BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA
NASTA'IN


(6) RI'AYAH

Di antara tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah ri'ayah, yang artinya memperhatikan ilmu dan menjaganya dengan amal, memperhatikan amal dengan kebaikan dan ikhlas serta menjaganya dari hal-hal yang merusak, memperhatikan keadaan dengan penyesuaian dan menjaganya dari pemutusan. Jadi ri'ayah adalah penjagaan dan pemeliharaan.

Tingkatan-tingkatan ilmu dan amal itu ada tiga macam:
  • Riwayah, yaitu hanya sekedar penukilan dan membawa apa yang diriwayatkan.
  • Dirayah, yaitu memahami, mendalami dan menelaah maknanya.
  • Ri'ayah, yaitu beramal berdasarkan ilmu yang dimiliki dan keadaannya.
Hasrat para penukil tertuju ke riwayah, hasrat orang-orang yang berilmu tertuju ke dirayah, dan hasrat orang-orang yang memiliki ma'rifat ke ri'ayah. Allah telah mencela orang-orang yang tidak memelihara gaya hidup ala kerahiban yang diciptakannya dan yang telah dipilihnya,

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
Dan, Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Isa) rasa santun dan kasih sayang. Dan, mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendiri yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. (QS. Al-Hadid : 27)

Dengan kata lain, Allah mencela orang yang tidak memelihara taqarrub yang diciptakan Allah dengan pemeliharaan yang semestinya. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memelihara taqarrub yang tidak disyariatkan Allah, tidak diperkenankan dan tidak dianjurkan-Nya, seperti orang-orang Nasrani yang menciptakan model kehidupan kerahiban ? (Orang-orang Nasrani menciptakan kerahiban, dengan anggapan bahwa itu merupakan sunnah Isa bin Maryam dan petunjuknya. Namun Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa merekalah yang karena yang demikian itu bertentangan dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, di samping Allah tidak mensyariatkan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah. Karena itu mereka tidak akan bisa dan sekali-kali tidak bisa memelihara kehidupan kerahiban itu secara semestinya. Sebab tak seorang pun yang bisa merubah sunnatullah. Begitu pula orang-orang sufi yang juga meniru model kehidupan mereka.)

Pengarang Manazzilus-Sa’irin berkata, "Ri'ayah artinya menjaga yang disertai perhatian. Ada tiga derajat ri'ayah :
  1. Memelihara amal. Artinya, memperbanyak amal itu dengan menghinakannya, melaksanakan amal itu tanpa melihat kepadanya dan menjalankan amal itu berdasarkan saluran ilmu.
    Ada yang berpendapat, tanda keridhaan Allah kepadamu ialah jika engkau mengabaikan keadaan dirimu, dan tanda diterimanya amalmu ialah jika engkau menghinakan dan menganggap amalmu sedikit serta kecil. Sehingga orang yang memiliki ma'rifat memohon ampun kepada Allah dengan sebenar-benarnya setelah melakukan ketaatan. Setiap kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam usai mengucapkan salam dalam shalatnya, maka beliau memohon ampun kepada Allah sebanyak tiga kali. Allah juga memerintahkan hamba-Nya memohon ampun setelah menunaikan haji.
  2. Memelihara keadaan. Artinya, mencurigai usahanya sebagai riya', mencurigai keyakinannya sebagai kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan.
    Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu dimaksudkan untuk riya' di hadapan manusia.
    Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
    Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian yang palsu.
    Sedangkan mencurigai keadaan sebagai bualan artinya bualan yang dusta. Hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari syetan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya syetan.
  3. Memelihara waktu. Artinya, berhenti pada setiap langkah, melepaskan diri dari kesaksian kebersihan jiwanya, kemudian pergi tanpa membawa kotoran jiwanya.
[Berikutnya....(7) Muraqabah]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli :
Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

by
u-must-b-lucky
Setiap manusia mempunyai perasaan dan emosi. Perasaan dan emosi bersifat gaib, tetapi bisa tampak melalui perubahan mimik muka, lisan, atau bahkan sikapnya. Hal itu terutama berkaitan dengan adanya suatu keadaan yang dapat memengaruhi perasaan dan emosinya tersebut, di antaranya kegembiraan, kebahagian, kegagalan, dan musibah.

Kehidupan di dunia ini tidak selamanya datar. Artinya, tidak selamanya gembira dan tidak selamanya sedih. Untuk itulah, diperlukan sikap yang terbaik dalam menghadapinya agar keadaan-keadaan tersebut justru dapat menjadi hikmah. Karena di dalam suatu kejadian atau keadaan tertentu, ada hikmah yang dapat dipetik manfaatnya.

Namun, tidak sedikit di antara kita ketika ditimpa suatu kegagalan ataupun musibah, disikapinya dengan keluh kesah, mengumpat, marah, bahkan ada yang sampai putus asa hingga berusaha melakukan bunuh diri (naudzubillahi mindzaalik). Tidak sedikit pula yang berusaha untuk selalu tegar, bahkan dengan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu merupakan suatu sikap positif di dalam menghadapi suatu kegagalan, cobaan, atau musibah.

Berkaitan dengan hal di atas, Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 45,

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

Berkaitan dengan musibah, apa pun musibah yang dialami seseorang tak lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah SWT. Alasannya, hal itu sebenarnya telah tercatat di Lauhul Mahfuzh sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Hadid ayat 22-23,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (22).

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang'yang sombong lagi membanggakan diri (23).

Barangsiapa mampu menguasai perasaan dan empsinya dalam setiap peristiwa, baik yang memilukan maupun yang menggembirakan, dialah orang yang sejatinya memiliki kekukuhan iman dan keteguhan keyakinan. Oleh karena itu, ia akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan karena keberhasilannya mengendalikan emosi. Allah SWT. menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang senang bergembira dan berbangga diri. Namun, ketika ditimpa kesusahan manusia mudah berkeluh kesah dan ketika mendapat kebaikan manusia sangat kikir. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan orang yang khusyuk dalam shalatnya. Hal itu karena merekalah orang-orang yang mampu berdiri seimbang di antara gelombang kesedihan yang keras atau sebaliknya ketika dalam suasana kegembiraan yang tinggi. Merekai itulah yang akan senantiasa bersyukur tatkala mendapat kesenangan dan bersabar tatkala berada dalam kesusahan.

Hal itu sebagaimana di dalam Al-Qur'an Surat Al-Ma'aarij ayat 19-23,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
إِلَّا الْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
Sesungguhnya Manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19). Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh (20) dan apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir (21), kecuali orang-orang yang mengerjakan salat (22) yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23).

Apabila tidak bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT., niscaya emosinya tak akan dapat dikendalikannya. Emosi yang tak terkendali hanya akan melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan diri sendiri. Alasannya, ketika marah, misalnya, kemarahan akan meluap dan sulit dikendalikan. Itu akan membuat seluruh tubuhnya gemetar, mudah memaki siapa saja, seluruh isi hatinya tertumpah ruah, napasnya tersengal-sengal, dan ia akan cenderung bertindak sekehendak nafsunya. Adapun saat mengalami kegembiraan, ia menikmatinya secara berlebihan, mudah lupa diri, dan tak ingat lagi siapa dirinya.

Berkaitan dengan marah, Rasulullah SAW. bersabda sebagaimana yang tertuang dalam sebuah hadits yang artinya, dari Abu Hurairah RA., sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., "(Ya Rasulullah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : kamu jangan marah. Beliau menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda, Kamu jangan marah." (HR. Bukhori)

Selain hal di atas, dengan emosi yang tidak terkendali akan menggelapkan sikap objektivitas dan cenderung berlebihan dalam menyikapi sesuatu. Misalnya, ketika ia tidak menyukai seseorang, ia cenderung mencibir, menghardik, dan mencelanya. Akibatnya, seluruh kebaikan orang yang tidak ia sukai dari orang tersebut tampak lenyap begitu saja. Demikian pula ketika menyukai orang lain, orang itu akan terus dia puja dan sanjung' setinggi-tingginya seolah-olah tak ada cacatnya.

Berkaitan dengan hal di atas, kita bisa belajar dari sabda Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah hadits yang masyhur, yang artinya, "Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya, karena siapa tahu ia akan menjadi musuhmu di lain waktu, dan bencilah musuhmu itu sewajarnya karena siapa tahu dia menjadi sahabatmu di lain waktu."

Dalam kehidupan sehari-hari, bisa saja orang yang tidak mampu mengendalikan emosinya terjadi pada seorang kepala keluarga, hampir seluruh anggota keluarganya akan kena dampaknya. Demikian pula kalau terjadi pada seorang petinggi negara, dampaknya akan terasa oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa saja bisa terj'adi prahara yang sangat besar di negara tersebut.

Dengan demikian, siapa pun orangnya, apa pun pangkat dan jabatannya, senantiasa untuk selalu berusaha untuk mengendalikan emosinya. Barangsiapa mampu mengendalikan emosinya, berarti dapat mengendalikan akalnya dan menimbang segalanya dengan benar. Dengan begitu, ia akan melihat kebenaran, akan tahu jalan yang lurus, dan akan menemukan hakikat di dalam kehidupan ini. Namun sebaliknya, dengan emosi tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru, bahkan masalah tersebut lebih besar dari masalah sebelumnya.

Semoga kita selalu berada dalam ridha dan bimbingan-Nya, serta kita selalu diberikan kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan emosi kita. Dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita, kita dapat mengambil hikmah yang berguna bagi kehidupan kita di dunia terlebih untuk di akhirat serta dijauhkan dari akibat-akibat emosi yang tak terkendali, yang dapat menyengsarakan hidup kita di dunia dan akhirat.

Amin.***

[Ditulis oleh ASEP JUANDA, Ketua Takmir At-Taqwa, Cicalengka, Kec. Cihampelas, Kab. Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 29 April 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
KESEMPURNAAN IBADAH
Di antara wasiat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada Muadz bin Jabal sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasai; Rasulullah bersabda,

Aku berwasiat kepadamu wahai Muadz. Janganlah engkau meninggalkan doa setelah shalat dengan doa, 'Ya Allah berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingatmu (dzikir), dan mensyukurimu (syukur) serta beribadah dengan baik kepadamu (husni ibadatika).'

Yang ketiga, kesempurnaan ibadah. Beribadah kepada Allah merupakan isi wasiat terakhir Nabi kepada sahabat Muadz, setelah berdzikir dan bersyukur. Dalam urusan ibadah bukan kaifiatnya saja yang harus disesuaikan dengan tuntutan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ruh dan pengaruh dari ibadah itu sendiri yang menjadi inti dari wasiat Nabi tersebut.

Kita tidak hanya dituntut untuk melaksanakan peragaan ibadah, baik itu shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya. Akan tetapi, lebih daripada itu, kita dituntut untuk membuktikan ruh dan pengaruh dari ibadah itu dalam kehidupan keseharian, berupa akhlak mulia, menampilkan sikap dan perilaku yang islami.

Muhammad Rasyid Ridlo dalam tafsirnya menyatakan, ibadah apa pun dari setiap ibadah yang baik, hendaklah ada pengaruhnya dalam wujud akhlak mulia pada diri orang yang melakukannya disertai kebersihan jiwanya.

Jika terdapat bentuk pengamalan ibadah, kosong dari ruh, itu seperti halnya foto manusia atau patung manusia, dan itu tidak disebut dengan manusia. Ibarat bebegig di sawah, ternyata burung-burung bukan menjauh dari tanaman padi, tetapi justru malah mendekat bahkan hinggap di atas pundak bebegig itu. Karena burung tahu kalau bebegig itu bukan manusia, tetapi orang-orangan. Demikian juga dengan manusia yang beribadah, seharusnya setan itu merasakan segan dan tidak mau mendekat kepada orang yang beribadah. Yang terjadi justru ibadah itu sendiri yang menjadi kambing hitam.

Ada orang yang mencuri, padahal dia rajin shalat di masjid. Ada orang yang korupsi, padahal dia seorang haji. Ada orang yang ketahuan berbuat zina, padahal dia rajin zakat. Seolah-olah tidak ada guna dan manfaatnya ibadah yang dilakukannya.

Lantas ada orang yang menanyakan, untuk apa shalat, untuk apa zakat, dan untuk apa haji ?
Yang salah bukan ibadahnya, tetapi orang yang beribadahnya. Bisa jadi kebanyakan umat Islam itu, seperti burung beo yang pandai mengucapkan assalamualaikum tanpa pernah tahu dan mengerti maksud ucapannya tersebut.

Yang perlu diketahui bersama, tata cara pelaksanaan shalat yang dicontohkan Nabi itu termasuk kategori aturan shalat dan bukan target shalat. Sama halnya meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami istri itu termasuk aturan shaum dan bukan target shaum. Pergi ke Mekkah, tawaf mengelilingi Kab'bah, sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melontar jumrah di Mina, hakikatnya itu semua adalah aturan haji dan bukan target haji. Adapun target dari ibadah tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Target ibadah shalat. Dalam Surat Al-Ankabut ayat 45 Allah SWT. berfirman,

    اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

    Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Alkitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

    Ayat ini menjelaskan, target dari ibadah shalat itu dapat menghentikan berbagai bentuk kejahatan dan kemunkaran. Semakin merajalelanya kemunkaran dan kejahatan itu merupakan indikasi bahwa umat Islam sangat kurang perhatiannya terhadap shalat atau kurang memahami shalat dengan artian sesungguhnya. Dalam Al-Qur'an digambarkan, ada dua kemungkinan hasil dari ibadah shalat, yaitu ada yang mendapatkan keuntungan (muflihun) dan ada pula yang mendapatkan kecelakaan (wayluri). Mereka yang lupa dari shalatnya, yaitu lupa dari janji yang telah diucapkan di waktu shalat. Tidak mampu menghayati dan meresapi isi dan kandungan yang ia baca dan ucapkan ketika shalat.
  2. Target ibadah zakat. Tidak setiap orang yang mengeluarkan hartanya mendapat imbalan pahala, bahkan bisa saja mendapat siksa jika niatnya untuk risywah (suap). Dalam Al-Qur'an dijelaskan, bagaimana Allah melipatgandakan pahala orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah, yaitu bagaikan satu biji menjadi tujuh tangkai, dan satu tangkai menjadi seratus tangkai. Berarti, sama dengan satu dilipatgandakan menjadi 700 menjadi 700 x 100 persen, sama dengan 70.000 persen. Namun digambarkan pula dalam Al-Qur'an ketika seseorang berinfak, diikuti dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, mereka tidak memperoleh apa-apa dari pengorbanan hartanya, dan digambarkan bagaikan tanah yang disimpan di atas batu yang licin, kemudian datang hujan lebat sehingga tidak tersisa sedikit pun.
    Target dari ibadah zakat adalah membersihkan jiwa dari sifat rakus, yang tidak peduli halal atau haram dalam meraihnya, dan tidak memiliki kepeduliaan sosial, khususnya terhadap fakir miskin. Selain itu, sebagai sarana untuk membersihkan harta dari kemungkinan perolehan yang tidak dibenarkan oleh agama. Dengan demikian, apa yang kita makan, betul-betul halalnya dan ini akan membuat jiwa kita tenang dan merasa aman dan nyaman.
  3. Target ibadah shaum. Perintah ibadah shaum tidak hanya untuk meninggalkan makan dan minum, tetapi dengan shaum diharapkan mampu meningkatkan kualitas ketakwaan seseorang. Dalam hadits Nabi SAW. digambarkan ada dua kemungkinan hasil dari ibadah shaum. Pertama, banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali merasakan lapar dan haus saja. Kedua, ada yang melaksanakan ibadah shaum, kemudian ia mendapatkan jaminan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat bahkan sekaligus mendapatkan tiga medali, yaitu medali rahmat (kasih sayang Allah), medali magfirah (ampunan dari Allah), dan medali itgun minan nari (bebas dari api neraka).
  4. Target ibadah haji. Ibadah haji merupakan puncak pelaksanaan rukun Islam yang lima dan dilakukan dalam bentuk pertemuan umat Islam sedunia. Di Padang Arafah yang luas, dengan pakaian khusus tanpa atribut, yaitu dua helai pakaian yang tidak berjahit laksana kain kafan. Saat itu tidak ada gelak tawa, yang ada hanya jerit tangis dan cucuran air mata. Semuanya sadar, dirinya adalah hamba Allah yang penuh dengan dosa.
    Sepertinya hal ini mengingatkan kita ke alam masyhar, yakni akan berkumpul manusia semenjak Nabi Adam AS. sampai akhir zaman tanpa ada penghalang gunung atau lautan. Ketika itu semua orang sadar bahwa ia harus mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah dan harus menerima apa pun keputusannya. Dengan ibadah haji diharapkan membuat orang sadar untuk mengingatkan dzikrullah sebagai persiapan bekal menghadapi hari pembalasan. Mengingat Allah SWT. layaknya kita mengingat jasa dan peran para orang tua dan keluarga kepada kita semua. Bahkan keharusan mengingat Allah SWT. harus lebih banyak dan lebih besar daripada kita mengenang jasa orang tua dan keluarga.***
[Ditulis oleh KH. ACENG ZAKARIA, Ketua Bidang Tarbiyyah PP. Persis dan pimpinan Pesantren Persis 99 Rancabango Garut. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 28 April 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Al-Qur'an, adalah kitab suci umat Islam. Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantara Malaikat Jibril AS.

Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW. adalah sebagaimana yang terdapat dalam Surat Al-'Alaq ayat 1-5.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Al-Qur'an tidak diturunkan secara tiba-tiba dari langit dalam bentuk buku. Melainkan secara periodik dan sistematik yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Terdiri dari 30 Juz, 114 surat, dan 6.236 ayat (bukan 6.666).

Mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan baik dapat menghibur kesedihan hati, menenangkan jiwa yang gelisah dan melunakkan hati yang keras, serta mendatangkan petunjuk. Demikian besar mu'jizat Al-Qur'an sebagai wahyu ilahi, yang tak bosan-bosan orang membaca dan mendengarkannya. Malah semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada Al-Qur'an.

Bila Al-Qur'an dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik dan merdu akan lebih memberi pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkannya dan bertambah imannya. Berikut ini bagaimana keadaan orang Mu'min tatkala mendengarkan bacaan Al-Qur'an itu, yang digambarkan oleh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Anfaal ayat 2 :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, Nabi Muhammad SAW. mendengarkan Abu Musa Al Asy'ari membaca Al-Qur'an sampai jauh malam. Sepulang beliau dirumah, beliau ditanya oleh isteri beliau Aisyah RA., apa sebabnya pulang sampai jauh malam. Rasulullah menjawab, bahwa beliau terpikat oleh kemerduan suara Abu Musa Al Asy'ari membaca Al-Qur'an, seperti merdunya suara Nabi Daud AS.

Di dalam riwayat, banyak sekali diceritakan, betapa pengaruh bacaan Al-Qur'an pada masa Rasulullah terhadap hati orang-orang kafir yang setelah mendengarkan bacaan Al-Qur'an itu. Tidak sedikit hati yang pada mulanya keras dan marah kepada Muhammad SAW. serta pengikut-pengikutnya, berbalik menjadi lunak dan mau mengikuti ajaran Islam.

Rasulullah sendiri sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Qur'an dari orang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Abdullah Ibnu Mas'ud menceritakan, "Rasulullah berkata kepadaku, `Hai Ibnu Mas'ud, bacakanlah Al-Qur'an untukku !` Lalu aku menjawab, `Apakah aku pula yang membacakan Al-Qur'an untukmu, ya Rasulullah, padahal Al-Qur'an itu diturunkan ROBB kepadamu ?` Rasulullah menjawab, `Aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur'an itu dari orang lain.` Kemudian Ibnu Mas'ud membacakan beberapa ayat dari Surat An Nisaa'. Maka tatkala bacaan Ibnu Mas'ud sampai kepada ayat 41,

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul dan nabi) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu);

Sedang ayat itu sangat mengharukan hati Rasulullah, lalu beliau berkata : `Cukuplah sekian saja, ya Ibnu Mas'ud !` Ibnu Mas'ud melihat Rasulullah meneteskan air matanya serta menundukkan kepalanya. (HR. Bukhori)

Pada laman ini Anda dapat juga mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an secara online. (Pilih surat apa yang akan didengar atau mendengarnya dari awal sampai akhir.)


Bagi yang ingin memasukkan Al-Quran ke dalam blog seperti di atas tadi, berikut ini cara untuk memasangnya :
  1. Login ke akun blogger Anda,
  2. Pada dasbor klik rancangan lalu klik Tambah Gadget dan pilih HTML/JavaScript,
  3. Copy kode berikut ini,

  4. Paste-kan di dalam kolom HTML/JavaScript tadi,
  5. Klik simpan dan lihat hasilnya.
Semoga bermanfaat.***

[Sebagaimana dikutip dari sumber tulisan di http://arkan-indo.blogspot.com/ ]
by
u-must-b-lucky
Dalam menjalani kehidupan saat ini yang sangat lekat dengan kemaksiatan serta hal-hal lain yang menyebabkan diri ini semakin jauh dari Allah SWT. untuk itu diperlukan kiat-kiat perbaikan sebagai usaha untuk semakin dekat dan semakin kenal kepada Allah SWT.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan (amal shaleh) baik lelaki maupun wanita, dalam keadaan beriman, maka baginya kehidupan yang lebih baik." (QS. An-Nahl : 97)

Sebaik-baik manusia adalah, yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.

"Hitung-hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung." (Umar bin Khattab)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. Al-Hujuraat : 15)
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi..." (QS. Al-Anfaal : 60)

Siapa saja yang berbuat (to create process and product) kebajikan maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya (memanfaatkannya). Allah mencintai orang yang selalu bekerja dan berusaha.

Tidak seorangpun yang akan memperoleh kehidupan yang lebih baik daripada orang yang memperoleh penghasilan dengan tangannya sendiri. Nabi Daud pun memperoleh nafkah penghidupan dari tangannya sendiri.

Barang siapa yang memudahkan urusan seorang muslimin, Allah akan memudahkan urusannya di hari kiamat.

"Orang yang cerdas ialah yang menghisab dirinya dan berbuat untuk kepentingan sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsunya." (Hadits)

Setiap manusia hendaknya selalu memperhatikan apa, siapa, ke arah mana dan bagaimana dirinya dalam pentas kehidupan ini. Dengan mengetahui semua hakikat jawaban itu niscaya ia akan mendapatkan setengah dari makna kehidupan itu sendiri. Dan tatkala ia telah menemukan siapa dirinya, maka yang muncul ke permukaan kesadaran adalah kerapuhan dan kelemahan dirinya di hadapan bentangan alam kehidupan yang bermula dari dunia sampai tak berujung di negeri akhirat nanti. Dengan demikian, manusia sejati adalah manusia yang selalu menyadari kelemahan dan kerapuhan dirinya sehingga ia selalu berusaha terus menerus memperbaiki diri, sampai ia datang ke hadapan Penguasa kehidupan ini Allah SWT. dengan penuh ketenangan :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr : 27-30)

Sesungguhnya inti perbaikan diri adalah pembersihan jiwa (tazkiyatunnafs), yang apabila sang jiwa sudah bersih maka unsur pembentuk diri yang lainpun akan ikut terkoreksi.
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mencemarkannya." (QS. As-Shams : 9-10)

Dan proses menyucikan jiwa harus menyeluruh, dalam arti, bahwa pembersihan jiwa merupakan perbaikan seluruh dimensi kepribadian yang membentuk diri kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa.

Perbaikan diri hendaknya mengarah kepada kesuksesan dan kejayaan hidup sesuai dengan perspektif Al Qur’an. Bila kita merujuk Surah Al-Hajj ayat 77,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan."

Dari ayat tersebut diatas jelaslah Allah memberikan gambaran bahwa kesuksesan itu dapat diraih melalui dua pilar kegiatan :
  1. Meningkatkan hubungan dengan Allah SWT. melalui serangkaian ibadah yang berkualitas.
  2. Meningkatkan kinerja ‘amal khoir, yang berorientasi pada kemaslahatan hidup dan kehidupan ummat.
Sesungguhnya, dengan mengacu kepada kedua pilar itu arah kejayaan hidup menjadi sangat terang dan jelas, dan langkah-langkah perbaikan diri dapat dikembangkan berdasarkan kedua pilar tersebut dalam rangka mempersiapkan diri meraih kesuksesan dan kejayaan.

Berikut ini Langkah-Langkah Perbaikan Diri tersebut meliputi :

Perbaikan Ruhiyah
Perbaikan aspek ini penting dilakukan untuk meningkatkan pengendalian diri (nafsu) menghadapi segala rangsangan kehidupan dunia yang menggiurkan maupun ancaman kehidupan yang mengguncangkan. Inti perbaikan ruhiyah adalah meningkatnya hubungan dengan Allah SWT. melalui serangkaian kegiatan hati, lisan dan amal perbuatan. Dengan meningkatknya hubungan dengan Allah SWT., maka akan didapatkan banyak hal positif :
  1. Kemudahan mendapat ilmu sebagaimana firman Allah SWT.,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
    "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 282)
  2. Kemudahan menganalisis segala fenomena kehidupan sebagaimana firman Allah SWT.,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
    "Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfaal : 29)
  3. Kemudahan menemukan pemecahan masalah sebagaimana firman Allah SWT.,
    وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
    "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. At-Talaaq : 4)
  4. Kemudahan mendapatkan jalan keluar sebagaimana firman Allah SWT.,
    فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
    "Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. At-Talaaq : 2)
  5. Kemudahan mendapatkan fasilitas kehidupan sebagaimana firman Allah SWT.,
    وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
    "Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. At-Talaaq : 3)
  6. Keberkahan hidup sebagaimana firman Allah SWT.,
    وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
    "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"," (QS. Al-A'raaf : 172)
  7. Ketenteraman hati.
Sebaliknya, kerenggangan hubungan dengan Allah SWT. akan mendapatkan kehidupan yang sempit (ma’isyatan dhonka). Oleh karena itu hal yang segera harus ditegakkan dalam membina hubungan dengan Allah SWT. adalah peningkatan kualitas kewajiban fardhu dan memperkayanya dengan amal nawafil.

"Bila hamba-Ku mendekati Aku dengan sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika mendekat kepada-Ku sehasta Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika datang kepada-Ku berjalan, Aku datang kepadanya berjalan cepat." (Hadits Qudsi)

Perbaikan ruhiyah dalam perspektif tazkiyatunnafs Imam Ghazali mengikuti urut-urutan sebagai berikut :
  1. Muroqobah : jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. sehingga ia selalu takut berbuat segala sesuatu yang menimbulkan kemarahan-Nya.
  2. Muhasabah : jiwa yang selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan segala amalannya dalam perspektif kehidupan akhirat.
  3. Mu’aqobah : jiwa yang selalu menghukum dirinya apabila terlanjur khilaf berbuat maksiyat (salah).
  4. Mujahadah : jiwa yang selalu sungguh-sungguh dalam beramal ibadah.
Perbaikan Tsaqofiyah
Peningkatan kualitas diri seseorang sejajar dengan keluasan wawasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Rasulullah SAW. mewajibkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Belajar tiada henti. Tuntutlah ilmu, dari ayunan hingga liang lahat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujaadilla : 58)

Sebaiknya setiap kita meningkatkan pengetahuan dasar tentang :
  1. Fiqhul ibadah, dengan memperbandingkan berbagai pendapat mazhab.
  2. Manhaj ikhwan melalui serangkaian referensi utama dan penunjang.
  3. Pandangan Islam terhadap Ekonomi, Politik, Sosial, Psikologi, Seni Budaya, Hukum dan Keluarga.
  4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer.
  5. Perkembangan sosial, budaya, hukum dan politik kontemporer.
Di sisi lain, setiap al akh hendaknya menguasai secara baik satu bidang ilmu yang menjadi core competencenya, sehingga orang dapat merujuk kepadanya mengenai permasalahan yang menjadi kompetensinya.

Perbaikan Fisik / Jasmani
"Sesungguhnya Allah lebih menyukai orang mu’min yang kuat ketimbang orang mu’min yang lemah." (Hadits)

Tentu saja perbaikan diri juga menyentuh aspek fisikal, karena tubuh yang kuat dan sehat merupakan modal utama untuk berbuat banyak hal yang bermanfaat. Tubuh yang kuat merupakan salah satu karakteristik utama dalam kepemimpinan (leadership). Allah SWT. menyebutkan hal tersebut dengan istilah :
  1. Qowwiyul amien (kuat dan terpercaya) sebagaimana firman Allah SWT.,
    قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
    "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya"." (QS. Al-Qasas : 26)
  2. Bashthotan minal ‘ilmi wal jism (mumpuni dalam ilmu dan jasad). (Tholut)
Dan Imam Syahid Hasan Al Banna mewasiatkan kepada para kader ikhwan agar selalu menjaga kesehatan tubuh dengan melakukan pemeriksaan kesehatan (medical check up) paling tidak setiap 6 bulan sekali dan menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman yang cenderung melemahkan tubuh. Dengan tubuh yang sehat dan bugar maka kualitas amal ibadah dan amal khidmah kita akan semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya.

Perbaikan Sikap dan Keterampilan Produksi
Perbaikan diri yang tidak kalah pentingnya adalah yang terkait dengan sikap dan keterampilan dalam bekerja, karena dengan bekerjalah Allah akan memberikan balasannya (jazaa’an bima kanuu ya’malun).

Bekerja dalam konteks amal sholeh harus memperhatikan efisiensi dan efektifitas yang pada gilirannya akan melahirkan produktivitas. Untuk dapat bekerja secara produktif diperlukan sikap mental produktif.

Allah suka apabila kalian bekerja, maka ia bekerja dengan rapih ...

"Allah menetapkan kepada kalian agar bekerja dengan ihsan." (Al Hadits)

Sebagaimana Allah berfirman,
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
"dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya," (QS. An-Najm : 39)

Bagi seorang laki-laki ada manfaat dari apa yang ia usahakan, dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Allah berfirman,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisaa : 32)

Ada jaminan bagian untuk orang yang berusaha dan bekerja keras. Firman Allah SWT.,
جَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِّلسَّائِلِينَ
"Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya." (QS. Fussilat : 10)

Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, sehingga bangsa itu mengubahnya sendiri. Simak firman Allah SWT.,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd : 11)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan. Sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini :
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
"sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Ash-Sharh : 6)

Allah telah menciptakan manusia dan menguatkan persendiannya. Sebagaimana firman Alllah,
نَّحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ ۖ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا
"Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka." (QS. Al-Insaan : 28)
فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ
"Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan." (QS. Al-Qaari'a : 6-7)

Gambaran Al-Qur’an tentang sikap produktif dalam bekerja diperjelas dengan kisah-kisah para nabi yang bekerja sesuai dengan kemampuannya, namun mencerminkan sikap mental dan perilaku yang sangat produktif. Lihat kisah :
  1. Nabi Musa bekerja kepada Nabi Syu’aib.
    قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
    "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"." (QS. Al-Qasas : 27)
  2. Nabi Khaidir menegakkan rumah yang roboh.
    فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
    "Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu"." (QS. Al-Kahf : 77)
  3. Nabi Daud membuat baju besi.
    وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ
    أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ ۖ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

    "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Saba : 10-11)
  4. Nabi Nuh membuat bahtera.
    وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ إِنَّهُم مُّغْرَقُونَ وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِّن قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ ۚ قَالَ إِن تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ
    "Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)." (QS. Hud : 37-38)
  5. Nabi Dzulqarnain membuat dinding besi.
    قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا
    آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا

    "Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu"." (QS. Al-Kahf : 95-96)
Seorang pakar SDM menyebutkan bahwa ciri-ciri individu yang produktif adalah :
  1. Secara konstan selalu mencari gagasan-gagasan yang lebih baik dan cara penyelesaian tugas yang lebih baik lagi.
  2. Selalu memberi saran-saran untuk perbaikan secara sukarela.
  3. Menggunakan waktu secara efektif dan efisien.
  4. Selalu melakukan perencanaan dan menyertakan jadwal waktu.
  5. Bersikap positif terhadap pekerjaannya
  6. Dapat berlaku sebagai anggota kelompok yang baik sebagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik.
  7. Dapat memotivasi dirinya sendiri melalui dorongan dari dalam.
  8. Memahami pekerjaan orang lain yang lebih baik.
  9. Mau mendengar ide-ide orang lain yang lebih baik.
  10. Hubungan antar pribadi dengan semua tingkatan dalam organisasi berlangsung dengan baik.
  11. Sangat menyadari dan memperhatikan masalah pemborosan dan biaya-biaya.
  12. Mempunyai tingkat kehadiran yang baik (tidak banyak absen dalam pekerjaannya).
  13. Seringkali melampau standar yang telah ditetapkan.
  14. Selalu mempelajari sesuatu yang baru dengan cepat.
  15. Bukan merupakan tipe orang yang selalu mengeluh dalam bekerja.
Perbaikan Hubungan Sosial (Ittishol Ijtima’iyah)
Perbaikan diri seorang da’i akhirnya bermuara pada hubungannya dengan komunitas masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar mendapat perhatian yang tinggi dalam Islam, terlihat dari bagaimana Allah SWT. dan Rasulullah SAW. memandang masalah ini dalam konteks hubungan dengan tetangga sebagai komunitas masyarakat yang paling dekat jarak dan interaksinya dengan kita.

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
"...Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu..." (QS. An Nisa : 36)

Ibnu Umar dan Aisyah RA. berkata keduanya, "Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam kelompok ahli waris seorang muslim." (HR Bukhori Muslim)

Abu Dzarr RA. berkata, bersabda Rasulullah SAW., "Hai Abu Dzarr jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan tetanggamu." (HR Muslim)

Abu Hurairah RA. berkata, bersabda Nabi SAW., "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." Ditanya, "Siapa ya Rasulullah ?" Jawab Nabi, "Ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya." (HR Bukhori, Muslim)

Abu Hurairah RA. berkata, bersabda Nabi SAW., "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah tidak mengganggu tetangganya." (HR. Bukhori, Muslim)

"Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar bukanlah ummatku."

"Allaahumma inni as alukal huda wattuqaa wal ’afaafa wal ghina" (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu semoga engkau berkenan memberikan petunjuk, ketaqwaan, kehati-hatian, dan perasaan cukup.) (HR Muslim)

Waallohu a'lam

[Sumber tulisan : http://aa-wirabumi.abatasa.com/]

by
u-must-b-lucky
Masalah hutang merupakan peristiwa biasa yang sering dijumpai di dalam kehidupan masyarakat. Hutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain, kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang berhutang, di antaranya karena tidak seimbangnya antara pemasukan finansial dan kebutuhannya, terjadinya kebangkrutan, tertimpa musibah, dan bisa karena memperturutkan keinginan hawa nafsunya saja.

Hutang adalah masalah yang sangat mengikat bukan saja selagi manusia hidup di dunia, tetapi beban hutang juga akan berlanjut sampai di akhirat. Bahkan, Rasulullah SAW. enggan menyalatkan orang meninggal dunia yang masih memiliki ikatan hutang.

Dari Jabir bin Abdillah RA., berkata, "Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengafaninya dan memberi wangi-wangian. Kemudian kami letakkan untuk dishalatkan oleh Rasulullah SAW. di tempat khusus jenazah Maqam Jibril. Kemudian azan shalat pun berkumandang. Beliau pun datang bersama kami dengan melangkah pelan kemudian bersabda, 'Barang kali rekan kalian ini punya hutang ?' Mereka menjawab, 'Ya, dua dinar !' Maka Rasulullah pun mundur, beliau berkata, 'Shalatkanlah rekan kalian ini.' Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah, 'Wahai Rasulullah hutangnya yang dua dinar itu atas tanggunganku !' Maka Rasulullah SAW. berkata kepadanya, "hutang itu menjadi tanggunganmu ? Tertanggung dari hartamu ? Dan si mayit terlepas daripadanya ?' Abu Qatadah menjawab, 'Ya !' Maka Rasulullah SAW. pun menyalatinya dan setiap kali Rasulullah bertemu dengan Abu Qatadah beliau selalu berkata, 'Apakah hutang dua dinar itu telah engkau lunasi ?' Hingga pada akhirnya Abu Qatadah mengatakan, 'Aku telah melunasinya wahai Rasulullah.' Maka Rasulullah berkata, 'Sekarang barulah segar kulitnya !'" (HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi)

Allah SWT. dan Rasul-Nya mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap hutang, karena
  • Pertama, hutang dapat menghalangi seseorang untuk berjihad. "Ketika Nabi SAW. sampai di jalan, berdiri di tempat orang yang akan pergi ke medan jihad, terdengarlah panggilan yang didengar oleh seluruh manusia, 'Wahai manusia, barang siapa yang mempunyai hutang janganlah ikut perang. Karena kalau nanti gugur, dan tidak mempunyai tinggalan untuk membayarnya, hendaklah ia pulang saja. Jangan ikut aku, karena ia tidak akan pulang dalam keadaan cukup.'" (HR. Razim, dari Abu Darda)
  • Kedua, hutang dapat menjadi penghalang masuk surga. Dari Muhammad bin 'Abdullah bin Jahsy RA., berkata, "Rasulullah SAW. bersabda, 'Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh fi sabilillah kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh sementara ia punya hutang, maka ia tidak akan masuk surga hingga terlunasi hutangnya.'" (HR. An-Nasa'i, Ahmad, dan Hakim)
  • Ketiga, hutang merupakan bendera kelemahan dan kehinaan. Jika Allah menghendaki kehinaan seorang, maka Allah lilitkan hutang kepadanya. Dari Ibnu Umar, Nabi SAW. bersabda, "hutang adalah bendera milik Allah di atas bumi, jika Dia menghendaki kehinaan seorang hamba-Nya maka ditaruhlah (hutang tersebut) di lehernya." (HR. Hakim)
  • Keempat, Rasullah SAW. mempersamakan hutang dengan kekufuran. Abi Sa'id Al Khudri RA., menyatakan, "Rasulullah bersabda, 'Aku berlindung kepada Allah dari kekufuran dan hutang.' Seorang sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah engkau samakan antara kekufuran dan hutang ?' Rasulullah bersabda, 'Ya.'" (HR. An-Nasai dan Hakim)
Mengingat besarnya pengaruh hutang bagi kebaikan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat sepantasnya kita berhati-hati terhadap masalah hutang.
  • Pertama, berusaha sekuat tenaga menghindari hutang, karena terbebas dari hutang akan mendatangkan kebebasan dan ketenangan. Ibnu Umar berkata, "Saya mendengar Rasulullah memberi wasiat kepada seseorang dengan ucapan beliau, 'Minimalkan (kurangilah) dosamu niscaya akan memudahkan kematianmu dan minimalkanlah hutang niscaya kamu hidup bebas tanpa ikatan.'" (HR. Baihaqi)
  • Kedua, bila hendak berhutang, hendaklah kita berpikir ulang, apakah memang sudah kebutuhan mendesak atau sekadar keinginan. Bila memang harus berhutang bisakah kita melunasinya. Karena jiwa orang yang berhutang akan terkatung-katung hingga ia melunasinya. Abu Hurairah berkata, "Rasulullah SAW. bersabda, 'Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena hutangnya, sampai ia dibayarkan.'" (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  • Ketiga, bila terpaksa berhutang usahakan memiliki harta lain yang dapat diuangkan (dijual). Hal itu dapat digunakan untuk melunasi hutangnya manakala dia meninggal sebelum melunasi hutangnya. Diriwayatkan dari Abi Musa Al-Asy'ari, beliau berkata telah bersabda Rasulullah SAW., "Siapa saja yang mengambil harta kawannya (meminjamnya) lalu mati dan tidak meninggalkan sesuatu untuk menggantinya maka sungguh ia telah membuka pintu dosa besar." Nabi SAW. bersabda, "Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah setelah dosa-dosa besar yang terlarang adalah seseorang yang mati dengan tanggungan hutang tanpa meninggalkan sesuatu untuk melunasinya." (HR. Abu Daud)
  • Keempat, mencatat sekecil apa pun yang menjadi hutang kita, sebagaimana firman Allah SWT.,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
    "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya." (QS. Al-Baqarah : 282)
  • Kelima, bersegera melunasi hutang bila sudah mampu untuk melunasinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang." (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam.***

[Ditulis oleh H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah RW.07 Kel. Sarijadi Kec. Sukasari Kota Bandung, Ketua Rumah Amal Al-Hikmah Wara Amal Rumah Amal Salman ITB. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 21 April 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky