TIDUR DI KHOTBAH JUMAT

Hari Jumat? Ih seram. Kalimat itu yang sering penulis dengar ketika mengisi ceramah remaja di salah satu radio swasta di Bandung. Penggambaran Jumat seperti di televisi dikaitkan dengan hal-hal gaib dan menyeramkan, sehingga setiap malam Jumat selalu diputar film-film berbau mistik.
Padahal Jumat merupakan hari besar kita sebagai kaum Muslimin. Dalam banyak riwayat, amat dianjurkan untuk menyuburkan amal saleh pada hari ini, bahkan sejak malam Jumat, karena hitungan hari dalam tahun Qomariyah (Hijriah) dimulai yaitu sejak terbenamnya matahari (maghrib). Oleh karena itu, suasana pun seolah berbeda dengan malam-malam lainnya.

Kondisi berbeda bisa kita temui di Arab Saudi yang malam Jumat umumnya digunakan untuk bertamasya dengan keluarga. Mereka berkumpul di tempat-tempat bermain keluarga sambil makan-makan. Alasannya, selain karena siangnya amat panas, juga karena esoknya adalah hari libur.

Puncak Jumat adalah pada waktu shalat Zuhur. Shalatnya dikembalikan kepada asalnya shalat yaitu dua rakaat, dan dua rakaatnya lagi dijadikan dua khotbah yang dilakukan sebelum dua rakaat shalat. Dua khotbah yang mengawali shalat wajib diikuti dan didengarkan dengan khusyuk dan sungguh-sungguh oleh semua jemaah.

Rasulullah SAW., berpesan dalam hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi dari Sahabat Abu Hurairah
"Jika kamu berkata kepada temanmu di sebelah, Hei diam ketika imam sedang berkhotbah maka Jumatmu sia-sia."


Kondisi siang hari yang melelahkan di tengah malaksanakan akivitas kita sebagai pegawai, pedagang, guru, mahasiswa, pelajar, ditambah secara psikologis kita mau mengistirahatkan diri dengan sambil memejamkan mata, yang terjadi kemudian adalah kita tertidur saat khotbah Jumat. Ada yang posisinya masih mantap tegak dengan tidur amat ringan, sampai ada yang dengan posisi agak tertunduk ke depan, bahkan ada yang sampai mengeluarkan dengkuran ringan.

Mengenai tidur saat khotbah Jumat, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii dan Hanafi, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang posisinya memungkinkan keluarnya angin (kentut) tanpa disadarinya, yaitu tidur dalam posisi berbaring atau bersandar di tembok atau tiang, sehingga membatalkan wudhu yang otomatis membatalkan shalat. Akan tetapi, bila tidur atau fly-nya dalam posisi duduknya mantap, tidak berubah pantat, yang tidak memungkinkan angin keluar, wudhunya tidak batal.

Bila tidurnya tidak membatalkan wudhu kemudian bangun ikut melaksanakan shalat Jumat, shalat Jumatnya sah. Sabda Nabi SAW., seperti diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas
"Wudhu tidak wajib, kecuali bagi yang tidurnya terlentang."

Imam Malik meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, tidur sambil duduk tentu dengan duduk yang mantap. Kemudian ia bangun dan terus melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Menurut Anas bin Malik, sahabat-sahabat Nabi pun terkadang tidur sambil duduk sampai sekali-sekali kepala mereka pun tertunduk untuk menanti datangnya shalat Isya. Kemudian mereka malaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.

Sementara itu, mazhab Maliki dan Hambali tidak membedakan posisi duduk tidurnya, tetapi dari nyenyaknya tidur. Siapa yang tidurnya nyenyak maka batal wudhunya, sedangkan yang tidurnya ringan, tidak batal wudhunya. Tanda nyenyaknya tidur adalah tidak mendengar suara atau tidak merasakan jatuhnya apa yang sedang dipegangnya.

Jika ia kemudian sadar karena merasakannya, tidurnya adalah tidur ringan sehingga wudhunya tidak batal, dan shalat yang dilaksanakannya insya Allah sah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik di atas, yang menunjukkan bahwa tidur yang ringan tanpa mempertimbangkan cara duduk tidak membatalkan wudhu.

Bagi yang shalat Jumatnya sah, seperti di atas, belum tentu mendapatkan keutamaan Jumat. Kemungkinan dia hanya gugur kewajiban shalat Jumatnya. Padahal inilah saat wajib bagi seorang Muslim, khususnya laki-laki, untuk mendapatkan nasihat segar tentang ketakwaan, karena boleh jadi di saat yang lain di minggu ini, dia tidak sempat menghadiri dan atau mendengarkan pengajian atau membaca nasihat ketakwaan dalam tulisan.

Inilah yang disebut laa Jum'ata lahu (tidak sempurna Jumat-nya), karena ia hanya mendapatkan setengahnya, yaitu shalat dan yang setengahnya lagi disia-siakannya, yaitu dua khotbah dari imam. Tidak didengarkannya, sehingga tidak tahu pesan ketakwaannya. Ada fadilah lain yang dihidangkan saat ini yaitu kesempatan bertemu dengan komunitas kita dan dengan yang lainnya yang dapat kita peroleh. Silaturahim yang dilakukan setelah beribadah besar seagung shalat Jumat akan amat efektif untuk kemaslahatan.

Oleh karena itu, secara psikologis, turunkan ketegangan jiwa karena pekerjaan dan tugas berat keseharian selama sepekan, minimal ketegangan di hari itu dengan suasana hati dan jiwa yang pasrah. Ambil segala kebaikan yang terhimpun dari hamba-hamba yang pasrah kepada Allah. Lalu istirahatkan jiwa dengan menurunkan level beta (tegang) pikiran kita ke level alpha (tenang dan tenteram), sehingga kemudian diri ini menjadi sangat mudah menerima sugesti ilahiyah. Berlatihlah khusyuk dengan tidak memejamkan mata.***

[Ditulis oleh H. SAEFUDDAULAH MEHIR, penceramah, pengasuh Pesantren Baitus Shafaa dan pembimbing Umroh Makkah Utama Tour. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 23 Desember 2011 / 27 Muharam 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: