MABRUR DAN MAKBUL

Dalam perbincangan sehari-hari kita kerap mendengarkan kata haji mabrur yang dipelesetkan menjadi mabur (terbang dengan pesawat). Kalimat itu ingin menggambarkan perjalanan seorang Muslim yang menjalankan ibadah haji, tetapi sekadar perjalanan fisik tanpa adanya keterlibatan rohani sehingga sulit mencapai predikat mabrur.

Dalam kitab Fathul Bari sebagai syarah Kitab Bukhari Muslim, ulama hadits Ibnu Hajar al' Asqalani menjelaskan makna haji mabrur adalah ibadah haji yang makbul atau diterima Alah SWT. Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, "Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT. karena tidak ada riya, tidak ada sum'ah (hal meragukan), tidak rafats (pertengkaran), dan tidak fusuq (merusak)." Ulama lainnya, Abu Bakar Jabir al Jazaari, dalam Kitab Minhajul Muslimin menyatakan, haji mabrur itu ialah bersih dari segala dosa, penuh dengan amal saleh dan kebajikan-kebajikan. Jadi, haji mabrur apabila melaksanakan manasik hajinya sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah, bersih dari perasaan riya, dosa, dan senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal-amal saleh. Lalu, bagaimana petunjuk Rasulullah dalam menggapai gelar haji mabrur? Pada hakikatnya hanya Allah-lah yang menentukan dan mengetahui diterima dan tidaknya haji yang kita tunaikan.

Namun, melalui penjelasan yang bersumber dari Rasulullah, setidaknya ada beberapa petunjuk yang bisa kita ikuti.
  • Pertama, tunaikanlah ibadah haji dengan motivasi dan niat ikhlas karena Allah SWT. Kedudukan niat di setiap ibadah dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penilaian dari setiap arah dan tujuan ibadah yang kita tunaikan. Tidak sedikit orang menunaikan ibadah haji lantaran ingin mendapat prestise haji sehingga dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat. Ada juga yang ingin berwisata, membeli sesuatu, atau sekadar menyenangkan keluarganya.
  • Kedua, segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumber dari yang haram, tidak akan bernilai di sisi Allah SWT. Dengan kata lain, ibadah hajinya akan ditolak (ma'zur). Rasulillah menyatakan,
    "Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kemudian diucapkannya, 'Labbaikallaahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu)', maka berkata penyeru dari langit, 'Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa." Sebaliknya, jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan, "Labbaik" Maka penyeru dari langit berseru, "Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma'zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima." (HR. Tabrani)
  • Ketiga, melakukan manasik hajinya dengan meneladani Rasulullah,
    "Hendaklah kamu mengambil manasik hajimu dari aku." (HR. Muslim)
    Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan ibadah haji ini, terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji Rasulullah.
  • Keempat, ibadah haji yang ditunaikan harus mampu memperbaiki akhlak dan tingkah laku setelah kembali dari tanah suci. Kita harus mengingat tujuan ibadah dalam Islam, tidak terkecuali ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, baik saat melaksanakan maupun sesudahnya.
Upaya pendekatan ini sekaligus menyucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlak yang mulia (manusia sejati/insan kamil). Ibadah haji yang membentuk akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah SWT. secara vertikal dan hubungan sesama manusia secara horizontal.

Tidak satu pun di antara kita yang menginginkan setiap ibadah yang dilakukan tidak diterima Allah. Pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya dalam sistem ajaran Islam.

Ibadah haji merapakan ibadah yang komplet dan kompleks karena melibatkan harta, ilmu, fisik, hati nurani, waktu yang tidak pendek, dan keamanan selama perjalanan. Sangat disayangkan apabila harta yang telah kita keluarkan, pengorbanan waktu dan tenaga ternyata tidak diiringi dengan perubahan akhlak.

Ibadah haji selain ibadah yang berdimensi spiritualitas yang tinggi juga sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang mengagungkan. Ibadah haji juga dekat dengan alam sehingga tak boleh memotong daun sekalipun dan dekat pula dengan sesama manusia.

Berangkat dari niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT., dengan biaya haji yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul dan menghiasi dirinya dengan amal-amal saleh dan akhlakul karimah, merupakan indikator ibadah haji di terima Allah SWT.

Makbul sekaligus mabrur. Amin.***

[Ditulis oleh H. SODIK MUDJAHID, pendiri dan pembimbing Biro Perjalanan Haji Plus dan Umrah Qiblat Tour, Jln. Taman Cibeunying Selatan No. 15 Bandung dan KBIH Qiblat Darul Hikam. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Kliwon) 8 November 2011 / 12 Zulhijah 1432 H. pada Kolom "UMRAH & HAJI"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: