HAKIKAT PUASA

Tak lama lagi tepatnya sekitar dua pekan ke depan, kita akan menjumpai bulan mulia, bulan rahmat, bulan taubat, dan "raja semua bulan" yaitu Ramadhan. Selamat datang Ya Ramadhan, Syahrul Shiyam !

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Dalam QS. Adz Dzariyat : 56, Allah menegaskan tugas jin dan manusia adalah beribadah. Mengapa malaikat tidak disebutkan dalam ayat tersebut ? Karena Al-Qur'an memang mengatur dua makhluk hidup yakni jin dan manusia. Tentunya jin dalam makna khusus yakni makhluk ghaib, bukan dimaknai secara bahasa yaitu orang-orang asing.

Tugas beribadah harus diartikan sebagai tugas hidup dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Rasulllah SAW. menyatakan setiap ucapan baik seperti alhamdulillah (hamdalah), subhanallah, dan lain-lain ialah ibadah. Demikian pula setiap langkah kaki menuju kebaikan juga ibadah.

Demikian pula dengan upaya membahagiakan orang lain, membantu orang lain, atau menyisihkan sebagian makanan untuk tetangga, juga ibadah. Tentu ibadah tersebut dalam makna umum yang mencakup seluruh aspek kehidupan asalkan perbuatan itu tidak dilarang Allah.

Namun, ada juga ibadah dalam makna khusus yang mengatur bentuk-bentuk pengabdian langsung kepada Allah yang disebut ritus atau ibadah dalam makna fiqh. Kalau kita membaca buku bab ibadah umumnya mencakup rukun Islam yang lima ditambah beberapa rangkaian ibadah yang berkaitan dengan rukun Islam tersebut. Alim ulama membagi ibadah khusus dalam ibadah badan (jasmani) dan amal (harta benda).

Puasa atau shaum merupakan ibadah fisik (badani) yang waktu, cara, dan persyaratannya sudab ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Cara puasa dengan menahan diri dari makan, minum, hubungan badan suami-istri, dan perbuatan lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat ridha Allah. Jadi, puasa dengan niat melangsingkan tubuh atau kecantikan bukan ibadah karena tujuannya bukan mencari ridha Allah.

Kalaupun ada alim ulama yang menyatakan selama berpuasa tak boleh berendam di kolam air atau menggosok gigi memakai odol setelah matahari terbit mempakan upaya preventif untuk menjaga ibadah puasa. Termasuk meneteskan obat mata, membersihkan telinga, dan lain-lain juga upaya kehati-hatian selama berpuasa. Padahal, hal-hal yang membatalkan puasa amat sederhana yakni makan, minum, dan berhubungan badan.

Sesungguhnya bagian terberat dari puasa ialah berhenti dari dosa dan maksiat sehingga puasa tak sekadar menahan dari lapar dan dahaga. Kalau seseorang sedang berpuasa lalu bertengkar bukan berarti batal puasanya, tetapi mengurangi nilai puasa. Jadi, seseorang yang bertengkar atau menyebarkan gosip harus segera meminta ampunan bukan lantas disuruh berbuka.

Demikian juga apabila kita lupa sehingga makan atau minum, itu tidak termasuk membatalkan puasa. Bahkan, lupa disebut rahmat. Hanya, kita tidak boleh bersiap-siap lupa, misalnya selalu membawa rokok dan korek api dengan harapan suatu saat lupa sehingga bisa merokok.

Pada hakikatnya puasa tidak memberatkan kaum Muslimin malah menyehatkan, seperti hadits Nabi SAW. Tak aneh ketika seorang sahabat datang dan meminta izin agar berpuasa terus-menerus serta-merta Nabi melarangnya.

"Jangan (berpuasa tanpa henti) karena tubuhmu memiliki hak darimu."

"Tapi saya kuat menjalaninya," kata sahabat itu.

"Istrimu mempunyai hak darimu," jawab Nabi.

Pertanyaan yang sering diterima penulis berkaitan dengan seorang pekerja keras sehingga tak kuat untuk berpuasa. Dalam hal ini Muhammad Abduh dalam Tafsir Almanar memakna ayat Al-Qur'an, "Walladziina yutiiku-nahuu," sebagai orang-orang yang bekerja keras. Muhammad Abduh mengambil contoh, seorang tukang pikul di pelabuhan sehingga kalau berpuasa tak akan kuat menahan beban pekerjaan. Dalam kondisi seperti itu, pekerja berat diperbolehkan tak berpuasa, tetapi membayar fidiah.

Hal itu diperkuat dengan kaidah, "Laksanakan segala perintah Allah sesuai dengan kemampuanmu." Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya menyatakan,
Jika aku perintahkan kalian untuk melakukan suatu perbuatan, lakukan semampu kalian. Kalau tidak mampu tidak lagi menjadi tanggung jawabmu.

Demikian pula wanita hamil atau sedang menyusui juga diperkenankan tidak berpuasa dan harus membayar fidiah. Orang tua yang sakit-sakitan sehingga tak bisa mengganti puasanya di hari-hari lain juga bisa mengganti puasanya dengan fidiah. Sementara orang dalam perjalanan atau sedang sakit diperbolehkan tak berpuasa dan menggantinya (kada) di hari-hari lain.

Fidiah dengan memberikan makanan, seperti yang kita makan sehari-hari atau diganti dengan bentuk uang yang setara lalu diberikan kepada kaum miskin.

Ukuran fidiah itu cukup untuk makan selama sehari. Bagaimana kalau kita sendiri hanya mampu membayar fidiah dengan nilai kurang dari ketentuan ? Laksanakan saja semampunya bahkan bisa bebas dari fidiah kalau kita termasuk kaum tak mampu.

Selamat menikmati indahnya Ramadhan ! Semoga kita bisa naik "pangkat" dengan masuk golongan kaum bertaqwa setelah menjalani kawah candradimuka selama sebulan.***

[Ditulis Oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad Dakwah, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 14 Juli 2011 / 12 Saban 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: