RAKYAT DAN PEMIMPIN

Hubungan antara rakyat yang dipimpin dan pemimpin yang memimpin harus harmonis. Berada dalam jalur kerja sama penuh kebajikan dan takwa (ta-awanu alal birri wat taqwa), sebagaimana perintah Allah SWT.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah : 2)

Pada ayat tersebut pula, Allah SWT. melarang siapa saja bekerja sama dalam dosa dan permusuhan (ta-awanu alal itsmi wal udwan).

Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul kecenderungan memprihatinkan. Antara rakyat dan pemimpinnya sering bertolak belakang. Akibatnya, muncul keresahan, kekesalan, protes, serta kritik dari rakyat kepada pemimpin. Apakah hal itu semata-mata merupakan kesalahan pemimpin? Atau justru kejelekan pemimpin timbul akibat rakyat yang dipimpin sulit diurus.

Dialog antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW. dan seorang rakyatnya di bawah ini dapat dijadikan bahan renungan.
    Seorang penduduk datang kepada Khalifah Ali RA. mempertanyakan mengapa pada zaman Khalifah Abu Bakar RA., Umar RA., Utsman RA., keadaan aman damai tenang sejahtera. Sementara pada zaman Ali RA., rusuh dan ribut terus di mana-mana. 
    Jawab Sayyidina Ali KW., "Pada zaman Khalifah Abu Bakar RA., Umar RA., dan Utsman RA., rakyatnya semua seperti Ali RA. Sabar dan mengerti kondisi. Sementara pada zaman Khalifah Ali RA., rakyatnya semua seperti kamu. Mudah marah dan tak mau mengerti keadaan."
Sejarah mencatat, setelah zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar RA., Umar RA., dan Utsman RA., kekacauan di kalangan umat Islam memuncak. Muncul berbagai (kelompok) politik, militer, dan keagamaan yang saling mengklaim kebenaran masing-masing. Mulai dari Syi'ah yang fanatik terhadap Ali RA., Jama'ah yang dianggap pendukung Muawiyah, dan Khawarij yang menolak keduanya. Pertentangan itu menimbulkan alfitnatul qubra (fitnah besar) yang memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Akibatnya, rakyat tercerai berai. Para pemimpin asyik sendiri. Hubungan rakyat dengan pemimpin ibarat kucing dan anjing. Tak pernah henti bertengkar.

Akibat lainnya yang lebih parah, tidak pernah muncul pemimpin yang benar-benar dicintai rakyat. Tak pernah ada pemimpin yang tegas terhadap segala penyimpangan hukum. Tak pernah ada pemimpin yang berani menindak dirinya sendiri, keluarganya, aparat-aparatnya, dan siapa saja yang melanggar aturan tanpa pandang bulu. Yaitu pemimpin yang disebut Mujahid fi sabilillah (Pejuang di jalan Allah) karena keberaniannya menegakkan hukum. Tak pernah ada pemimpin macam begjtu sekarang.

Yang lebih parah lagi, banyak muncul pemimpin yang egois. Mementingkan diri sendiri, menindas bawahan, dan memeras rakyat dengan berbagai cara kamuflase. Seolah-olah melakukan pembangunan, padahal sesungguhnya perasakan, sebab dana-dana pembangunan itu sebelumnya telah digerogoti terlebih dahulu. Rakyat hanya mendapat sepah-sepahnya. Berkomplot bersama konco-konconya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Membiarkan rakyat menderita berkepanjangan, dan merasa cukup memperhatikan rakyat dengan memberikan sumbangan-sumbangan insidental dan temprorer. Akan tetapi, tidak pernah sungguh-sungguh membentuk struktur kesejahteraan yang permanen sehingga rakyat bebas dari kemiskinan dan kebodohan, karena dana untuk itu sudah habis disikat bersama komplotannya. Inilah yang disebut pemimpin jahat dan merusak (syarrul ri'ail huthamah) sebagaimana dinyatakan Nabi Muhammad SAW.

Sudah saatnya para pemimpin segera kembali kepada kewajiban mereka sebagai pemimpin yaitu menegakkan hukum yang tegas, tepat, dan tanpa pandang bulu. Jika hukum diabaikan dan dipermainkan, akan semakin mempercepat datangnya kehancuran bangsa dan negara.

Nabi Muhammad SAW. bersabada,
"In-nana ahlakallahul ladzina min qablikum, innahu idza saraqa fihimul syarifu taraquhu, wa idza saraqa fihimul dloifu aqamu alaihil haddu. (Kehancuran umat sebelum kalian, karena jika orang-orang elite di antara mereka mencuri, tidak diapa-apakan tetapi kalau orang kecil mencuri, hukum ditimpakan benar-benar.)" (Hadits Sahih Riwayat Imam Bukhari)

Selain itu, tunaikan janji-janji yang pernah diucapkan selama kampanye. Jangan pura-pura lupa. Sabda Nabi Muhammad SAW.,
"Ayyuma walin bataghatsan li ra'iyyatihi haramallahu alaihil jannata. (Setiap pemimpin ingkar janji, membohongi rakyat, tak akan diizinkan oleh Allah SWT. untuk memasuki surga.)" (Hadits Ibnu Majah)

Kemudian, rakyat juga harus memahami posisi sebagai yang dipimpin, Percayalah kepada hukum dan aturan yang berlaku bagi semua, termasuk bagi pemimpin. Jika pemimpin bersalah, percayalah, hukum yang akan bertindak Kekerasan dan anarkisme dalam menghujat pemimpin, justru akan mengundang masalah baru daripada menyelesaikan masalah yang sudah ada. Jika tampak gejala hukum dipermainkan, aparat penegak hukum mandul dan berpihak, bersabarlah.

Janji Allah SWT. lebih nyata daripada tindakan-tindakan tak bermoral para pemimpin yang mempermainkan rakyat, yang kelak akan dipertemukan dengan hari pembalasan bagi mereka.

فَذَرْهُمْ يَخُوضُوا وَيَلْعَبُوا حَتَّىٰ يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي يُوعَدُونَ
Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka. (QS. Az Zukhruf: 83)

Wallahu'alam.***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI H.M., guru mengaji di Desa Cibiuk, Garut serta pembimbing Haji dan Umrah Megacitra / KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 8 Desember 2011 / 12 Muharam 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: