Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang berkata, "Nasib diri kita ditentukan kita sendiri. Rajinlah bekerja pasti sukses." Di lain pihak, ada juga seseorang yang berkata, "Tak perlu bekerja maksimal karena nasib kita sudah ditentukan Allah. Kita hanya bisa menerima. Sudah, pasrah saja."

Dalam ajaran Islam, dikenal adanya iman kepada Qada dan Qadar Allah. Hal itu berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang mengisahkan dialog antara Nabi dan seorang tamu yang kemudian diketahui sebagai Malaikat Jibril AS. Sang tamu menanyakan tiga hal kepada Nabi, yakni makna Iman, Islam, dan Ihsan. Untuk persoalan Iman, Nabi Muhammad SAW. menjawab, "Iman adalah engkau mengimani Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan Qada-Qadar yang baik ataupun buruk." Mendengar jawaban Nabi, sang tamu pun berkomentar, "Engkau benar."

Al-Qur'an tidak pernah menerangkan urutan keimanan dalam rukun iman yang diakhiri dengan iman kepada Qada dan Qadar. Al-Qur'an menyebutkan Qada dan Qadar dalam banyak ayat terpisah. Oleh karena itu, ada sebagian ulama yang menyebutkan rukun iman hanya sampai lima yakni hari akhir, sedangkan Qada dan Qadar tetap harus diimani layaknya kewajiban mengimani adanya jin, setan, dan lain-lain.

Apabila kita keliru dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an akan terkesan Allah menentukan segala-galanya dan manusia tidak mempunyai hak apa pun untuk menentukan nasibnya sendiri.

Ayat Al-Qur'an yang menentukan kekuasaan Allah Maha Mutlak antara lain :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (QS. Al-An'aam : 112),

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd : 11),

فَإِن تَوَلَّوْا فَقَدْ أَبْلَغْتُكُم مَّا أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَيْكُمْ ۚ وَيَسْتَخْلِفُ رَبِّي قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّونَهُ شَيْئًا ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ
"Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu." (QS. Hud : 57),

وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya,"(QS. Al-Hajj : 8),

وَإِن كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا ۖ وَإِذًا لَّا يَلْبَثُونَ خِلَافَكَ إِلَّا قَلِيلًا
"Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja." (QS. Al-Israa : 76),

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)"." (QS. Aali Imraan : 26-27).

Dalam ayat-ayat itu, menentukan baik dan buruk seseorang datang dari Allah.

Namun, banyak juga ayat Al-Qur'an yang menyatakan adanya kebebasan manusia untuk menempuh jalan hidup yang dikehendakinya. Ayat-ayat itu antara lain :

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek." (QS. Al-Kahf : 29),

إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Fussilat : 40),

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Aali Imraan : 164),

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd : 11),

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Al-Insaan : 2-3),

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan," (QS. Al-Balad : 10).

Ayat-ayat itu memberikan kesan manusia menentukan nasibnya sendiri sehingga berhak mendapatkan pahala karena perbuatan baiknya. Manusia juga pantas menerima siksa karena kejahatan yang dilakukannya. Allah menciptakan manusia, tetapi tidak dengan perbuatannya.

Dalam pemikiran Islam, dikenal adanya dua arus utama pemikiran menyikapi Qada dan Qadar yakni aliran Qadariyah dan Jabbariyah. Aliran Qadariyah diambil dari kata Qudrah yang bermakna kekuatan atau kekuasaan. Paham ini menyatakan manusia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menentukan jalan hidupnya dan bebas melaksanakan keinginan dan kehendaknya.

Qadariyah hanya meyakini penciptaan pertama manusia oleh Allah. Namun, manusia berkembang sesuai dengan hukum alam yang berlaku secara umum. Pandangan kelompok ini meyakini adanya kebebasan manusia untuk berkehendak (free will) dan bebas berbuat (free acf).

Sementara aliran kedua sering disebut Jabbariyah yang berawal dari kata Jabbara (memaksa). Aliran ini meyakni manusia tidak memiliki pilihan dan kebebasan dalam menentukan perbuatannya. Manusia dipaksa untuk memilih dan melakukan sesuatu yang keputusannya telah ditetapkan Allah SWT.

Dalam faham Barat, aliran semacam Qadariyah disebut indeterminisme (serba ikhtiar) dan Jabbariyah sebagai determinisme (serba takdir). Banyak filsuf Barat yang mengembangkan kedua aliran itu yang berpengaruh kepada kaum Muslimin sampai saat ini.

Lalu, bagaimana kita mendekatkan pengertian antara kedua ayat yang terkesan bertolak belakang itu ? Dalam memandang masalah takdir manusia, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan agar manusia tidak terlalu banyak memikirkan dan memperbincangkannya karena merupakan kekuasaan Allah SWT. yang tidak mungkin terjangkau secara tuntas dengan pemikiran manusia.

Sahabat Abu Hurairah RA. ketika ditanya masalah takdir memberikan jawaban, "Itu adalah jalan gelap maka jangan kau lalui." Atau, lautan yang amat dalam maka jangan kau terjuni.

Untuk memberikan jawaban terhadap Qada dan Qadar itu, kita bisa belajar dari Khalifah Umar bin Khattab RA. Diriwayatkan panglima perang yakni Abu Ubaidah RA. diminta untuk memindahkan pasukannya dari daerah yang sedang terjangkit penyakit menular. Atas permintaan itu, Abu Ubaidah menolak keras dengan menyatakan, "Apakah engkau akan lari dari Qada Allah yang telah ditentukan ?"

Mendengar hal itu, Umar tersenyum lantas menjawab. "Aku lari dari Qada Allah untuk menuju Qadar-Nya," kata Umar.

Peristiwa itu memberikan gambaran, Allah menetapkan keputusan (Qada) bahwa di daerah itu terjadi penyakit menular, tetapi Allah membuat aturan (Qadar) yakni kalau seseorang berusaha menjauhi daerah itu, ia tidak akan terkena penyakit.

Manusia diwajibkan berupaya, misalnya berikhtiar untuk menjemput rezeki yang telah ditetapkan Allah. Berikhtiar merupakan sarana manusia sekaligus jalan ibadah agar mendapatkan ketentuan dari-Nya.

Wallahualam.***

[Ditulis oleh : KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, dosen ITB, Ketua Yayasan Unisba, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 31 Maret 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]
Yang dimaksud dengan menundukkan (sebagian) pandangan (al-ghadhdh min al-abshar) disini adalah menahan (kaff) pandangan mata dari hal-hal yang haram dilihat (Tanwir al-Miqbaas fi Tafsir Ibn ‘Abbas). Perintah menundukkan pandangan ditujukan kepada mukmin dan mukminah dalam Al-Qur’an surat An-Nur 30 – 31.

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."

Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy menjelaskan bahwa digunakannya kata min (li tab’idh) pada ayat diatas adalah karena memang tidak semua pandangan harus ditahan. Hanya pandangan mata terhadap yang haram dilihat saja yang harus ditahan (Fatwa-fatwa Kontemporer oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy).

Sebagai awalan, ada beberapa hal yang sudah disepakati dalam masalah pandangan mata (al-nazhr).
  1. Memandang aurat orang lain yang tidak ditutup adalah tidak boleh, baik disertai syahwat ataupun tidak. Hanya saja batasan-batasan aurat itu berbeda-beda, tergantung pada jender, usia (anak-anak, dewasa, atau orang tua), kondisi (saat shalat atau diluar shalat), dan lingkungan (sedang bersama siapa). Disamping itu, dalam masalah batasan-batasan aurat juga terdapat perbedaan pendapat para ulama’.
  2. Memandang lawan jenis dengan tujuan taladzdzudz (memuaskan nafsu) adalah tidak boleh.
  3. Apabila diyakini akan timbul fitnah (godaan), maka memandang lawan jenis adalah tidak boleh.
  4. Pandangan seketika yang tidak disengaja terhadap lawan jenis adalah dimaafkan.
  5. Tujuan dari perintah menundukkan pandangan adalah untuk menghindari fitnah sehingga hati tetap bersih dan tidak terdorong untuk melakukan perbuatan yang keji. (lihat QS. An-Nur : 30)
  6. Apabila ada hajat syar’iyyah atau bahkan dharurat maka diperbolehkan memandang lawan jenis dalam rangka memenuhi hajat atau dharurat tersebut. Diantara hajat syar’iyyah tersebut adalah melamar, bersaksi, mengobati, dan mengajar. Namun hajat syar’iyyah tidaklah hanya terbatas pada beberapa hal tersebut saja (Masalah ini dibahas lebih mendalam dalam kajian ushul fiqh).
Persoalan menundukkan pandangan ini bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, masalah pria memandang wanita. Kedua, masalah wanita memandang pria.

Dalam masalah pria memandang wanita, ada yang berpendapat tidak boleh sama sekali, kecuali pandangan seketika yang tidak sengaja atau karena terpaksa (ada hajat syar’iyyah atau dharurat). Golongan ini antara lain berhujjah dengan hadits Nabi yang menerangkan bahwa ketika Fadhl ibn ‘Abbas sedang saling berpandangan dengan seorang wanita Khats’am, Nabi segera memalingkan wajah Fadhl ke arah lain (Hadits riwayat Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Ibn ‘Abbas). Mereka juga berhujjah dengan hadits yang menerangkan bahwa Nabi berpesan kepada ‘Ali ibn Abu Thalib, “Wahai ‘Ali, janganlah engkau ikuti sebuah pandangan dengan pandangan (berikutnya). Yang boleh bagimu hanyalah pandangan pertama, sementara pandangan berikutnya tidak boleh.

Disamping itu ada pula yang berpendapat boleh asalkan tidak untuk taladzdzudz dan tidak ada fitnah. Apabila sebelumnya seseorang sudah yakin bahwa dengan melihat Fulanah dia akan mengalami fitnah, maka sejak awal dia tidak boleh memandangnya, kecuali tidak sengaja atau terpaksa (karena hajat syar’iyyah atau dharurat). Argumentasi mereka adalah bahwasanya esensi dari dilarangnya seorang pria memandang wanita adalah menghindari fitnah. Apabila ada keyakinan (dan didukung oleh kelaziman) bahwa tidak akan ada fitnah, maka dia boleh memandang seorang wanita yang telah menutup auratnya. Namun apabila ternyata terjadi fitnah maka dia harus segera memalingkan pandangannya. Dan sekali lagi, apabila sejak awal sudah yakin akan timbul fitnah maka sejak awal pula dia tidak boleh memandangnya.

Sebetulnya diantara kedua pendapat diatas tetap ada titik temunya, yaitu bahwasanya apabila dikhawatirkan (dengan dugaan kuat dan menurut kelaziman) terjadi fitnah, maka seorang pria tidak boleh memandang wanita tersebut.

Berikutnya adalah masalah wanita memandang pria. Dalam perkembangannya, ada dua pendapat utama mengenai perintah menundukkan pandangan bagi wanita terhadap pria. Pendapat pertama mengatakan bahwa wanita tidak boleh memandang pria meskipun ia sudah menutup aurat. Pandangan yang diperbolehkan hanyalah pandangan seketika yang tidak sengaja atau karena terpaksa (ada hajat syar’iyyah atau dharurat). Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menerangkan bahwa Nabi melarang kedua istrinya, Umm Salamah dan Maimunah, untuk memandang Ibn Umm Maktum meskipun ia buta (Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Turmudziy, dari Umm Salamah, dengan derajat hasan shahih). Mereka berpendapat bahwa khithab terhadap kedua istri Nabi ini juga berlaku bagi seluruh kaum mukminah.

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita boleh memandang secara sengaja kepada pria, asalkan pria tersebut telah menutup aurat, hanya saja apabila kemudian timbul fitnah maka saat itu juga pandangan mata harus dipalingkan. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi yang menerangkan bahwa Aisyah telah melihat orang-orang Habasyah bermain (perang-perangan) di dalam masjid (Hadits muttafaq ‘alaih, dari Aisyah). Golongan ini juga membantah pendapat pertama dengan mengatakan bahwa hadits Umm Salamah adalah khusus untuk para istri Nabi. Abu Dawud sendiri yang ikut meriwayatkan hadits Umm Salamah juga berpendapat demikian. Golongan ini juga berhujjah dengan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah telah memerintahkan Fathimah bint Qais untuk menghabiskan masa ‘iddahnya di rumah Ibn Umm Maktum yang buta sehingga ia bisa berganti pakaian dengan leluasa disana. (Hadits muttafaq ‘alaih, dari Fathimah bint Qais)

Namun, golongan pertama menguatkan pendapatnya dan melemahkan pendapat kedua dengan mengatakan bahwa pada saat melihat orang-orang Habasyah, Aisyah belum baligh. Namun argumentasi ini sepertinya amat spekulatif (Apalagi, bukankah lebih mungkin bahwa Nabi berkumpul dengan Aisyah setelah Aisyah baligh).

Golongan pertama juga melemahkan argumentasi golongan kedua dengan mengatakan bahwa mungkin Fathimah bint Qais senantiasa menundukkan pandangannya selama berada di rumah Umm Maktum. (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, jilid 11 hal 168 – 171)

Sebetulnya, kedua pendapat diatas bisa dikompromikan. Kompromi yang dimaksud adalah kesimpulan bahwa kaum mukminah diperbolehkan secara sengaja memandang pria yang telah menutup aurat, asalkan tidak untuk taladzdzudz. Apabila saat memandang muncul fitnah maka ia harus segera memalingkan (menundukkan) pandangannya. Barulah apabila wanita tersebut yakin bahwa dengan memandang pria tertentu ia akan dilanda fitnah maka sejak awal ia tidak boleh memandangnya kecuali tidak sengaja atau terpaksa (karena hajat syar’iyyah atau dharurat).

Ibn Taimiyyah dalam bukunya Majmu’ Fatawa (jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427) menjelaskan bahwa masalah menundukkan pandangan dibedakan atas dua.
  • Pertama, menundukkan pandangan dari aurat. Dalam hal ini seseorang dilarang memandang aurat orang lain selain istri / suaminya. Aurat juga boleh dibuka apabila ada hajat seperti tatkala berganti pakaian, mandi, dan sebagainya.
  • Kedua, menundukkan pandangan dari syahwat. Setiap pandangan yang disertai dengan syahwat adalah tidak boleh secara pasti, baik itu syahwat karena membayangkan hubungan badan (membayangkan seandainya membelai / dibelai, mencium / dicium, memeluk / dipeluk, dan seterusnya. Maaf, agar jelas) ataupun sekedar syahwat karena nikmatnya memandang (misalnya karena anggun dan semacamnya).
Beliau bahkan mengatakan bahwa memandang benda-benda di alam dengan tujuan untuk bersenang-senang saja adalah bathil. Memandang benda-benda di alam haruslah dalam rangka merenungkan kebesaran dan kekuasaan Penciptanya.

Beliau juga mengatakan bahwa memandang dengan kagum gaya dan penampilan fisik orang-orang munafik yang memukau adalah tercela, meskipun dalam hal ini tidak ada unsur syahwat

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran) ?" (QS. Al-Munafiqun : 4)

Beliau kemudian mengemukakan qiyas aula. Kalau sebagian pandangan mata tanpa syahwat saja dilarang maka bagaimana halnya dengan pandangan mata yang disertai syahwat ?

Dalam ayat ghadh al-bashar terdapat ‘illah “dzalika azka lakum” (yang demikian itu lebih suci bagi [hati] kalian). Kesucian hati disini adalah keterbebasan hati dari berbagai keinginan yang hina dan keji. Bagaimanakah cara mencapai kesucian hati ? Dalam konteks ini, tidak lain adalah dengan menghindari fitnah karena fitnah akan selalu mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang keji, yang mengotori hati manusia.

Jadi, sebetulnya ‘illah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an (‘illah manshushah) adalah kesucian hati. Hanya saja karena kesucian hati itu sulit diukur, maka ‘illah kita alihkan kepada yang lebih mudah diukur, yakni keterhindaran dari fitnah.

Kiranya perlu ditegaskan lagi bahwasanya esensi dari pandangan yang dilarang adalah timbulnya fitnah. Atas dasar ini, pandangan terhadap anak-anak yang belum baligh atau mahram sekalipun, apabila ternyata menimbulkan fitnah, maka hukumnya adalah tidak boleh. Alasannya, karena disitu telah ada 'illah (dalam bahasa Ibn Taimiyyah : haqiqah al-hikmah). Jadi, hukum tergantung pada ada tidaknya ‘illah (esensi).

Menundukkan pandangan memiliki berbagai hikmah yang tak terkira nilainya. Diantara berbagai hikmah tersebut adalah :
  1. Akan dikaruniai oleh Allah kelezatan iman. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi,”Barangsiapa memandang seorang wanita kemudian menundukkan (memalingkan) pandangannya (karena takut fitnah, pen) maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kelezatan iman.
  2. Akan dikaruniai oleh Allah cahaya kalbu dan kekuatan firasat. Karena itulah setelah menerangkan perintah menundukkan pandangan dan berbagai perintah untuk bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) maka Allah menyambungnya dengan ayat Cahaya, yang menerangkan tentang cahaya-Nya yang Agung (yang tersulut sendiri tanpa disulut).
  3. Akan dikaruniai oleh Allah kekuatan dan ketetapan hati serta keberanian. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427)
[Sumber Tulisan : http://menaraislam.com]
Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.

Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ikhlas merupakan suatu hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka.

Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah ? Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)

Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.

BAGAIMANA AGAR DAPAT MENJADI IKHLAS ?

Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah

«BANYAK BERDOA»

Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa :

« اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ »

Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)

Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajah-Mu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut karena orang lain.

«MENYEMBUNYIKAN AMALAN KEBAIKAN»

Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata : sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim)

Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya, karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.

Basyr bin Al Harits
menyatakan, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.

Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.

«MEMANDANG RENDAH AMAL KEBAIKAN»

Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia.

Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya.” Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi ?Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.

«TAKUT TIDAK DITERIMANYA AMAL»

Allah
berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun : 60)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir)

Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah ?” Maka Rasulullah pun menjawab, “Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih)

Ya saudaraku, di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia ? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah ? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut ? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.

«TIDAK TERPENGARUH OLEH PERKATAAN MANUSIA»

Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)

Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut.

Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?

«MENYADARI BAHWA MANUSIA BUKANLAH PEMILIK SURGA DAN NERAKA»

Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka.

Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka ?

Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata : “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa.” Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.

«INGIN DICINTAI, NAMUN DIBENCI»

Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya.“ (HR. Muslim)

Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam : 96)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya). (Tafsir Ibnu Katsir)

Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit : sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit : sesungguhnya Allah membenci fulan, maka bencilah ia. Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)

Hasan Al Bashri berkata : “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata : ‘lihatlah orang yang riya ini.’ Dia pun menyadari hal ini dan berkata : tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ’sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah.’ Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata : ’semoga Allah merahmatinya sekarang.’ Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Semoga Allah berkenan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan

Wallahu a'lam***

Disusun oleh : Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Muroja’ah : Ustadz Ahmad Daniel Lc.
Sumber artikel : www.muslim.or.id
Alkisah setelah Harun ar Rasyid secara resmi diangkat sebagai khalifah, beliau sibuk setiap hari menerima kedatangan para tamu dan ulama yang menyampaikan selamat. Kecuali seorang ulama besar, yakni Imam Sufyan Ats-Tsauri yang tidak pernah menampakkan dirinya, sehingga Khalifah Al Rasyid merasa perlu untuk mengirim surat kepadanya, sebagai berikut:
    Bismillahirrahmanirrahiim,
    Dari hamba Allah Amirul Mukminin Harun Ar Rasyid.
    Kepada saudara Sufyan bin Said bin Munzir Ats Tsauri.

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Amma ba’du. Saudara Sufyan, sebagaimana saudara ketahui bahwa Allah SWT. telah mempersaudarakan orang-orang mukmin. Maka jauh sebelum aku menjadi khalifah, persaudaraan itu sudah sangat erat antara engkau dan aku. Bahkan sampai hari dan detik ini aku tetap menganggap saudara sebagai orang yang paling dekat dengan ku.

    Di saat seperti sekarang ini, dimana Allah SWT. telah memikulkan beban urusan umat ini di atas pundakku, aku sangat membutuhkan kedatangan saudara. Ketahuilah bahwa seluruh ulama di kota Baghdad dan sekitarnya sudah berdatangan kepadaku untuk memberikan ucapan selamat. Kepada mereka telah kuberikan hadiah sebagai tanda syukur kepada Allah dan terima kasihku kepada mereka. Semoga dengan tibanya surat ini, kedatangan saudara akan aku sambut dengan gembira sebagaimana para tamu lainnya...
Sesampai surat itu, Imam Sufyan tidak mau menyentuhnya. Beliau menyuruh orang lain membacanya. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab : “Aku tidak ingin menyentuh apa-apa yang telah disentuh oleh tangan-tangan yang berdosa. Lalu Imam Sofyan menyuruh orang lain untuk menjawab surat tersebut dengan menulis di balik lembaran surat dari Khalifah itu. Orang yang disuruh menulis surat itu berkata: ”Aku kira kurang sopan kita menulis surat kepada Khalifah dengan kertas bekas Khalifah sendiri.Sofyan menjawab: “Itu adalah urusanku sendiri, tulislah apa yang aku katakan. Kemudian Imam Sofyan mendiktekan surat sebagai berikut :
    Bismillahirrohmanirrohim,
    Dari hamba Allah yang penuh dosa, Sofyan bin Said bin Mundzir Ats Tsauri.
    Kepada hamba Allah yang angkuh Harun Al Rasyid,

    Amma Ba’du ! Ketahuilah ya Harun Al Rasyid, Bahwa mulai hari ini aku telah memutuskan tali persaudaraanku dengan engkau. Dan aku sudah menghapuskan dari dalam hatiku rasa kasih sayangku padamu. Sungguh engkau adalah orang yang bodoh dan boros. Apa yang selama ini belum aku ketahui tentang dirimu, sekarang telah terbuka semuanya melalui suratmu itu.

    Aku bersama orang-orang yang telah membaca suratmu itu dengan sendirinya akan menjadi saksi atasmu di hadapan Allah pada hari kemudian. Apa sebabnya ? Bukankah engkau telah berkata di dalam surat itu, bahwa engkau telah menbagi-bagikan hadiah kepada orang-orang yang datang kepadamu untuk menyampaikan ucapan selamat ? Bukankah engkau mengambil hadiah-hadiah itu dari Baitul Maal ? Lalu engkau bagi-bagikan kepada mereka yang tidak berhak menerimanya ?

    Ya Harun Al Rasyid apakah engkau sudah minta izin kepada fakir miskin, janda, anak-anak yatim, para mujahidin fi sabilillah,dan para pejuang agama Allah; untuk membagi-bagikan hak mereka kepada orang-orang yang datang kepadamu itu ?

    Ya Harun Al Rasyid ! Dahulu aku mengenal engkau sebagai seorang yang zuhud, suka bergaul dengan orang-orang yang baik, dan selalu menghadiri majelis-majelis Al Qur’an ? Tetapi sekarang dengan kekuasaan yang kau miliki justru telah menjauhkan dirimu dari semua itu. Maka sekarang bersiap-siaplah engkau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Allah nantinya.

    Ya Harun Al Rasyid ! Ketahuilah bahwa kematian akan datang.
    Ya Harun Al Rasyid ! Itulah nasehat-nasehatku padamu. Peliharalah amanat Allah dan lindungilah umat Muhammad SAW. Dan berikanlah hak-hak mereka.

    Ya Harun Al Rasyid ! Ketahuilah bahwa setiap manusia itu akan menemui ajalnya. Diantara mereka ada yang beruntung dengan membawa amal, dan ada pula yang merugi di dunia dan di akhirat. Engkaupun tentu akan mendapat giliran kematian itu.

    Ya Harun Al Rasyid ! Berhati-hatilah dalam kehidupan di dunia ini. Ujian dan cobaan selalu mengintaimu. Dan nasehat yang paling baik adalah nasihat dari dirimu sendiri.
Dengan sikap tegas dan teguh dalam memegang kebenaran seperti yang ditampilkan Imam Sufyan, kepada penguasa seperti Harun ar Rasyid agar tetap di jalan kebenaran. Harun ar Rasyid adalah seorang Khalifah yang sangat terkenal dan memerintah kaum muslimin dengan kesederhanaannya di masa keemasan dan kejayaan Khilafah Islam. Beliau adalah Khalifah yang senantiasa siap terjun ke medan perang memimpin jihad fi sabilillah. Bila tahun ini beliau memimpin jihad, maka tahun depan beliau di ibukota memimpin rakyatnya dengan kebijaksanaannya. Pada tahun tidak memimpin jihad itulah beliau pergi haji ke Mekkah dengan berjalan kaki dari kota Baghdad.

Penguasa yang taqwa dan sederhana ini, mampu memimpin negara yang besar, dengan mensejahterakan rakyatnya dan menjaga keadilan di antara warga negara. Di tangannyalah kemajuan peradaban Islam yang luar biasa kembali dicapai setelah kemajuan di masa para
Sahabat Nabi SAW. Dan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, negara Islam pada waktu itu menjadi negara nomor satu di dunia, dan menjadi pusat peradaban dunia. Subhaanallah !

Hari ini kita perlu ulama yang berani dan tegas menasihati penguasa seperti
Imam At Tsauri agar penguasa bisa kembali ke jalan yang benar, yakni penguasa yang menjalankan amanat kekuasaan yang diberikan Allah SWT. kepadanya dengan sebenar-benarnya, yang melindungi umat Nabi Muhammad SAW. dan memberikan hak-hak mereka. Penguasa yang betul-betul rajin datang ke majelis-majelis Al-Qur'an untuk ber-tafaqquh fid diin dan mengamalkannya dalam tugas-tugasnya menjalankan pemerintahan yang diamanatkan kepadanya.

Penguasa yang menjalankan pemerintahan dengan hukum-hukum dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Penguasa yang akan menghasilkan keberkahan-keberkahan Allah dari langit dan bumi sebab dalam pemerintahannya dia mampu mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Semoga gempa bumi dan berbagai bencana alam yang terus datang silih berganti menyadarkan penguasa bahwa ada suatu “
something wrong” dalam pemerintahan ini yang berujung pada kemiskinan dan kesengsaraan kehidupan mayoritas masyarakat. Dan semoga para ulama memiliki keberanian sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah : 18)

Ulama seperti Imam Sufyan Ats-Tsauri mengingatkan penguasa atas kewajiban-kewajibannya yang telah difardlukan oleh Allah SWT. kepadanya.

Baarakallahu lii walakum

[Sumber : Buletin “
Ad-Dakwah” Edisi 45. Tulisan disalin dari http://kontaktokoh.multiply.com/]
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 188)

Praktek suap saat ini sudah merasuk hampir ke seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Kasus ini bukan hanya merusak tatanan kehidupan tetapi lebih jauh merusak moral bangsa. Pelaku suap, baik pemberi maupun penerima, seakan boleh mengabaikan aturan yang berlaku di masyarakat.

Istilah suap dalam Islam dikenal dengan risywah. Dalam kitab Ta'rifat (Al-Jurjani) dijelaskan, suap adalah memberikan uang untuk membatalkan sesuatu yang hak atau mendapatkan hak pada sesuatu yang batil dengan cara memberi uang pelicin. Sebagai ilustrasi, Rasulullah SAW. suatu hari mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya. Mereka menyodorkan sejumlah uang. Abdullah berkata kepada orang Yahudi tadi, "Uang suap yang kamu sodorkan kepadaku itu adalah haram, aku tidak akan menerimanya."

Allah melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Kata laknat memiliki konotasi yang sangat dalam. Hadits Nabi biasanya menggunakan bahasa yang persuasif, lembut, sejuk, santun, dan simpel, sedangkan hadits tentang suap diawali kata laknat Allah. Semua ulama sepakat, kata laknat menunjukkan haram. Hadits di atas menunjukkan, suap termasuk dosa besar karena ancamannya adalah laknat Allah.

Dalam praktik suap, ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan secara tidak wajar. Suap cenderung menghalalkan segala cara, sehingga melanggar tatanan sosial, hukum, dan adat yang berlaku di masyarakat. Suap bisa merusak moral dan mental, mengakibatkan ketidakadilan kepada masyarakat. Orang berduit sebagian besar bisa menerima layanan yang super cepat, sementara yang lain perlu menunggu lama agar urusannya bisa selesai. Hampir sebagian besar kasus bisa diselesaikan dengan uang. Ini mengindikasikan, suap sudah menjadi bagian budaya negatif bangsa. Para pemuka agama menjelaskan, suap mengakibatkan hidup tidak berkah, lahir dan batinnya tidak tenang, selalu dihantui perbuatan salah dan dosa, bahkan ibadahnya pun tidak khusyuk.

Lebih jauh, kita perlu membedakan antara suap, hadiah, hibah, dan sedekah agar jangan terjebak dalam kategori perbuatan suap. Mungkin saja mereka yang terjerumus perbuatan suap disebabkan oleh minimnya pemahaman istilah tersebut. Pengertian suap sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun hadiah adalah mengambil atau menerima sesuatu tanpa syarat pengembalian (tidak tendensius). Artinya, memberikan sesuatu sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan tanpa harus mengembalikannya kepada si pemberi. Hibah adalah derma sosial atau memberikan hak kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa pengganti / pamrih. Adapun sedekah adalah memberikan sesuatu dengan diniatkan untuk memperoleh pahala di sisi Allah.

Faktor-faktor apa saja yang mendorong seseorang melakukan suap ? Secara sederhana dapat disimpulkan, di antaranya,
  • Pertama, lemahnya kualitas iman dan takwa. Pemahaman pengetahuan agama yang dangkal, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah masih jauh dari yang diharapkan, akan mendorong melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang.
  • Kedua, pola sikap hidup mewah dan serakah. Seseorang yang tidak pandai bersyukur, tidak menerima pemberian Allah apa adanya, akan membuat hidup tidak pernah merasa cukup. Keinginannya melampaui batas kemampuan dirinya. Akibatnya, hidup mewah merasuk dalam dirinya dan sifat tamak mendominasi akal sehatnya. Sikap tersebut membuat orang cenderung melakukan perbuatan tanpa mempertimbangkan halal atau haram.
  • Ketiga, Hilangnya sikap hidup zuhud dan qonaah. Zuhud adalah kecenderungan manusia lebih fokus dan memilih kehidupan ukhrowi (akhirat) daripada duniawi (dunia). Sementara qonaah adalah menerima apa adanya, hidup merasa cukup dari apa yang diberikan Allah. Dua sifat di atas menunjukkan sikap hidup sederhana. Bila sikap hidup tersebut tidak dimiliki atau hilang dalam diri manusia, maka akan mendorong mereka berbuat dosa.
  • Keempat, perilaku yang tidak jujur. Perkataan dan perbuatan yang benar menurut syariat Islam merupakan sifat jujur. Kejujuran harus menjadi bagian sikap hidup seorang Muslim. Bila sifat jujur itu hilang pada diri seseorang, maka akan sangat terbuka peluang melakukan perbuatan haram.
  • Kelima, tidak merasa diawasi Allah. Bila manusia seorang diri, Allah-lah yang keduanya. Di manapun kita berada, tidak lepas dalam pengawasan Allah. Seandainya prinsip ini hilang dari ingatan manusia, dia akan berbuat lepas kontrol dan kendali dari prinsip-prinsip kejujuran.
  • Keenam, tipisnya sifat ikhlas. Sifat ikhlas lahir dari jiwa yang suci. Hati yang bersih menerima kenyataan hidup dan melaksanakan perbuatan dengan tunduk, patuh atas perintah disertai penuh tahggung jawab. Bila sifat ini terjadi penurunan atau lemah (degradasi) atau tidak dimiliki seseorang maka dorongan untuk melaksanakan perbuatan baik akan menjadi lemah pula, atau sama sekali tidak mau melakukan perbuatan baik bahkan sebaliknya ia akan melakukan perbuatan buruk.
Lebih jauh, suap dapat menimbulkan dampak negatif baik bagi diri sendiri, masyarakat, dan negara. Bagi diri sendiri berdampak menjadi pribadi yang tidak jujur, serakah, tamak, dan licik. Pada dimensi agama ibadahnya sulit diterima Allah dan mendapat laknat dari-Nya. Dalam kehidupan di masyarakat tentunya ia tidak akan dipercaya oleh mereka, dan dianggap sebagai orang yang licik dan serakah. Bagi negara, ia tergolong orang yang merusak tatanan penyelenggaraan negara yang bersih (clean goverment) dan pemerintahan yang baik (good goverment). Selain itu, akan melahirkan bentuk-bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan karena memakan harta yang haram dari hasil suap akan melahirkan pemikiran dan niat untuk melakukan perbuatan haram lainnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW., "Sesuatu yang tumbuh dari barang yang haram maka akan menghasilkan perbuatan haram baru lainnya."

Perbuatan suap bisa saja terjadi pada diri sendiri, pejabat, tokoh agama, pemuka masyarakat, pimpinan, dan sebagainya. Namun, untuk memberantasnya memang tak semudah yang kita bayangkan, karena sudah menjadi budaya hampir di semua lapisan masyarakat. Kita perlu berupaya meminimalisasi secara bertahap.

Adapun upaya mencegah perbuatan suap dapat dilakukan diantaranya dengan membentengi diri dengan keimanan, ketaqwaan dan mengenali jati diri yang sesungguhnya, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhannya. Kekuatan iman, insya Allah akan mampu menangkis seseorang terjebak dalam perbuatan suap, sekalipun tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukannya, walaupun peluang terbuka lebar di depan mata. Membekali diri dengan sifat-sifat kejujuran baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Rasa diri selalu diawasi oleh Allah pada setiap gerak dan langkah di mana saja berada. Perlu belajar hidup sederhana, pandai bersyukur, menerima dan rida atas pemberian Allah. Masyarakat diberikan kesadaran akan bahaya dan kerugian akibat suap bagi diri sendiri serta mengasah terus sifat ikhlas karena Allah Taala.***

[Ditulis oleh : HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL'AYDRUS, Ketua Umum Yayasan Assalaam Bandung. Disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 25 Maret 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Di antara wasiat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada Muadz bin Jabal sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasai; Rasulullah bersabda, "Aku berwasiat kepada mu wahai Muadz, Janganlah engkau meninggalkan doa setelah shalat dengan doa, 'Ya Allah berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingatmu (zikir), dan mensyukurimu (syukur), serta beribadah dengan baik kepadamu (husni ibadatika)."

Yang kedua; syukur kepada Allah. Syukur kepada Allah berarti kita mengingat segala nikmat yang telah kita terima dari Allah SWT. dan menampakkan-Nya (tidak melupakan-Nya). Kebalikan dari syukur adalah kufur, yaitu melupakan nikmat Allah dan menutup-nutupi akan nikmat tersebut.

Syukur sangatlah mudah untuk diucapkan, tetapi berat untuk diamalkan. Alkisah terdapat seseorang yang sedang memanjat pohon kelapa yang tinggi. Ketika sampai di puncak pohon, tiba-tiba ada angin kencang yang menimpa pohon kelapa. Pohon kelapa pun bergoncang, dia pun terancam jatuh. Orang tersebut lantas memperbanyak zikir dan berdoa agar selamat.

Dengan penuh kesadaran, dia pun berucap, "Ya Allah, kalaulah saya selamat dari musibah ini, saya akan berkurban dengan seekor sapi."

Tak lama kemudian, angin pun agak lambat, dia pun berusaha turun dari puncak pohon kelapa itu. Dia pun berucap kembali, "Ya Allah, kalaulah saya selamat dari musibah ini, saya akan berkurban dengan seekor domba."

Dan ketika sampai di pertengahan tangkai pohon, dia tanpa sadar mengubah kembali ucapan sebelumnya. "Ya Allah, kalaulah saya selamat dari musibah ini, saya akan berkurban dengan seekor ayam." Sampai akhirnya dia selamat kembali ke bawah, tanpa ada beban dia pun lupa akan janji yang dia ucapkan ketika di atas pohon. "Alhamdulillah. saya bisa selamat dari musibah."

Ketika ditanya, bukankah dia punya janji yang dia ucapkan ketika di atas pohon ? Dia pun berujar, "Duit dari mana saya harus berkurban apalagi dengan seekor sapi ? Untuk sekadar makan saja sudah susah !" Tanpa ada rasa malu, dia pun melenggang kembali ke rumahnya.

Kondisi yang sama disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 67,

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ ۖ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ ۚ وَكَانَ الْإِنسَانُ كَفُورًا
"Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Allah. Maka tatkala Allah menyelamatkan kamu ke daratan, kemudian kamu berpaling, dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih."

Bagaimana kita bersyukur kepada Allah ? Ada tiga hal yang patut kita syukuri kepada Allah.

Pertama, bersyukur terhadap jasad manusia. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk tubuh dan kondisi yang paling sempurna, berbeda dengan makhluk lain. Jasad manusia tidak ada bandingannya sama sekali, walaupun banyak yang mirip tetapi tidak sama. Bahkan Nabi Muhammad SAW. dalam hadits riwayat Imam Muslim menyebutkan bahwa jasad manusia diciptakan terdiri dari 360 tulang rusuk, dan hendaklah setiap satu tulang rusuk untuk disedekahi.

Cara terbaik kita bersyukur terhadap jasad kita adalah dengan melaksanakan shalat. Karena dengan shalat seluruh tulang rusuk kita ikut bergerak dan dengan sendirinya setiap tulang rusuk kita telah disedekahi. Dengan demikian, kita melaksanakan shalat bukan sekadar kewajiban tetapi lebih dari itu, kita pun turut memberikan sedekah terhadap tulang rusuk kita yang berjumlah 360 tulang.

Kedua, bersyukur terhadap harta yang kita miliki. Selain jasad kita yang sudah sempurna, manusia pun diberikan rezeki berupa harta dengan sangat berlimpah ruah. Dalam Surat Fathir ayat 3 disebutkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ
"Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan) ?"

Dalam Surat Al-An'am ayat 141 disebutkan,

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."

Dalam Surat An-Nahl ayat 5-8 dijelaskan,

وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا ۗ لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً ۚ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ ۚ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya."

Cara terbaik kita bersyukur terhadap harta yang kita miliki adalah dengan mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah. Setiap harta yang kita miliki, hakikatnya adalah anugerah dan pemberian dari Allah SWT. Jangan kita punya anggapan, kita banyak harta karena hasil usaha sendiri.

Keluarkanlah zakat, infak, dan sedekah sebagai bentuk tazkiyatun nafs (penyucian diri) kita sendiri. Rasulullah SAW. memberikan jaminan dalam sebuah haditsnya, "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kamu."

Ketiga, bersyukur terhadap agama. Kenyataannya semakin pintar seseorang, maka akan semakin gelisah dengan kepintarannya. Demikian juga semakin kaya seeorang, maka dia pun akan semakin resah dengan harta kekayaannya, karena takut hilang atau ada yang mencuri. Sama halnya, ketika manusia semakin tinggi pangkat dan jabatannya, manusia akan semakin gelisah, bukan bertambah nyaman.

Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita menambah rasa ketenangan dan kenyamanan hati kita dengan beragama. Disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 38,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
"Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Jadilah kita sebagai abdan syakural Hamba yang senantiasa bersyukur baik di saat senang atau susah. Karena dengan syukur hidup kita akan mujur.***

[Ditulis Oleh : KH. ACENG ZAKARIA, Ketua Bidang Tarbiyyah PP. Persis dan Pimpinan Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 24 Maret 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]