ISLAM DAN BEKERJA

Banyak orang beranggapan, ukuran ketaatan dan kesalehan seseorang dari seberapa rajin ia melakukan ibadah ritus, baik yang wajib maupun sunah. Jarang sekali ketaatan dan kesalehan seseorang itu diukur dari seberapa rajin ia bekerja dan giat berusaha. Bahkan, banyak orang yang menjustifikasi bahwa orang yang "gila" kerja sebagai orang yang jauh dari agama.

Saya tidak mengatakan bahwa orang yang rajin mengerjakan ibadah ritus itu tidak taat dan tidak saleh. Namun, alangkah baiknya apabila ibadah yang dilakukan disertai dengan bekerja sehingga tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga buat orang lain dan lingkungan sekitarnya, sebab Islam sangat menjunjung tinggi pekerjaan. Bahkan banyak ulama yang mengatakan bahwa Islam adalah agama kerja.

Ada beberapa argumentasi yang mendukung bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi bekerja dan pekerjaan. 

Pertama, kalau kita perhatikan, pelaksanaan ibadah dalam Islam sangat khas dibandingkan dengan agama lainnya. Kalau dalam agama lain, ibadah cenderung dilakukan dengan tenang, diam, pasif, dan kontemplatif, sedangkan dalam Islam, ibadah biasanya dilakukan dengan sangat dinamis dan banyak gerakan. Shalat misalnya, ibadah yang sangat dinamis. Perpindahan dari satu rukun ke rukun lain ditandai dengan gerakan. Begitu juga ibadah haji, yang meniscayakan kekuatan fisik, karena ibadah itu hampir seluruhnya dilakukan dengan gerakan fisik. Bedanya, kalau shalat sarat dengan gerakan tetapi dilakukan di tempat yang sama, sedangkan ibadah haji meniscayakan gerakan dan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain.

Kita tahu, ibadah yang baik bukan hanya penghambaan seseorang kepada Allah, tetapi juga berimplikasi terhadap kerja dan kehidupan sosial. Kalau kita perhatikan, ibadah dalam Islam selalu dimulai dengan penyucian dan penghambaan diri yang bersifat individual, kemudian diwujudkan dengan kerja sehingga punya pengaruh sosial.

Urutan shalat misalnya, selalu didasari dengan wudhu sebagai penyucian diri, dilanjutkan dengan takbiratul ihram sebagai pengagungan Allah SWT., dan diakhiri dengan salam ke kanan dan ke kiri. Salam ke kanan dan ke kiri sebagai simbol untuk menyebarkan perdamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kepada sesama. Dengan kata lain, pesan shalat adalah perintah Allah untuk menyucikan diri dan mengagungkan Allah SWT. yang diwujudkan dengan penyebaran perdamaian, keselamatan, dan kesejahteraan bagi manusia secara keseluruhan.

Proses itu tentu hanya dapat dicapai dengan kerja. Bukankah Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut Ayat 45,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
...dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Begitu juga shaum, ibadah yang berorientasi terhadap penyucian diri dan pengendalian emosi dengan tidak makan dan minum selama sebulan penuh dan diakhiri dengan kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk kemudian dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Hal itu tentu saja akan berjalan efektif apabila dilakukan dengan kerja juga.

Dengan demikian, ibadah dalam Islam merupakan penyucian dan pengisian jiwa dengan sifat-sifat suci Allah, yang harus diwujudkan dalam amal saleh kepada sesama.

Kedua, Al-Qur'an dalam banyak ayatnya mengatakan, tidak cukup bagi sesorang untuk bermodalkan iman, tetapi harus disertai dengan amal saleh (kerja). Hal ini tergambar dengan baik dalam Surat Al-Ashr yang berbunyi,

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-Ashr: 1-3)

Dalam ayat lain, Allah memerintahkan manusia untuk mencari rezeki dengan bekerja sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT., sebagaimana firman-Nya,

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur, (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (QS. Saba: 13)

Setelah shalat, kita dianjurkan untuk menyebar di muka bumi untuk bekerja. Allah berfirman,


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatiah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumuah: 10)

Selain penghargaan Allah terhadap kerja sebagaimana tergambar dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an, Rasulullah SAW. pun menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT.

Suatu hari, Rasulullah SAW. berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari. Ketika itu, Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman, seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?" tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah, tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku," jawab Sa'ad. Seketika itu Beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka."

Ketiga, kalau kita pelajari, sejarah para Nabi alaihimussalam, apalagi sejarah Nabi Muhammad SAW., para sahabat Nabi, hingga zaman keemasan Islam, semua memiliki teladan yang sama, yaitu kerja keras membangun diri dan masyarakat. Tidak ada satu pun contoh dari mereka yang hanya mementingkan ibadah ritus.

Sebagai contoh, akan diulas singkat teladan Nabi Musa AS. dan Nabi Muhammad SAW. Di antara para rasul yang paling banyak dikisahkan dalam Al-Qur'an adalah Nabi Musa AS. Kalau dilihat kisahnya, berisi perjuangan luar biasa membina masyarakat Bani Israil, mulai dari hijrah bertemu Nabi Syuaib AS., menghadapi Firaun, memimpin eksodus besar-besaran Bani Israil dari Mesir ke Palestina yang memakan waktu puluhan tahun, hingga yang sangat menyita waktu adalah memberi dakwah kepada Bani Israil.

Begitu juga Nabi Muhammad SAW., beliau tidak hanya menghabiskan waktu untuk berdzikir. Baik pada periode Mekah maupun Madinah, Beliau bekerja keras mendakwahkan Islam kepada individu maupun kelompok, membina mental sahabat, melakukan kaderisasi, membangun masyarakat, memimpin perang, mengatur strategi, membuat perundingan, dan lain-lain.

Kalau kita pelajari detil sejarah Nabi Muhammad SAW., kita dapati hari demi hari, tahun demi tahun yang penuh perjuangan dan kerja keras bersama para sahabat. Pada saat Rasulullah SAW. wafat, umat Islam menguasai hampir selurah jazirah Arab.

Pertanyaannya adalah kalau hanya kerja, apa bedanya kita dengan yang lain, yang sama-sama bekerja? Bahkan ketekunan mereka dalam bekerja dan keuletan mereka dalam berusaha kadang melebihi umat Islam. Yang membedakan kerja kita dengan mereka adalah motivasi kerja (niat) kita karena Allah SWT. Cara kerja kita (diusahakan) tidak bertentangan dengan syariat Islam, bidang kerjanya harus halal, dan manfaat kerjanya harus menjadi rahmat bagi alam semesta. Kalau pembeda itu tidak ada, tidak ada bedanya antara pekerjaan yang kita lakukan dengan apa yang mereka lakukan.

Dengan demikian, orang yang taat dan saleh adalah orang-orang yang rajin beribadah ritus, baik wajib maupun sunah sebagai konsekuensi dari keimanan dan keislaman mereka. Di saat yang sama, ia pun rajin bekerja dan berusaha untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Mudah-mudahan kita termasuk di dalamnya. Amin!***

[Ditulis oleh MUKHLIS, pengurus DKM al-Amin Sukarasa, Cicadas, Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 11 November 2011 / 15 Zulhijah 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: