Mati adalah kata yang tidak disukai oleh kebanyakan orang. Banyak yang menghindar darinya. Kematian itu sendiri tentunya lebih ditakuti dari sekadar kata mati. Tidak hanya oleh manusia, binatang pun takut mati. Seakan tidak ada yang sudi mati.

Hal ini wajar bagi makhluk yang bernyawa, karena mati merupakan sebab berpisahnya seorang dari hal yang ia senangi, berpisah dari dunia dan segala isinya. Sementara manusia memang mencintai dunia dan seisinya. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al-Imran : 14)

Di sisi lain, ada yang menyangka bahwa kematian menjanjikan ketenangan. Karenanya, kita sering mendengar kasus bunuh diri. Orang itu mengira kematian merupakan solusi ampuh untuk mengatasi semua masalah.

Ada juga golongan manusia yang sepanjang harinya bermaksiat, seakan-akan maut tidak akan menjemputnya.

HIDUP TAK KEKAL
Perumpamaan hidup di dunia, sebagaimana yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ia bagaikan budak yang diperintahkan tuannya untuk ke kota lain agar menunaikan tugasnya. Setelah selesai, tentu ia harus segera kembali, bukannya berlama-lama di kota itu. Jika budak itu berusaha melarikan diri dari tuannya dan bersembunyi di kota tersebut, tentu ia akan dicari dan dipaksa pulang kembali.

Begitu pun kehidupan ini. Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Manusia yang asalnya dari tanah maka kepada tanahlah juga akan dikembalikan.

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ
Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha : 55)

Kematian pasti akan menemui setiap orang, tiada yang mampu menghindar darinya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Al Ankabut : 57)

Ayat di atas mestinya bisa mejadi peringatan bagi seluruh makhluk akan adanya kematian. Dan ini sekaligus pembuktian bahwasanya dunia ini tak abadi. Di sinilah perlunya peringatan, dan Allah Subhaanahu Wata’ala begitu banyak memberikan peringatan kepada manusia. Namun terkadang manusia tidak menyadari peringatan itu. Atau pura-pura tidak tahu ? Di antara peringatan Allah Subhaanahu Wata’ala itu ialah umur yang semakin bertambah, munculnya uban, penglihatan mulai rabun, kurangnya pendengaran, dan sakit.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahamengetahui lagi Mahakuasa.” (QS. Ar-Rum : 54)

Seperti bayi yang tak bisa apa-apa, tua renta dan kematian pun adalah kondisi yang kental dengan kelemahan. Terutama kelemahan saat menghadapi sakaratul maut. Sakaratul maut yang menjadi gerbang keluar dari kehidupan dunia begitu dahsyat hingga tidak sekadar melemahkan fisik tapi juga akal.

Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan bahwasanya ia bukanlah jasad semata, melainkan jiwa yang ‘dibungkus’ dalam jasad. Manusia harus paham akan kematian jasadnya yang ia coba untuk miliki seakan-akan mau hidup selamanya di dunia yang sementara ini. Tubuh yang dianggap sangat penting ini akan membusuk serta menjadi kerangka.

TERCABUTNYA RUH DARI JASAD
Ummul Mukminin Aisyah radiallahu anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berkata, “Aku belum pernah melihat seorang yang mengalami derita sebarat yang dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menggambarkan, sebelum semua orang sampai ke sana, ada prahara besar menjelang kematian. Ada derita luar biasa. Iya, dia tidak lain adalah sakaratul maut. Semua itu dapat disaksikan dan dirasakan oleh orang yang menjelang ajal.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf : 19)

Hadits diatas tadi menyampaikan kepada kita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun mengalaminya.

Al-Hafifzh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadits Aisyah tentang kondisi wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menunjukkan bahwa sengsaranya seseorang ketika sakaratul maut tidak menunjukkan rendahnya kedudukan di hadapan Allah Subhaanahu Wata’ala, justru menunjukkan tambahan kebahagian baginya atau sebagai penebus atas dosa-dosanya.

Pernyataan Ibnu Hajar, diperkuat oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya, Kebanyakan dalil yang menunjukkan bahwa kepayahan sekarat yang dialami oleh orang shalih hanya pada awal pencabutan ruh. Ketika ruh akan diangkat, para malaikat datang memberikan ketenangan dan kabar yang menyenangkan. Pada saat itulah seorang mukmin merasakan kegembiraan yang luar biasa hingga lenyap pula derita yang dirasakannya. Kemudian ruhnya keluar dengan tenang dan mudah. Inilah kondisi kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat : 30)

Menjelang kematian, seseorang menjadi dan keluarganya. Di saat itu, malaikat datang dan memberikan kabar gembira kepada seorang mukmin. Yaitu dimintanya untuk keluar dengan tenang dan kembali kepada ridha-Nya serta ia dimasukkan ke dalam surga Allah.

Allah Subhaanahu Wata’ala firman,

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr : 28-30)

Hal ini pun pernah dikabarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari Barra’ bin Azib berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seorang mukmin ketika hendak meninggalkan dunia menuju akhirat, turunlah para malaikat kepadanya dari langit, wajahnya putih bersih laksana sinar matahari. Para malaikat duduk di depannya sejauh mata memandang. Kemudian datang malaikat maut duduk di dekatnya seraya berkata. “Wahai jiwa yang baik keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah.” Lalu ruh tersebut keluar dari tubuhnya laksana mengalirnya tetesan air dari mulut kendi. Kemudian malaikat maut membawa ruh tersebut.” (HR. Abu Daud & Al-Hakim, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani)

Nah, itu kondisi kaum mukminin. Lalu bagaimana kondisi orang kafir ? Allah Subhaanahu Wata’ala menggambarkan kondisi itu dalam firman-Nya,

وَلَوْ تَرَىٰ إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُوا ۙ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ
Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata), “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (QS. Al-Anfal : 50)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Jika engkau, wahai Muhammad, melihat saat dicabutnya ruh orang kafir, nicaya engkau akan menyaksikan pemandangan dahsyat dan mengerikan. Para malaikat memukul wajah dan bagian belakang mereka seraya berkata, “Rasakanlah adzab neraka yang membakar.

Barra’ bin Azib juga pernah berkata, bersabbda, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi WasallamAdapun hamba yang kafir dalam riwayat lain ‘fajir’, apabila hendak menuju akhirat meninggalkan dunia maka akan turun malaikat dari langit. Sifat mereka kasar dan keras bermuka hitam. Mereka membawa pakaian yang kasar dari neraka, kemudian duduk di depannya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut duduk di dekat kepalanya seraya berkata, “Wahai ruh yang buruk, keluarlah menuju kemungkaran dan marah Allah Subhaanahu Wata’ala. lalu ruh itu memancar dalam tubuh (tidak ingin keluar) sehingga malaikat mencabutnya dengan paksa dan kasar, sebagaimana besi yang banyak kaitnya lalu dipakai mencabut bulu domba yang dibasahi sehinga tercabut pula kulit dan uratnya.” (HR. Bukhari)

Itulah sakaratul maut. Baik atau buruknya akhir kehidupan seseorang adalah akibat dari perbuatannya selama hidup. Orang yang tidak ikhlas dalam beramal, atau orang yang jahil terhadap agama Allah maka akan terancam su’ul khatimah. Sementara yang benar-benar beriman, dan ikhlas beramal, maka insya Allah terhindar dari su’ul khatimah.

Jika demikian, jalan mana yang kita pilih ?

[Ditulis oleh ABDUL RASYID YUSUF. Tulisan dari Alfikrah No.07 Tahun X/10 Rabiul Awwal 1430 H] [Sumber : http://www.wahdah.or.id/] [Sumber : http://ustadzridwan.com/pedihnya-sakaratul-maut/]
Kebersamaan kadang tidak selamanya seperti rumput. Selalu setara, sewarna, dan segerak. Ada saja kekurangan di antara sesama mukmin. Karena umumnya manusia memang tidak bisa luput dari aib.

Tak ada gading yang tak retak. Itulah ungkapan sederhana yang memuat makna begitu dalam. Sebuah pengakuan bahwa setiap manusia punya kelemahan dan kekurangan.

Siapa pun kita, selalu ada ‘cacat’. Ada ‘cacat’ berupa ketidaksempurnaan fisik: rupa, penampilan, dan sebagainya. Ada juga ‘cacat’ berupa kelalaian ketika pertarungan antara nafsu dan akal berakhir negatif. Nafsulah yang akhirnya membuat keputusan. Saat itulah, seorang anak manusia melakukan kesalahan. Seperti itu pulakah yang terjadi dengan seorang mukmin ?

Kadang orang lupa kalau seorang mukmin pun tetap saja sebagai manusia. Bukan malaikat yang selalu bersih tanpa noda. Sinar iman yang ada dalam hatilah yang akhirnya menentukan. Apakah nafsu yang lagi-lagi bicara, atau iman yang ambil keputusan.

Pertarungan itu begitu sengit. Kekuatan dalam diri saja belum cukup. Karena masing-masing pihak meminta bantuan pihak luar diri. Iman dalam hati dibantu oleh nasihat dan doa dari saudara seiman. Dan nafsu dibantu dengan rayuan setan. Kalau nafsu dan rayuan setan yang jadi pemenang, seorang mukmin tergelincir dalam sebuah kesalahan. Kecil atau besar.

Dari situlah kita mengerti kalau seorang mukmin pun bisa melakukan kesalahan. Tapi, sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang menyesal dan meminta ampunan.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Ali ‘Imran ayat 135,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Lalu, patutkah kelalaian dan ketergelinciran itu menjadi bahan gunjingan. Patutkah keburukan yang kita sebut aib itu disebarkan. Sebagian orang mungkin menyebutnya sebagai risiko. “Siapa yang berbuat, harus menanggung akibat !” ucapan itu boleh jadi keluar merespon keburukan yang terjadi pada saudara mukmin. Termasuk mendapat gunjingan isu yang tidak mengenakkan.

Namun, patutkah kalau gunjingan dan menyebarnya aib disebut sebagai hukuman yang setimpal. Adilkah mengumumkan aib seseorang sebagai sebuah hukuman. Persoalan ini akan meluas ketika berhubungan dengan hukum dan keadilan.

Memang, ada sedikit salah pemahaman antara menyebarkan aib dengan pengumuman hukuman. Menyebarkan aib, apa pun alasannya, tetap terlarang karena bukan itu cara yang dibenarkan Islam. Sementara pengumuman hukuman berkait dengan penegakan hukum dan peringatan buat yang membaca pengumuman. Agar, perbuatan seperti itu jangan pernah dilakukan.

Repotnya ketika sebagian orang lebih enjoy dengan menyebarkan aib sebagai dalih hukuman. Isu dan gosip pun jadi kebiasaan. Aib seorang mukmin menjadi tersebar tak karuan.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana mungkin seorang mukmin ringan mengumbar aib saudaranya. Padahal, sudah jelas-jelas Allah SWT. melarang menceritakan keburukan sesama mukmin. Firman-Nya dalam surah Al-Hujurat ayat 12,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Ada beberapa kemungkinan kenapa seorang mukmin tega mengumbar aib saudaranya.
  1. Pertama, lemahnya pancaran iman dalam hatinya. Iman yang lemah mengecilkan hubungan mulia antar sesama mukmin. Tidak ada lagi keberpihakan. Tidak ada lagi pembelaan terhadap saudara yang sedang ‘jatuh’. Semua menjadi gersang. Kering.
  2. Kedua, tersumbatnya nalar sehat. Nalar yang jernih akan menggiring seorang mukmin melakukan cek dan cek. Periksa dan tabayun. Karena boleh jadi, kabar yang tersiar berbeda jauh dari fakta yang sebenarnya. Ada bumbu. Ada fitnah. Firman Allah SWT. dalam surah Al-Hujurat ayat 6,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
    Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
  3. Ketiga, lunturnya nilai-nilai sosial dalam diri seseorang. Orang seperti ini biasanya mudah iri, dengki, dan mutung. Persoalan kecil yang sebenarnya bisa selesai dengan saling memaafkan, bisa panjang karena cara berpikir yang kerdil. Cacat yang tergolong biasa pada diri seseorang, diolah, dan disebarkan menjadi masalah besar.
Ada kemungkinan yang lain. Seseorang terhinggapi penyakit merasa serba tahu. Urusan yang sebenarnya masih samar, terlihat seperti jelas. Ia malu kalau orang menganggapnya tidak tahu. Dari situlah, membuat-buat cerita berlangsung cepat.

Orang seperti itu pula yang tidak bisa memegang rahasia. Padahal rahasia dalam nilai Islam merupakan amanah. Rahasia besar atau kecil.

Hidup dalam kebersamaan memang sulit seperti rerumputan. Setara, sewarna, dan sederajat. Tapi yakinlah, kebersamaan sesama mukmin jauh lebih mulia dari apa pun. Karena kebersamaan itu selalu dalam gerak. Sedangkan rerumputan senantiasa diam.

[Ditulis Oleh: Muhammad Nuh]
[Sumber tulisan : http://www.dakwatuna.com/2008/mengukur-aib-bersama/]
Rasulullah SAW. adalah gudangnya sifat-sifat kesempurnaan yang sulit dicari bandingannya. Allah SWT. telah membimbing dan membuatnya maksum, sampai-sampai Allah memuji beliau,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam : 4)

Sifat-sifat yang sempurna inilah yang membuat jiwa orang-orang merasa dekat dengan beliau, membuat hati mereka mencintai beliau, menempatkan beliau sebagai panutan dan pimpinan yang menjadi tumpuan harapan. Bahkan, orang-orang yang dulunya bersikap keras terhadap beliau berubah menjadi lemah lembut. Hingga akhirnya mereka masuk ke dalam agama Allah.

Sejarah mencatat, sebelum kenabian (nubuwah) beliau sudah dijuluki Al-Amin (orang yang tepercaya) oleh orang-orang Quraisy waktu itu, karena kejujuran dan kesantunannya, serta tidak pernah berdusta. Ummul Mukminin Khadijah RA., istri beliau, menggambarkan, "Beliau membawa bebannya sendiri, menyantuni orang miskin, menjamu tamu, dan menolong siapa pun yang menegakkan kebenaran." (HR. Bukhari)

Sebelum Islam yaitu pada masa jahiliah, beliau ditunjuk sebagai pengambil keputusan. Orang-orang Quraisy waktu itu sedang merenovasi Kabah. Mereka membagi sudut-sudut Kabah untuk direnovasi oleh kabilah-kabilah (kelompok suku) yang berpengaruh waktu itu. Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa, kabilah mana yang berhak mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula. Perselisihan meruncing, bahkan menjuras kepada pertumpahan darah antar kabilah, di Tanah Suci.

Abu Umayyah tampil dan menawarkan jalan keluar dari kemelut di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali lewat pintu masjid. Mereka menerima usulan ini. Allah SWT. menakdirkan orang yang berhak tersebut adalah Muhammad, yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Tatkala mengetahui hal ini, orang-orang saling berbicara, "Inilah Al-Amin. Kami ridha kepadanya. Inilah dia Muhammad."

Setelah semua orang berkumpul, Muhammad meminta sehelai selendang. Lalu beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang. Kemudian memerintahkan mereka, secara bersama-sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Ini merupakan keputusan sangat jitu dan diridhai semua orang. Inilah peristiwa yang sangat fundamental menjelang kenabian beliau.

Selang beberapa waktu kemudian, turun perintah melaksanakan dakwah dari Allah SWT. kepada Nabi Muhamad SAW., mulailah tugas kenabian. Beliau langsung mendapat berbagai perintah, sebagaimana firman-Nya (QS. Al-Mudatsir : 1-7),

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
قُمْ فَأَنذِرْ
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

"Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan ! dan Tuhanmu agungkanlah ! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah."

Hal-hal yang terangkum dalam ayat-ayat ini meliputi :
  1. Tauhid, keesaan Allah, tiada Tuhan selain Allah.
  2. Iman kepada hari akhirat.
  3. Membersihkan jiwa dengan menjauhi kemungkaran dan kekejian.
  4. Menyerahkan semua urusan kepada Allah.
  5. Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Muhammad, bernaung di bawah kepemimpinan dan bimbingan beliau yang lurus.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bangkit, dan setelah itu selama 25 tahun beliau tidak pernah istirahat dan diam. Tidak hidup untuk diri sendiri dan keluarga beliau. Beliau bangkit dan seriantiasa bangkit untuk berdakwah, memanggul beban yang sangat berat di pundaknya. Tidak mengeluh dalam melaksanakan beban amanat yang besar di muka bumi ini, memikul beban kehidupan manusia, beban akidah, perjuangan dan jihad di berbagai medan. Karakteristik yang paling menonjol dari diri Rasulullah SAW. adalah memiliki keberanian, patriotisme, dan kekuatan yang sulit diukur. Beliau adalah orang yang paling berani, mendatangi tempat-tempat yang sulit. Beliau adalah orang yang tegar dan tidak bisa diusik, terus maju dan tidak mundur, serta tidak gentar. Ali RA. berkata, "Jika kami sedang dikepung ketakutan dan bahaya maka kami berlindung kepada Rasulullah SAW. Tak seorang pun yang lebih dekat jaraknya dengan musuh selain beliau."

Rasulullah adalah orang yang paling adil, paling mampu menahan diri, paling jujur perkataannya, dan paling besar amanatnya. Orang yang mendebat bahkan musuh beliau pun mengakui hal ini. Karakter lainnya dari Nabi SAW. adalah orang yang paling tawadhu (merendahkan diri) dan paling jauh dari sifat sombong. Beliau yang paling aktif memenuhi janji, menyambung silaturahmi, paling menyayangi, dan bersikap lembut terhadap orang lain. Paling bagus pergaulannya dari akhlaknya. Tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa, tetapi memaafkan dan lapang dada. Mencintai orang miskin dan suka duduk-duduk bersama mereka, menghadiri jenazah mereka. Beliau adalah pemurah hati dan kedermawanan beliau sulit digambarkan.

Ibnu Abbas berkata, "Nabi SAW. adalah orang yang paling murah hati. Terlebih pada bulan Ramadhan. Beliau benar-benar lebih murah hati untuk hal-hal yang baik daripada angin yang berhembus." Jabir juga berkata, "Tidak pernah beliau diminta sesuatu, lalu menjawab 'tidak'." (HR. Bukhari) Nabi SAW. pun adalah seorang yang paling malu dan suka menundukkan mata. Abu Sa'id Al-Khudry berkata, "Beliau adalah orang yang lebih pemalu dari gadis pingitan. Jika tidak menyukai sesuatu maka bisa diketahui dari raut wajahnya." (HR. Bukhari)

Beliau selalu menahan lidahnya, kecuali untuk hal-hal yang dibutuhkan, mempersatukan para sahabat, dan tidak memecah belah mereka. Beliau tidak duduk dan tidak bangkit kecuali dengan zikir. Sifat-sifat di atas hanya sebagian kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau. Rasulullah SAW. adalah hamba pilihan Allah, yang senantiasa dibimbing wahyu dan dimaksum, serta mendapat cahaya Rabb-Nya, sehingga akhlaknya pun Al-Quran.***

[Ditulis Oleh H. EDDY SOPANDI, peserta majelis taklim di beberapa masjid, antara lain Al-Furqon UPI, Istiqomah, Viaduct, Salman ITB. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 25 Januari 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Siapakah diri ini ? Pertanyaan ini sejak ribuan bahkan jutaan tahun lalu tetap menjadi pembahasan hangat kaum terdidik ataupun alim ulama. Dengan mengenali diri, kita bisa mengenal Sang Khalik dengan lebih baik.

Pada hakikatnya, manusia merupakan pribadi yang utuh, terdiri atas jasmani dan rohani, antara intelektualitas (akal) dan perasaan atau sanubari (kalbu).

Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia merupakan hewan yang bisa berpikir. Adanya roh menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik (khalgun akhar) karena mampu merasa, berpikir, memiliki daya nalar, dan berkehendak.

Ketika memberikan materi kuliah ataupun seminar, penulis sempat ditanya, berapakah sebenarnya harga seorang manusia kalau diuangkan ?

Memang sampai sekarang belum pernah ada ilmuwan yang berani menghitung harga nyawa manusia, mungkin karena memang hanya itu satu-satunya bagian yang tidak bisa dihargai alias tak terkalkulasi lagi dengan uang berapa pun.

Namun, seorang pakar kimia dan komputer, Prof. Norweigh, pernah menghitung harga tubuh manusia dalam suatu jurnal ilmiah kedokteran. Ternyata hasilnya mengejutkan. Jika diuangkan, total harga organ tubuh, enzim, kelenjar, saraf, dan lain-lain dari manusia itu kurang lebih 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 840 triliun !

Menurut Prof. Norweigh, untuk harga zat penumbuh rambut, dengan perkiraan seseorang berusia sampai dengan 50 tahun yang membutuhkan sebanyak 20 gram, satu gramnya berharga 2 juta dolar atau sekitar Rp 18 miliar. Jadi, jangan pernah pandang remeh rambut Anda, baik rambut yang keriting, lurus, tipis, berombak, setengah botak, atau apa pun karena harganya mahal.

Namun, ada sesuatu yang menarik dari penyelidikan sang profesor. Harga seluruh organ manusia, cairan kimia di dalam tubuh, bagian dalam tubuh, dan lain-lain sebesar Rp 840 triliun, belum termasuk untuk harga roh atau nyawa manusia. Satu-satunya komponen yang tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan itu adalah nyawa manusia.

Allah SWT. menempatkan manusia sebagai makhluk termulia dari semua makhluk di alam semesta ini.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya." (QS. At Tin : 4)

Ayat ini menjelaskan dari segi kejadian (bentuk) dan kedudukan, manusia ditempatkan pada posisi teratas dan terunggul.

Ulama terkenal, Murtadha Mutahhari, menjelaskan gambaran Al-Quran tentang manusia, yakni makhluk Tuhan, khalifah di muka bumi, semisamawi dan semiduniawi, didalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas percaya, serta tanggung jawab terhadap diri dan alam.

Manusia cenderung kepada kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan mereka dari kelemahan dan ketidakmampuan lalu bergerak kepada kekuatan. Namun, semua itu tidak akan menghapuskan kegelisahan manusia kecuali jika manusia dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ
أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ

إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰ
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَىٰ

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, ...." (QS. Al 'Alaq : 1-8)

Pada ayat tersebut di atas diterangkan ada tiga macam ciri manusia, yaitu manusia dijadikan dari segumpal darah, manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan menerapkan ilmu, serta manusia dapat bersifat diktator karena tidak melupakan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Manusia kerap bertindak sewenang-wenang, tidak mengakui malah ingin lepas dari semua aturan yang mengikatnya, dan congkak (takabur) terhadap Allah SWT.

Berkaitan dengan hal itu, Al-Quran mengarahkan manusia untuk lebih mengenal akal dan hati nuraninya. Tanda-tanda di alam semesta merupakan upaya memberdayakan (meningkatkan) potensi akal manusia.

Sungguh teramat banyak ayat di Al-Quran yang menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya seoptimal mungkin. Misalnya, apakah mereka tak berpikir (afalaa-tatafakkarun).

Dalam ayat-ayat lain, Al-Quran menekankan juga pentingnya memberdayakan sanubari, seperti dalam QS. Al Hajj : 46.

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
".......Sungguh bukanlah mata yang buta, tetapi kalbu yang ada di dalam dada."

Dengan potensi besar dari akal dan sanubari itu sehiggga proses pendidikan harus mengembangkan keduanya. Bukan pendidikan yang terpecah dengan mengutamakan akal ataupun sebaliknya.

Alim ulama terdahulu bukan hanya jago dalam urusan fatwa keagamaan, melainkan juga lihai dalam masalah ilmu sains. Mereka tak jarang mengembara ke berbagai tempat untuk meneliti dan mencari pengetahuan baru agar bisa mewariskan ilmu kepada generasi selanjutnya.

Sementara dalam urusan mengolah sanubari, ajaran Islam mengenal banyak ibadah seperti shalat, zikir, puasa, haji, zakat, dan lain-lain yang bertujuan agar roh manusia selalu dekat dengan Tuhan. Ibadah dapat mempertajam perasaan seseorang dan budi manusia.

Di tengah banyaknya kritik kepada dunia pendidikan yang lebih mementingkan urusan akal, sudah sepantasnya para guru, kepala sekolah, pemerintah, dan masyarakat menelisik kembali jati diri seorang manusia.

Pendidikan tidak sebatas mengejar nilai-nilai lahiriah, apalagi sebatas nilai Ujian Nasional (UN) karena banyak nilai lain yang juga harus diajarkan dan dibiasakan.***

[Ditulis Oleh
H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 24 Februari 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]
Di manakah Muhammad SAW. dilahirkan ? Di Mekah al Mukarramah tentu. Pertanyaan yang terlalu mudah dijawab ini menjadi sangat penting ketika kita hendak berumrah. Ya, berumrah sejatinya adalah ibadah yang harus diwarnai pemahaman sejarah kehidupan para nabi dari Adam, Ibrahim, Ismail, dan Muhammad. Jangan lupakan pula, ibunda Nabi Ismail, Siti Hajar.

Khusus umrah yang dilaksanakan pada bulan Maulid (Rabiul Awal) menjadi umrah yang mestinya menjadi sangat kental dengan penghayatan akan kelahiran seorang nabi akhir zaman. Marilah sejenak melihat kilas balik situasi Mekah sebelum kelahiran Muhammad.

Mekah saat itu adalah Mekah yang bergelimang dosa. Maksiat dan penyembahan berhala adalah sebuah fenomena yang sangat umum ditemui. Mekah sebelum Muhammad lahir adalah suatu lembah yang dihuni oleh sekelompok "kaum tanpa Tuhan" atau "kaum yang telah terlalu lama tak tersentuh kenabian".

Mekah memang unik. Di tengah pandangan miring masyarakat di sekitarnya, Mekah tetaplah menjadi magnet ziarah pada musim haji. Tak lain dan tak bukan karena di Mekah berdiri Kabah, rumah Tuhan yang telah dikenal ribuan tahun lamanya. Keberadaan Kabah pula yang membuat Abrahah cemburu dan mempersembahkan bagi rajanya sebuah katedral mewah dan megah, dengan marmer terpilih. Dengan satu tekad, para peziarah memindahkan tujuan ziarahnya dari Mekah ke katedral yang didirikannya.

Abrahah terang-terangan menyatakan niatnya itu sehingga membuat seseorang dari sebuah dusun marah dan merusak bagian kecil katedral. Abrahah murka lalu membawa pasukan dengan didahului gajah untuk menghancurkan Kabah. Namun sejarah mencatat, Tuhan Pemilik Kabah memberikan perlindungan pada rumah-Nya. Rencana Abrahah berantakan. Gajah andalannya untuk menghancurkan Kabah tak juga mau bergerak maju dan sekelompok burung Ababil membawa tiga batu masing-masing, yang segera dilontarkan ke arah tentara bergajah itu.

Sesudah peristiwa kegagalan Abrahah, keunikan makin bertambah dan kaum penyembah berhala itu pun dianggap kaum kesayangan Tuhan. Disayang Tuhan atau bukan, faktanya dari kaum itu lah lahir seorang bernama Abdul Muthalib, yang kemudian memiliki anak bernama Abdullah. Abdullah dinikahkan dengan Siti Aminah, seorang gadis dari Madinah. Dari pernikahan Abdullah dengan Siti Aminah ini lahir Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang lahir sebagai anak yatim karena Abdullah wafat dalam usia muda sebelum Muhammad dilahirkan.

Umrah adalah rangkaian ibadah yang dilakukan di seputar Kabah yakni tawaf, sai, dan tahalul sehingga umrah adalah sebuah perjalanan napak tilas sejarah Muhammad. Memasuki Mekah adalah memasuki kota tempat kelahiran Nabi Muhammad. Di kota itu juga Muhammad tumbuh, berkembang, berjuang, teraniaya, terusir, diboikot, dan dihinakan.

Teladan hebat itu adalah akhlak Muhammad yang merupakan gambaran dan implementasi Al-Quran. Salah satu teladan Beliau adalah murah hati atau dermawan, senang membantu, atau memberi kepada yang memerlukan.

Suatu saat datang seseorang meminta bantuan saat Nabi tidak memiliki apa-apa. Lalu, orang tersebut diminta meminjam kepada para sahabat atas nama Nabi dan Nabi yang membayarnya.

Pada hari lainnya, Nabi meminjam setengah sukatan makanan untuk pengemis. Ketika tiba waktu membayar, Nabi membayar dengan satu sukatan yakni setengah bayar utang dan setengahnya hadiah. Kadang Nabi membeli suatu barang, lalu diberikan kepada si penjual sebagai hadiah.

Nabi SAW. tidak pernah sendirian jika makan dan selalu mengundang para sahabat. Pernah dalam suatu peperangan Nabi menyembelih seekor kambing dan meminta dibakarkan hatinya. Setelah siap santap Nabi malah membagi-bagikan pada para sahabatnya dan menyisihkan jatah bagi yang tidak hadir.

Nabi berkata, "Dua sifat yang tidak bisa dijumpai dalam diri seorang yang beriman yaitu kikir dan buruk akhlak. Seorang yang pemurah itu dekat dengan Allah, surga, dan manusia, serta jauh dari api neraka. Sedangkan orang kikir itu jauh dari Allah, surga, dan manusia lain serta dekat dengan api neraka. Seorang yang bodoh tetapi murah hati, akan lebih dicintai Allah dibandingkan dengan seorang kikir yang taat ibadah."

Dari Sahabat Anas, berkata Rasulullah, "Ketika seseorang memenuhi kebutuhan salah seorang dari umatku demi menyenangkan aku, dia sudah menyenangkan aku. Orang yang menyenangkan aku sudah menyenangkan Allah dan orang yang menyenangkan Allah akan masuk surga."

Anas juga mencatat sabda Nabi Muhammad lainnya, "Bagi siapa yang membantu orang lain yang sedang bersusah hati, Allah akan mencatat 73 kali pahala pengampunan. Salah satunya meliputi seluruh kesejahteraannya dan tujuh puluh dua lainnya merupakan pahala untuk meningkatkan derajatnya di hari kebangkitan."

Umrah di bulan Maulid menjadi lebih istimewa karena setelah berkunjung ke Mekah kita berziarah ke Madinah bersama ribuan jemaah dari berbagai negara. Kita menghirup aroma surga di Raudhah, bertafakur di sebelah makam Rasulullah. Kita melantunkan salawat atas Nabi yang mulia.

Yaa Nabi salam alaaika. Yaa Rasul salam salam alaai-ka.***

[Ditulis Oleh H. BUDI PRAYITNO, pegiat dakwah dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Khalifah Tour. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Manis) 22 Februari 2011 pada Kolom "UMRAH & HAJI"]
Ditengah krisis figur kepemimpinan yang melanda bangsa ini, alangkah bijaksana kalau kita menghadirkan dan merenungkan kembali sifat-sifat Baginda Rasulullah SAW. Sosok pribadi Nabi Muhammad SAW. adalah tipe manusia biasa yang tidak ada bedanya dengan manusia lainnya, tetapi Ia memiliki kepribadian super, berkarakter kuat. Sifatnya yang pemalu, wataknya yang lemah-lembut, selalu mendahulukan kepentingan orang lain, pemaaf dan selalu berkata benar, menambah kemuliaan sifat Rasulullah SAW.

Pantas kalau Allah memujinya sebagai kepribadian yang paripurna. Allah memerintahkan setiap Muslim untuk beruswah (meneladani) kepribadian Beliau.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasul suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang berharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah." (QS. Al-Ahzab : 21)

Mencontoh Rasulullah SAW. dalam segenap aspek kehidupan adalah bukti dari ketaatan dan kesempurnaan iman seorang Mukmin. Sekurang-kurangnya ada empat ciri Mukmin yang meneladani Rasul sebagai uswah hasanah.

Pertama, tumbuhnya keyakinan akan pertemuan dengan Allah pada hari kiamat dan selalu mengharapkan rahmat-Nya, serta banyak berzikir kepada Allah SWT.

Kedua, tumbuhnya muhabah (kecintaan) yang mendalam kepada Rasul.

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaanmu yang kamu usahakan, perniagaan kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan dari berjihad di jalannya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkankan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS. At-taubah : 24)

Ketiga, ath-thoah, senantiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menjauhi larangan-Nya sebagai bukti rasa khouf (takut) terhadap siksa dan murka-Nya.

Keempat, ittiba yaitu mengikuti seluruh sunah Rasul, menjauhi perbuatan bidah, khurafat, takhayul, syirik, dan sihir. Bagi orang-orang yang cinta mengikuti Nabi-Nya, Allah berkenan pula memberikan cinta-Nya serta menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah jika kamu mencintai Allah maka turutilah aku, pasti Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran : 31)

Namun, Rasul mengisyaratkan, ada banyak orang yang tak mau masuk surga seperti sabdanya. "Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang tidak mau." bertanya, "Para sahabatSiapa yang menolak masuk surga ya Rasulullah ?" Jawab Rasul, "Barang siapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan barang siapa yang maksiat, maka sungguh dialah yang menolak masuk surga." (HR. Bukhori)

Sanjungan dan pujian terhadap kepribadiannya pernah secara objektif diberikan oleh Sir. Hamilton A.R. Gibb yang telah mengarang kurang lebih dua puluh buku tentang Islam. Dia berkata, "Islam adalah Agama yang dinamis dan Muhammad mempunyai akhlak yang baik dan benar."

Hal senada disampaikan oleh W.C. Smith, pendiri Institut Pengkajian Islam di Universitas Mc Gill di Montreal Kanada. "Tuhan ingin menyampaikan risalah kapada manusia. Untuk itu, Tuhan mengirimkan rasul-rasul dan satu di antaranya rasul itu adalah Nabi Muhammad SAW."

Peran rasul sebagai manusia biasa yang diberi wahyu oleh Allah, mengemban amanah untuk memanusiakan manusia agar berakhlak ilahiyah, menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dinamis, untuk mencerahkan dunia dari kehancuran moral, kebutaan ilmu dan mereduksi kepalsuan keyakinan, meluruskan agama dan keyakinan yang telah menyimpang dari sisa agama samawi, yaitu Musa AS., Ibrahim AS., dan Isa AS.

Keagungan pribadi Muhammad bukan karena Ia seorang nabi, tetapi lebih menitikberatkan kepada sosok manusia biasa yang memiliki kelebihan akhlak mulia. Ia diutus untuk semesta alam (rahmatan lil alamin). Sebagaimana firman Allah,

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatnya kepada mereka. Menyucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab Allah dan hikmah (sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumat : 2)

Anjuran untuk meneladani akhlak Rasul adalah mutlak adanya untuk mencapai derajat insan kamil, sebagaimana sabdanya, "Aku adalah Muhammad, nabi yang ummi (tidak mengenal baca tulis). Tidak ada nabi sesudahku. Aku diberi kunci-kunci kalimat, penutup-penutupnya dan lafaz-lafaz yang sedikit, tetapi banyak maknanya. Diberitahukan kepadaku berapa banyak malaikat penjaga neraka, dan para malaikat yang membawa Arsy. Aku diberi keringanan, diberi afiat, dan umatku juga diberi afiat. Maka dengarkanlah dan taatlah kalian kepadaku selagi aku berada di tengah kalian. Jika aku sudah mati, hendaklah kalian berpegang teguh kepada kitab Allah (Al-Quran). Halalkan apa yang dihalalkan-Nya dan haramkanlah apa yang diharamkan-Nya." (Musnad Imam Ahmad, 2/172)

Derajat insan kamil adalah derajat kemanusian yang tertinggi dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW. menjadi contoh insan kamil tertinggi dan sempurna.

Wallahu alam.***

[Ditulis Oleh H. AGUS ISMAIL, Imam dan khatib Jumat Masjid Al-Haq Margahayu Selatan, Kab.Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) / 18 Februari 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
Berikut ini adalah Kedudukan toleransi dalam Islam sebagaimana dikutip dari kitab "Samhatul Islam Fii Kitabi wa Sunnah", Edisi Indonesia "Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur'an dan As-Sunnah", oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, penerbit Maktabah Salafy Press, hal. 17-24, penerjemah Abu Abdillah Muhammad Afifuddin As-Sidawi :
    1. Islam Adalah Agama Yang Mudah dan Penuh Toleransi

    Allah Ta’ala berfirman.

    يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

    "… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …" (QS. Al-Baqarah : 185)

    Allah Subhanahu wata’ala menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah Subhanahu wata’ala tidak menjadikan untuk mereka kesempitan pada agama ini.

    Allah Jalla Tsamauh berfirman.

    وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجُ

    "dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan…." (QS. Al-Hajj : 78)

    2. Allah Mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam Dengan Membawa Al-Hanifiyah (agama yang Lurus) As-Samhah (yang Mudah).

    وَكَانَ يَوْمُ عِيْدٍ يَلْعَبُ السُّوْدَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ: تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ، خَدِّي عَلَى خَدِّهِ، وَهُوَ يَقُوْلُ: دُوْنَكُمْ ياَ بَنِي أَرْفِدَةَ. حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ، قَالَ: حَسْبُكِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَاذْهَبِي

    Dari Aisyah Radliyallahu ‘anha dia menceritakan, " Biasanya pada hari raya, orang-orang Habasyah bermain perisai dan tombak (berlatih perang-perangan).Aku yang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (agar diperkenankan menonton permainan tersebut) dan beliau sendiri menawarkan dengan berkata, ‘Apakah engkau ingin melihat permainan mereka ?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakangnya, pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan wahai Bani Arfidah.’ Hingga ketika aku telah jenuh, beliau bertanya, ‘Cukupkah ?’ ‘Iya’, jawabku. ‘Kalau begitu pergilah’, kata beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 950 dan Muslim no. 2062)

    Aisyah berkata, "Lalu Umar muncul, maka orang-orang dan anak-anak tadi berhamburan meninggalkan mereka (Habasyah), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya melihat para syaithan manusia dan jin lari dari Umar."

    Aisyah mengatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu bersabda, "Supaya orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada keleluasaan, aku diutus dengan Al-Hanifiyah (agama yang lurus) As-Samhah (yang mudah)." (Muttafaq ‘Alaihi, kecuali lafadh yang dijadikan dalil yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/116 dan 233 dan Al-Humaidi 254 dengan sanad yang shahih)

    3. Agama Yang Paling Allah Subhanahu wata’ala Cintai Adalah Yang Lurus dan Mudah.

    Hukum-hukum Islam dibangun di atas kemudahan dan tidak menyulitkan, norma-norma agama ini seluruhnya dicintai (oleh Allah) namun yang mudah dari itu semualah yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala.

    Oleh sebab itu, tidak boleh mempersulit diri dalam menjalankan agama Allah Subhanahu wata’ala dan tidak boleh pula membuat sulit hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala.

    Tiada seorangpun yang mempersulit agama ini melainkan dia pasti akan kalah. Lihatlah perbuatan Bani Israil, tatkala mereka mempersulit diri, Allah Subhanahu wata’ala-pun mempersulit mereka. Kalau seandainya mereka mempermudahnya, niscaya mereka akan diberi kemudahan, perhatikan kisah ‘Al-Baqarah!’ (Kisah mereka diabadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 67-71 sebagai pelajaran untuk umat setelah mereka (Pent).)

    Dari Ibnu Abbas Radliyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : "Agama apa yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla ?" Beliau menjawab, ‘yang mudah dan yang lurus’ (Dikeluarkan oleh Bukhari secara Muallaq (tanpa menyebutkan sanad) 1/93 – Al-Fath dan dia sambungkan sanadnnya dalam Al-Adab Al-Mufrad hal.44, Ahmad 1/236, dihasankan oleh Al-Hafidh dalam Al-Fath 1/94. Disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam At-Ta’liq ala Al-Musnad 2108 dan keduanya dikritik oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Ash-Shahihah 881 beliau menghasankannya dengan penguat-penguatnya.)

    Oleh karena itu, Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang seorang lelaki yang meminum susu murni, apakah dia harus berwudlu ?Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab : "Bermudahlah niscaya engkau akan diberi kemudahan" (Lafadh ini diriwayatkan secara marfu (sampai kepada Nabi) dari hadits Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid-nya atas Al-Musnad 1/248 secara wijadah (riwayat dengan kitab))

    Yakni gampangkanlah niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memberi keringanan untukmu dan atasmu. (Lisanul Arab 2/498)

    4. Toleransi Adalah Keimanan Yang Paling Utama.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" (Shahih Al-Jami’ As-Shaghir 1108)

    5. Toleransi Adalah Amalan yang Paling Ringan dan Paling Utama.

    Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari bertanya : "Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?" Jawab beliau : "Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya." Orang tadi berkata : "Aku ingin yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?" Kata beliau : "Sabar dan toleransi" Kata orang itu : "Aku ingin yang lebih ringan lagi". Beliau bersabda : "Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu" (Dikeluarkan oleh Ahmad 5/319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radliyallahu ‘anhu dan 4/385 dari ‘Amr bin Arbasah Radliyallahu anhu dia berkata : ‘Apa itu Iman ?" Beliau menjawab : "Sabar dan toleransi", Dia punya penguat dari hadits Jabir Radliyallahu ‘anhu, maka hadits ini pun shahih dengan jalan-jalan dan penguatnya.)

    6. Beberapa Bentuk Toleransi.

    Termasuk toleransi dalam Islam adalah bahwa Islam merupakan agama Allah Subhanahu wata’ala untuk seluruh umat manusia.

    Allah Subhanahu wata’ala berfirman.

    وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

    "Dan tidak Kami mengutusmu melainkan untuk menebarkan rahmat di seluruh alam …." (QS. Al-Anbiya : 107)

    Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman.

    وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

    "Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan …" (QS. Saba : 28)

    Toleransi Islam menolak sikap fanatisme dan perbedaan rasIslam telah menyucikan diri dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber hukum yang dibangun di atas hawa nafsu.Islam tidak meridhoi kebathilan fanatisme dan perbedaan ras yang mengukur keutamaan dan kebenaran dengan darah fanatisme dan tanah. Thagut itu benar-benar ada pada syari’at jahiliyah, oleh sebab itu, Islam menghinakannya karena mencekik kemulian insan.Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan memakmurkannya dengan iman yang benar dan menghasungnya kepada kebajikan, petunjuk dan keadilan. Serta menghapus perbedaan jenis, bahasa, ras, nasab dan harta benda, menjadikan segenap keutamaan dan kemuliaan untuk ketaqwaan yang merupakan mata air sikap toleransi, puncak tertinggi dan muara keistimewaan dan kelebihannya.

    Allah Subhanahu wata’ala berfirman.

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

    "Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah diantara kamu adalah orang-orang yang paling bertawqa di antara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengatahui dan Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat : 13)
Mudah-mudahan para pemimpin bangsa dan negara serta para pemimpin umat semakin arif dalam menangani kasus-kasus yang berbau SARA tersebut, untuk tidak selalu menyudutkan kelompok-kelompok dalam tubuh umat Islam.

Wallahu a'lam bishawab.


[Dirangkum dari sumber http://sunniy.wordpress.com ]
Tak terasa, kita kembali ada di bulan Rabiul Awwal, yang diyakini oleh kaum Muslim sebagai bulan kelahiran Baginda Rasulullah SAW. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad SAW. atau dikenal dengan Peringatan Maulid Nabi SAW. ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat, khususnya di Tanah Air.

Namun demikian, tanpa mengurangi sikap pengagungan kita terhadap Baginda Rasulullah SAW., kelahiran seorang manusia termasuk Beliau sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak ? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.

Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah SAW. tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga Beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya. Padahal Beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa ? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidaklah dikenal.

Bagaimana dengan para Sahabat Beliau ? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. melebihi kecintaan para Sahabat kepada Beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para Sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad SAW.

Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. juga tidak pernah dilakukan para Sahabat Beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan Beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi SAW. dan dalam sejarah otentik para sahabat Beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW., baik yang dilakukan oleh Nabi SAW. sendiri maupun oleh para Sahabat Beliau.

Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar yang disepakati para sahabat jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad SAW. Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci. (Ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah SAW., sebagai awal bulan tahun Hijrah.

Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW., sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal.

Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad SAW., sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa AS. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad SAW. sendiri yang pernah menyatakan :

لاَ تُطْرُوُنِى كمَا أَطْرَتِ النَصَارَى إِبْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ

"Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa AS.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya." (HR al-Bukhari dan Ahmad)

Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad SAW. sebagai manusia, selain Beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah SWT., berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ

Katakanlah, Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (QS. Fushshilat : 6)

Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi SAW. sendiri dan para sahabat beliau ?

Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad SAW. memang manusia biasa, tetapi Beliau adalah manusia teragung, karena Beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; Beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta‘zhîman wa takrîman) terhadap Beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan Beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.

Itulah yang menjadikan Beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan Beliau tidak lain karena Beliau diberi wahyu oleh Allah SWT., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah SWT. berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama) :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ

Katakanlah, Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (QS. Fushshilat : 6)

MAKNA KELAHIRAN MUHAMMAD SAW.
Kelahiran Muhammad SAW. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya Beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu.

Karena itu, Peringatan Maulid Nabi SAW. pun tidak akan bermakna apa-apa selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni Al-Quran dan As-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah SWT. telah berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr : 7)

Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW., yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi SAW., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad SAW. adalah kekasih-Nya.

Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad SAW. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT. berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي

Katakanlah, Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS. Ali Imran : 31)

Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi SAW.
Di samping itu, Allah SWT. juga berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung.” (QS. al-Qalam : 4)

Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat : Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai : Sesungguhnya engkau berada di atas agama / jalan hidup yang agung.

Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna : Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat : Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi SAW. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi SAW. Aisyah lalu menjawab :

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

"Sesungguhnya akhlaknya adalah Al-Quran." (HR. Ahmad)

Dengan demikian, berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad SAW. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi Al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad SAW. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan / minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.

Sebab, Nabi Muhammad SAW. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan / negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah SAW. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya ? Tentu saja tidak !

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan / negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Nabi Muhammad SAW. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah) ?

KELAHIRAN NABI SAW. : KELAHIRAN MASYARAKAT BARU
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad SAW. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.

Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.

RENUNGAN
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi SAW. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah SAW. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.

Karena aturan-aturan Islam sebagaimana aturan-aturan lain tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah SAW. sejak awal dakwahnya. Rasulullah SAW. tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah SAW. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah SAW. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah SAW. sampai Beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.

Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi SAW. yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

[Ditulis oleh : ARIEF B. ISKANDAR. Sumber tulisan http://facebook.com/MediaIslamOnline ]