Pada hari ini blog kita telah diberi angurah SETETES EMBUN AWARD yang dipersembahkan oleh Sobat Blogger Bekasi.

Semoga pemberian anugerah award ini semakin memacu blog ini untuk tetap eksis dalam jagad blogsphere, semakin kokoh dengan jati dirinya dan semakin memberikan kesejukkan laksana tetesan embun yang jatuh pada pagi hari buat teman-teman semua.

Selanjutnya Award ini akan saya persembahkan kepada semua Temen Baik blog ini, yang telah dengan setia menemani menyusuri waktu serta mewarnai blog kita ini dalam perjalanan mengarungi jagad maya ini.

This Award Dedicated for :
  1. Sobat Blogger Bekasi =>Pemberi Award<=
  2. Herman Blog
  3. Trash and Entrepreneurs
  4. Shirayuki Sama
  5. RezDown7
  6. Blog Anuurang
  7. ISL Corner
  8. Memed Darlovers
  9. Hidden Tech. Community
  10. Ary Blog
  11. jack in the box
  12. Web Hosting
  13. Deras84
  14. Catatan Teknisi
  15. MoEsRyAdI bLoG's
  16. SOLUSI MASTER
  17. EMPTY-90
  18. AzharHammadi Blog
  19. Mydhieekha Blog
  20. Agribisnis Community
  21. Ad4m San™
  22. DuniaTekno
  23. dj-site
  24. kang RAMDHAN
  25. Blogger Fakir
  26. Galeri Kuliner
  27. Cepplux Blog
  28. ERWIN_DIAN
  29. SyahidaComputer
  30. Health & Fitness Info
  31. papatlimo.com
  32. Ladewa's Library
  33. Poed on Girimukti
  34. Artikel Komputer
  35. Sixooninele-InfoUnik
  36. ACHILLES-Blog
  37. Khamza Az zahra's Blog
  38. Betawi Tulen
Buat teman-teman yang mau berpartisipasi dalam mewarnai serta sudi meneteskan inspirasinya untuk blog ini, Silahkan berikan Award ini kepada sahabat blogger yang lain.

Keep smile and happy blogging. Jazakumullah khoiron katsiron.

SALAM UKHUWAH !!


by
u-must-b-lucky

Sumber segala ilmu adalah Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an, banyak kita temui ayat-ayat yang memicu manusia untuk terus menggali dan mencari ilmu-ilmu, terutama ilmu agama, juga banyak kita temui ayat-ayat retorik, seperti, "Apakah kamu tidak berakal ?", "Apakah kamu tidak berpikir ?"

Al-Qur'an bukan hanya untuk dibaca, tetapi menjadi fungsi bagi diri kita. Paling prinsip adalah tidak hanya memahami makna Al-Qur'an tetapi bagaimana Al-Qur'an itu betul-betul berfungsi bagi diri kita. Karena banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kegunaannya bagi kehidupan manusia.

Pertama, yang dinamakan Al-Qur'an adalah hudallinnaas. Al-Qur'an merupakan pedoman hidup bagi manusia. Tampaknya khusus bagi kita di Indonesia, sudah mengenal Al-Qur'an serta sudah terbiasa membaca Al-Qur'an. Akan tetapi, apakah Al-Qur'an telah menjadi petunjuk bagi diri kita ? Barangkali susah dan sulit kita menjawabnya.

Kedua, fungsi Al-Qur'an itu adalah walfurqon, bukan hanya sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, tetapi juga sebagai pemisah. Sebagai pembeda dan pemisah antara yang benar dan yang salah, antara yang hak dan batil. Tidak mungkin orang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kalau orang tersebut tidak mengerti dan tidak memahami Al-Qur'an.

Rasulullah SAW. pernah menyampaikan, ketika orang tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman bagi hidupnya, maka bukan hanya Islam ini akan ketinggalan, tetapi yang dikhawatirkan adalah di mana obatnya penyakit masyarakat.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Syihab, Rasulullah SAW. pernah menyampaikan, "Aku khawatir terjadi tiga perkara yang akan menimpa komunitas bangsa dan komunitas masyarakat di manapun." Kemudian para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang engkau khawatirkan ?"
  • Pertama, zaalatul 'aalimin, yaitu penyimpangan yang dilaksanakan oleh para ulama, lantas ulama tidak berfungsi sebagai warosatul anbiya kembali. Ulama tidak lagi menjadi penerang bagi umat, tidak lagi menjadi panutan masyarakat dan bangsanya, bahkan yang paling dikhawatirkan, ulama telah menyimpang dari keulamaannya.
  • Kedua, wahukmun zairin, yakni supremasi hukum yang tidak jelas, tidak mencerminkan keadilan. Dalam hadits dikatakan, para sahabat beramai-ramai mendatangi Rasul ketika ada seorang ibu mencuri. Rasul membaca ayat Al-Qur'an,
    وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ
    Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (QS. Al-Maaida : 38)

    Ada salah seorang sahabat yang melakukan interupsi kepada Rasul dan mengatakan bahwa ibu itu mempunyai suami dan anak yang banyak. Mendengar interupsi yang disampaikan oleh sahabat tadi, Rasul mulai memerah wajahnya, tangannya pun bergetar. Lantas Rasul mengatakan,
    Hai, tahukah kamu, hancurnya masyarakat dan bangsa pada masa lalu ? Kamu harus tahu, manakala orang terhormat, orang yang mulia, pejabat mencuri, ia bebas tanpa hukum. Akan tetapi, manakala orang kecil mencuri, ia pasti babak belur kena hukum. Maka hancur bangsa ini kalau sudah demikian.

    Rasul berkata,
    Demi Allah, andaikan putri saya yang wanita, Fatimah, mencuri, yang akan memotong tangannya bukan orang lain tetapi saya sendiri yang akan memotong tangannya.
  • Ketiga, yang dikhawatirkan Rasul adalah wahwan muttaba'un, manusia sudah mengikuti nafsunya masing-masing. Menurut Rasul, kalau setiap orang sudah mengikuti hawa nafsunya masing-masing, dia akan berbuat sesuai dengan apa yang dia kehendaki. Dia akan berperilaku apa saja yang dia kehendaki. Kalau sudah demikian, susah bagi umat Islam untuk bersatu dan menunjukkan kekuatan.
    Betapa unggulnya orang-orang yang berilmu yaitu orang yang mau menggunakan akal pikirannya untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya, kemudian mereka terjebak dalam hidup serba "santai".
    Padahal hidup ini bukan hanya di dunia tetapi berlanjut pada kehidupan akhirat. Allah SWT. sangat memuji orang-orang yang menggunakan akal pikirannya dan Allah SWT. mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.
    Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujaadila ayat 11,
    اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
    Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

    Sayyid 'Alawi ibn Ahmad Assaqofi dalam Fawaidhul Makiyah, menerangkan bahwa Allah mengangkat para ulama pada hari kiamat atas semua orang yang beriman dengan tujuh ratus derajat dan di antara dua derajat lima ratus tahun.
    Ayat di atas sangat jelas sekali bahwa orang yang berilmu itu sangat unggul. Hal ini karena ilmu sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahkan, kita beribadah sebagai jalan menuju Allah SWT. memerlukan ilmu (ilmu agama) yang sumbernya adalah Al-Qur'an. Apabila kita beribadah tidak disertai dengan ilmu maka ibadah kita tidak sempurna.
Wallahua'lam bissawab. ***

[Ditulis oleh M. SURIPPUDDIN ABDURROCHIM, Ketua DKM. Ar-rahim, Guruminda, Bandung dan khatib Jumat beberapa masjid di Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 27 Mei 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky

Apabila kita menyaksikan televisi, khususnya infotainment, akan dengan mudah menyaksikan kasus-kasus talak (perceraian) di antara selebriti. Ada kesan bahwa Islam dengan mudah menghalalkan perceraian, berbeda dengan agama lain yang malah mengharamkan perceraian.

Perlu diketahui, hidup berumah tangga laksana episode kehidupan dunia lainnya, tak selamanya dihiasi dengan senyum, bahagia, atau suka. Sering terjadi sebaliknya ketika bahtera rumah tangga dihantam gelombang sehingga terjadi konflik, percekcokan, adu mulut, bahkan kekerasan fisik antara suami dan istri.

Pernikahan hendaknya diniatkan untuk bisa langgeng selamanya, sepanjang hidup di alam fana ini dalam naungan rahmat Allah SWT. Rencana dan niat untuk menceraikan istri pada saat pernikahan adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran Islam.

Islam sangat menekankan pentingnya melestarikan dan melanggengkan pernikahan. Islam mengajarkan agar segala macam usaha dan langkah preventif harus ditegakkan agar bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. Namun, ketika ada persoalan yang tak bisa ditoleransi atau terjadi puncak konflik rumah tangga, Islam juga memberikan pintu darurat bernama talak atau perceraian.

Jalan perceraian yang diatur Islam bukanlah untuk menambah kesengsaraan dan kepahitan hidup, tetapi ikhtiar untuk menghindarkan diri dari kehancuran total dan kesengsaraan berlarut-larut. Oleh karena itu, media perceraian hanya boleh diakses setelah yang bersangkutan berusaha melakukan berbagai langkah, seperti nasihat, mengangkat dua hakim dari keluarga suami dan istri, pisah ranjang, sanksi nafkah, dan lain-lain.

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa : 11)

يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An Nisaa : 28)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An Nisaa : 34)

نْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An Nisaa : 35)

Sungguh tepat nasihat yang menyatakan,
Kalau Anda berpikir sepuluh kali untuk menikah, maka berpikirlah seribu kali untuk bercerai.

Allah SWT. tidak senang bahkan murka kepada seseorang suami yang dengan mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya. Setiap perceraian hampir pasti melahirkan berbagai kemudaratan (kesengsaraan), berupa putusnya tali silaturahmi antara dua keluarga, penderitaan bagi kaum wanita, telantarnya anak-anak, penderitaan batin bagi lelaki, dan lain-lain.

Islam tidak hanya membuat aturan yang ketat tentang kemungkinan terjadinya talak, melainkan juga memberikan pintu bagi terjadinya rujuk.

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaaq : 4)

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzaab : 49)

Hal itu sejalan dengan semangat ajaran Islam bahwa pada dasarnya pernikahan adalah untuk selama-lamanya dan tidak diakhiri dengan perceraian.

Untuk menghindari adanya perceraian, hendaknya sebelum melangsungkan pernikahan harus mempertimbangkan secara mendalam baik melalui musyawarah maupun shalat istikharah mengenai kecocokan hidup sebagai pasangan suami dan istri. Ajaran agama harus menjadi dorongan sekaligus membentengi keutuhan keluarga.

Pasangan calon suami dan istri harus meniatkan diri membangun keluarga atas dasar ibadah. Pernikahan bukan untuk melampiaskan nafsu seks, bersenang-senang, mencari harta warisan, apalagi untuk menyakiti pasangan hidupnya.

Selain bagian dari ibadah, pernikahan juga hendaknya diposisikan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak. Apabila kita tidak melaksanakan amanah, bisa dinilai sebagai perbuatan khianat yang dapat mendatangkan murka Allah.

Nabi Muhammad sendiri menegaskan, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik kepada istrinya. Pernyataan ini memberikan gambaran dan pelajaran kepada setiap Muslim maupun Muslimah mengenai indikator kesalehan, ketakwaan, dan keimanan seseorang ketika bisa berbuat terbaik kepada pasangannya.

Nabi sendiri memberikan teladan yang sangat indah. Dalam keadaan dan posisi apa pun, Nabi selalu menampilkan diri sebagai suami dan ayah yang baik. Tugas dan kewajiban Nabi sebagai pemimpin, pendakwah, panglima, pedagang, dan lain-lain senantiasa tidak mengurangi kesungguhannya sebagai suami dan ayah yang baik.

Ajaran yang selalu ditekankan Nabi kepada umatnya, salah satunya adalah pembinaan keluarga; berarti awal kesuksesan pembangunan di masyarakat. Perhatian Islam akan pentingnya pembangunan sebuah masyarakat yang baik dan negara yang bermutu serta dipenuhi ampunan Allah (baldatun thayyibatun warabbun ghofur), tidak akan bisa dilaksanakan apabila tidak menyentuh pembinaan di setiap keluarga.

Pembentukan generasi yang saleh dan salehah, cerdas, kreatif, dan mandiri, juga tak bisa dilepaskan dari upaya membentuk keluarga yang berkualitas (hasanah thayyibah). Semua itu bermula dari penegakkan nilai-nilai agama yang akan berdampak kepada upaya mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah.***

[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI. Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad-Dakwah, juga Pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 26 Mei 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky

BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA
NASTA'IN

(11) ISTIQAMAH

Allah befirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah', kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikatakan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian'. (QS. Fushshilat : 30)

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami ialah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqaf : 13-14)

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah istiqamah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (QS. Hud : 112)

Allah telah menjelaskan bahwa istiqamah merupakan kebalikan dari sikap yang melampaui batas.

Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang paling lurus dan jujur serta yang paling istiqamah dalam umat ini pernah ditanya tentang makna istiqamah. Maka dia menjawab, "Artinya, janganlah engkau menyekutukan sesuatu pun dengan Allah." Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid yang murni.

Umar bin Al-Khaththab juga berkata, "Istiqamah artinya engkau teguh hati pada perintah dan larangan dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah."

Utsman bin Affan berkata, "Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Allah."

Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas berkata, "Istiqamah artinya melaksanakan kewajiban-kewajiban."

Al-Hasan berkata, "Istiqamah pada perintah Allah artinya taat kepada Allah dan menjauhi kedurhakaan kepada-Nya."

Mujahid berkata, "Istiqamah artinya teguh hati pada syahadat bahwa tiada Ilah selain Allah hingga bersua Allah."

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Istiqamah artinya teguh hati untuk mencintai dan beribadah kepada-Nya, tidak menoleh dari-Nya ke kiri atau ke kanan."

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Sufyan bin Abdullah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga aku tidak lagi bertanya lagi kepada seseorang selain engkau."

Beliau menjawab, "Katakanlah, 'Aku beriman kepada Allah', kemudian istiqamahlah."

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Tsauban Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

Istiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak bisa membilangnya. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang memelihara wudhu' kecuali orang Mukmin.

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

Ikutilah jalan lurus dan berbuatlah apa yang mendekatinya. Ketahuilah bahwa sekali-kali salah seorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya." Mereka bertanya, "Tidak pula engkau wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab, "Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia-Nya.

Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun semua sendi agama. Beliau memerintahkan istiqamah, jalan lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan di dalam hadits Tsauban beliau mengabarkan bahwa mereka tidak mampu melakukannya. Maka beliau mengalihkannya kepada muqarabah, atau mendekati istiqamah menurut kesanggupan mereka, seperti orang yang ingin mencapai suatu tujuan. Kalau pun dia tidak mampu mencapainya, maka minimal dia mendekatinya. Sekalipun begitu beliau mengabarkan bahwa istiqamah dan apa yang mendekati istiqamah ini tidak menjamin keselamatan pada hari kiamat. Maka seseorang tidak boleh mengandalkan amalnya, tidak membanggakannya dan tidak melihat bahwa keselamatannya tergantung pada amalnya, tapi keselamatannya tergantung dari rahmat dan karunia Allah.

Istiqamah merupakan kalimat yang mengandung banyak makna, meliputi berbagai sisi agama, yaitu berdiri di hadapan Allah secara hakiki dan memenuhi janji. Istiqamah berkaitan dengan perkataan, perbuatan, keadaan dan niat. Istiqamah dalam perkara-perkara ini berarti pelaksanaannya karena Allah, beserta Allah dan berdasarkan perintah Allah. Sebagian orang arif berkata, "Jadilah orang yang memiliki istiqamah dan janganlah menjadi orang yang mencari kemuliaan, karena jiwamu bergerak untuk mencari kemuliaan, sementara Rabb-mu memintamu untuk istiqamah."

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Kemuliaan yang paling besar adalah mengikuti istiqamah."

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, istiqamah merupakan ruh, yang karenanya keadaan menjadi hidup dan juga menyuburkan amal manusia secara umum. Istiqamah merupakan penyekat antara dua hal yang ada di bawah dan yang di atas.

Dia menyerupakan istiqamah dari suatu keadaan seperti ruh bagi badan. Sebagaimana badan yang tidak memiliki ruh sama dengan mayat, maka keadaan yang tidak memiliki istiqamah tentu akan rusak. Karena kehidupan keadaan hanya dengan istiqamah, maka tambahan dan pertumbuhan amal orang-orang yang zuhud hanya dengan istiqamah.

Istiqamah diserupakan dengan penyekat antara dua hal yang berbeda, antara yang di atas dan yang di bawah. Orang yang berada di permukaan yang tinggi tentu bisa melihat yang dekat maupun yang jauh, berbeda dengan orang yang berada di tempat yang permukaannya lebih rendah. Dengan kata lain, bahwa orang yang berjalan kepada Allah, pada mulanya dia berada di permukaan yang lebih rendah, lalu dia berjalan menuju tempat yang lebih tinggi, istiqamah dalam perjalanannya, agar dia benar-benar sampai ke puncaknya. Istiqamahnya merupakan penyekat dan batas antara tempat permulaan perjalanannya dan tempat tujuannya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat istiqamah, yaitu :
  1. Istiqamah dalam usaha untuk melalui jalan tengah, tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan tidak menyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara :
    • Amal dan usaha yang dimungkinkan.
    • Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
    • Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.
    • Kehendak untuk mengesakan sesembahan, yaitu ikhlas.
    • Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-Sunnah.
    Lima perkara inilah yang menyempurnakan istiqamahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi keluar dari salah satu di antaranya, berarti mereka keluar dari istiqamah, entah keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya orang-orang salaf menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah dalam amal dan berpegang kepada As-Sunnah. Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan juga mengintainya. Jika dia melihat suatu indikasi ke bid'ah di dalamnya dan berpaling dari kesempurnaan ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar tidak berpegang kepada As-Sunnah. Jika syetan melihat hasrat yang kuat terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan mampu mempengaruhinya untuk mengeluarkan nya dari As-Sunnah. Maka ia memerintahkannya untuk terus berusaha, lalu bersikap sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, "Ini merupakan kebaikan dan ketaatan. Semakin semangat dalam berusaha, semakin menyempurnakan ketaatan itu." Begitulah yang terus dibisikkan syetan hingga dia keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah keadaan golongan Khawarij yang melecehkan orang-orang yang istiqamah, dengan membandingkan shalat, puasa dan bacaan Al-Qur'an di antara mereka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dari As-Sunnah ke bid'ah. Yang pertama keluar ke bid'ah pengabaian dan yang kedua keluar ke bid'ah kelewat batas.
  2. Istiqamah keadaan, yaitu mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya.
    Dengan kata lain, istiqamah keadaan dilakukan dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat, maka hakikat itu ada dua macam : Hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan hakikat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya. Mayoritas pemerhati masalah perilaku dari muta'akhirin mengartikan hakikat ini adalah hakikat alam. Kesaksiannya merupakan kesaksian kesendirian Allah dalam perbuatan. Sedangkan selain Allah merupakan tempat obyek hukum dan perbuatan-Nya, seperti halnya tempat landai yang menjadi sasaran aliran air. Menurut mereka, kesaksian hakikat ini merupakan tujuan orang-orang yang berjalan kepada Allah. Kesaksian hakikat ini tidak bisa dilakukan dengan keberuntungan, karena keberuntungan merupakan kehendak nafsu. Sementara hakikat tidak akan muncul selagi ada nafsu.
    Perkataan, "Menolak bualan dan bukan ilmu", bualan ini berarti mengaitkan keadaan kepada dirimu dan egoismemu. Istiqamah tidak akan menjadi benar kecuali dengan meninggalkan bualan ini, entah benar entah salah. Sebab bualan yang benar bisa memadamkan cahaya ma'rifat. Lalu bagaimana jika bualan itu jelas dusta ? Lalu pendorong untuk meninggalkan bualan ini bukan sekedar pengetahuan tentang keburukan bualan dan dampaknya yang bisa menghilangkan istiqamah, sehingga seseorang meninggalkannya hanya sekedar di luarnya saja dan bukan secara hakiki. Dia harus meninggalkannya secara lahir dan hakiki, sebagaimana seseorang yang meninggalkan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya secara lahir dan hakiki. Perkataan, "Berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya", artinya terus-menerus sadar dan cahayanya tidak boleh padam karena kegelapan kelalaian, dan melihat bahwa dirinya seperti orang yang hendak dirampas, namun mendapat penjagaan dari Allah, dan tidak melihat bahwa hal itu merupakan kewaspadaannya sendiri.
  3. Istiqamah dengan tidak melihat istiqamah, tidak lengah untuk mencari istiqamah dan keberadaannya pada kebenaran.
    Melihat istiqamah diri sendiri bisa menutupi hakikat kesaksian dan melalaikan apa yang dipersaksikannya. Sedangkan tidak lengah mencari istiqamah artinya tidak lengah mencari kesaksian penegakan kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allah-lah yang menegakkan segala urusan dan istiqamahnya berasal dari Allah, bukan berasal dari dirinya dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah yang mendatangkan istiqamah itu. Ini merupakan konsekuensi dari kesaksian terhadap asma Allah "Al-Qayyum" artinya keyakinan bahwa hanya Allah sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selain-Nya, tapi semua selain-Nya tentu membutuhkan-Nya.
[Berikutnya....(12) Tawakkal]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

by
u-must-b-lucky
Hidup ini ibarat berada dalam antrean. Setiap orang akan mendapat giliran untuk dipanggil oleh Allah SWT. Sebelum dipanggil, kita diberi kesempatan untuk beramal. Amal perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan di depan Allah SWT. pada suatu saat nanti. Dengan amal perbuatan yang baik, kita berharap bisa dicintai Allah SWT.

Ada beberapa amalan yang bisa membuat kita dicintai Allah, di antaranya,
  1. Pertama, shalat tepat waktu. Setiap manusia hendaklah mendirikan shalat sebagai tanda penghambaannya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah,

    وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al Bayyinah : 5)
    Dalam mendirikan shalat, waktunya telah ditentukan. Jadi, tidak sembarang waktu. Begitu juga dalam datangnya waktu shalat, ukurannya bukan jam, tetapi apakah sudah masuk waktunya shalat. Dalam hal ini, waktu shalat jamnya bisa berubah dari waktu ke waktu. Misalnya, waktu shalat jatuh pada pukul 11.35 WIB. Akan tetapi, pada kesempatan lain, bisa jatuh pukul 12.05 WIB.
    Supaya kita dicintai Allah, tentu kita harus mendirikan shalat tepat waktu. Jangan sampai menunda-nunda yang akhirnya waktu shalat habis.
  2. Kedua, berbakti kepada orang tua. Orang tua merupakan wakil Allah di muka bumi. Dengan demikian, keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua. Mengingat pentingnya keberadaan orang tua, maka kita harus berbakti kepada orang tua.
    Berbakti kepada orang tua tentu saja banyak bentuknya. Misalnya, menyenangkan hati orang tua, sering berkunjung atau menemui orang tua, kalau diperintah, cepat dilaksanakan, hormat dan taat, dan memberi makanan yang disukainya sesuai dengan kemampuan. Berbakti kepada orang tua, selain pada saat orang tua masih ada, juga ketika orang tua sudah meninggal dunia. Cara yang bisa dilakukan di antaranya, banyak mendoakan orang tua, terus bersilaturahmi dengan teman orang tua semasa masih hidup, melakukan sedekah atas nama orang tua, dan menjadi anak yang saleh.
  3. Ketiga, silaturahmi. Melakukan silaturahmi ini sangat dianjurkan karena dengan silaturahmi akan menambah rezeki dan panjang umur. Begitu juga dengan melakukan silaturahmi akan memperluas pergaulan. Semakin luas pergaulan seseorang, maka akan semakin mudah dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana firman Allah,

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.... (QS. Al-Hujuraat : 13)
  4. Keempat, tidak menyia-nyiakan waktu. Hidup tidak lepas dari ruang dan waktu. Dengan waktu yang tersedia, kita bisa melakukan berbagai aktivitas atau pekerjaan. Berdasarkan waktu, manusia dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yakni
    • Orang yang celaka, yaitu orang yang apabila hari ini lebih jelek daripada hari kemarin.
    • Orang yang merugi, yaitu orang yang apabila hari ini sama dengan hari kemarin.
    • Orang yang beruntung, yaitu orang yang apabila hari ini lebih baik daripada hari kemarin.
    Kaitan dengan waktu dalam kehidupan manusia, Allah SWT. telah berfirman,

    وَالْعَصْرِ
    إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
    إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

    Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Asr : 1-3)
  5. Kelima, tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu bisa mendorong kita melakukan aktivitas atau pekerjaan. Hawa nafsu ini ada tiga, yaitu hawa nafsu yang baik, antara baik dan buruk, dan hawa nafsu yang tidak baik. Hawa nafsu jangan sampai dibunuh, tetapi harus diarahkan. Oleh karena itu, hawa nafsu harus diarahkan pada hawa nafsu yang baik.
    Ada dua hal yang mempengaruhi hawa nafsu, yaitu malaikat dan setan. Malaikat yang menyuruh atau mendorong kita untuk mengikuti hawa nafsu yang baik. Sementara setan yang menggoda kita untuk mengikuti hawa nafsu yang tidak baik. Salah satu cara mengendalikan hawa nafsu, yakni dengan melakukan puasa, baik puasa wajib pada bulan Ramadhan maupun puasa sunat Senin-Kamis atau puasa Daud (selang sehari). Persempitlah jalan setan dengan menjalankan puasa.
  6. Keenam, bersungguh-sungguh taat kepada Allah. Dalam melaksanakan ibadah, jangan sampai hanya gugur kewajiban. Dalam beribadah, berbakti, atau taat kepada Allah harus dilakukan dengan segera dan serius. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

    فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
    Maka bersegeralah kembali kepada (menaati) Allah, sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (QS. Adz-Dzaariyaat : 50)
    Kita diperintahkan menyembah Allah dengan betul-betul taat kepada-Nya dalam menjalankan agama yang benar. Tidak menjalankan ajaran agama di luar Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebagaimana firman Allah,

    وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah : 5)
  7. Ketujuh, memperbanyak dzikir kepada Allah. Dzikir artinya ingat. Dzikrillah berarti ingat kepada Allah. Kita dianjurkan untuk ingat kepada Allah, baik di kala berdiri maupun pada waktu berbaring. Dengan ingat kepada Allah, kita akan selalu berniat dan melakukan yang baik. Begitu juga ketika ingat kepada Allah akan terhindar dari perbuatan jahat.
    Walaupun ada kesempatan untuk berbuat jahat dan tidak ada orang yang melihatnya, maka kita akan mengurungkan melakukannya karena Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui apa yang kita perbuat. Sebagaimana dalam firman Allah,

    فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
    Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jum'ah : 10)
Wallahu a'lam.***

[Ditulis oleh H. SUKMANA, Jemaah Masjid Baiturrahim Kompleks Riung Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 20 Mei 2011 pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Allah SWT. itu pencemburu, bahkan tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecemburuan-Nya.

Asma' binti Abu Bakar RA. meriwayatkan, suatu saat beliau mendengar Rasulullah SAW. bersabda, "Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah 'azza wajalla." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kecemburuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya timbul, tatkala hamba-hamba-Nya itu melakukan perkara yang melanggar terhadap syariat yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Abu Hurairah RA. meriwayatkan, Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya Allah itu pencemburu dan seorang Mukmin juga pencemburu. Kecemburuan Allah itu terjadi bila ada seorang hamba datang kepada-Nya dengan perbuatan yang diharamkan-Nya." (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain dari

Abdullah bin Mas'ud RA., beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda, "Tidak ada satu pun sosok yang lebih menyukai pujian kepada dirinya dibandingkan Allah. Oleh sebab itulah, Allah-pun memuji diri-Nya sendiri. Tidak ada seorang pun yang lebih punya rasa cemburu dibandingkan Allah, dikarenakan itulah maka Allah-pun mengharamkan perkara-perkara yang keji." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kecemburuan adalah kebencian yang timbul akibat disamakan dengan yang lain dalam hak-haknya. Kecemburuan merupakan bagian dari cinta. Tanpa ada kecemburuan, maka cintanya pantas untuk dipertanyakan. Oleh karena itu, kecemburuan Allah merupakan bukti bahwa Allah SWT. mencintai hamba-hamba-Nya.

Allah tidak menghendaki hamba-hamba-Nya celaka, tetapi justru menghendaki mereka itu mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Selain itu, adanya kecemburuan yang melekat pada-Nya merupakan peringatan kepada kita sebagai hamba-Nya agar tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan kecemburuan Allah SWT. Sebab, bila seseorang melakukan hal yang dicemburui-Nya, akan menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan cinta-Nya, bahkan akan mendapatkan kebencian dan kemurkaan Allah SWT.

Untuk itu, Allah SWT. menurunkan Al-Qur'an, mengutus rasul-Nya, dan menjanjikan surga serta keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti syariat yang telah ditetapkan-Nya, agar manusia tidak terjeremus pada perbuatan yang diharamkan, sesuatu yang membuat Allah SWT. cemburu. Selain itu, Allah SWT. membuka pintu tobat bagi orang yang menyadari kekeliruannya dan ingin kembali menggapai cinta-Nya.

Sebagai seorang hamba Allah, sudah sepantasnya kita meneladani akhlak-akhlak Allah SWT. Rasulullah SAW. memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk, untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya.

Beliau bersabda, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah."

Meneladani kecemburuan Allah SWT. merupakan bagian yang disyariatkan dalam agama Islam. Bahkan Rasulullah SAW. menyatakan bahwa kecemburuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akhlak seorang Mukmin.

Rasulullah SAW. bersabda, "Seorang Mukmin itu pencemburu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Cemburu demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar tegaknya amar makruf nahi mungkar. Bila tidak terdapat kecemburuan dalam hati seorang yang beriman, maka sudah dipastikan tidak ada motivasi untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jika hal ini terjadi, maka Allah akan menurunkan siksa secara merata kepada kita sekalian.

Rasulullah SAW. bersabda "Tidaklah satu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka, tetapi ia tidak melakukannya melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka." (HR. Tirmidzi)

Dalam hadits lain,

Rasulullah SAW. bersabda, "Kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, atau (kalau tidak) Allah akan mengirim hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, namun Dia tidak mengabulkan doa kalian." (HR. Tirmidzi)

Umat Islam adalah umat yang satu, jika pada umat itu tersebar kerusakan dan fitnah, maka kita wajib merasa cemburu dan kecemburuan itu hendaknya membangkitkan diri untuk melakukan perbaikan dan melenyapkan kemungkaran.

Rasulullah SAW. bersabda, "Agama itu adalah nasihat." Kami bertanya, "Kepada siapa ?" Beliau menjawab, "Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada rasul-Nya, dan kepada seluruh umat Muslimin." (HR. Muslim)

Meneladani akan kecemburuan Allah SWT. dapat diwujudkan dengan menumbuhkan kecemburuan pada diri, tatkala melihat saudara-saudara seiman melakukan perbuatan yang menyalahi terhadap aturan agama, sebagaimana cemburunya Allah terhadap orang yang melanggar terhadap syariat-Nya, sehingga ia tidak membiarkan setiap perilaku yang menyimpang terus terjadi. Namun, menumbuhkan ketidaksukaan atau kebencian terhadap kemungkaran dan berusaha mengubahnya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya.

Rasulullah SAW. bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak bisa melakukan dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika ia tidak bisa melakukan dengan lisannya, hendaklah ia melakukannya dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah." (HR. Muslim)

Allah SWT. berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali-Imran : 110)


Meneladani akan kecemburuan Allah juga bisa diwujudkan dengan menjadi pribadi yang bijaksana ketika menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Allah SWT. berfirman,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl : 125)

Wallahu a'lam bissowab.***

[Ditulis oleh H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM. Al-Hikmah RW.07 Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung, anggota Seksi Pendidikan dan Dakwah MUI. Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 19 Mei 2011, pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA
NASTA'IN

(10) TAHDZIB DAN TASHFIYAH

Tahdzib dan tashfiyah ini artinya melebur ubudiyah dalam tungku ujian, untuk menghilangkan segala kotoran dan kerak yang ada di dalamnya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tahdzib merupakan ujian bagi para pemula, yang merupakan salah satu aturan dalam riyadhah." Artinya, tahdzib ini cukup sulit bagi pemula, yang bisa diibaratkan ujian baginya. Tapi tahdzib ini merupakan jalan bagi orang-orang yang sudah melatih dirinya, sehingga mereka sudah terbiasa dengannya.

Menurutnya, tahdzib ini ada tiga derajat :
  1. Mendidik pengabdian, tidak memenuhinya dengan kebodohan, tidak mencampurinya dengan kebiasaan dan tidak menghentikan hasrat. Artinya, pengabdian harus dibersihkan dan dibebaskan dari tiga perkara ini : Memenuhinya dengan kebodohan, mencampurinya dengan kebiasaan dan menghentikan hasrat. Selagi kebodohan memenuhi ubudiyah, maka seorang hamba akan mendatangkan sesuatu yang tidak layak untuk didatangkan kepada ubudiyah, meletakkannya tidak pada tempatnya, mengerjakannya tidak seperti lazimnya, melakukan perbuatan-perbuatan yang diyakininya baik, padahal itu justru merusak pengadian dan ubudiyahnya. Jika pengabdian tidak disertai ilmu, maka ia akan menyimpang dari adab dan hak-haknya, yang justru bisa menjauhkan pelakunya, sekalipun sebenarnya dia bermaksud mendekatkan dirinya. Kalaupun dia tetap mendapatkan pahala dan balasannya, tapi minimal akan menjauhkan dirinya dari kedudukan taqarrub.
    Ubudiyah juga bisa dicampuri kebiasaan yang senantiasa dilakukan, yang kemudian kebiasaan ini dianggap sebagai taqarrub atau ketaatan, seperti seseorang yang terbiasa berpuasa dan dia terus-menerus berpuasa. Kemudian dia mengira bahwa kebiasaannya ini dianggap sebagai ubudiyah. Tandanya yang paling nyata, jika dia ditawari untuk melakukan ketaatan yang lebih ringan dan lebih mudah serta lebih nyata kemaslahatannya, maka dia menolaknya dan meremehkannya, karena dia sudah terbiasa berpuasa terus-menerus. Padahal ini hanya sekedar kebiasaan semata.
    Tanda menghentikan hasrat dalam pengabdian ialah melemahnya hasrat itu. Seorang hamba yang murni dan tulus tidak akan berhenti mengabdi. Bahkan hasratnya lebih tinggi dari sekedar pengabdian, yaitu mendapatkan keridhaan tuannya. Jika hasrat hamba berhenti, maka akan merendahkan kedudukannya.
  2. Mendidik keadaan, yaitu tidak mencondongkan keadaan kepada ilmu, tidak tunduk kepada rupa dan tidak menengok ke bagian.
    Mencondongkan keadaan kepada ilmu ada dua macam : Terpuji dan tercela. Yang terpuji ialah memperhatikan apa yang diperintahkan ilmu dan mengangkat ilmu sebagai hakim atas keadaan. Jika tidak ada kecenderungan seperti ini, maka itu merupakan kecondongan yang tercela dan menjauhkan pelakunya dari Allah. Setiap keadaan yang tidak disertai ilmu, bisa dikhawatirkan merupakan tipuan syetan dan justru menjauhkannya dari Allah, karena dia tidak menghakimi keadaan dengan ilmu, hingga akhirnya dia menyimpang dari hakikat iman dan syariat Islam. Mereka inilah seperti yang dikatakan Al-Junaid bin Muhammad, yaitu ketika ada seseorang yang mengatakan kepadanya, bahwa di antara ahli ma'rifat ada yang tidak mau beramal karena menganggapnya sebagai pengabdian dan taqarrub kepada Allah. Maka Al-Junaid berkata, "Ini adalah anggapan orang-orang yang membebaskan amal anggota tubuh. Bagi saya ini merupakan masalah yang sangat besar. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada orang-orang ini. Sebab orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah seharusnya mengambil amalan dari Allah dan mengembalikan amal kepada-Nya. Andaikan saya hidup seribu tahun, maka saya tidak akan mengurangi pengabdian sedikit pun, kecuali jika memang saya tidak sanggup lagi mengerjakannya." Dia juga pernah berkata, "Semua jalan terhalang dari manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." Adapun kekeliruan yang mereka lakukan, karena hukum-hukum ilmu dikaitkan dengan ilmu, dan hukum-hukum keadaan dikaitkan dengan pengungkapan batin. Orang yang mengandalkan keadaan tidak berada dalam lingkup ilmu dalam menghadapi berbagai hal. Jika digunakan timbangan ilmu, muncul pertentangan antara ilmu dan keadaan. Sementara tidak ada hukum untuk menggugurkan salah satu di antara keduanya. Maka barangsiapa telah mencapai tingkatan pengungkapan batin, namun kemudian dia cenderung kepada hukum-hukum ilmu, berarti dia dipaksa untuk mundur ke belakang. Perhatikanlah ungkapan dan syubhat yang mengandung racun yang ganas ini, yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ma'rifat dan agama tanpa terasa, seperti sehelai rambut yang ditarik dari tepung. Ketahuilah bahwa ma'rifat yang benar adalah ruh ilmu, dan keadaan yang benar merupakan ruh amal yang lurus. Setiap keadaan yang bukan merupakan hasil amal yang lurus, sesuai dengan ilmu, maka kedudukannya seperti ruh yang jahat. Memang tidak dipungkiri bahwa keadaan ruh ini bisa bermacam-macam. Tapi yang harus dipertimbangkan adalah derajat dari keadaan itu. Selagi suatu keadaan bertentangan dengan salah satu hukum ilmu, maka keadaan itu rusak atau kurang dan sama sekali tidak lurus. Ilmu yang benar dan amal yang lurus merupakan timbangan ma'rifat yang benar dan keadaan yang benar. Keduanya seperti dua badan yang menjadi tempat ruh masing-masing. Tidak tunduk kepada rupa artinya tidak ada sedikit pun keduniaan yang menguasai hati dan hati itu tidak tunduk kepadanya.
    Orang yang mempunyai suatu keadaan hanya memohon kepada Dzat Yang Maha-hidup dan tidak selayaknya mengandalkan rupa-rupa yang gemerlap dari keduniaan.
    Tidak menengok ke bagian artinya jika keadaan sudah menjadi sempurna, maka pelakunya tidak boleh larut dalam kegembiraan karena keadaannya itu dan kenikmatannya, karena yang demikian ini merupakan bagian nafsu.
  3. Mendidik tujuan, yaitu dengan membersihkannya dari kehinaan keterpaksaan, menjaganya dari penyakit loyo dan membantunya agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu.
    Membersihkan tujuan dari kehinaan keterpaksaan artinya janganlah dirinya digiring kepada Allah secara paksa, tak ubahnya buruh yang harus tunduk kepada juragan. Tapi seluruh relung hatinya dibawa kepada Allah dengan patuh, cinta dan suka, layaknya aliran air ke permukaan yang rendah. Inilah keadaan orang-orang yang mencinta secara tulus, bahwa ubudiyah mereka itu dilandasi cinta, ketaatan dan keridhaan, yang sekaligus merupakan kegembiraan, kesenangan hati dan kedamaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
    Dan, kegembiraanku dijadikan dalam shalat.

    Begitu pula sabda beliau kepada Bilal,
    Hai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan shalat.

    Tentang kehinaan paksaan di sini terkandung sentuhan makna yang amat lembut, bahwa orang yang taat karena terpaksa, melihat bahwa kalau tidak karena kehinaan paksaan dan hukuman tuannya, tentu dia tidak mau taat kepadanya. Dia membawa ketaatannya seperti orang yang hina di hadapan orang yang memaksanya. Berbeda dengan orang yang mencintai, yang menganggap ketaatan kepada kekasihnya sebagai kekuatan dan kenikmatan serta tidak merasa hina sama sekali. Menjaga tujuan dari penyakit loyo artinya menjaga agar tujuan itu tidak melemah dan api pencariannya tidak padam. Hasrat merupakan ruh tujuan dan semangatnya seperti kesehatan. Sementara keloyoannya merupakan penyakit. Maka mendidik tujuan ialah menjaganya dari sebab-sebab penyakit.
    Sedangkan membantu tujuan agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu artinya membantu tujuan itu dengan penguasaan ilmu secara mendetail dan Linkmenghadapkan seluruh hati kepada Allah. Dengan kata lain, ilmu ini menuntut hamba untuk beramal, yang dilandasi ketaatan, suka rela, mengharapkan pahala dan takut akan siksa.
[Berikutnya....(11) Istiqamah]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

by
u-must-b-lucky