TAWASSUL DALAM PERSEPEKTIF AL-QUR'AN DAN ASSUNNAH


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maaidah : 35)

MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam, shalawat dan salam-Nya semoga tercurah atas Nabi Muhammad SAW., para keluarga, sahabat dan pengikutnya yang selalu beriltizam dengan ajarannya hingga akhir zaman.

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menciptakan satu mahluk pun dengan sia-sia, tidaklah menciptakannya dengan tujuan agar mahluknya menjadi banyak, tidak pula untuk menjadikan Dzat-Nya lebih kuasa; akan tetapi Allah Ta’ala telah menciptakan mahluk-Nya dengan sebuah tujuan mulia, dengannya Allah Ta’ala menundukan langit dan bumi kepada mereka.

Allah Ta’ala telah menciptakan mereka agar mereka beribadah kepada-Nya dan mengesakan-Nya dengan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya, baik perkataan, perbuatan atau pun keyakinan.

Do'a merupakan Ruh ibadah, sebab ia adalah moment pertemuan antara seorang hamba dan Tuhannya. Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam dutus oleh Allah Ta’ala sebagai penerang bagi umat-Nya, sehingga kehadirannya telah membawa umat kepada cahaya, tidak ada satu kebaikan pun kecuali Beliau telah menunjukan umatnya padanya, tidak meninggalkan satu keburukan pun kecali beliau telah memperingati umatnya agar menjauhinya.

Namun dalam perjalan hidup ini, setan tidak henti-henti berusaha menyimpangkan manusia dari jalan lurus, karena itu hal yang dipintanya dari Allah Ta’ala sehingga segala cara dijalaninya untuk mencapai tujuannya tersebut. Namun hanya orang-orang yang ikhlash yang akan selamat dari tipu dayanya. Dengan berbagai cara setan menjadikan sunnah yang telah dirintis oleh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam diatas cahaya menjadi samar-samar bahkan mencampur adukkannya dengan suatu yang batil.

Tawassul adalah salah satu senjata ampuh untuk terkabulnya sebuah do'a, Rasul dan para sahabatnya begitu juga para tabi'in telah mengajarkan kepada kita, tawassul yang benar yang sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam tulisan ini pemakalah ingin menyampaikan masalah tawassul yang dianggap remeh akan tetapi pada hakikatnya mempunyai peran besar bagi orang yang melaksanakan sesuai dengan Syari'ah dan mempunyai dampak yang buruk bagi orang yang yang menyalahgunakan dan Semoga dengan makalah yang sangat sederhana ini kita dapat memahami hakikat tawassul baik yang masyru' maupun yang mamnu' dengan benar.

DEFINISI DAN MASRYU'IYAH TAWASSUL
Pembahasan pertama kita dalam masalah ini adalah pembahasan tentang makna Tawassul secara bahasa dan istilah; karena kebanyakan orang yang salah dalam masalah ini disebabkan ketidak adanya pengetahuan tentang makna tawassul; baik secara bahasa maupun istilah agama, sehingga mereka membuat arti tawassul yang baru yang tidak sesuai dengan makna sebenarnya baik secara bahasa maupun istilah syari'at, sehingga mereka terjatuh dalam jurang kebinasaan.

Kata Tawassul dalam Bahasa Arab memiliki makna :
Taqarrabu yaitu mendekatkan diri, sehingga kata wasilah berarti dekat.

Dalam kamus Al-Muhith dikatakan : Wassala Ilallahi Tausilan maknanya : Mengerjakan suatu amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Dan makna inilah yang akan berkaitan erat dengan pembahasan kita, sehingga tidak perlu bagi kita untuk menjelaskan makna tawassul yang kedua secara bahasa.

Adapun kata tawassul dalam syariat telah tersurat secara jelas pada dua ayat Al-Qur'an :
  • Pertama, firman Allah Ta'ala dalam surat al-Maaidah :
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maaidah : 35)
  • Kedua, firman Allah Ta'ala dalam surat al-Israa :
    قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا
    أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
    ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
    Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya." Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa` : 56-57)
    Lalu apakah makna tawassul dalam dua ayat di atas ?
    Ayat pertama pada firman Allah Ta'ala :
    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.
    Kata wasilah berarti kedekatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, 'Aththa, Mujahid dan al-Farra'
    Qatadah berkata : "Mendekatlah kepadanya dengan suatau amalan yang diridhai-Nya."
    Dikatakan wasilah juga bisa berarti kecintaan seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir, sehingga maknanya : "saling mencintailah karena Allah."
    Dan tersebut tidak berlawanan dengan makna tawassul yang pertama; karena saling mencintai karena Allah merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada-Nya.
    Singkatnya, makna firman Allah Ta'ala :
    Carilah jalan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya
    yaitu :
    Carilah sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara mengerjakan keta'atan kepada-Nya.
    Makna tersebut tidak diperselisihkan oleh para mufassirin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir.
    Adapun ayat yang kedua firman Allah :
    mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.
    Maknanya ialah :
    mereka mencari jalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Tuhan dengan jalan ketaatan,
    seperti yang terlansir dalam tafsir al-Jalalain dan kitab-kitab tafsir lainnya.
    Dengan demikian jelaslah bahwa makna tawassul dalam istilah syari'at berarti Qurbah (kedekatan), demikian juga dalam Bahasa Arab.
Setelah kita mengetahui makna tawassul yang benar, perlu kita mengetahui kesalahan orang-orang yang salah dalam memahami kata wasilah; sehingga dapat membuka pintu kejahatan yang besar dalam aqidah kaum muslimin.

Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan : "Sebagaian orang sufi menafsirkan kata wasilah pada firman Allah dalam surat al-Maidah bahwa maksud kata tersebut adalah : Seorang Syaikh yang menjadi perantara antara dirinya dengan Tuhan."

Ini merupakan kebodohan yang nyata dan membahas firman Allah tanpa ilmu.

Ada pula orang yang mengartikan kata wasilah dengan dzat para Nabi, orang-orang shaleh dan para wali; ini semua adalah batil dan jauh dari ilmu.

Para Sahabat dan para Tabi'in telah menjelaskan bahwa memaknai kata wasilah dengan syaikh atau dzat para Nabi, orang-orang Shaleh dan wali adalah sebuah kesalahan besar, tidak pernah ada dalam agama yang suci.

Para salafus Shaleh semuanya sepakat bahwa kata wasilah dalam firman Allah :
Carilah jalan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.
Mengandung arti mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan, demikian juga dengan makna yang terkandung dalam firman-Nya :
Mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.

MACAM-MACAM TAWASSUL
Pertama : Tawassul Masyru'
Tawassul Masyru' adalah : bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan wasilah yang benar dan disyariatkan. Cara yang terbaik untuk mengetahui apakah tawassul tersebut disyariatkan atau tidak yaitu dengan kembali / merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Sahihah. Maka apabila Kitab dan Sunnah mengatakan bahwa istilah tersebut wasilah masyru'ah maka wasilah tersebut adalah wasilah yang disyari'atkan, sebaliknya jika Al-Qur'an dan Sunnah tidak menunjukannya maka berarti wasilah tersebut adalah tawassul mamnu' (Goiru Masyru').

Macam-macam Tawassul Masyru'
  1. Tawassul kepada Allah Ta’ala Dengan Nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seorang yang berdo'a menyebutkan nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala.
    Seperti : "Wahai Yang Maha Pengampun ampunilah kami, Wahai Yang Maha Penyayang sayangilah kami." atau seperti : "Ya Allah Engkau Maha Pengasih dan Penyayang maka ampunilah aku", atau "Aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang sangat luas, maka ampunilah aku." Dan lain sebagainya.
    Adapun diantara do'a yang dibaca oleh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. sebagai berikut ini :
    "Wahai Dzat yang Maha Hidup dan Maha Mengurus mahluk-Nya, Wahai Yang Maha Mulia, Wahai Pencipta langit dan bumi dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan-Mu."
    Adapun dalil disyari'atkannya bentuk tawassul ini adalah firman Allah Ta’ala :
    وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. Al-'Araaf : 180 )
    Diantara dalil-dalilnya yang lain adalah sabda Nabi Muhammad SAW. dalam suatu do'anya yang diriwayatkan secara shahih bahwa Beliau membacanya sebelum salam pada waktu shalat :
    اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي
    "Ya Allah dengan ilmu-Mu yang ghaib dan kekuasaan-Mu dalam menciptakan, panjangkanlah usiaku apabila engkau mengetahui hidup lebih baik bagiku, dan matikanlah aku apabila mati lebih baik bagiku…." (HR. Nasai dan Hakim dan dishahihkan olehnya serta disepakati oleh adz-Dzahabi)
  2. Tawassul dengan keimanan dan amal shaleh baik amal wajib atau pun yang sunnah yang telah dilakukan oleh orang yang bertawassul.
    Seperti seorang membaca do'a : "Ya Allah dengan keimanan kepada-Mu, kecintaanku pada-Mu dan Kecintaaku pada Rasul-Mu maka ampunilah aku." Atau membaca do'a : "Ya Allah dengan kecintaaku kepada Nabi-Mu Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam Dan keimananku kepadanya, lapangkanlah urusanku." Atau seseorang berdo'a dengan menyebutkan amal shaleh yang telah dilakukannya dan dijadikan wasilah, sebagaimana kisah tiga orang yang terjebak didalam goa. Dalil yang menunjukan disyari'atkannya macam tawassul yang ini adalah firman Allah Ta’ala :
    الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
    (Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka, (QS. Ali Imran : 16)

    رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
    Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah). (QS. Ali Imran : 53)

    رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
    رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ
    Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. * Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. (Q.S. Ali-Imran : 193-194)

    إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
    Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu`minuun : 109)

    رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
    Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (QS. An-Naml : 19)
    Dan hadits yang menceritakan tiga orang laki-laki yang terjebak di dalam goa karena mulut goanya tertutup sebuah batu yang berukuran besar, mereka tidak dapat keluar dari goa tersebut, kemudian mereka berdo'a kepada Allah Ta’ala.
    Dan bertawassul dengan amal shaleh yang telah mereka lakukan, maka Allah Ta’ala pun membukakan mulut goa tersebut dan akhirnya mereka pun bisa keluar.
  3. Tawassul dengan meminta do'a kepada orang shaleh yang masih hidup. Seperti seorang muslim yang sedang tertimpa sesuatu kesempitan atau musibah besar, sedang dia mengetahui bahwa dirinya sedang jauh dari Allah Ta'ala, maka dia harus mencari sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, maka dia meminta kepada orang yang dianggapnya shaleh dan bertaqwa dan memintanya agar berdo'a kepada Allah agar melapangkan permasalahannya dan mengangkat musibahnya.
    Ini merupakan tawassul yang disyariatkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman dahulu, apabila mereka mendapatkan kesusahan mereka meminta agar Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam mendo'akan mereka, ketika Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam meninggal, mereka meminta kepada pamannya Al-'Abbas RA., maka Al-'Abbas pun mendo'akan mereka. Dalil yang menunjukan disyari'atkannya tawassul semacam ini adalah bahwa para sahabat meminta Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo'akan mereka dengan do'a yang khusus dan do'a umum. Adapun sepeninggalnya mereka maka itu tidak boleh dilakukan, karena orang yang telah meninggal tidak dapat melakukannya.
  4. Tawassul dengan ketauhidan kepada Allah.
    Sebagaimana tawassul yang dilakukan oleh Nabi Yunus AS. di dalam Al-Qur'an Allah Ta’ala berfirman :
    وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
    Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap : "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiyaa : 87 )
  5. Tawassul dengan menampakan kelemahan dan kebutuhan kita kepada Allah.
    Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ayyub alaihissalam.
    وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
    Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), Sesungguhnya Aku Telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (QS. Al-Anbiyaa : 83
  6. Tawassul dengan mengakui perbuatan dosa.
    Sebagaimana do'a Nabi Musa ‘alaihissalam yang tertera dalam Al-Qur'an,
    قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
    Musa mendoa : "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri Karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Qhashash : 16)
Kedua : Tawassul Ghairu Masyru'
Definisi yaitu Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tidak disyariatkan atau bisa dikatakan berwasilah dengan sesuatu yang tidak bersumber dari dalil yang shahih dan pemahamanan yang benar yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Contohnya, bertawassul dengan dzat orang, atau kedudukan dan pangkatnya, tawassul semacam ini tidak masyru', oleh karena itu para sahabat ketika Rasulullah SAW. telah meninggal mereka tidak lagi bertawassul kepadanya, akan tetapi bertawassul kepada pamannya Al-'Abbas RA. dan Umar bin Khattab RA., dengan demikian jelaslah bahwa tawassul pada awalnya dengan do'a Rasulullah SAW. pada saat Beliau hidup, kemudian kepada pamannya ketika Beliau SAW. telah meninggal dunia. Seandainya mereka bertawassul dengan kedudukan Nabi SAW. Niscaya mereka tidak akan bertawassul kepada pamannya, karena kedudukan Nabi lebih mulia dari pada kedudukan pamannya Al-'Abbas, padahal kedudukan Nabi SAW. tidak sirna dengan wafatnya.

Adapun perkataan orang yang berdo'a : "Ya Allah aku meminta kepada-Mu dengan kedudukan si fulan." Bentuk lain dari tawassul ini adalah bertawassul dengan meminta do'a dan syafaat dari orang-orang yang sudah meninggal, tawassul dengan dzat / diri para mahluk atau kedudukan mereka.

Bentuk-bentuk tawassul tersebut sangat berbahaya, berikut ini adalah penjelasannya :
  1. Tawassul dengan meminta do'a dari orang yang telah meninggal dunia. Tawassul semacam ini tidak diperbolehkan karena orang yang telah meninggal tidak dapat melakukan sesuatu termasuk berdo'a, layaknya ketika dia masih hidup; begitu pula meminta syafaat dari orang yang telah meningal tidak boleh, karena Umar bin Khattab RA. dan para sahabat yang lainnya serta para tabi'in ketika mereka menghadapi kesusahan / kemarau mereka beristisqa, bertawasal dan meminta syafaat dari orang-orang yang masih hidup, seperti Al-Abbas, Yazid bin Al-Aswad dan mereka tidak bertawassul, meminta syafaat dan meminta do'a dari Nabi Muhammad SAW., tidak di kuburannya tidak pula dengan yang lainnya, akan tetapi sebagai gantinya mereka bertawassul kepada Abbas RA. dan Yazid RA., Umar bin Khattab RA. berkata dalam do'anya :
    "Ya Allah dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, lalu Engkau meturunkan hujan kepada kami, kemudian kami sekarang bertawassul kepada-Mu dengan pamannya, maka turunkanlah hujan kepada kami."

    Umar telah menjadikan Abbas sebagai ganti dari Nabi, karena dia tidak dapat lagi bertawassul dengan apa yang telah dilakukannya dahulu. Padahal sangat memungkinkan bagi Umar dan para sahabat yang lainnya untuk datang ke kuburan Nabi dan bertawassul dengannya kalau memang itu diperbolehkan.
    Sikap mereka meninggalkan tawassul dengan kuburan Nabi SAW. Merupakan dalil dan bukti bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal adalah terlarang, baik meminta do'a atau pun syafaat darinya, kalau seandainya meminta do'a dan syafaat darinya pada masa beliau hidup dan sepeninggalnya sama-sama diperbolehkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya dan mencari orang lain.
  2. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam atau kedudukan orang lain. Adapun hadits :
    إذا سألتم اللّه فاسألوه بجاهي . فإن جاهي عند اللّه عظيم
    Apabila engkau meminta atau memohon kepada Allah, maka memintalah dengan kedudukanku, karena kedudukanku disisi Allah sangat mulia.
    Hadits ini palsu, tidak terdapat dalam sebuah kitab yang bisa dijadikan sandaran bagi kaum muslimin, dan tidak pernah disebutkan oleh seorang ahli hadits pun, maka selama tidak ada dalil yang shahih dalam hal ini, maka ini tidak boleh dilakukan, karena ibadah tidak boleh dilakukan kecuali dengan bersumber dari dalil yang shahih.
  3. Tawassul dengan dzat para mahluk. Karena dalam bertawassul dengan dzat mahluk terdapat sumpah dengan selain Allah, seperti "Ya Allah Aku memohon kepada-Mu dengan Diri Atau Dzat Sifulan" dan sebagainya, sedangkan sumpah dengan selain Allah adalah syirik, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, jika seandainya dzat tersebut hanya dijadikan sebab, ketahuilah bahwa Allah Ta’ala.
    Tidak menjadikan tawassul dengan dzat mahluk sebagai sebab diijabahnya doa', dan tidak pernah mensyari'atkannya.
  4. Bertawassul dengan hak-hak seorang hamba. Ini tidak boleh dengan ditinjau dari dua segi :
    Pertama : Tidak ada kewajiban bagi Allah Ta’ala atas seorang hamba, akan tetapi Allah Ta’ala memberikan rezeki kepada hamba-Nya karena amalan yang telah dilakukannya. Allah SWT. berfirman :
    وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ رُسُلًا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَانتَقَمْنَا مِنَ الَّذِينَ أَجْرَمُوا ۖ وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
    Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS. Ar-Ruum : 47)
    Orang yang telah berbuat taat berhak atas pahala dan balasan, hak tersebut hak untuk diberi rezeki dan balasan, bukan hak pasti yang bisa dituntut, layaknya hak seorang hamba dengan hamba lainnya.
    Kedua : Hak yang akan diberikan oleh Allah tersebut, adalah hak khusus bagi dirinya yang tidak ada kaitannya dengan orang lain, apabila dijadikan wasilah oleh orang lain yang tidak berhak, maka dia telah bertawassul dengan hak orang lain, yang sama sekali dia tidak berhak atas hak tersebut, ini sama sekali tidak dibenarkan. Adapun dalil yang mengatakan : "Aku meminta kepada-Mu dengan hak-hak orang yang meminta", hadits tersebut dhaif, karena pada sanadnya terdapat Athiyah Al-'Aufa, dia dhaif dan telah disepakati oleh para ahli hadits atas kedhaifannya, kalau sudah demikian, maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah ini yang sangat berkaitan dengan prinsip, disamping itu pada hadits tersebut juga tidak disebutkan bertawassul dengan hak orang tertentu, akan tetapi hanya disebutkan bertawassul dengan hak orang-orang yang berdo'a secara umum, dan haknya orang yang berdo'a adalah diijabah sebagaimana telah dijanjikan Allah, ini adalah hak yang telah diwajibkan Allah atas diri-Nya bagi mereka, dan tidak ada seorang pun yang mewajibkan-Nya.
    Maka tawassul tersebut adalah tawassul dengan janji Allah bukan dengan hak seorang hamba.
PENUTUP
Dengan demikian jelaslah bahwa tawassul adalah salah satu senjata ampuh untuk terkabulnya sebuah do'a, namun tawassul tersebut tidak seluruhnya dibenarkan oleh ajaran Islam, karena tawassul ada yang masyru' dan ghair masyru'.

Sebagai khatimah penulis sampaikan hadits Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwiyatkan oleh Ummul mu`minin Aisyah RA. :
Barang Siapa yang mengerjakan sebuah amalan yang tidak pernah kami contohkan, maka amalannya tertolak

Mudah-mudahan makalah singkat ini bermanfaat bagi kita semua.***

Daftar pustaka :
  1. Al-Qur'an Al Karim dan Terjemahanya, Departemen Agama RI.
  2. Riyadhussalikhin, Al Imam Yahya Bin Syaraf An Nawawi, Dar Al Hadist Cairo, 1423 H.-2003 M.
  3. Al Masyru' Wa Al Mamnu' Min Attawassul, Abdussalam Bin Barjas Aali Abdul Karim, Cairo 1427 H.-2006 M.
  4. Attawassul Anwaauhu Wa Ahkaamuhu, Muhammad Nasiruddin Al Albani, Al Maktabah Al Islami, 1406 h.-1986 M.
  5. Kitab Attauhid, Shaleh Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan, Wezarah As Su'un Al Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1423 H.
  6. Jaami' Ar Rasail, Ibn Taimiyah
  7. Risalah Attauhid, Syeikh Ismail Bin Abdel Ghani Ad Dahlawi, Wezarah As Su'un Al Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1417 H.
  8. Risalah Fi Asas Al Aqidah, Muhammad Bin Audah As Sa'wi, Wezarah As Su'un Al Islamiyah Wa Auqaf Wa Da'wah Wa Irsyad, Saudi Arabiya, 1425 H.
  9. Majmu'ah Al Fatawa Li Ibn Taimiyah, Ibn At Taimiyah, Dar Al Wafa' Manshurah, 1421 H.-2001 M.
[Ditulis oleh : M. AS’AD MUBARAK Lc. Tulisan dari Islamic Intensive Research pada situs http://kifayahplus.multiply.com/]

by.

u-must-b-lucky

0 comments: