MABRUR, PROSES TAK BERKESUDAHAN

Suatu ketika, pada acara hajatan keluarga, seorang perempuan bertemu dengan bibinya yang baru pulang dari Tanah Suci. Karena memang tak beroleh informasi mengenai ketibaan sang bibi, perempuan itu berbasa-bisi, "Aih, geningan si bibi. Iraha sumping ti Mekah?" Bukannya menjawab ramah, sang bibi malah memasang wajah cemberut. Mulutnya "komat-kamit" mengekspresikan kekesalan, "Bibi.bibi, bi haji kituh. Mahal nyaho ka Mekah teh!"

Kisah itu diceritakan oleh ajengan Yayat Ruhiyat ketika berceramah di Masjid Darussalam, Kompleks KTSM, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Khalayak pun terpingkal-pingkal mendengar cerita itu, apalagi setelah melihat ajengan Yayat me-menyan-menyonkan bibirnya. Begitulah, sebagian masyarakat negeri ini menjadikan ibadah haji sebagai momentum untuk meningkatkan status sosial. Oleh karena itu, titel "haji" harus selalu disebut di depan nama mereka, baik di dalam tulisan maupun ketika diucapkan lisan. Jika tidak, ya siap-siap saja menerima "omelan" dari si empunya nama, seperti perempuan dalam kisah di atas. Tentu saja, tidak semua "alumnus" haji seperti itu.

Bahkan, bisa jadi pula, kisah yang diceritakan ajengan Yayat di atas fiksi adanya, imajiner. Meskipun demikian, satu hal tak bisa dimungkiri, banyak orang menganggap bahwa titel, gelar, atau predikat "haji" (di depan nama) merupakan hasil akhir dari pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Celakanya lagi, sekembali ke tanah air, gelar itu justru dipergunakan untuk merengkuh segala sesuatu yang bersifat keduniaan.

"Alhajju-lmabruu-ru khairun mina-ddunyaa wa maafiihaa wa hajjatun mabruuratun laisa lahaa jazaa 'un illa-ljannah" (Haji mabrur itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. Tidak ada balasan yang pantas untuk haji mabrur, kecuali surga) (Muttafaqun 'alaih)

Ya, sesungguhnya, kemabruranlah yang harus diniatkan oleh semua orang ketika menunaikan ibadah haji. Meskipun demikian, apakah mabrur merupakan hasil akhir?

Mari kita tela'ah. Kata "mabruur" merupakan hasil tahsriif (derivasi bahasa Arab) dari kata barra-yabur-ru-barran dan berkedudukan sebagai ism mafuul (objek). Sementara itu, di dalam kamus, kata barra mengandung sejumlah arti, yakni "taat berbakti, bersikap baik"; "benar, tidak dusta"; "benar, melaksanakan sesuatu sesuai dengan sumpah"; "menerima"; dan "berbuat banyak kebaikan."

Dalam konteks itulah pula jemaah haji berada. Mereka tak lebih dari sekadar objek, sedangkan subjeknya (faa'il) tentu saja Allah SWT. Selama menjalankan ibadah di Tanah Suci, mereka semaksimal mungkin menjadi pribadi yang taat dan bersikap baik kepada Allah. Di hadapan Kabah, tak henti-hentinya mereka menangis, menyesali semua dosa, memohon ampun, sekaligus bersumpah untuk menjadi hamba yang hanya mencintai-Nya.

Semua itu merupakan upaya pedekatan para jemaah haji terhadap Allah. Selama berada di Tanah Suci, tak henti-hentinya mereka "merayu" Allah. Di dalam shalat, di dalam doa, dan di dalam tangisan. Soalnya, segala kekuasaan (qudrah) mengenai nasib mereka memang hanya ada pada Allah. Usaha itulah yang kelak melahirkan takdir, yakni keridhaan Allah. Artinya, Allah menerima amal ibadah mereka (salah satu pengertian mabrur).

Dalam pandangan saya, kemabruran bukanlah hasil akhir dari perjalanan menunaikan ibadah haji. Sebaliknya, ia justru merupakan proses tak berkesudahan yang harus dijaga oleh setiap manusia hingga mati. Jika tak mampu menjaga, kemabruran bakal lenyap dari diri manusia.

Semua ritus di dalam pelaksanaan ibadah haji memang dimaksudkan untuk meraih kemabruran itu. Di dalam setiap ritus haji, betapa Allah mengajarkan kepada semua Muslim untuk mentauhidkan-Nya. Melalui tawaf, sai, melontar jumrah, hingga wukuf di Arafah.

Ketika berada di Tanah Suci, jemaah memang dimungkinkan untuk senantiasa merasa lebih dekat dengan Allah SWT. Apalagi, di sana, jemaah memang tak memikirkan apa pun, kecuali beribadah.

Oleh karena itu, besar kemungkinan, selama berada di Tanah Suci, jemaah masih mampu menjaga kemabrurannya. Akan tetapi, ujian sesungguhnya justru ada di tanah air, ketika mereka kembali menjalani kehidupan sehari. Apakah mereka tetap taat kepada Allah? Apakah mereka tetap mempertahankan sumpah untuk senantiasa mentauhidkan Allah? Apakah mereka pun senantiasa berbuat kebaikan? Jika tidak, secara otomatis, Allah tidak akan menjadikan mereka sosok mabrur.

Wallahu a'lam.***

[Ditulis oleh HAZMIRULLAH, Wartawan PR. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Sabtu (Pahing) 5 November 2011 / 9 Zulhijah 1432 H. pada Kolom "DI BALIK RITUS"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: