BIARKAN AKU BERDAGANG HANYA DENGAN ALLAH

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA., pernah terjadi musim kemarau panjang. Dampak fenomena alam itu amat dirasakan oleh masyarakat kebanyakan, termasuk penduduk Madinah. Tak mengherankan jika persediaan kebutuhan pokok di pasaran mulai langka.

Selain sulit didapat, harganya pun saban hari terus merangkak naik. Dampaknya, semakin menyulitkan masyarakat akar rumput untuk menjangkaunya.

Kondisi kehidupan yang sudah berat itu tidak jarang diperparah ulah para spekulan, yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Mereka mengeksploitasi keadaan untuk meraup keuntungan besar. Misalnya, dengan cara menimbun atau mempermainkan harga barang yang dibutuhkan orang banyak. Agaknya mereka tidak sadar, derita lapar masyarakat bawah tersebut, pada gilirannya akan berubah menjadi penyesalan yang tiada akhir kelak di alam akhirat. Untuk mereka dan masyarakat kelas atas lainnya, elok sekali jika mau mendengar peringatan Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah berikut ini. Sahabat yang dijuluki oleh Rasulullah SAW. sebagai pintu ilmu itu pernah mengatakan,
Innallaha Subhanahu faradha fi amwal al-aqhniya aqwat al-fuqara. Fa ma ja 'a faqir illa bima mutti 'a bihi ghaniyyun. Wallahu Ta 'ala sa'iluhum 'an dzalik (Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian untuk fakir miskin dalam harta kaum hartawan. Tiada seorang pun di antara mereka menderita kelaparan, melainkan hal itu disebabkan kelebihan kemewahan dalam cara hidup kaum berada. Padahal, kelak Allah SWT. niscaya akan menuntut pertanggungjawabannya dari mereka.)

Namun, masyarakat Madinah sedikit beruntung saat itu. Sebab, di tengah para pengusaha yang cinta dunia, masih ada satu dua saudagar yang berhati emas. Mereka tidak menganggap perniagaan sebagai usaha mengejar keuntungan duniawi semata, melainkan juga sebagai sarana meraih kebahagiaan ukhrawi.

Dengan kata lain, dunia bisnis bagi mereka tak lain hanya kendaraan tunggangan yang akan mengantarkan ke bumi kebahagiaan kelak di seberang makam. Maka, ketika menyaksikan kesusahan orang lain, mereka tidak melihat hal itu sebagai ajang untuk mengakumulasikan modal. Alih-alih yang demikian itu justru mereka jadikan sebagai kesempatan untuk meraih keridhaan Allah SWT. Dari sedikit pebisnis yang mempunyai atribut seperti itu adalah Utsman bin Affan. Peristiwa di bawah ini merupakan indikasi dari seorang pengusaha yang lebih banyak digerakkan oleh motif karitatif, ketimbang nafsu eksploitatif.

Ketika itu kesulitan hidup masyarakat Madinah sudah sampai ke puncaknya. Dalam keadaan demikian, tibalah kafilah Utsman bin Affan dari negeri Syam. Kafilah itu terdiri atas ratusan ekor unta, sarat dengan barang dagangan yang menjadi hajat orang banyak.

Kedatangannya terang saja diketahui oleh para saudagar Madinah. Tidak heran, hampir semua orang segera menjemput dan menyambutnya.

Tampaknya mereka berpikir, jika barang dagangan itu jatuh lebih dahulu ke tangannya sebelum sampai ke tangan konsumen, hasrat untuk memperoleh keuntungan berlimpah tidak akan menjadi impian semata, melainkan mewujudkannya menjadi kenyataan. Singkat cerita, tatkala para saudagar dan Utsman bin Affan telah berhadap-hadapan, terjadilah tawar-menawar.

Para saudagar berkata, "Wahai Utsman ! Juallah barang-barang itu kepada kami ! Kami jamin, engkau akan mendapatkan keuntungan yang lumayan dari kami."

"Baiklah jika tuan-tuan berminat ! Berapa besar tuan-tuan akan memberikan keuntungan kepadaku ?" jawab Utsman bin Affan. Salah seorang saudagar mengatakan, "Cukuplah rasanya jika kami memberikan keuntungan sebesar lima persen dari harga modal."

Utsman bin Affan bertanya lagi, "Masihkah ada di antara Tuan-tuan, yang bersedia memberikan keuntungan lebih dari itu ?" Setelah para saudagar itu berembuk, kemudian berkata, "Kalau Anda masih ingin berlebih, baiklah akan kami berikan tambahan sebesar sepuluh persen."

Utsman bin Affan masih terus bertanya, "Masihkah ada yang berani memberiku laba lebih dari sepuluh persen ?"

Para saudagar menjawab nyaris secara bersamaan, "Mana ada yang berani memberimu keuntungan lebih tinggi lagi dari sepuluh persen ? Bukankah kami yang hadir di sini adalah para pedagang Madinah ? Wahai Utsman ! Kiranya perlu Anda ketahui, tidak seorang pun pedagang yang masih tinggal di kota. Jadi, tidak ada lagi yang akan memberikan keuntungan lebih tinggi dari penawaran yang kami ajukan."

Utsman bin Affan lantas berkata, "Jika memang di antara Tuan-tuan tidak ada yang sanggup lebih dari itu, tidak masalah. Namun, aku akan tetap menjualnya kepada pihak yang bersedia memberikan laba kepadaku lebih dari keuntungan yang Tuan-tuan janjikan. Bahkan, Tuan-tuan harap maklum, pembeli yang satu ini menjanjikan keuntungan bukan hanya puluhan persen, tetapi hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Tahukah Tuan-tuan, siapakah pedagang yang aku maksudkan itu ? Dialah Allah SWT., Tuhan Yang Mahakaya. Oleh karena itu, biarkanlah aku berjualan dengan Allah saja !"

Sampai di sini Utsman berbicara. Selanjutnya ia meminta yang hadir untuk menjadi saksi. Bahwa, seluruh barang dagangan yang dibawa dari negeri Syam itu akan dibagikan cuma-cuma kepada penduduk Madinah yang membutuhkan. Sungguh mengharukan !

Utsman bin Affan tentu saja paham Al-Qur'an. Tampaknya Utsman berhasrat meraih pahala, seperti yang dijanjikan Allah SWT. dalam firman-Nya,

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 261)

Siapa berani menyangkal jika dikatakan, pada zaman kiwari pedagang seperti itu sudah menjadi manusia langka. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, ketika kaum Muslim membutuhkan barang yang nyaris seragam dalam waktu yang hampir bersamaan. Simaklah berita di pelbagai media ! Betapa bulan Suci ini mereka jadikan sebagai ladang subur untuk mengeruk untung. Tidak hirau dengan beban kehidupan yang semakin mengimpit masyarakat banyak.

Meungpeung marema, adalah padanan paradigma bisnis memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Memang, tidak perlu menjadi pedagang seperti Utsman bin Affan. Namun, paling tidak, tidak berorientasi terhadap keuntungan keduniaan semata. Sisakanlah rongga di dada untuk diisi oleh hasrat mendapat pahala akhirat. Jika tidak demikian, jangan salahkan siapa-siapa jika keberkahan Allah SWT. belum berpihak kepada kita. ***

[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI, M.Ag, Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Rabu (Kliwon) 10 Agustus 2011 / 8 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by


u-must-b-lucky

0 comments: