjadi karunia dan memiliki hikmah yang sangat tinggi.
  • Pertama, terimalah segala musibah dengan ikhlas. Hal ini merapakan manifestasi dari keimanan kita kepada Allah bahwa segala sesuatunya sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa.
    مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
    Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan seizin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghabun: 11)
  • Kedua, sabar saat ditimpa penyakit. Boleh jadi penyakit yang menimpa kita merupakan ujian yang diberikan oleh Allah SWT. sebagai salah satu cara untuk mengetahui kadar keimanan kita. Artinya, seseorang tidaklah terbukti beriman jika ia tidak tahan terhadap ujian yang menimpanya. Selain itu, ujian merupakan salah satu wujud kecintaan Allah terhadap suatu kaum. Hal ini dikabarkan oleh Rasulullah SAW. dalam hadits,
    "Sesungguhnya Allah Azza wa jalla jika mencintai suatu kaum, Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barang siapa yang sabar, maka dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Dan barang siapa marah, maka dia pun berhak mendapatkan (dosa) kemarahannya." (HR. Ahmad)
    Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman,
    وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
    الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
    أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
    Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar
    (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
    Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157)
  • Ketiga, berobat. Hal ini merapakan salah satu bentuk ikhtiar jika kita ditimpa penyakit sebab kita tak dianjurkan membiarkan sakit kita bertambah parah tanpa diobati. Rasulullah SAW. bersabda,
    "Berobatlah kalian. Karena setiap Allah menciptakan penyakit, pasti Allah juga menciptakan obatnya, kecuali satu penyakit saja." Para sahabat bertanya, "penyakit apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Penyakit tua." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Wallahua'lam bish-shawwab.***

[Ditulis oleh YADIN BURHANUDIN, staf pengajar STAI. Persatuan Islam Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 30 Desember 2011 / 5 Safar 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat). (QS. Ibrahim: 34)
Membaca merupakan perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah SAW. melalui wahyu pertama.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (QS. Al-Alaq: 1)


Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah SWT. yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah SWT. untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah SWT. yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi sangat ingkar nikmat.

Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan wahdatul Qur’an kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah SWT. yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. (QS. Ibrahim: 32-33)


Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhluk-Nya sekaligus perintah-Nya untuk membaca hamparan karunia nikmat-Nya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18,

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam penutup ayat ini Allah SWT. hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah SWT. dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenanya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib: “Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.

Membaca kasih sayang Allah merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya:
  • Pertama, Mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut.
  • Kedua, Mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian.
  • Ketiga, Membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat.
  • Keempat, Mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah SWT. dalam firman-Nya:

    لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
    Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu. (QS. Ibrahim: 7)
Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah SWT. dalam bentuk yang lainnya.

Ternyata memang mega proyek Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah SWT. sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah SWT. dalam bentuk anugerah nikmat-Nya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya. Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan proyek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang proyek Iblis tersebut dalam firman-Nya:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (QS. Al-A’raf: 16-17)


Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rawi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur. Allah SWT. pernah berpesan kepada Nabi Daud AS. dan keluarganya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya:


اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). (QS. Saba': 13)

Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah SWT. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’uzhan dan berprasangka buruk kepada Allah. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.

Wallahu a’lam.***

[Ditulis oleh DR. ATTABIQ LUTHFI, MA. Tulisan disalin dari situs http://www.mushollarapi.blogspot.com/]

by

u-must-b-lucky
Hari Jumat? Ih seram. Kalimat itu yang sering penulis dengar ketika mengisi ceramah remaja di salah satu radio swasta di Bandung. Penggambaran Jumat seperti di televisi dikaitkan dengan hal-hal gaib dan menyeramkan, sehingga setiap malam Jumat selalu diputar film-film berbau mistik.
Padahal Jumat merupakan hari besar kita sebagai kaum Muslimin. Dalam banyak riwayat, amat dianjurkan untuk menyuburkan amal saleh pada hari ini, bahkan sejak malam Jumat, karena hitungan hari dalam tahun Qomariyah (Hijriah) dimulai yaitu sejak terbenamnya matahari (maghrib). Oleh karena itu, suasana pun seolah berbeda dengan malam-malam lainnya.

Kondisi berbeda bisa kita temui di Arab Saudi yang malam Jumat umumnya digunakan untuk bertamasya dengan keluarga. Mereka berkumpul di tempat-tempat bermain keluarga sambil makan-makan. Alasannya, selain karena siangnya amat panas, juga karena esoknya adalah hari libur.

Puncak Jumat adalah pada waktu shalat Zuhur. Shalatnya dikembalikan kepada asalnya shalat yaitu dua rakaat, dan dua rakaatnya lagi dijadikan dua khotbah yang dilakukan sebelum dua rakaat shalat. Dua khotbah yang mengawali shalat wajib diikuti dan didengarkan dengan khusyuk dan sungguh-sungguh oleh semua jemaah.

Rasulullah SAW., berpesan dalam hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi dari Sahabat Abu Hurairah
"Jika kamu berkata kepada temanmu di sebelah, Hei diam ketika imam sedang berkhotbah maka Jumatmu sia-sia."


Kondisi siang hari yang melelahkan di tengah malaksanakan akivitas kita sebagai pegawai, pedagang, guru, mahasiswa, pelajar, ditambah secara psikologis kita mau mengistirahatkan diri dengan sambil memejamkan mata, yang terjadi kemudian adalah kita tertidur saat khotbah Jumat. Ada yang posisinya masih mantap tegak dengan tidur amat ringan, sampai ada yang dengan posisi agak tertunduk ke depan, bahkan ada yang sampai mengeluarkan dengkuran ringan.

Mengenai tidur saat khotbah Jumat, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii dan Hanafi, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang posisinya memungkinkan keluarnya angin (kentut) tanpa disadarinya, yaitu tidur dalam posisi berbaring atau bersandar di tembok atau tiang, sehingga membatalkan wudhu yang otomatis membatalkan shalat. Akan tetapi, bila tidur atau fly-nya dalam posisi duduknya mantap, tidak berubah pantat, yang tidak memungkinkan angin keluar, wudhunya tidak batal.

Bila tidurnya tidak membatalkan wudhu kemudian bangun ikut melaksanakan shalat Jumat, shalat Jumatnya sah. Sabda Nabi SAW., seperti diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas
"Wudhu tidak wajib, kecuali bagi yang tidurnya terlentang."

Imam Malik meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, tidur sambil duduk tentu dengan duduk yang mantap. Kemudian ia bangun dan terus melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Menurut Anas bin Malik, sahabat-sahabat Nabi pun terkadang tidur sambil duduk sampai sekali-sekali kepala mereka pun tertunduk untuk menanti datangnya shalat Isya. Kemudian mereka malaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.

Sementara itu, mazhab Maliki dan Hambali tidak membedakan posisi duduk tidurnya, tetapi dari nyenyaknya tidur. Siapa yang tidurnya nyenyak maka batal wudhunya, sedangkan yang tidurnya ringan, tidak batal wudhunya. Tanda nyenyaknya tidur adalah tidak mendengar suara atau tidak merasakan jatuhnya apa yang sedang dipegangnya.

Jika ia kemudian sadar karena merasakannya, tidurnya adalah tidur ringan sehingga wudhunya tidak batal, dan shalat yang dilaksanakannya insya Allah sah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik di atas, yang menunjukkan bahwa tidur yang ringan tanpa mempertimbangkan cara duduk tidak membatalkan wudhu.

Bagi yang shalat Jumatnya sah, seperti di atas, belum tentu mendapatkan keutamaan Jumat. Kemungkinan dia hanya gugur kewajiban shalat Jumatnya. Padahal inilah saat wajib bagi seorang Muslim, khususnya laki-laki, untuk mendapatkan nasihat segar tentang ketakwaan, karena boleh jadi di saat yang lain di minggu ini, dia tidak sempat menghadiri dan atau mendengarkan pengajian atau membaca nasihat ketakwaan dalam tulisan.

Inilah yang disebut laa Jum'ata lahu (tidak sempurna Jumat-nya), karena ia hanya mendapatkan setengahnya, yaitu shalat dan yang setengahnya lagi disia-siakannya, yaitu dua khotbah dari imam. Tidak didengarkannya, sehingga tidak tahu pesan ketakwaannya. Ada fadilah lain yang dihidangkan saat ini yaitu kesempatan bertemu dengan komunitas kita dan dengan yang lainnya yang dapat kita peroleh. Silaturahim yang dilakukan setelah beribadah besar seagung shalat Jumat akan amat efektif untuk kemaslahatan.

Oleh karena itu, secara psikologis, turunkan ketegangan jiwa karena pekerjaan dan tugas berat keseharian selama sepekan, minimal ketegangan di hari itu dengan suasana hati dan jiwa yang pasrah. Ambil segala kebaikan yang terhimpun dari hamba-hamba yang pasrah kepada Allah. Lalu istirahatkan jiwa dengan menurunkan level beta (tegang) pikiran kita ke level alpha (tenang dan tenteram), sehingga kemudian diri ini menjadi sangat mudah menerima sugesti ilahiyah. Berlatihlah khusyuk dengan tidak memejamkan mata.***

[Ditulis oleh H. SAEFUDDAULAH MEHIR, penceramah, pengasuh Pesantren Baitus Shafaa dan pembimbing Umroh Makkah Utama Tour. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 23 Desember 2011 / 27 Muharam 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
Menjelang akhir tahun ini, sebagian masyarakat sudah bersiap-siap untuk mengisi liburan akhir tahun. Ada yang sudah merancang ikan pergi ke suatu daerah, liburan di pantai, menghibur diri di tempat-tempat permainan dan outbound, ataupun berlibur ke rumah orang tua di kampung.

Bagaimana Islam memandang liburan ini? 

Ketika penjajahan Belanda, para pekerja perkebunan juga mendapatkan liburan/istirahat dengan cara membelanjakan penghasilannya. Mereka memborong barang-barang sehingga uangnya kembali lagi kepada penjajah.

Demikian pula saat penjajahan Jepang di Indonesia yang menyediakan toko khusus untuk menghibur diri dan menghabiskan uang gajinya. Sementara saat zaman kerajaan di Jawa, khususnya Paku Buwono X, juga dikenal istilah liren yaitu waktu mengistirahatkan seluruh fisik dan batin untuk mendapatkan stimulus baru.

Beristirahat merupakan bagian dari fitrah manusia. 

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ 
(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30)

Islam merupakan agama fitrah (sesuai dengan kondisi dan kebutuhan manusia) serta seimbang. Islam menganjurkan pemeluknya untuk bekerja keras, tetapi juga berlibur. Menyuruh untuk beribadah dengan khusyuk, tetapi juga perintah agar umat manusia melakukan refreshing. Menggapai sukses di dunia juga sukses di akhirat.

Berlibur pada dasarnya adalah mengalihkan waktu dengan melaksanakan kegiatan yang bertujuan rehat, bersantai, terbebas dari rutinitas keseharian, tetapi tetap bernilai ibadah dan bermanfaat. Liburan bukan berarti harus sia-sia dalam mengisi waktu. Tidak ada hal sia-sia setiap detik dan jejak kehidupan seorang Muslim.

Liburan merupakan salah satu cara untuk meredakan diri dari kesibukan, seperti men-charge kembali baterai kosong untuk menimbulkan rangsangan semangat baru setelah keluar dari aktivitas normal. Jika kita bisa memanfaatkan liburan dengan baik, hidup kita akan menjadi lebih berarti. Liburan yang baik dapat mencerahkan pikiran, membentuk pola pikir lebih positif, meningkatkan kreativitas dan produktivitas, serta mampu menurunkan kasus depresi klinis.

Allah SWT. menganjurkan manusia untuk mengadakan perjalanan di muka bumi untuk mendapatkan hikmah (pelajaran). 

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ
Katakanlah, berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa. (QS. An-Naml: 69)

Dalam suatu riwayat diceritakan, Hanzhalah (salah seorang juru tulis Nabi SAW.) dan Abu Bakar merasa dirinya munafik. Ketika di depan Nabi mereka semangat beriman dan beribadah, tetapi jika mereka bertemu dengan keluarga, istri, atau anak-anak, menyebabkan mereka lupa. Keduanya pun menemui Nabi SAW. dan menceritakan kondisi tersebut. Nabi bersabda, 
"Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, jika kalian senantiasa dalam kondisi berdzikir dalam segala kondisi sebagaimana ketika kalian bersama saya, maka para malaikat akan menyalami kalian, di rumah-rumah kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat. Beliau mengatakan ini tiga kali." (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Sesaat melakukan demikian dan sesaat lainnya melakukan yang lain." Imam An-Nawawi menambahkan, "Rehatkan jiwa kalian dari rutinitas ibadah dengan melakukan hal yang dibolehkan, yang tidak ada dosa tetapi juga tidak berpahala." Dalam persoalan ibadah, beriman, dan bertakwa, tidak ada istilah liburan kecuali bagi anak-anak ataupun orang yang hilang ingatan.
Kenyataan sehari-hari kita menemukan banyak liburan yang menjurus ke foya-foya, bersenang-senang dengan meninggalkan ibadah, ataupun berbuat dosa, seperti mabuk baik minuman keras maupun narkoba. Nabi menyatakan, 
"Apabila banyak dikonsumsi memabukkan, maka sedikit pun haram."


Jadi, Islam tidak memandang kandungan alkohol atau sedikit banyaknya narkoba yang dikonsumsi karena semuanya haram.

Hal lain yang perlu dihindari adalah berutang demi sekadar untuk berlibur. Utang bisa dalam bentuk uang tunai ataupun kartu kredit yang nantinya bisa membebani di kemudian hari. Bahkan, ada juga Muslim yang melakukan ijon dengan menjual barang-barang produksinya untuk mendapatkan uang agar bisa berlibur.

Kalau Anda tak punya dana untuk berlibur, jangan memaksakan diri. Isi masa liburan untuk meningkatkan pemahaman keluarga pada ajaran Islam. Mengikutkan anak pada acara pesantren kilat liburan merupakan salah satu alternatif yang baik. Saat ini pesantren kilat tidak hanya diselenggarakan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga yang diselenggarakan saat liburan sekolah.

Bisa juga menata rumah agar menjadikan surga (baiti jannatii), misalnya bersih-bersih, mempercantik tampilan rumah, belajar memasak dan membuat kue. Liburan juga bisa diisi dengan menyambung kembali silaturahmi dengan keluarga atau teman yang telah lama tidak bertemu. Orang tua juga bisa mengajak anak-anaknya untuk mengasah simpati dengan berkunjung ke panti asuhan, panti jompo, atau tempat pengungsian korban bencana, sehingga anak akan selalu ingat untuk selalu bersyukur dan sabar.

Selamat berlibur!***

[Ditulis oleh: H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 22 Desember 2011 / 26 Muharam 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Dalam situasi perekonomian yang kian terpuruk, serta pergaulan dan persaingan hidup yang semakin ketat dan berat, kini banyak orang terkena stres berat. Hidup seperti kehilangan pegangan, bahkan tidak sedikit orang kemudian terjerumus ke lembah maksiat dan dosa.

Bagi orang yang beriman, seharusnya tidak terjerumus ke dalam situasi seperti itu karena baginya masih mempunyai tempat untuk mencurahkan segala macam problematika hidup ini kepada Allah SWT. melalui doa yang ikhlas, khusyu' dan benar.

Berdoa bagi seorang Muslim hukumnya wajib. Allah mengategorikan orang yang tidak mau berdoa sebagai manusia takabur. Orang ini merasa dirinya mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mengatasi segala persoalan hidupnya. Orang seperti itu diancam Allah tempat kembalinya kelak adalah neraka jahanam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Rasulullah SAW. menjelaskan bahwa ikhtiar dan upaya manusia tidak ada faedahnya ketika takdir Allah datang. Karena takdir Allah ada di atas ikhtiar dan usaha manusia. Akan tetapi, doa itu sangat bermanfaat bagi hal-hal yang sudah menimpa kita dan yang belum menimpa kita.
Allah SWT. telah memberikan jaminan akan memenuhi setiap doa hamba-Nya, sebagai firman-Nya,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah Kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. (QS. Ghaafir : 60)

Selain itu, tentu saja dengan memperhatikan dan memenuhi segala ketentuan dan adab-adab lainya dalam berdoa, antara lain:
  • Pertama, syarat utama dikabulkannya doa adalah hadirnya hati yang disertai optimisme bahwa Allah akan mengabulkannya. Sebagaimana diriwayatkan Imam Tarmidzi dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW. bersabda,
    "Berdoalah kepada Allah dan kamu yakin akan dikabulkan. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima doa dari hati yang lalai dan lupa."
  • Kedua, tidak terburu-buru dan putus harapan dalam berdoa. Dalam hadits Imam Bukhari, Rasulullah SAW. mengingatkan bahwa
    Allah akan memenuhi setiap doa asal tidak terburu-buru dan putus harapan dengan mengatakan, "Aku sudah berdoa, tetapi tidak diijabah juga."
  • Ketiga, berdoa dengan suara yang lembut, dengan perasaan takut tidak dikabul, tetapi besar keiinginan untuk dikabul,
    ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
    وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
    Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
    Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A'raaf: 55-56)


    Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, suatu hari datang kepada Nabi SAW. seorang Arab bertanya tentang Allah itu dekat atau jauh. Jika dekat, ia berdoa dengan berbisik, tetapi jika jauh akan berteriak. Jawabannya malah langsung dari Allah dengan turunnya Surat Al Baqarah: 186, yang menegaskan bahwa Allah itu dekat.
    وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّيفَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
    Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
    Maka sesuai dengan logika pertanyaan sahabat tadi, berdoa bukan dilakukan dengan suara keras-keras sampai tegang urat leher, bahkan mengganggu orang sekitar, melainkan dengan lembut. Ingat kita sedang berdoa kepada Zat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
  • Keempat, apik dalam makan, minum, pakaian, dan segala kebutuhan hidup, jangankan yang jelas-jelas haram yang subhat pun harus dihindari, baik zatnya maupun cara perolehannya. Di antara penghalang dikabulkannya doa adalah manakala seseorang tidak mempedulikan halal dan haram dalam mendapat rizkinya. Sebagaimana ditetapkan dalam hadits sahih, Rasulullah SAW. bersabda,
    "Seorang laki-laki mengulurkan kedua tangannya ke langit, seraya berkata, "Wahai Tuhanku, sementara makanannya, haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan haram, maka bagaimana doanya bisa dikabulkan." (HR. Muslim dan yang lainnya)
  • Kelima, Allah akan menggantikan permintaan hamba dengan sesuatu yang mengandung kebaikan. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa'id RA., Rasulullah SAW. bersabda,
    "Tidak ada seorang Muslim yang berdoa dengan suatu doa, yang di dalamnya tidak ada unsur perbuatan dosa atau pemutusan silaturahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya tiga pilihan. Pertama, segera mengabulkan doanya, kedua, menyimpannya untuk di akhirat, dan ketiga, melepaskannya dari kesulitan." (HR. Hakim)
Berdoa itu bisa dilakukan kapan dan di mana saja, tetapi ada saat-saat doa kita besar harapan untuk diijabah, antara lain : Ketika wukuf di padang Arafah (ketika ibadah haji), antara azan dan ikamat (HR. Nasai), pada hari Jumat, Imam Ahmad meriwayatkan setelah shalat Ashar hari Jumat, dalam Shalat Tahajud (Imam Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah SAW. bahwa setiap dini hari Allah turun ke bumi dan mengimbau, "Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku saat ini pasti Aku kabulkan. Barangsiapa meminta pasti aku beri, dan Barangsiapa yang beristighfar pasti aku ampuni."), dalam sujud, Imam Muslim meriwayatkan anjuran Nabi SAW. yang menyatakan,
"Saat yang paling dekat seorang hamba Allah adalah ketika sedang sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa."

Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berdoa, dan dikabul doanya oleh Allah SWT. Akan tetapi ada orang-orang yang mempunyai peluang yang lebih untuk diijabah doanya, antara lain orang tua untuk anaknya, orang yang dizalimi untuk yang menzaliminya, musafir, orang yang sedang shaum, pemimpin yang adil.

Mengenai redaksi doa, ada yang sudah mashyur, yakni dengan meminjam redaksi dari ayat-ayat Al-Qur'an, dan hadits-hadits Nabi SAW., dengan memahami maknanya agar tepat sasaran. Atau menggunakan redaksi dan bahasa sendiri, sesuai kebutuhan masing-masing.

Wallahu a'lam. ***

[Ditulis oleh H. EDDY SOPANDI, peserta majelis taklim di beberapa masjid antara lain Al-Furgon UPI, Istiqomah, Viaduct, Salman ITB. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 16 Desember 2011 / 20 Muharam 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
Seorang sahabat yang tinggalnya dari wilayah jauh, suatu hari datang menghadap Rasulullah SAW. "Wahai Rasulullah, saya datang dari dusun yang jauh menghadap untuk berikrar kepadamu bahwa saya siap hijrah melaksanakan perintahmu dan berjuang menegakkan titahmu. Saya juga siap mati melaksanakan perintah agama," kata pemuda tersebut.

Rasulullah SAW. bertanya, "Baik. Apakah kau masih mempunyai ayah ibu atau salah seorang di antara keduanya masih hidup?"

"Wahai Rasulullah, malah keduanya masih hidup. Oleh karena itulah, saya siap melaksanakan tugas berat sebab ayah dan ibu masih hidup."

"Baiklah. Jika ayah dan ibumu masih ada, kembalilah ke rumah, berbuat baiklah kepada ayah ibumu. Setelah kamu secara maksimal berbuat baik pada ayah ibumu, kami akan segera memanggilmu agar segera berangkat ke medan perjuangan," ujar Rasulullah SAW.

Kita renungkan dialog antara Rasulullah SAW. dan pemuda itu. Jihad dengan berbakti kepada kedua orangtua ternyata lebih disarankan Rasulullah SAW. daripada berjihad di medan perang. Sekarang ini kita dihadapkan pada kenyataan munculnya krisis kewibawaan orangtua. Krisis hubungan antara ayah dan ibu dengan anaknya maupun sebaliknya, pada era modern ini memaksa hubungan yang tak harmonis yang berakhir kepada konflik keluarga.

Bukan hanya terjadi kekerasan antara suami kepada istrinya, istri kepada suami, bahkan anak juga kerap melakukan kekerasan kepada orang tuanya. Hal semacam itu sudah menjadi hal biasa dalam keseharian. Malah media massa sering memberitakan kekerasan di dalam rumah tangga antara suami, istri, dan anak-anaknya.

Sering kita menyatakan dusta sebagai dosa, tetapi kita kerap lupa bahwa membentak orangtua juga dosa yang lebih besar daripada dusta. Kita sebagai anak sering merasa sudah memiliki keimanan yang tinggi karena sudah melaksanakan shalat dan shaum (berpuasa), tetapi melupakan kewajiban lain yakni menghormati dengan sungguh-sungguh kepada orang tua. Padahal, menghormati dan patuh kepada orangtua merupakan ciri utama seorang Muslim.

Meski data lama dan terjadi di Jepang, patut kita renungkan. Pada tahun 1978 sebuah lembaga penelitian di Jepang mencatat adanya 6.763 kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak. Mereka terlibat dalam berbagai tindak kejahatan dan sangat menyedihkan 4.288 kasus (80 persen) dari 6.763 kasus itu dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun! Lalu dua tahun kemudian dilakukan penelitian lagi yang ternyata hasilnya kenakalan anak-anak meningkat hampir dua kali lipat. Lebih aneh lagi, dari 9.058 kasus kenakalan anak-anak, 7.108 kasus dilakukan anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Fenomena berbeda terjadi di Jerman Barat (saat belum menjadi Jerman bersatu dengan Jerman Timur). Mereka mencatat 2,5 persen dari jumlah seluruh anak di Jerman melakukan tindak kekerasan. Sementara itu, Amerika Serikat mencatat angka 5,9 persen dari jumlah anak-anak melakukan tindakan kekerasan. Bagaimana dengan Indonesia? Sampai sekarang belum ada data resmi mengenai kasus-kasus kekerasan dan kejahatan yang dilakukan anak-anak.

Dalam sebuah pidato, Rasulullah SAW. pernah bertanya kepada para sahabat dengan pertanyaan yang membangkitkan perhatian luar biasa, "Wahai para sahabat, amal apa saja yang paling dicintai Allah (ayyul'amal ahabbu ilallah)?"

Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu."

"Amal yang paling dicintai Allah adalah pantas kamu lakukan adalah shalat di awal waktu, kedua berbuat baik kepada ayah dan ibu serta ketiga berjuang menegakkan amalan di jalan Allah," ujar Rasulullah SAW.

Hadits itu sangat tegas menyatakan berbuat baik kepada orang tua termasuk di antara tiga amal besar yang paling dicintai Allah. Pantas Al-Qur'an menyatakan berbuat baik kepada orangtua merupakan rangkaian dari tiga amal besar yang menjamin keselamatan manusia. 

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An Nisa: 36)

Allah juga menyatakan, "Allah telah menetapkan sesuatu hukuman yang pasti/suatu ketetapan yang pasti yaitu janganlah menyembah kecuali Allah. Setelah itu hendaklah berbuat baik kepada orangtua.

Ungkapan-ungkapan hampir senada juga dapat kita temukan dalam Al-Qur'an dan sunnah nabi. Intinya menegaskan berbuat baik kepada ayah dan ibu merupakan bagian terpenting dari tiga amal utama.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabatnya. "Wahai kaum Muslimin, inginkah aku tunjukkan dosa paling besar di antara dosa-dosa besar?" Para sahabat menjawab, "Baiklah wahai Rasulullah, tentu kami ingin mendapatkan penjelasan darimu tentang dosa paling besar di antara kelompok dosa-dosa besar."

"Pertama, menyekutukan Allah dan ini dosa paling besar. Kemudian menyakiti ayah atau ibu," jawab Rasulullah SAW.

Semoga anak-anak kita dijauhkan dari perbuatan tak menghormati kedua orangtuanya sebagai dosa besar yang berdampak langsung di dunia maupun akhirat. Sebagai orangtua, kita juga berkewajiban mendidik dan membiasakan anak-anak agar selalu taat kepada Allah, rasul, dan orang tuanya. ***

[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI. Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad Dakwah, serta pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 15 Desember 2011 / 19 Muharam 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky