IBADAH EKSKLUSIF

Haji merupakan ibadah eksklusif. Hal ini bermakna, di antara ibadah-ibadah ritual yang disyariatkan ajaran Islam, ibadah haji menempati posisi istimewa. Ibadah ini hanya diwajibkan sekali seumur hidup dan dikhususkan bagi kalangan mampu.

Selain itu, tidak setiap waktu kita bisa melaksanakan ibadah haji. Tidak ada istilah melaksanakan haji di bulan Rajab, Safar, bahkan Ramadhan. Dalam setahun, rangkaian ibadah haji hanya dilaksanakan selama lima hari yakni dari tanggal 8 sampai 12 atau 13 Zulhijah.

Nilai eksklusif lain dari haji berkaitan dengan tempat-tempatnya karena sudah ditentukan, seperti miqat untuk niat berhaji/umrah, Masjidilharam, Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Umat Islam tidak bisa melaksanakan ibadah haji di luar tempat-tempat itu, misalnya beberapa tahun lalu di Bandung, sempat geger dengan ajaran Buya Mayo yang cukup berhaji di Gunung Gedugan, Cililin, Kab. Bandung Barat.

Keistimewaan lain dari haji, berkaitan dengan pakaian "seragam" yang disebut ihram yakni dua helai kain tanpa jahitan untuk kaum laki-laki. Aturan lainnya, jemaah haji laki-laki tidak boleh memakai penutup kepala, tidak mengenakan alas kaki yang menutup dua mata kaki. Sementara jemaah haji perempuan harus menutup seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangannya.

Ihram melambangkan hakikat kesetaraan manusia yang tidak membeda-bedakan pangkat, jabatan, harta, maupun status duniawi lainnya. Pakaian itu juga seolah-olah membisikkan suara Tuhan, "Mulailah dengan niat sungguh-sungguh untuk melengkapi kewajiban demi kewajiban."

Kain ihram telah mengubah seketika pemandangan dan suasana Mekah. Pemandangan raga dan suasana jiwa yang dapat menggiring pada satu kesadaran dan kefanaan. Putih dan bersih mengisyaratkan hamparan tanpa noda. Kesadaran yang seharusnya menjadi pakaian sehari-hari. Pakaian yang tidak memunculkan perbedaan-perbedaan, melainkan persaudaraan raksasa sebagai satu umat (ummatan wahidah). Inilah hakikat manusia yang sesungguhnya. Hakikat keberadaan yang seolah-olah baru ditemukan secara tiba-tiba, ketika semua menunjukkan kesamaan dan kebersamaan tanpa mengenal adanya warna kulit, ras, bangsa, maupun keturunan.
"Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wanni'mata laka walmulk. laa syarika laka."

Kalimat talbiyah terus bergemuruh menemani jemaah haji dalam perjalanan sucinya. "Kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Kami datang memenuhi panggilan-Mu...."

Ibadah haji yang sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa ternyata menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang kepada satu kesadaran luhur sebagai hamba. Pengalaman batin ini diperoleh begitu manusiawi. Padahal doa-doa menyiratkan transendensi yang sulit dipahami kepala telanjang.

Ketika lautan manusia mulai menyemut mengelilingi Kabah, Safa dan Marwah, Arafah, Mina, dan Muzdalifah untuk memenuhi lahan sempit, berdesak-desakkan menjadi keasyikan tersendiri. Semuanya bergerak mengikuti jejak-jejak Rasulullah. Allah senantiasa menolong dan memberikan jalan keluar bagi mereka yang berniat kuat melaksanakan dengan contoh Rasulullah. Selain itu, haji merupakan perjalanan napak tilas perjuangan para nabi, mulai dari Nabi Adam AS., Nabi Ibrahim AS., Nabi Ismail AS., dan ibunya Siti Hawa, sampai nabi terakhir Muhammad SAW. Semua rangkaian napak tilas dilalui jemaah haji sehingga tidak semata-mata wisata spiritual. Jemaah haji belajar dari dahsyatnya perjuangan para nabi ketika menegakkan kalimat Allah di muka bumi.

Haji mengajarkan agar setiap tujuan hendaknya dicapai dengan ikhtiar sekuat tenaga, tetapi tetap dalam semangat tauhidullah. Manusia harus tetap berada dalam orbit yang ditetapkan Allah yakni perintah maupun larangan-Nya. Tawaf dan sai bahkan melempar jumrah mengajarkan itu semua.

Mata air zamzam yang tidak akan mengering sampai kapan pun telah diberikan Allah kepada Siti Hajar dan Ismail setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Sabar tidak ada batasnya karena Allah telah menekankan dalam QS. Ali Imran ayat terakhir yang menyuruh untuk bersabar dan tetap kuat dalam kesabaran. Di mana pun kita berada, hikmah haji harus tetap melekat dan dilaksanakan. Bahkan, ketika jemaah haji maupun umrah akan meninggalkan Baitullah diwajibkan melakukan tawaf wada atau tawaf perpisahan. Hal ini melambangkan nilai-nilai tawaf harus dibawa ke mana pun meskipun telah jauh dari Masjidilharam. Ketika selesai melaksanakan tawaf wada, jemaah haji pun berbisik lirih,

"Ya Allah bawa aku kembali mengunjungi rumah-Mu ini."

[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad Dakwah, serta pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis Pahing) 6 Oktober 2011 / 8 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "Cikaracak"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: