Perang Qadisiyah adalah kontak senjata antara kaum Muslim dan Dinasti Sasaniyah. Peristiwa yang terjadi pada 635 M itu, merupakan pertempuran akbar selama masa Khalifah Umar. Betapa tidak, bukankah konflik berdarah itu berlangsung relatif lama. Lagi pula, jumlah korban dari kedua belah pihak cukup banyak. Bahkan, lebih dari itu, keberhasilan kaum Muslim mengalahkan dinasti itu merupakan jalan masuk Islam ke jantung Kekaisaran Persia.

Panglima Perang Persia, Rustam berhasil membangun pasukan sangat besar. Ia merekrut tidak kurang dari 200.000 orang. Dari jumlah itu hampir 30.000 personel adalah tentara reguler. Mereka sangat terlatih dan berpengalaman dalam perang melawan tentara Roma. Selebihnya, sukarelawan dari pelbagai wilayah kerajaan. Pasukan besar itu, kecuali tentara berkuda, juga terdapat pasukan berunta dan infanteri lainnya. Juga diperkuat oleh pasukan gajah, dengan persenjataan lengkap dan perhiasan kebesaran. Sementara milisi Muslim di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqash, jumlahnya tidak lebih dari seperlima. Meskipun demikian, rupanya Panglima Rustam kurang percaya diri. Beberapa peristiwa berikut mengindikasikan hal itu.

Pertama, ketika terbetik berita, Khalifah Umar sedang bersiap mengadakan mobilisasi umum untuk keperluan gerakan pembebasan (futuhat), Rustam segera mengutus delegasi menghadap Kaisar Cina. Maksudnya untuk meminta bantuan. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari delegasi itu, tentang keadaan kaum Muslim saat itu.

Dalam melukiskan kaum Muslim mereka berkata, "Innahum kanu ruhbanan bi al-layl, wa usudan bi al-nahary (Kaum Muslim itu sejatinya laksana pendeta salih di malam hari. Namun jika siang tiba mereka berubah bagaikan singa garang)."

Kedua, waktu pasukan Persia dan milisi Muslim sudah saling berhadapan, Rustam dengan pelbagai cara berusaha mengulur-ulur waktu. Misalnya, dengan meminta berulang kali agar Panglima Sa'ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan untuk berunding. Ajakan Rustam diduga kuat hanya sebuah siasat, lantaran merasa miris menghadapi peperangan.

Meskipun demikian, Sa' ad bin Abi Waqash tetap meladeni, karena semangat Islam cinta damai. Oleh karena itu, tercatat nama-nama Zahrah bin Haubah, Mughirah bin Syu'bah, dan Rub'i bin Amir, sebagai juru runding dari pihak Muslim.

Dalam setiap perundingan, delegasi Muslim secara konsisten tetap menawarkan tiga opsi, memeluk Islam, menyerah secara damai dan membayar jizyah, atau berperang. Maka, bagi Rustam tidak ada alternatif lain, kecuali memilih opsi yang terakhir, berperang ! Dengan begitu, hasratnya untuk menghindar dari peperangan sia-sia belaka.

Kini genderang perang mulai ditabuh. Hari pertama dan kedua berlangsung perang tanding. Korban pun mulai berjatuhan. Pada hari ketiga baru berkobar perang secara massal dan total. Pasukan Rustam bergerak serentak dengan seluruh daya dan kekuatan. Tentara bergajah andalan mereka, ditempatkan di lini paling depan, diikuti pasukan lain. Strategi itu untuk sementara memang jitu. Para milisi Muslim tampak kewalahan.

Namun, dalam pertempuran selanjutnya, strategi itu justru berbalik jadi titik lemah mereka. Sebab, ketika tentara Muslim dapat menghancurkan belalai dan mata dua ekor gajah paling besar dan terdepan, raksasa hitam itu mulai berputar-putar dan melarikan diri. Kemudian diikuti gajah lain yang berada di belakangnya. Maka, pasukan mereka jadi kacau-balau, yang dimanfaatkan oleh tentara Muslim untuk melumpuhkan kekuatan mereka.

Bala bantuan yang dikirim Abu Ubaidah al-Jarah dari Suriah, tiba tepat waktu. Tidak heran, tentara musuh semakin terdesak. Akhirnya, Panglima Rustam pun mati terbunuh. Tentara Muslim terus melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa lawan hingga memasuki Kota Madain, tempat Kaisar Persia bertakhta.

Kota itu sepi. yang mereka temukan dalam Istana hanya barang-barang berharga warisan para penguasa dari waktu ke waktu. Seperti baju besi dan pelbagai jenis pedang, mahkota berhiaskan permata dan jubah kerajaan, patung kuda terbuat dari emas dengan pelana perak, serta batu-batu zamrud dan merah delima di dadanya. Yang lainnya patung unta betina dari perak dengan pelana emas, lengkap dengan tali kekang yang dipenuhi batu mulia.

Sesuai dengan aturan yang berlaku, seperlima harta rampasan itu (khumus), dikirimkan ke Madinah untuk diserahkan ke baitulmal. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk seorang prajurit yang kemudian diketahui bernama 'Amr bin Abd al-Qais.

Singkat cerita, prajurit yang bertugas menyerahkan khumus itu sudah sampai di Madinah. Ia menyerahkannya secara utuh ke tangan Khalifah. Sedikit pun tidak ada yang hilang atau berkurang. Khalifah Umar dan kaum Muslim ibu kota terkagum-kagum melihat peristiwa itu.

Seorang di antara mereka yang hadir bertanya dengan maksud menyelidiki, "Adakah sesuatu yang Anda sembunyikan dari barang-barang ini, sebelum Anda serahkan kepada kami ?" Ia menjawab (boleh jadi dengan perasaan sedikit tersinggung): "Wallah ! Seandainya aku tidak takut Allah SWT., semua barang ini tidak akan pernah aku serahkan kepada kalian."

Khalifah Umar berdecak kagum dan berkata, "Kejujuran prajurit itu sungguh luar biasa. Aku kagum dibuatnya." Ali bin Abi Thalib RA. yang berdiri di samping Khalifah menimpali ucapan Umar dengan mengatakan, "Innaka 'affafta,fa affat al-ra'yah (Karena sesungguhnya Tuan memelihara diri wahai Amirul Mukminin, maka rakyat pun demikian pula)."

Ucapan Imam Ali bin Abi Thalib RA. mengingatkan kita pada teori Ibn Khaldun dalam mukadimahnya. Bapak sejarah dari dunia Timur itu berkata, "Inna al-Nas 'ala din mulukih (Bahwa sejatinya rakyat itu semata-mata mengikuti perilaku rajanya)." ***

[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Minggu (Pon) 28 Agustus 2011 / 28 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky
Inilah saat-saat istimewa yang amat kita rindukan, saat umat Muslimin sedunia melantunkan asma Allah SWT. dengan lafadz takbir,

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi Al Hamdu."

Di kala takbir mengumandang, tak terasa hati ini bergetar, Allah Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah, segala puji hanya untuk Allah. Tiada seorang pun yang berhak mendapat pujian selain Allah SWT. yang memiliki seluruh alam dan isinya ini.

Saat kita semua menantikan Idhulfitri, tetapi bersamaan dengan itu pula, amat berat hati ini berpisah dengan bulan yang sungguh mulia yaitu bulan Ramadhan.

Jika kita ingin mencapai kesucian setelah Idhulfitri, maka kita harus membudayakan hidup pada bulan Ramadhan menjadi budaya standar kita. Budaya bangun malam, jangan pernah lepas shalat malam. Setelah shaum Syawal enam hari harus kita teruskan dengan shaum Senin-Kamis. Budaya tilawah Quran jangan pernah putus.

Kita jadikan momen Ramadhan sebagai jalan bagi kita untuk semakin mengenal Allah SWT., sebagai Pencipta seluruh alam ini. Apabila kita mengenal-Nya dengan baik, maka ketaatan kita akan semakin meningkat. Mengenal Allah tidak cukup hanya dengan melafalkan asma-asma-Nya, tetapi kita harus mengetahui ilmu ma`rifatullah (mengenal Allah) dengan benar.

Jika hati kita ini semakin akrab dengan Allah, semakin ikhlas, hidup kita akan menjadi tenteram. Hanya dengan yakin, maka hati kita akan tenteram. Kita akan menjadi orang yang sabar, karena segala masalah telah diukur oleh Allah. Allah yang membagikan rezeki dan mengangkat derajat manusia, kita tidak perlu mengharap puja-puji, tetapi yang harus kita tanamkan dalam diri adalah sikap tawadhu (rendah diri terhadap Allah).

Selain itu, kita harus mengenal Rasulullah dengan baik karena kita membutuhkan tuntunannya. Adapun sebaik-baik tuntunan yang tidak pernah ada tandingannya yaitu tuntunan Rasulullah SAW. Orang yang sukses Ramadhannya, akan berusahan dengan sangat gigih untuk dapat mengenal Rasulnya dan menyuritauladaninya serta menjalani hidup sesuai tuntunan Rasul. Kita tinggal menyontek akhlak Rasul saja, maka akan aman. Kita harus meniru bagaimana akhlak Rasulullah pada istri-istri, anak-anak, sahabat, tetangga, binatang, musuh, dan bagaimana akhlak keseharian beliau.

Datangnya bulan Syawal yang berarti peningkatan harus terlihat dari sikap dan perilaku setiap individu Muslim. Selama bulan Ramadhan, umat Islam digembleng untuk menjadi insan-insan utama, yang senantiasa merasa hidup dan kehidupannya di bawah pengawasan Allah SWT. Oleh karena itu, selayaknyalah apabila setiap Muslim menjadikan Idhulfitri sebagai sarana kembali ke fitrah, dan membuka lembaran baru dalam menggeluti setiap aktivitas yang dijalankannya, dengan nilai-nilai kebaikan yang telah kita dapat di bulan Ramadhan.

Sahabat, mari kita gapai kemenangan di bulan Syawal dengan sikap istiqamah dalam beribadah.

Jika kita ingin menikmati hidup ini dengan indah, mulia, tenteram, dan bermartabat, marilah kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Insya Allah, jika pada Ramadhan ini kita melatih diri dan sesudah Idhulfitri kita gigih dalam dua hal tadi, kita tunggu saat kepulangan kita dengan penuh kehormatan.

Mudah-mudahan Allah memberikan karunia manisnya iman di kalbu kita, karena kegigihan diri kita meningkatkan amal ibadah dengan kekuatan iman dan ilmu. Makin kurang ilmu, makin goyah keimanan kita. Makin kokoh ilmu, makin nikmat menghadapi hidup kita. Insya Allah.

Saya juga mohon maaf atas segala keterbatasan ilmu. Di balik hikmah yang sederhana ini, mudah-mudahan segala kekurangan dapat menjadi ladang pahala bagi sahabat semua untuk ikhlas memaafkan. Kalau pun ada hal-hal bermanfaat, yakinlah itu merupakan karunia Allah SWT. bagi sahabat semua, sebagai buah dari amal-amal saleh, Insya Allah.

Selamat Idhulfitri 1 Syawal 1432 H. dengan penuh kegigihan guna membentuk diri ini menjadi lebih akrab lagi dengan Allah SWT. dan menjalankan sunah Rasulullah SAW.

Sahabat, mari kita buka lembaran baru di bulan Syawal ini untuk menjadi hamba yang sangat bersungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan hanyalah untuk mempersembahkan yang terbaik dan bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat nanti, bermanfaat bagi diri dan penuh maslahat bagi umat.

Taqobalallaahu minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum.

Wallahu a`lam.***

by

u-must-b-lucky

Tidak sedikit di antara manusia yang terperangkap angan-angan. Mengetahui arti, manfaat, dan tujuan berbuat kebaikan, tetapi hanya sebatas keinginan. Sulit untuk membuktikan dalam praktik. Banyak syarat itu dan ini yang dirancang secara sepihak oleh dirinya sendiri, sebelum mau melaksanakan segala apa yang diniatkannya.

Sikap semacam itu mendapat sindirian dari Allah SWT.,
"Wa yuthawwalul amala wa yarjul akhirata bi ghairi amalin." Membubung melamun dan mengharap kenikmatan hidup di akhirat tanpa amal. (Hadits Qudsi, dikutip dari kitab Al Mawa'idzfil Ahaditsil Qudsiyah susunan Imam Ghazali)

Padahal, berbuat kebaikan -termasuk sedekah- lebih utama ketika badan sehat. Jangan terlambat dinanti-nanti. Apalagi, jika nyawa sudah tersekat di tenggorokan.

Rasulullah SAW. kedatangan seorang laki-laki yang bertanya sedekah apa yang paling besar pahalanya ? Jawab Rasulullah SAW.,
"an tashaddaqa wa anta shahihun syahihun." Ketika engkau benar-benar sehat, juga pada saat ketamakan, takut miskin, dan ambisi kaya raya menguasai segenap perasaan dan pikiran. "La tamhilu hatta idza balaghatil hulkumu." Jangan menunda-nunda hingga (nyawa) telah sampai tenggorokan, kata Rasulullah SAW. seraya menegaskan pada saat sakaratul maut mulai beraksi, masih saja orang berkata, ingin menyedekahkan hartanya untuk Fulan itu sekian, untuk Fulan ini sekian. "wa qad kana li fulanin."

Padahal, harta yang ingin dijadikan sarana kebaikan itu sudah menjadi milik si Fulan. Artinya, sudah berada di tangan orang lain, baik ahli warisnya maupun pihak-pihak yang punya urusan utang-piutang, dan sebagainya.

Dalam Hadits sahih "mutafaaq ulaih" (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim) tersebut, tersirat perintah Rasulullah SAW., agar menyegerakan berbuat kebaikan dan kebajikan. Jangan menunggu kerakusan dan ketamakan menguasai kita.

Sebab, setelah tumbuh watak rakus dan tamak, selalu hanya ingin mengeduk dan menumpuk harta. Enggan mengeluarkan sedikit pun tanpa imbalan nyata dan langsung pada saat itu juga. Jangan menunggu rasa takut miskin tumbuh subur sehingga untuk mengeluarkan sedikit sedekah saja, harus berpikir berlarut-larut karena khawatir mengganggu jumlah tabungan, deposito, dan sejenisnya, yang dianggap benteng pertahanan agar tidak jatuh miskin.

Jangan menunggu terwujudnya khayalan kaya raya sehingga semua potensi dan perhatian terpusat pada upaya mengejar kekayaan yang berupa fatamorgana. Tentu saja, tatkala masih sehat walafiat, karena kalau menunggu sakit belum tentu mampu mengulurkan tangan untuk kebaikan. Bahkan, mungkin tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh telah lemah tak berdaya.

Maka, cepatlah berbuat kebaikan. Bersedekah, berinfaq, berzakat, wakaf, jariyah, dan kebaikan lain dengan menyisihkan, sebagian harta benda yang kita miliki. Janganlah kita termasuk ke dalam kelompok orang yang menyukai para pembuat kebaikan tetapi kita sendiri tidak termasuk di dalamnya. "Yuhibbus shalihina wa laisa minhu" (Hadits Qudsi). ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI H.M. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Sabtu (Pahing) 27 Agustus 2011 / 27 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky
Ketika itu Rasulullah SAW. masuk masjid, di sana terdapat dua majelis sahabat yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Yang pertama, giat memahami seluk-beluk agama (tafaqquh fiddin). Sementara yang lainnya asyik berzikir dan berdoa.

Ketika ditanyakan mana gerangan majelis terbaik, Rasulullah SAW. menjawab, "Semuanya dalam kemuliaan. Namun, aku diutus untuk memberikan pengajaran." Setelah mengatakan demikian, Rasulullah SAW. lantas bergabung dengan kelompok yang disebut terdahulu.

Dalam riwayat lain dikatakan, seorang Anshar datang menghadap Rasulullah SAW. Ia bertanya, "Ya Rasulullah ! Jika dalam waktu yang berbarengan aku dihadapkan pada dua kewajiban agama, misalnya keharusan mengurus jenazah dan menghadiri majelis ilmu. Mana yang mesli aku utamakan ?" Beliau menjawab, "Jika untuk memelihara jenazah sudah ada petugasnya, hadir di majelis ilmu lebih baik bagimu daripada seribu kali mengurus jenazah. Bahkan, yang demikian itu lebih baik daripada seribu kali menengok orang sakit, seribu rakaat salat malam, seribu hari puasa sunat, seribu dirham yang disedekahkan kepada orang miskin, seribu kali haji di luar yang wajib, dan seterusnya..." Ketika itu Rasulullah SAW. masih menyebut beberapa bentuk kebajikan lain dengan kelipatan seribu.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan. Islam sangat apresiatif terhadap ilmu, aktivitas keilmuan, dan majelis yang digunakan untuk kegiatan intelektual itu. Al-Qur'an sebagai rujukan utama Islam mengulang kita al-'ilmu dan derivasinya hingga 780 kali bahkan. Kitab Langit yang satu ini sejak awal diturunkan, telah menyebut secara eksplisit tentang signifikansi membaca, pena dan pengajaran. Bukankah yang demikian itu merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa Islam sangat menghargai karya dan kekayaan intelektual.

Oleh karena itu, tidak heran Al-Qur'an menempatkan golongan berilmu pada posisi sangat terhormat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah : 11)

Pun perlu dicatat, derajat itu bukan hak monopoli ilmuwan agama, tetapi juga hak para pakar di bidang hidrologi, biologi, antropologi, sosiologi, dan lainnya. Sudah barang tentu dengan syarat, kepakaran masing-masing mampu menangkap tanda kebesaran Allah SWT. sehingga mendorong dirinya untuk berendah hati dan sujud di hadapan-Nya,

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir : 28)

Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah kenyataan, Kitab Samawi yang satu ini lelah mengemukakan aturan bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam sebuah majelis ilmu. Di antaranya seseorang harus memberikan kelapangan tempat bagi mereka yang datang. Bahkan, jika perlu berdiri untuk menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain. Hal itu tercantum secara eksplisit dalam QS. Al- Mujadilah : 11.

Dan menurut satu keterangan, ayat itu diturunkan berkaitan dengan peristiwa ketika itu Rasulullah SAW. berada di majelis yang tidak terlalu lapang. Adalah sebuah kelaziman kalau dalam suatu majelis, Rasulullah SAW. suka memberikan tempat istimewa kepada mereka yang disebut veteran Perang Badar. Perlakuan khusus itu bukan diskriminasi, tetapi penghargaan atas saham yang mereka berikan dalam peristiwa yang menentukan itu.

Kebetulan waktu itu majelis sedang berlangsung. Beberapa orang dari mereka baru tiba. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW., lalu kepada semua yang hadir. Namun, patut disayangkan mereka yang sudah duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser seinci pun dari tempatnya. Maka untuk beberapa saat, para veteran itu terus berdiri.

Menyaksikan hal itu, Rasulullah SAW. lantas memerintahkan mereka yang tidak ikut andil dalam Perang Badar pindah ke tempat lain. agar ahli Badar dapat duduk di samping beliau. Tampaknya, titah beliau itu tidak berkenan di hati mereka sehingga seraya menggerutu mereka berkata, "Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi buktinya tidak !" Kritik mereka terdengar oleh Rasulullah SAW. sehingga beliau bersabda, "Allah SWT. merahmati siapa saja yang memberikan kelapangan buat saudaranya." Atas peristiwa itu, turunlah ayat kesebelas surah al-Mujadilah.

Keengganan berpindah tempat untuk memberikannya kepada orang lain. biasanya bersumber dari kepongahan karena mengklaim dirinya sebagai orang terhormat. Oleh karena itu, sepanjang manusia jenis ini masih belum sirna dari muka bumi. selama itu pula kasus itu akan terus berulang dari waktu ke waktu.

Namun, mereka yang hidup pada kurun kenabian lebih beruntung. Sebab, manakala dalam bermasyarakat terjadi penyimpangan dari standar moral yang tinggi, teguran dari langit segera turun. Atau Rasulullah SAW. akan meluruskan secepatnya, baik dengan kata- kata bijak maupun lewat keteladanan.

Berikut ini kisah teladan nyata dari Rasulullah SAW. pada saat para sahabat tidak hirau pada etika majelis. Ketika itu Abdullah al-Bajaliy datang terlambat, sedangkan majelis Rasulullah SAW. sudah padat ditempati oleh para sahabat. Abdullah mengucapkan salam. Setelah itu dia mencari tempat duduk, tetapi sayang ia tidak memperolehnya. Lagi-lagi faktor penyebabnya adalah sama.

Mereka yang duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser, apalagi berpindah tempat. Lama juga hal itu berlangsung sampai Rasululllah SAW. turun tangan. Waktu itu beliau melepas gamis yang dikenakannya, lalu melipat dengan tangannya yang mulia. Setelah itu Rasulullah SAW. turun dari mimbar dan berjalan menuju Abdullah al-Bajaliy.

Begitu hampir sampai pada orang yang dituju, beliau bersabda. "Wahai Abdullah ! Ini gamisku. Jadikanlah dia sebagai alas dudukmu !" Keruan saja Abdullah sangat terharu mendapat perlakuan khusus dari orang mulia seperti itu. Betapa tidak ! Bukankah untuknya Rasulullah SAW. rela melepas gamis lalu melipatnya. Dan setelah itu beliau turun dari mimbar dan menyerahkannya untuk dijadikan alas duduk.

Sungguh tak terbayangkan jika hal itu terjadi pada zaman sekarang. Yang menjadi pertanyaan. maukah Abdullah duduk di atas gamis Rasulullah SAW. ? Alih-alih justru Abdullah menciumi sepuas-puasnya, seraya tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Dan dengan gemetar penuh haru. Abdullah berkata, "Ya Rasulullah ! Semoga Allah memuliakan tuan. sebagaimana tuan telah memuliakanku !"

Keterangan itu tidak sekadar mengungkapkan betapa besar perhatian Rasulullah SAW. terhadap mereka, karena satu dan lain hal tidak dihiraukan. Namun, hal itu juga menjelaskan, berlapang-lapang dalam majelis merupakan sebuah keniscayaan.***

[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 26 Agustus 2011 / 26 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky
Ramadhan tahun ini akan segera usai. Puncak dari seluruh taqorrub selama Ramadhan itu harus kita lakukan pada sepuluh hari terakhir. Jadi keberhasilan dari ibadah puasa kita banyak ditentukan oleh aktivitas kita pada sepuluh hari terakhir. Sampai-sampai Rasulullah SAW., bahkan sejumlah istri beliau, secara khusus melakukan gerakan ibadah khusus di masjid yang kita kenal dengan istilah itikaf.

Seperti kita maklumi, sebagai penyempurna ibadah Ramadhan, kita punya kewajiban melaksanakan zakat fitrah sebagai salah satu di antara jenis ibadah amaliah atau ibadah harta kekayaan. Jadi Islam mengenal bermacam-macam ibadah maliah yakni ibadah yang diwujudkan dalam bentuk pemberian harta, salah satu di antaranya adalah zakat fitrah.

Zakat fitrah semula merupakan bagian dari ibadah amaliah konsumtif. Awal daripada target zakat fitrah itu adalah konsumtif. Memberi makanan pokok yang kemudian oleh para ulama ditoleransi dengan ijtihadnya, boleh diganti dengan uang. Akan tetapi, sebetulnya adalah makanan pokok, di Indonesia, beras misalnya.

Beberapa hal penting untuk dimantapkan agar zakat fitrah kita betul-betul sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

Pertama, mengenai jumlah barangkali tak ada masalah yaitu seharga beras yang nasinya sehari-hari kita makan 3 1/3 liter atau sekitar 2,5 kg. untuk hati-hati silakan lebihkan sedikit.
Kedua, yang perlu menjadi perhatian kita mengenai waktu pelaksanaan.

Waktu pelaksanaan zakat fitrah sampai kepada mustahik (yang berhak menerima zakat), itu pada tanggal 1 Syawal, sedangkan 1 Syawal itu mulai Maghrib sampai pelaksanaan shalat Ied. Kalau sampai zakat fitrah itu diberikan oleh muzakki kepada mustahik setelah pelaksanaan Ied, zakat fitrahnya tidak syah dan dinilai sebagai sedekah biasa.

Jadi, pertama, mengenai waktu jangan sampai diberikan beberapa hari sebelum Idulfitri. Kedua, jangan sampai waktunya dilaksanakan selelah pelaksanaan shalat Idulfitri. tetapi dibolehkan kita titip kepada panitia atau kepada seseorang karena kita mau pergi ke suatu tempat atau kita mungkin takut lupa, lantas dititipkan. Oleh lembaga atau pribadi yang dititipi itu kemudian diberikan pada saatnya.

Zakat fitrah ini dikatakan sebagai zakaaturro'syi, artinya zakat per kepala tidak ada nishabnya. Karena orang kaya dengan orang yang pas-pasan sepanjang tidak fakir dan miskin maka jumlahnya sama. Perlu dijelaskan bahwa muzaki tidak boleh menjadi mustahik karena berbeda dengan qurban.

Zakat, terutama zakat mal. Rasulullah SAW. mengingatkan bahwa zakaatul maal ada yang dikatakan berfungsi sebagai pembersih harta, selain juga pembersih hati tuthohhiruhum watuzaqqiihim bihaa. Jadi dengan berzakat, pertama, harta itu menjadi bersih dari hak-hak orang lain yang dititipkan oleh Allah kepada orang kaya. Kedua, bisa membersihkan hati dari penyakit tamak, rakus, kikir, dan kecemburuan sosial serta penyakit-penyakit hati lainnya.

Mengenai kewajiban zakat fitrah, sampai sekarang ini masih sangat perlu disosialisasikan sebab Al-Qur'an memerintahkan zakat itu hampir selalu bergandengan dengan perintah shalat. Ketika Allah menerangkan pentingnya shalat kemudian pentingnya zakat. Allah memerintahkan shalat, kemudian pentingnya zakat. Allah memuji orang yang shalat, memuji pula orang yang selalu zakat.

Mungkin lebih dari 80 kali dalam Al-Qur'anil karim, zakat dan shalat dijadikan dalam satu ayat. Jadi artinya digandengkan. Ini menunjukkan bahwa urgensi zakat sama dengan urgensi shalat. Abu Bakar Shiddiq yang biasanya kebijakan-kebijakannya selalu lunak, pada saat ada kasus sejumlah umat Islam yang rajin shalat tetapi tidak mau membayar zakat, kontan beliau melakukan sebuah sikap yang sangat keras dengan sumpah, "Demi Allah. Saksikan oleh kalian, demi Allah, saya akan berperang dengan orang-orang yang sudah rajin shalat, tetapi tidak mau membayar zakat." Mungkin karena kebijakan ini dan sikap Abu Bakar yang begitu tegas, mereka segera membayar zakat.

Dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa zakat itu tidak diperintahkan kepada orang yang wajib zakat atau tidak diperintahkan kepada penguasa Muslim untuk mengambil zakat. "khudz min amwalihim." (Ambil itu zakat mereka dari orang-orang kaya itu).

Perintah itu ditujukan kepada para penguasa Muslim untuk turut campur, supaya memerintahkan kepada umat Islam yang wajib zakat mengeluarkan zakat. Allah SWT. berfirman dalam sebuah hadits qudsi. "Anfiq, unfiq." (Infakkan hartamu ! Keluarkan zakatmu ! Allah yang akan menggantinya.)

Barangsiapa yang membuka keran rezeki untuk kepentingan agama dan kemanusiaan. Allah akan membuka keran rezeki yang lebih besar, kontan di dunia sekarang. Nabi SAW. menyatakan, tidak akan berkurang harta karena sedekah dan zakat, dijamin tidak akan ada orang menjadi sengsara gara-gara infak dan zakat, tidak akan ada orang menjadi menderita gara-gara infak dan zakat. Barangsiapa yang memberikan infak atau zakat atau sedekah kepada orang yang memerlukannya, berarti dia lelah menghutangkan sesuatu kepada Allah. Allah yang bertanggung jawab untuk membayarnya. Begitu janji Allah di dalam Al-Qur'anul karim.

Mudah-mudahan kita semua dapat mengakhiri Ramadhan. Pertama, dengan membayar zakat. Kedua, bagi kita yang mungkin masih ada tanggungan wajib zakatiil maal, segeralah keluarkan. Karena Allah memberikan jaminan bahwa tidak akan ada orang miskin gara-gara zakat. Mudah-mudahan Allah SWT. senantiasa memberikan perlindungan dan bimbingan kepada kita. Amin.

Wallahu'alam bisshawab.***

[Ditulis oleh DEDY SUTRISNO AHMAD SHOLEH, Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung & Aktivis beberapa masjid. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 26 Agustus 2011 / 26 Ramadan 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
Suatu hari Rasulullah SAW. berkumpul bersama sahabat-sahabatnya Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Shahibul Bait, Ali bin Abi Thalib. Istri Ali, Fathimah yang juga putri Rasulullah SAW., menghidangkan madu untuk mereka yang sedang berdiskusi. Madu itu diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang sangat indah.

Ketika madu itu dihidangkan, Rasul mendapati sehelai rambut di dalamnya. Rasul diam sejenak dari diskusi. Daripada membincang apalagi menuduh rambut siapa, kecerdasan Rasul kemudian membelokkan tema diskusi, dengan meminta semua sahabat membuat tamsil terhadap mangkuk yang indah nan cantik, madu, dan sehelai rambut.

Abu Bakar RA. mengawali, "Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang beriman itu lebih manis dari madu ini, dan mempertahankan iman jauh lebih sulit dari melewati sehelai rambut."

Umar RA. berkata, "Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Seorang raja lebih manis dari madu. Raja yang memerintah dengan adil lebih sulit daripada meniti sehelai rambut."

Utsman RA. berkata, "Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu. Dan beramal dengan ilmu yang dimilikinya lebih sulit daripada meniti sehelai rambut."

Ali RA. berkata, "Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Menjamu tamu lebih manis daripada madu. Membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Fathimah juga berkata, "Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk cantik. Wanita yang berjilbab itu lebih manis dari madu. Mendapatkan wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Selanjutnya Rasulullah SAW. berkata,
"Seorang yang mendapat taufik untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu. Berbuat amal dengan ikhlas lebih sulit dari melewati sehelai rambut."

Malaikat Jibril berkata, "Menegakkan pilar-pilar agama lebih cantik dari mangkuk yang cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu. Mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Allah SWT. berfirman,
"Surga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku itu lebih manis dari madu itu, jalan menuju surga-Ku lebih sulit daripada melewati sehelai rambut."

Diskusi Rasulullah SAW. yang dapat kita jumpai dalam The Secret of Kisah-Kisah Teladan, Sumber Inspirasi dan Penyejuk Hati, karya Abdul Aziz S. (2011) sengaja. penulis angkat dalam kisah Ramadan, karena memiliki makna yang sangat komprehensif dan holistik.

Konvergensi antara akhlak dan kecerdasan Rasulullah SAW. dalam menyikapi persoalan ringan, menjadi pintu bagi para sahabat untuk mengeluarkan nalar-nalar yang berbobot. Abu Bakar bicara hal yang paling fundamen, yaitu iman dan hati. Umar bicara soal nafsu dan kekuasaan. Utsman mengenai nalar keilmuan. Ali tentang etika, akhlak atau perilaku, dan Fathimah soal syariat. Semua sangat urgen dan harus ditegakkan meskipun berat, itulah jalan menuju surga Allah SWT., Bila kita renungkan, tamsil yang disodorkan oleh para sahabat, sesungguhnya sebuah resume dari kehidupan manusia.***

[Ditulis oleh SAMSUL MA'ARIF, S.Ag., Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 25 Agustus 2011 / 25 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky
Melihat tayangan televisi ataupun berita di media cetak, kita patut prihatin dengan masih adanya kaum kaya (aghniya) yang memberikan langsung zakatnya. Kaum miskin yang memiliki kebutuhan menjelang Lebaran dipaksa untuk berdesak-desakkan dan saling gencet untuk mendapatkan paket sembako atau beberapa lembar uang rupiah.

Peristiwa itu mencerminkan, kondisi kaum kaya kita yang bisa jadi ingin mendapatkan "nilai" dari masyarakat. Bisa juga muncul kepuasan karena bisa memberikan langsung zakat, infak, maupun sedekahnya. Dalam kacamata lain juga bisa menjadi cermin muhasabah (introspeksi) bagi lembaga-lembaga pengelola zakat agar bisa lebih amanah dalam mengelola dana-dana umat.

Sesungguhnya zakat bukan untuk orang-orang miskin, melainkan untuk manfaat besar bagi orang-orang kaya. Dari segi fiqh, zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan ajaran Islam dan disalurkan kepada orang-orang yang telah ditentukan pula. Dalam zakat, ada istilah nisab atau batas minimal harta yang terkena zakat.

Sementara delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 60,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Mengapa zakat itu amat bermanfaat bahkan memiliki efek domino bagi kaum kaya ? Merujuk kepada bahasa Arab, kata zakat memiliki beberapa arti,

Pertama, zakat bermakna At-Thohuru atau membersihkan atau menyucikan. Orang-orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan menyucikan, baik harta maupun jiwanya

QS. At-Taubah : 103 menegaskan,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kedua, kata zakat ialah Al-Barakatu atau barokah (berkah). Muslimin yang selalu membayar zakat maka harta bahkan kehidupannya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih dari noda-noda.

Ketiga, zakat bermakna ann-numuw atau bertumbuh dan berkembang. Tidak ada kamus ketika seseorang menunaikan zakat lalu hartanya berkurang apalagi jatuh miskin akibat mengeluarkan. Dengan izin Allah, harta seseorang yang rutin berzakat akan selalu terus tumbuh dan berkembang.

Pengalaman penulis maupun mendengar dan mengamati pengalaman orang-orang yang selalu mengeluarkan zakatnya, ternyata harta yang kita miliki bukannya berkurang malah bertambah dan berkembang. Secara logika manusia, bisa jadi harta kita berkurang saat dikeluarkan zakatnya. Contohnya, jika kita mempunyai penghasilan Rp. 3 juta lalu kita keluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen, maka ramus matematika menyatakan harta kita berkurang Rp. 75.000. Harta di tangan kita yang sebelumnya Rp. 3 juta menjadi Rp. 2.925.000.

Akan tetapi, menurut ilmu Allah Yang Maha Pemberi Rezeki, harta yang kita keluarkan untuk zakat malah tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat ganda. Allah SWT. berfirman dalam QS. Ar-Rum : 39,

وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan.

Kondisi serupa juga terjadi ketika seseorang mengeluarkan hartanya untuk haji maupun umrah. Bukannya harta kita berkurang, malah setelah pulang dari haji maupun umrah, Allah memberikan jalan sehingga harta kita bertambah dan berkembang. Hal ini terkait dengan salah satu doa yang selalu diucapkan jemaah haji maupun umrah dalam tawafnya, yakni
Allahumma hajjan mabruran. Wasa'yan masykuran. Wadzanban maghfuran. Watijaaratan lan taburan. (Ya Allah semoga haji ini menjadi haji mabrar. Sai yang diterima. Dosa-dosa yang diampuni. Perdagangan/usaha yang tidak pernah mendatangkan kerugian).

Keeempat adalah as-sholahu bermakna beres dan jauh dari persoalan yang mengimpit hidupnya. Orang orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Orang yang dalam hartanya selalu ditimpa musibah atau masalah, misalnya kebangkrutan, kecurian, kerampokan, atau kebilangan boleh jadi karena melupakan zakat, infak, atau sedekah.

Di akhir Ramadhan ini, kita diingatkan untuk menunaikan salah satu kewajiban yakni zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta) bagi yang sudah memenuhi nisabnya.

Mari kita berzakat karena berzakat itu nikmat !***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan di salin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 25 Agustus 2011 / 25 Ramadan 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan muridnya, dan mengajukan enam buah pertanyaan.

Pertanyaan yang pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?" Muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabat. Imam Al Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Sebab, itu sudah janji Allah SWT. bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imran : 185)

"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini ?" tanya Imam Al Ghazali selanjutnya. Muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang. "Semua jawaban kamu benar, tetapi yang paling benar adalah masa lalu. Bagaimana pun kita dan apa pun kendaraan kita tetap tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh karena itu, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari mendatang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Islam," katanya.

Kemudian pertanyaan yang ketiga, "Apa yang paling besar di dunia ini ?" Muridnya menjawab gunung, bumi, dan matahari. "Semua jawaban itu benar. Namun, yang paling besar di dunia ini adalah nafsu seperti dalam QS. Al A'raf : 179,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Maka, kita harus berhati-hati dengan nafsu, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka," katanya.

Pertanyaan keempat, "Apa yang paling berat di dunia ini ?" Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. "Semua jawaban itu benar. Namun, yang paling berat adalah memegang amanah sebagaimana yang tersirat dalam QS. Al Ahzab : 72,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT. meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Namun, manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT. sehingga banyak dari mereka masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya," ujarnya.

Pertanyaan Imam Al Ghazali kelima, "Apa yang paling ringan di dunia ini ?" Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. "Semua jawaban itu benar. Namun, yang paling ringan adalah meninggalkan shalat. Gara-gara meeting kita tinggalkan shalat," katanya.

Pertanyaan yang keenam, "Apakah yang paling tajam di dunia ini ?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. "Benar. Namun, yang paling tajam adalah lidah manusia karena dengan gampangnya lidah menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri," jawabnya.

Akankah Anda merenungkan hal itu ? Ya, di bulan Ramadhan ini merapakan waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah atau perenungan diri. Kata muhasabah merupakan bentuk mashdar (kata benda) bermakna introspeksi atau koreksi diri dan saling mengoreksi. Tak sedikit manusia lupa akan jati dirinya. Dia tidak mengetahui, siapa saya (Who am I ?)

Muhasabah untuk mengoreksi diri akan berbagai kelemahan, kekurangan, kealfaan, kesalahan, dan dosa yang pernah dilakukan dengan melihat kelebihan dan kesalehan orang lain agar dapat memacu dirinya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Muhasabah adalah sebuah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan dalam kehidupan.

Beberapa hal yang jadi perhatian dalam muhasabah diri, yakni muhasabah perilaku seperti sifat ego yang selalu membanggakan dan menyombongkan diri seperti merasa paling hebat. Allah SWT. memberikan kritikan kepada manusia yang sombong dan egois.

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Isra : 37)

Sering kali orang selalu melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain, sedangkan dirinya diabaikan begitu saja. Sebuah pepatah mengatakan, "Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak tampak."

Sungguh aneh perilaku manusia. Kesukaannya memperhatikan aib orang lain. Kalau dia menyadari, tentu cukup ia menutupi aib dirinya sendiri. Mengapa ia hanya melihat kesalahan kecil kawannya, tetapi dia tidak melihat kesalahannya sendiri ? Mengapa dia merasa sedih melihat kesalahan orang lain, tetapi dia tidak merasa menyesal atas dosanya yang lebih besar ?

Manusia sepanjang hidupnya berpura-pura tidak tahu tentang urusan dirinya. Ia menjauhkan diri dari memperbaiki diri, malah sibuk mencari aib orang lain. Seolah-olah siksaan pada hari hisab nanti akan terjadi hanya karena dosa orang lain, bukan dari perbuatannya sendiri.

Perhatikan firman Allah pada surat Al Maidah : 105 ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya. Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Muhasabah lainnya berkaitan dengan lidah seperti kata Imam Al Ghazali, "Manusia diberi lidah, dua mata, dua telinga, dua tangan dan dua kaki. Semestinya, lidah digunakan untuk berbicara yang baik. Jika tidak bisa, hendaknya ia berdiam diri."

Nabi SAW. juga bersabda,
Man katsura kalaamuhu, katsura khatauhu. (Barangsiapa yang banyak bicara, maka ia banyak kesalahannya.)

Muhasabah lainnya berkaitan dengan usia manusia. Ketika manusia berada pada masa empat bulan di dalam kandungan seorang ibu, Allah SWT. menetapkan usianya yang akan dijalani selama masa di dunia. Ada yang usianya ditetapkan 8 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, 60 tahun dan sebagainya. Berapa tahun ia diberikan jatah hidup di dunia menjadi rahasia Allah SWT. Tiada seorang pun manusia yang mengetahuinya.

Sesungguhnya, semakin bertambah usia seseorang, akan semakin berkurang jatah hidupnya. Setiap hari usia kita dikurangj oleh detik, menit, dan jam. Saat ini, kita telah menghabiskan sebagian usia kita dan kita sedang menjalani dan menghabiskan yang sebagiannya lagi. Berapa lama lagi sampai akhir usia kita ?

Wallaahu a'lam bish shawaab.

Padahal, usia kita akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. pada hari kiamat kelak. Pertanggungjawaban yang diminta bukan hanya hitungan tahun, bulan, hari, dan jam, tetapi setiap tarikan napas yang kita hirup dan embusan napas yang kita keluarkan.***

[Ditulis oleh KH. HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL'AYDARUS, Ketua Yayasan As-salaam Bandung dan mantan anggota MPR. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Rabu (Wage) 24 Agustus 2011 / 24 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky