Bertobat atau mohon ampun atas segala dosa merupakan kewajiban setiap manusia, terutama bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Soalnya, Allah telah memerintahkan semua orang beriman untuk bertobat kepada-Nya

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-nuur: 31)

Pada saat melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji, memohom ampunan, pengakuan tobat atas segala dosa, menjadi porsi utama. Jemaah selalu mendahulukan bacaan istighfar sebelum melanjutkan ke doa-doa lain. Semua dilakukan jemaah, baik ketika berada di Masjidilharam (shalat, zikir, tawaf, sai) maupun di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (wukuf dan melontar jumrah).

Hal itu tumbuh berkat kesadaran (alyagzah) yang muncul spontan mengikuti suasana sakral dan ghirah (semangat) menjalankan perintah Allah sekaligus menjauhi larangan-Nya (takwa). Bertobat adalah melaksanakan perintah Allah, sebagaimana telah dinyatakan di atas, juga menjauhi larangan-Nya. Soalnya, orang yang tidak (mau) bertobat termasuk dzalim, sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Hal itu dinyatakan dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat ayat 11,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Di dalam kitab Manazilus-saa'iriin, Syekh Ismail Alharawi (abad ke-12) menyebutkan bahwa penyebab manusia berbuat dosa adalah 'ishmat, merasa lepas (terbebas) dari pengawasan Allah SWT. Dengan demikian, orang akan merasa tenang-tenang saja dan terus-menerus mengarungi gelombang dosa kemaksiatan.

Syekh Ismail pun menyebutkan tiga syarat dalam bertobat
  • Pertama, membesar-besarkan arti dosa yang pernah dilakukan, jangan sekali-kali meremehkan (menganggap kecil) perbuatan dosa. 
  • Kedua, jangan mencari kambing hitam atas perbuatan dosa yang dilakukan. Sebaiknya, tuduhan diarahkan kepada diri sendiri sebagai sumber sekaligus pelaku dosa. 
  • Ketiga, memohon maaf kepada semua orang atas dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat.

Terkait dengan hal itu, Rasulullah SAW. pernah bersabda bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang sebelum dia beroleh maaf dari orang yang pernah disakiti.

Itulah yang disebut "hak adami", dosa antar-manusia yang hanya akan diampuni oleh Allah SWT. apabila di antara sesama orang itu sudah saling memberi maaf.

Pada waktu di Arafah, doa wukuf yang paling masyhur adalah yang dimulai dengan kalimat permohonan ampun (astaghfiru-llaaha-l'azhim), diikuti dengan pengakuan bahwa tiada zat yang patut disembah, kecuali Allah yang Mahakekal, Mahahidup, dan tempat meminta ampunan dari segala dosa. Doa itu diucapkan sebanyak seratus kali. Astaghfiru-llaaha-l'azhim al-ladzii laa ilaaha illaa huwa-lhayyu-lqayyuum wa atuubu ilaiih.

Itulah istighfar (permohonan ampun) paling sederhana. Di samping itu, banyak model istighfar lain, baik yang diucapkan oleh para nabi dan rasul Allah, yang tercantum di dalam Al-Qur'an, maupun yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW. di dalam sunahnya (hadits). Istighfar para nabi dan rasul yang tercantum di dalam Al-Qur'an antara lain, 

Istighfar Nabi Adam AS. 

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-A'raaf: 23)

Istighfar Nabi Yunus AS. 

فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiyaa': 87)

Istighfar Nabi Musa AS. 

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ ۖ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ 
Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS. Al-A'raaf: 151)

رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِّلْمُجْرِمِينَ
Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa. (QS. Al-Qashash: 16)

Istighfar Nabi Nuh AS. 

رَّبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan. (QS. Nuuh: 28)

Doa para tabi'in (pengikut Nabi Muhammad SAW.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr: 10)

Semuanya dapat dan mudah dipelajari dari para guru, ustaz, kiai di majelis taklim, pesantren, madrasah, dan tempat-tempat pengajian lainnya.

Semoga haji mabrur yang kita ikhtiarkan dapat dipetik dan terasa hasilnya. Hal itu berupa pembersihan diri kita dari segala dosa dan peningkatan amal ibadah kepada Allah SWT. sesuai dengan petunjuk rasul-Nya, Muhammad SAW. Selain itu, tentu saja, peningkatan kualitas amal kebaikan terhadap sesama manusia.***

[Ditulis oleh WAWANG F. RATNAWULAN, S.Ag., pernah "nyantri" di Pondok Pesantren Al Jawami, Bustanul Wildan, dan AlFalah, Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 27 Oktober 2011 / 29 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "DI BALIK RITUS"]

by

u-must-b-lucky
Salah satu tujuan Allah SWT. menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini dapat kita temukan dalam firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. ad-Dzariyat : 56)

Biasanya, ketika kita mendengar kata ibadah, yang langsung terbayang dalam benak kita adalah berbagai ritual keislaman yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Padahal kalau kita merujuk kepada definisi ibadah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ternyata ibadah sangat luas. Menurutnya, ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir). Artinya, segala ucapan dan perbuatan yang diniatkan untuk mengharap ridha Allah termasuk ibadah.

Dalam pelaksanaannya, kita sering merasa malas untuk melakukan ibadah kepada Allah, khususnya dalam melakukan ritus keislaman yang biasa dilakukan sehari-hari. Salah satu penyebabnya adalah karena kita selalu mengaitkan ibadah yang dilakukan dengan imbalan atau pahala yarig akan kita terima. Apalagi dalam Islam, atau mungkin juga dalam agama-agama lain, kebanyakan pahala yang dijanjikan selalu bersifat abstrak dan akan didapatkan di akhirat.
Tidak heran, ibadah yang kita lakukan akan sangat situasional dan bergantung pada kondisi hati. Kalau hati sedang senang dan kondisi ekonomi sedang membaik, biasanya kita akan rajin beribadah. Akan tetapi, kalau hati sedang dirundung kegalauan ditambah kondisi keuangan yang sedang jelek, maka rasa malas dan bosan dalam beribadah mulai menghinggapi diri kita, atau sebaliknya.

Berkaitan dengan hal ini, ada klasifikasi ibadah yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib RA. dalam magnum opusnya, Nahjul Balaghah. Menurut beliau, sebagian orang beribadah kepada Allah semata-mata karena mengharapkan imbalan, dan itulah ibadahnya para pedagang. Sebagian lagi beribadah karena takut terkena hukuman, dan itulah ibadahnya para hamba sahaya. Sebagian lagi beribadah karena bersyukur kepada Allah, dan itulah ibadah orang-orang yang merdeka jiwanya.

Dengan demikian, menurut Imam Ali RA., ada tiga model ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu ibadahnya para pedangang (ibadat al-tujjar), ibadahnya hamba sahaya (ibadat al-'Abid), dan ibadahnya orang-orang yang bersyukur kepada Allah SWT. (ibadat al-Syakirin).

Tidak bisa dimungkiri, kita merupakan produk pendidikan Islam yang dilakukan oleh orang tua dan guru kita. Dalam hal beribadah, orang tua dan guru kita sering mengiming-imingi dengan pahala dan surga agar kita rajin melaksanakan shalat, mengaji, puasa, dan ritus keislaman lainnya. Iming-iming tersebut kemudian membuat kita menjadi rajin dalam beribadah. Implikasinya, motivasi kita dalam melaksanakan ibadah, bukan karena Allah, tetapi karena ingin mendapatkan pahala dan ingin masuk surga.

Kalau kita merujuk pada klasifikasi model ibadah menurut Imam Ali RA., ibadah yang kita lakukan, dikategorikan sebagai ibadahnya para pedagang. Kita tahu, pedagang selalu bertindak dengan pertimbangan dan prinsip ekonomi; kalau menguntungkan dilaksanakan, kalau tidak menghasilkan, atau bahkan merugikan, pasti ditinggalkan.

Model ibadah yang kedua adalah ibadat al-Abid atau ibadahnya hamba sahaya. Model ini tidak jauh beda dengan model yang pertama, hanya beda motivasi. Yang pertama, beribadah kerena ingin pahala dan masuk surga, sedangkan yang kedua karena takut siksa dan neraka. Ibadah yang didasari karena ketakutan terhadap siksa dan neraka dikategorikan oleh Imam Ali RA. sebagai ibadahnya hamba sahaya (ibadat al-'Abid).

Kita tahu, hamba sahaya ketika diperintahkan oleh majikannya. Begitu juga, akan meninggalkan suatu pekerjaan ketika dilarang oleh majikannya. Al-Qur'an dalam banyak ayatnya menyebutkan, pahala dan kebaikan bagi orang yang menjalankan ibadah dan ancaman siksa bagi yang meninggalkannya. Tentu kita tidak bisa serta merta mengatakan orang yang beribadah karena mengharapkan pahala atau terhindar dari siksa adalah keliru. Selama ibadah dilandasi dengan niat yang tulus ikhlas dan dipersembahkan hanya kepada Allah tentu tak akan sia-sia.

Kalau diajukan pertanyaan kepada kita, apakah kita akan tetap beribadah kepada Allah seandainya surga dan neraka itu tidak ada, kita akan bingung menjawab pertanyaan tersebut. Yang ideal tentu saja adalah model ibadah yang ketiga, ibadah itu dilakukan didasari atas rasa syukur kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan karunia-Nya.

Kita tahu bahwa nikmat dan anugerah Allah SWT. begitu melimpah ruah. Hal ini sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur'an Surat Ibrahim : 34,

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).


Kita tahu, Allah tidak pernah berhenti memberikan nikmat kepada seluruh makhluk-Nya. Semestinya manusia pun tidak pernah berhenti untuk bersyukur kepada Allah. Hanya saja, konstruksi sosial dan budaya kita cenderung menganggap bahwa bersyukur itu hanya dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya, ketika mendapatkan kenaikan jabatan dan mendapatkan rezeki yang besar, Artinya, kita selalu memosisikan pekerjaan bersyukur sebagai pekerjaan temporer yang sifatnya insidentil. Padahal Allah tidak pernah berhenti menggelontorkan nikmat dan anugerah kepada seluruh makhluk-Nya.

Bukankah Allah yang menciptakan kita? Bukankah Allah yang memberikan kita kehidupan? Bukankah Allah juga yang menjadikan kita Muslim? Masih banyak lagi pertanyaan yang membuat kita kehabisan alasan untuk tidak bersyukur kapada Allah SWT.
Yang patut diteladani tentu saja Rasulullah SAW., yang selalu beribadah kepada Allah, padahal Allah menjamin dosa-dosa beliau sudah diampuni Allah. Hebatnya lagi, Rasulullah SAW. beribadah kepada Allah sebagai manifestasi dari rasa syukur beliau kepada Allah SWT. Hal ini tergambar dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW., berdiri pada shalat malam (tahajud) sampai bengkak kedua kakinya. Lalu Aisyah RA. bertanya kepadanya, "Kenapa kau lakukan ini wahai Rasulullah? Padahal Allah telah mengampunimu baik dosa yang lalu dan yang akan datang?" Beliau menjawab, "Tidakkah aku suka jika aku menjadi hamba yang bersyukur?"*** 

[Ditulis oleh ERICK HILALUDDIN, khatib Jumat di beberapa masjid di Cimahi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 28 Oktober 2011 / 1 Zulhijah 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"] 

by

 u-must-b-lucky
Jika kita cermati isi Al-Qur'an, akan terlihat jelas Nabi Ibrahim AS. mendapatkan tempat istimewa. Setelah Rasulullah SAW., tempat kedua sebagai nama yang paling banyak disebut kaum Muslimin adalah Nabi Ibrahim AS.

Perhatikan doa tasyahud dalam shalat, nama Ibrahim AS. dan keluarganya pasti disebut beberapa kali. Kita berdoa agar Allah melimpahkan nikmat dan kasih sayang kepada Nabi Muhammad SAW. dan keluarganya sebagaimana Allah melimpahkan rahmat kepada Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya.

Selain disebut dalam Al-Qur'an, kehidupan Nabi Ibrahim AS. juga termaktub dalam Perjanjian Lama (Bibel). Nabi Ibrahim AS. memang pantas menjadi suri teladan nan indah dan baik untuk orang-orang beriman. Beliau telah menempatkan kepatuhan dan kecintaan kepada Allah SWT. di atas segala kecintaannya kepada yang lain.

Nabi Ibrahim AS. mengalami masa-masa ujian yang berat bahkan sejak lahir karena harus dibuang ke tengah hutan untuk menghindari kedzaliman penguasa, Raja Namruz. Ketika remaja, Ibrahim AS. sudah mempertanyakan Tuhan yang disembah kaumnya termasuk ayahnya sebagai pembuat berhala yang akan disembah.

Kita juga bisa belajar ketauhidan kepada Ibrahim AS. saat muda yang mencari Tuhan sebenar-benarnya. Namun, akhirnya Ibrahim AS. menemukan Allah SWT. sebagai Tuhan yang menciptakan bulan, matahari, dan makhluk-makhluk lain di alam semesta. Bahkan, kepercayaan yang tangguh harus dibayar mahal karena Ibrahim AS. harus dibakar hidup-hidup di tengah kobaran api lalu diselamatkan Allah.

Ibrahim AS. juga meninggalkan tanah airnya menuju sebuah padang tandus di Mekah karena patuh kepada perintah Allah dan kecintaannya kepada agama yang lurus. Ibrahim AS. hanya mencemaskan kondisi dirinya yang belum dianugerahi seorang keturunan. Bahkan, lebih cemas lagi apabila nantinya anak-anaknya malah jauh dari nilai-nilai agama.

Ujian lainnya ketika putra yang sudah didambakan cukup lama yakni Ismail AS. harus ditinggalkan bersama ibunya, Siti Hajar, di daerah tandus di Mekah. Sekali lagi Nabi Ibrahim AS. menaati ketentuan dari Allah, Malah ketika Ismail AS. semakin besar juga harus dikorbankan dengan tangannya sendiri, seperti dalam kisah yang dituangkan QS. Ash-Shaffat: 99-111,
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ
Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh." Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim." Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Akibat kecintaan kepada Allah melebihi kecintaan kepada anaknya, Allah memberikan anugerah yang besar yakni binatang kurban. Sementara Ismail AS. tetap selamat dan selanjutnya menjadi nabi penerus ajaran Nabi Ibrahim AS. Risalah Nabi Ibrahim AS. dan Ismail AS. ini kita teruskan sampai saat ini berupa kurban yang disembelih saat Idul Adha (10 Zulhijah) maupun hari tasyrik (11,12, dan 13 Zulhijah).

Anugerah Allah yang sangat besar hanya pantas diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang juga mengalami berbagai ujian berat laksana Ibrahim AS. Selain kejatuhan rezim Namruz, seluruh doa Nabi Ibrahim AS. juga dikabulkan Allah. Mulai dari diberi keturunan yang saleh sampai negeri makmur dan aman (baladan aminan) juga dikabulkan yang kita kenal sebagai Mekah.

Allah dalam Al-Qur'an berfirman,
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah : 124)

Kita temukan dalam Al-Qur'an sejumlah keturunan Nabi Ibrahim AS. yang merupakan para nabi yakni Ismail AS., Ishak AS., Ya'kub AS., Yusuf AS., Dawud AS., Sulaiman AS., Isa AS., bahkan Muhammad SAW. sebagai nabi terakhir.

Teladan lain yang bisa kita ambil dari Nabi Ibrahim AS. adalah bekerja dengan tekun dan bekerja dengan idealisme luhur. Dua hal itu merupakan prasyarat mewujudkan keturunan yang saleh dan mewujudkan kemakmuran negara sebagai wujud syukur atas karunia Allah kepada negara kita. Indonesia dikenal sebagai negara makmur yang berbeda jauh dengan negeri tandus saat Ibrahim AS. dan keluarganya harus tinggal di sana.
Tentu untuk meraih sukses besar tidak bisa dalam sekejap mata dan membalikkan telapak tangan. Kesalahan kita ketika berpikir pragmatis, serba instan, dan tak sabar sehingga melupakan perencanaan ke depan. Selain itu, sukses besar harus dilalui dengan pengorbanan besar layaknya Nabi Ibrahim AS. Tak ada sukses besar tanpa pengorbanan dan ujian.

Telah menjadi hukum dalam perjuangan harus melintasi ujian dan pengorbanan. Semakin besar langkah perjuangan kita, semakin besar pula pengorbanan dan ujian. Demikian pula dengan perjuangan Rasulullah SAW., sahabat, dan khalifah-khalifah sebelum kita yang harus mengeluarkan keringat, air mata, bahkan darah sekali pun. Jangan lupakah pula doa-doa yang terus dipanjatkan sepanjang hidup.

Ada sebuah amanat yang disampaikan Rasulullah SAW. dalam hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
Wahai kaum Muslimin, ketahuilah kelak di masa depan kalian akan dihadapkan pada bermacam cobaan dan ujian, fitnah demi fitnah, ujian demi ujian, dan cobaan demi cobaan.

Lalu, seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau ujian demi ujian itu pasti menimpa kami, adakah jalan keluar dari berbagai ujian dan cobaan itu?"

Rasulullah SAW. menjawab,
Kitabullah. Berpeganglah kalian kepada Al-Qur'an. Di dalamnya terdapat berita tentang umat sebelummu dan informasi umat sesudahmu. Ia membentangkan yang benar dan salah dengan tegas dan jelas. Barangsiapa meninggalkan (Al-Qur'an) karena sombong, maka Allah akan membinasakannya. Barangsiapa yang mencari petunjuk selain daripadanya (Al-Qur'an), maka Allah akan menyesatkannya.

[Ditulis KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad Dakwah, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 27 Oktober 2011 / 29 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Ibadah haji dalam perspektif pendidikan merupakan momentum istimewa dalam mengikuti "perkuliahan akbar" dari Allah SWT. sebagai Pendidik Utamanya adalah Rabb al-'alamin, dan peserta didiknya adalah seluruh umat Islam yang menunaikan ibadah haji.
Sementara itu, materi perkuliahan yang diikuti berupa syarat dan rukun termasuk sanksi (dam) ketika melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh ajaran Islam dalam pelaksanaan ibadah haji. Mereka akan mengikuti wisuda haji di Arafah (al-Hajj al-'Arafah), dengan gelar yang diraih bagi mereka yang lulus adalah haji mabrur, yaitu pribadi yang memiliki karakter saleh secara individual dan saleh secara sosial.

Di antara komitmen dunia pendidikan dalam mencetak peserta didiknya adalah dengan menjunjung tinggi etika pendidikan. Demikian pula dengan pelaksanaan ibadah haji, dituntut untuk memerhatikan segala etika perjalanan ibadah haji, antara lain membayar biaya haji dengan rezeki yang diperoleh dari cara halal, dan niat melaksanakannya karena Allah dan memehuhi undangan-Nya semata.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrahmu karena Allah. (QS. Al-Baqarah : 196)

Selain itu, membersihkan segala dosa kepada Allah SWT. dengan memperbanyak istighfar dan taubat, menyambungkan tali silaturahmi dengan meminta dan memberi maaf kepada sesama, memerhatikan segala ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji, dan senantiasa dzikrullah (mengingat Allah SWT.) sebagai ruh dari segala aktivitas ibadah haji.

Mengenai urgensi mengingat Allah dalam konteks ibadah haji ini, terletak dari segala ritualitas selama perjalanan ibadah haji dilaksanakan. Di antaranya ketika mengawali perjalanan (pergi dari rumah) dengan melaksanakan shalat sunah safar, membaca doa di dalam kendaraan dan saat sampai di tempat tujuan, dan membaca doa ketika memasuki Masjidilharam atau Masjid Al-Nabawi serta doa diucapkan saat melihat Kabah dan sebagainya.
Demikian pula ketika melaksanakan serangkaian rukun dan sunah haji, jemaah haji harus melepaskan pakaian keseharian beserta segala atributnya dan diganti dengan dua lembar kain putih yang tidak berjahit (ihram). Selanjutnya berwudhu, menunaikan shalat dua rakaat, dan berniat untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk jemaah wanita juga melakukan hal yang sama. Mereka mengenakan kain satu helai untuk menutup bagian kepala selain menutup seluruh tubuh kecuali dua telapak tangannya.

Jemaah haji kemudian bergerak ke Mekah untuk melakukan tawaf (mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali) dan sai dengan berlari kecil antara bukit Safa dan Marwah. Ritus selanjutnya wukuf di Padang Arafah yaitu mulai tergelincir matahari (waktu dzuhur) tanggal 9 Zulhijah sampai dengan terbit fajar tanggal 10 Zulhijah. Kemudian bergerak dan berhenti di Muzdalifah sesudah tengah malam.

Prosesi selanjutnya, melakukan lempar jumrah di Mina sebagai deklarasi simbolik mengungkapkan tekad permusuhan dan kebencian yang tiada henti kepada setan. Selepas ritual itu, jemaah kembali ke Mekah mengulangi tawaf mengelilingi Kabah, sai, dan diakhiri dengan memotong beberapa helai ramput yang dinamakan dengan ritus tahalul.

Itulah catatan singkat perjalanan ibadah haji yang kaya dengan internalisasi nilai-nilai Ilahi. Keberangkatan jemaah haji biasanya diawali dengan syukuran (safar al-Haj) yang dihadiri oleh keluarga, tetangga, dan kolega. Mereka melepas dengan diiringi tangis perpisahan sekaligus dorongan doa.

Hal yang sama dilakukan manakala jemaah haji pulang dari Tanah Suci juga mengadakan syukuran lagi dengan isak tangis sebagai pertanda kebahagiaan. Jemaah mendapat sebutan dan "gelar" khusus yaitu haji (laki-laki) atau hajah (perempuan).

Sepulang dari Tanah Suci, kini yang dinanti adalah mendapatkan predikat sebagai haji mabrur yaitu haji yang berhak mendapatkan balasan berupa surga. Sementara bekal utama dan utama dalam meraih haji mabrur adalah mempertahankan dan meningkatkan dzikrullah (selalu ingat dan menyebut Allah sebagaimana selama perjalanan ibadah haji).

Hal itu yang dipesankan Allah bagi jemaah yang sudah melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an,
فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut Allah), sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan nenek moyangmu), atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.... (QS. Al-Baqarah : 200)

Wallahualam.***

[Ditulis oleh H. TATA SUKAYAT, pembimbing Haji Plus dan Umrah Qiblat Tour Jln. Cibeunying Selatan No. 15 Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Manis) 25 Oktober 2011 / 27 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "UMRAH & HAJI"]

by

u-must-b-lucky
Manusia terlahir atas dorongan syahwat, melalui proses ovulasi yang sah dan halal. Ia tercipta dari sperma yang berhasil membuahi ovum (sel telur) di ovarium.
خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ
يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. (QS. Ath-Thariq : 6-7)

Dan membentuk kehidupan baru di rahim. Pertemuan dua sel berlainan inilah yang disebut kawin. Islam menyebutnya nikah, ritus praovulasi yang dibalut dengan nilai-nilai moral dan spiritual agar proses tersebut lebih manusiawi, beradab, dan menjadikan manusia lebih mulia serta berbeda dari makhluk lainnya.

Syahwat atau dorongan biologis merupakah sunatullah yang menjadi modal bagi manusia sebagai khalitfatu fil ardl. Sang Pencipta membekali dan menghiasi hidup manusia dengan syahwat agar mereka mampu memaksimalkan segenap potensi dirinya untuk ber-muamalah ma'al makhluq (bersosialisasi) dan beribadah kepada Al-Khaliq.

Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 14 mengungkapkan pentingnya syahwat bagi manusia,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Telah dihiasi hidup manusia dengan syahwat (dorongan biologis) terhadap wanita, anak-anak, perhiasan, dari jenis emas dan perak, dan kendaraan yang indah dan bagus. Itulah perhiasan hidup di dunia. (Sungguh) di sisi Allah ada tempat kembali yang sangat bagus.
Syahwat yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya dorongan seksual atau hasrat cinta dari seorang laki-laki pada wanita atau sebaliknya, melainkan kekuatan internal yang memotivasi seseorang (motivating / drives) untuk menyukai atau tidak menyukai, berbuat baik atau buruk sebagai respons terhadap rangsang yang diterimanya. Manusia dianugerahi kekuatan rasa cinta terhadap lawan jenis (istri/suami), anak-anak, perhiasan, kekayaan, peliharaan, dan bahkan jabatan. Sumber kekuatan itu adalah hati. Hatilah yang menggerakkan manusia untuk menyukai atau membenci, berbuat baik atau berbuat jahat.

Selain otak (intelektual) —yang tidak diberikan kepada makhluk lain: jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan, mengingat tugas yang dipikulnya cukup berat sebagai pengelola, pemelihara, dan penyeimbang kehidupan di muka bumi— manusia pun dianugerahi syahwat sebagai perhiasan sekaligus daya dorong. Dengan syahwatnya, manusia mampu menguasai dunia, lingkungan, dan makhluk lainnya.

Sigmund Freud, tokoh depth psychology dari aliran psiko-analisis berpendapat, syahwat, seks, kebutuhan biologis berperan penting menentukan perilaku manusia. Menurut dia, perilaku manusia ditentukan oleh struktur kepribadiannya yang meliputi tiga unsur yakni dorongan atau kekuatan internal (das es), pengendalian nurani atau aspek psikis (das ich), dan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang berkaitan dengan moralitas (das uber ich).

Selaku makhluk biologis, pola hidup dan pola pikir manusia akan sangat dipengaruhi oleh hasrat untuk memenuhi kebutuhan seksual, makan, minum, berpakaian bagus, mempunyai penghasilan yang tetap dan banyak, menduduki jabatan yang terhormat, dan mendapatkan pengakuan serta penghormatan. Itu tergambar dari pola pikirnya yang terungkap dalam setiap rangkaian doa yang mereka sampaikan,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Rabb, Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka. (QS. Al-Baqarah : 201)

Inilah dorongan internal. Kebutuhan biologis sebagai kebutuhan dasar, tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga dimiliki oleh hewan. Anjing, kucing, harimau, monyet, kuda, ular, bahkan ulat pun mempunyai naluri untuk memenuhi kebutuhan biologis. Binatang juga perlu makan, minum, dan menyalurkan seks. Mereka bisa melakukannya di mana dan kapan saja ketika hasrat itu datang kepada mereka. Binatang bisa makan sambil berdiri, lari, bahkan sambil buang kotoran.

Jika hari ini ada manusia yang berkarakter seperti itu; mengumbar syahwatnya secara membabi buta tanpa kendali, mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang tidak halal dan merugikan orang lain, arogan, egois, asal enak sendiri, menyakiti, menzalimi, menindas, menghasut, memfitnah, bahkan membunuh, maka dia tak ubahnya seperti binatang. Demi terpenuhinya hasrat untuk makan, minum, dan kebutuhan seksnya, binatang akan melakukan apa saja tanpa menghiraukan makhluk lain dan lingkungannya, serta rela mempertaruhkan nyawa. Itulah sebabnya dengan sangat tegas Allah mengatakan, orang-orang seperti itu bagaikan binatang dan tempat mereka adalah jahanam. Mereka sudah diberi mata, telinga, dan hati untuk memaknai dan melaksanakan instruksi Allah, tetapi tidak memanfaatkannya secara maksimal.

لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Mereka punya hati tapi tidak bernurani, mereka punya mata tapi tidak melihat, mereka punya telinga tetapi tidak mendengar. Mereka itu seperti binatang, bahkan lebih hina dari itu. (QS. Al-A'raf : 179)

Agar manusia lebih beradab, menurut Freud, manusia memiliki das ich (nurani). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ia memiliki kendali bernama nurani, rasa malu, rasa terhormat, das ich!

Dalam bahasa agama (Islam) aspek ini nurani, akhlaqul mahmudah atau akhlak karimah yakni sebuah dorongan internal positif yang dikendalikan dengan ketundukan dan keyakinan terhadap kekuatan lain yang lebih dahsyat, Allah SWT.

Al Ghazali mengatakan, akhlak adalah dorongan batin yang menyebabkan manusia berbuat baik atau buruk. Dorongan baik disebut akhlaqul mahmudah (akhlak baik) dan dorongan buruk disebut akhlaqul madzmumah (akhlak buruk), implementasinya adalah sikap atau perilaku.

Di samping mempertimbangkan nurani dan akhlak, manusia meluluskan berbagai syahwatnya (keinginannya) dengan pengendalian lingkungan sosial, das uber ich, sehingga di samping beradab dia pun menjadi bermoral, beretika, dan menghargai siapa pun yang berada di sekitarnya. Dua rambu sekaligus membatasinya, nurani/akhlaknya dan moralitasnya. Nuraninya akan memproteksi dirinya dari perbuatan buruk agar tetap beradab, sopan, dan manusiawi. Moralitas/etika akan memfilter semua perilaku, cara bicara dan berpikir agar tidak menabrak rambu-rambu sosial sehingga ia akan menjadi mulia, terhormat, terpandang, disiplin, taat aturan, tidak zalim, dan tidak menggasak hak orang lain.

Orang tidak berani berbuat zina atau berhubungan intim dengan istrinya di tempat terbuka; meskipun hasratnya menggebu, karena malu oleh diri sendiri dan malu oleh orang lain, sebab perbuatan itu tidak layak dilakukan manusia. Orang akan berhenti merokok di tempat umum karena ia ingin menghargai diri sendiri dan menghargai hak orang lain, tidak mau merampas hak orang lain. Orang tidak akan gibah, hasut, dan memfitnah karena pertimbangan nurani dan etika; tidak ingin menghinakan diri sendiri dan tidak ingin menghinakan orang lain.

Akhirnya, agama (Islam) berperan sebagai pengendali dan pencerah manusia agar berpikir lebih logis, lebih cerdas, dan tidak mengimplementasikan syahwat; baik yang bekaitan dengan isi perut, kebutuhan pakaian, maupun seksual, secara membabi buta.

Dalam pandangan Islam, syahwat adalah sunnatullah, alat yang bebas nilai. Ia akan berona sesuai dengan sang pemakai. Syahwat akan menghasilkan hal positif manakala dibalut dengan norma agama dan digunakan dengan cara yang positif, terkendali, terarah sesuai dengan rambu nurani (kalbu, akhlak) dan rambu sosial (etika, moral). Dua kendali ini yang bakal menggiring manusia berpijak pada takwanya dan memagarinya agar tidak tergelincir pada fujurnya karena manusia dilahirkan dengan dua sisi.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Fa-alhamahaa fujurahaa wa taqwahaa.  

maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Asy-Syams : 8)

Wallahu a'lam.***

Ditulis oleh: NANA SUKMANA, Pengurus DKM. Asy-Syifa Stikes Bhakti Kencana Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 21 Oktober 2011 / 23 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
Mungkin diantara sahabat pernah bertanya. "Mengapa orang Islam setiap saat berdoa?"  Lalu, dilanjutkan "Mau ke jamban saja berdoa. Makan berdoa. Bahkan, mau tidur juga berdoa. Buat apa sih berdoa itu?"

Pertanyaan yang diutarakan diatas sering kali ditemui penulis saat memberikan kuliah kepada para mahasiswa. Sesungguhnya kata doa diambil dari bahasa Arab yang merupakan sebuah kata jadian (masdar) dari kata kerja Da'aa. Maknanya, seruan, panggilah, ajakan, atau permintaan.

Sementara ditinjau dari segi terminologi, doa adalah memohon kepada Allah SWT. dengan meminta kebaikan dari sisi-Nya dengan penuh ketulusan hati dan penuh pengharapan. Makna doa seperti ini telah dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat di Al-Qur'an.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina." (QS. Ghafir : 6o)

Selain itu, dalam QS. Al-Baqarah : 186 juga ditegaskan,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Sudah menjadi fitrah manusia selama hidupnya selalu memerlukan perlindungan dan pertolongan Yang Mahakuasa. Bahkan, dalam Al-Qur'an juga dinyatakan, orang-orang jahiliah di zaman Nabi Muhammad SAW. juga mengakui adanya Allah sebagai Tuhan alam semesta. Namun, mereka enggan untuk menyembah Allah. Bahkan, seseorang yang mengaku atheis juga mengakui adanya kekuatan Mahadahsyat di alam semesta ini.

Kedudukan manusia itu lemah dan tak berdaya yang bisa ditanggulangi jika manusia mendekat dan menyandarkan dirinya serta berlindung kepada Yang Mahakuasa. Karena hakikat kekuatan itu secara lahir dan batin bersumber dari-Nya. Dalam hal ini, banyak kejadian konkret yang dialami manusia sepanjang hidupnya yang menunjukkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari pertolongan Allah SWT.

Sebagai contoh, manakala sebuah kapal sedang berlayar di tengah lautan. Tiba-tiba secara tidak terduga datang badai topan dan gelombang yang sangat dahsyat yang menimpa kapal tersebut sehingga pada saat itu kapal menjadi oleng dan hilang keseimbangan, seakan-akan hendak karam.

Dalam kondisi lemah dan tidak berdaya seperti ini, manusia yang ada di dalam kapal tersebut baik yang beriman maupun yang kafir pasti semuanya takut, cemas, dan khawatir karena membayangkan nyawa mereka akan berakhir di tengah lautan tersebut. Nah, di tengah-tengah ketidakberdayaan mereka itu terlontar dari bibir-bibir mereka sepenggal kalimat, "Tuhanku...selamatkanlah aku."

وَإِذَا غَشِيَهُم مَّوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
Apabila mereka dihantam ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebahagian mereka masih tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami melainkan orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS. Luqman: 32)

Lalu, apa saja manfaat dari doa?

Pertama, doa merupakan tali penyambung yang kokoh antara seorang hamba dan Rabbnya. Hubungan yang kontinu dan dinamis ini akan melahirkan ketenangan batin pada diri hamba tersebut karena merasa memiliki kekuatan yang besar di luar kekuatan dirinya.

Ketika dia kesulitan dalam mencari rezekinya, dia merasa Rabbnya adalah Maha Pemberi Rezeki (Ar Razzaq). Saat hatinya gundah gulana, ia merasa Rabbnya adalah sumber segala pemberi ketenangan. Begitu juga tatkala ia merasa takut karena ancaman seseorang atau makhluk lain, ia merasa Rabbnya Maha Kuat lagi Maha Pelindung. Optimisme yang timbul tersebut akan menjadikannya merasa aman dan bahagia dunia akhirat karena ia hidup dalam pengawasan Allah SWT.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati itu akan menjadi tenang. (QS. ar-Ra'd : 28)

Kedua, doa adalah bentuk ibadah kepada Allah bahkan inti ibadah. Isi shalat merupakan doa. Shaum atau puasa juga diwarnai dengan doa apalagi dengan ibadah haji yang selalu dipenuhi doa-doa.

Ketiga, doa bentuk zikir kepada Allah SWT., dan orang-orang yang senantiasa berzikir dengan khusyuk dan ikhlas akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.

وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
... laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah akan menyediakan untuk mereka pahala yang besar. (QS. al-Ahzab : 35)

Manusia tidak dapat terpisah dari Allah maka kewajiban manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Seperti syair lagu Bimbo "Aku jauh Engkau jauh. Aku dekat Engkau dekat."

Wallahu a'lam bishawab.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 20 Oktober 2011 / 22 Zulkaidah 1432 H. pada kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky