Pada suatu hari, ada seorang kakek yang ditanya oleh seorang anak muda. "Wahai kakek, berapa usia kakek? Berapa anak kakek dan berapa harta kakek?" tanya anak muda itu.
Kakek itu menjawab, "Usiaku 15 tahun, anakku seorang, dan hartaku hanya Rp 15 juta." Spontan anak muda itu menyanggah, "Tidak, kakek itu bohong. Sepengetahuan saya, usia kakek sudah 70 tahun, anak kakek lebih dari seorang, dan harta kakek melimpah ruah. Mengapa kakek mengatakan seperti itu?" Lantas si kakek menjawab, "Benar, Nak apa yang kamu katakan. Tetapi, dari usia saya yang sudah 70 tahun, baru 15 tahun yang benar-benar dimanfaatkan untuk melaksanakan ibadah, sedangkan 55 tahun berlalu sia-sia."
Kakek itu melanjutkan, "Betul, anakku ada lima orang, tetapi hanya seorang yang benar-benar menjadi buah hati, taat beribadah, selalu mendoakan kepadaku, sedangkan yang lainnya tidak pernah melaksanakan ibadah. Demikian pula hartaku memang melimpah ruah, tetapi dari sekian hartaku yang banyak itu baru Rp 15 juta saya gunakan untuk sedekah." 

Rasulullah SAW. menyampaikan pesan kepada kita sekalian agar dapat memanfaatkan sisa umur kita untuk beribadah kepada-Nya.
"Segerakan melaksanakan shalat sebelum datang kematian dan segerakan tobat sebelum terlena/terlambat (ajal tiba)."

Manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, juga manusia tidak mengetahui kapan ajalnya akan tiba dan di tempat mana ajalnya datang. Karena kita harus selalu menyiapkan bekal amal saleh untuk kembali ke hadirat-Nya selagi hayat di kandung badan.

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman :34)

Selain keturunan yang menjadi peringatan bagi kita, kaum Muslimin juga perlu melakukan perenungan terhadap hartanya. Anak dan harta merupakan titipan Allah sebagai karunia dan nikmat yang sangat besar. Sejauh mana kita dapat memanfaatkan nikmat harta yang diberikan Allah untuk mencapai ridha-Nya.

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya. Mereka menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. (QS. Ali Imran : 180)

Kebanyakan manusia selalu bermegah-megahan dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan yang lainnya sehingga telah melalaikan mereka dari ketaatan. Seringkali kecintaan terhadap harta dan anak melalaikan kita beribadah kepada Allah. Berapa banyak orang membanting tulang mencari harta, seolah malam dijadikan siang dan siang dijadikan malam sampai dia lupa beribadah kepada Allah. Inilah golongan orang-orang yang merugi.   

Padahal, anak dan harta untuk menjadi jalan tidak berguna dan tidak bermanfaat jika tidak dibawa sebagai wasilah (jalan perantaraan) untuk beribadah kepada Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman, janganiah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dan mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al Munafiqun : 9)

Dalam ayat lain dinyatakan,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS. Asy Syu'araa : 88-89)

Muhasabah di atas harus berangkat dari kesadaran hati yang paling dalam. Selain dari upaya dan usaha secara lahir, munajat dan doa kita pun turut membantu melahirkan kesadaran introspeksi diri. Tak sedikit anak maupun keturunan kita yang menjadi "fitnah" (ujian) sehingga orang tua harus menderita hanya karena perilaku anak-anaknya. 

Orang tua telah banting tulang mencari nafkah, tetapi anaknya malah menghambur-hamburkan harta itu di jalan yang tidak diridhai Allah.

Bahkan, Al-Qur'an juga menyebut tak jarang anak bisa menjadi musuh bagi orang tuanya sendiri (aduwwun). Kita tentu ingat dengan kisah Nabi Nuh AS. dengan anaknya, Kan'an. Ketika Kan'an malah menolak ajakan menuju jalan kepada Allah bahkan memilih jalan yang sesat.

Dalam dongeng di Indonesia, dikenal adanya tokoh yang menjadi musuh bagi orang tuanya, seperti Malin Kundang. Ketenaran dan harta benda yang melimpah telah membutakan Malin Kundang sehingga tak mengakui ibu yang telah melahirkannya karena ibunya dinilai "kampungan".

Semoga kita bisa menjadikan harta sebagai amanah Allah untuk menjadi jalan berjuang (jihad) di jalan-Nya yakni mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah demi kepentingan kemajuan umat. Al-Qur'an selalu mencantumkan jihad dengan harta (am-waal) mendahului jihad dengan potensi diri (anfus) atau wa-jaahiduu biamwaalikum wa-anfusikum.

Kita juga berdoa agar anak-anak kita menjadi peringatan agar bisa mendidik anak sehingga menjelma menjadi anak yang qur-rata-a'yun (menenangkan dan menenteramkan jiwa orang tuanya).

Amin. ***

[Ditulis oleh KH. HABIB SYARIEF MUHAMMAD, Ketua Yayasan Assalam dan mantan Ketua PWNU Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 30 September 2011 / 2 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
Suatu hari, penulis didatangi seorang dosen di UIN. Sunan Gunung Djati. Dia termasuk dosen senior. "Untuk mengajar saja sungguh berat berlaku istiqamah. Bahkan, lebih sering terlambat masuk ke ruang kuliah," katanya. Lalu, dia melanjutkan, "Mahasiswa juga susah untuk istiqamah. Hari ini mengerjakan tugas, eh... besoknya harus dikejar-kejar agar menyelesaikan tugasnya."

Begitu beratkah untuk berlaku istiqamah? Dari kajian makna, istiqamah setidaknya memiliki tiga arti.
Pertama, istiqamah adalah lurus dan tidak bengkok. Setiap hari kita pasti mengucapkan ihdinash-shiraathal mustaqiim (tunjukkanlah jalan yang lurus). Shirathal Mustaqim adalah jalan yang lurus dan tidak bengkok.

Maknanya, ketika beramal secara istiqamah maka harus dilaksanakan lurus dan benar. Syarat amal masuk kategori lurus dan benar adalah diniatkan ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk : 2)

Dalam ayat di atas terdapat kata ahsanu amalan yang bermakna terbaik secara kualitas. Ulama menyebutnya akhlasuhu wa ashwabuhu yakni amal yang paling ikhlas diniatkan untuk Allah dan yang paling sesuai dengan tuntutan Rasulullah.

Tak heran apabila sebagian ulama memakna ihdinash-shi-raatal mustaqiim sebagai tunjukilah kami jalan menuju keikhlasan di dalam beramal dan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Lalu, Allah juga memaknai shirathal mustaqiim dalam ayat berikutnya yakni "jalan orang-orang yang telah Engkau beri kepada mereka kenikmatan bukan jalan mereka yang Engkau murkai atau jalan mereka yang sesat."

Pertanyaannya, siapa saja yang telah diberi kepada mereka nikmat itu? Sekali lagi Allah memberikan gambaran yakni ayat ditafsirkan dengan ayat lainnya yakni pada QS. An Nissa : 69.

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang menaati Allah dan rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Kedua, istiqamah berarti terus-menerus atau berkesinambungan. Makna istiqamah seperti ini pernah diisyaratkan Rasulullah SAW. dalam beberapa haditsnya yang salah satunya dari istrinya, Aisyah RA. Rasulullah SAW. bersabda,
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan) meskipun sedikit." Al Qasim berkata, "Dan Aisyah, bila ia mengerjakan suatu amalan, maka ia akan menekuninya." (HR. Muslim hadits nomor 1.306)

Di dalam hadits lain disebutkan,
"Beramallah sesuai dengan sunah dan berlaku imbanglah, dan ketahuilah bahwa salah seorang tidak akan masuk surga karena amalannya. Sesungguhnya amalan yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Bukhari hadis nomor 5.983)

Dari kedua hadits itu ada benang merahnya yakni amalan yang terus-menerus atau rutin dilakukan seorang Muslim walaupun sedikit jauh lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi hanya dilaksanakan sekali dan terputus. Ketika bulan Ramadhan kita mampu membaca Al-Qur'an setiap hari satu juz serta terus-menerus sehingga akhir Ramadhan bisa tamat 30 juz. Namun, mengapa membaca Al-Qur'an sebatas bulan Ramadhan? Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya?

Demikian pula dengan amalan shalat malam (shalat Tarawih) yang getol dilakukan setiap malam Ramadhan. Namun, sedikit imbasnya di bulan lain. Ketika Ramadhan menjadikan kita amat menjaga dari barang-barang yang dimakan atau minum meskipun barang itu halal. Namun, mengapa selepas Ramadhan bukan hanya barang halal yang dikonsumsi bahkan yang haram pun dinikmati, baik haram zatnya maupun haram cara mendapatkannya.

Ketiga, istiqamah berarti sesuatu yang bisa mengantarkan sampai tujuan. Seseorang yang beramal ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan berkesinambungan melakukannya maka tidak diragukan lagi dia akan sampai pada tujuan yang selama ini dicita-citakannya. Yakni, husnul khatimah atau baik di akhir hidupnya. Dalam kata lain, meninggal dunia dalam keadaan Muslim, seperti ditegaskan dalam QS. Ali Imran : 102,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan jangan kamu meninggal kecuali dalam keadaan Muslim.

Wasiat untuk khusnul khatimah ini juga pernah diwasiatkan para nabi kepada anak-anaknya, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. dan Nabi Ya'kub AS.

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata) 'Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. Al Baqarah : 132)
Selalu istiqamah di dalam memegang teguh ajaran Islam sampai akhir hayat ini merupakan bentuk dari ketakwaan kepada Allah. Istiqamah memang sulit, tetapi bisa kita raih asalkan mau dibarengi dengan doa kepada Allah SWT.  
Wallahualam. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 29 September 2011 / 1 Zulkaidah 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Keinginan  untuk mengunjungi Baitullah, sepertinya, menjadi semacam fitrah. Di dalam diri setiap Muslim, keinginan itu tebersit dan tumbuh memengaruh jiwa. Jangankan bagi orang yang belum pernah berkunjung, keinginan itu juga muncul di dalam diri orang-orang yang berulang kali pergi ke sana. Rasa rindu yang menggebu mendorong mereka untuk kembali. Apalagi, ketika beribadah di sana, mereka merasakan nuansa dan sensasi yang berbeda.

Sekilas, ibadah haji tak lebih dari sekadar ritus napak tilas terhadap apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya (lalu "dipertegas" oleh Nabi Muhammad SAW.). Para jemaah diharuskan untuk bergerak dari satu tempat lain di Kota Mekah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, siapa sangka, di dalam rangkaian ritus itu ternyata tersimpan sejumlah rahasia untuk diambil sebagai ibrah bagi para jemaah.

Berkaitan dengan hal itu, ada baiknya jika para jemaah memperhatikan sejumlah adab selama menjalankan ibadah haji. Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Almaqdisy telah merangkum adab-adab itu di dalam Kitab Mukhtashar Minhaaj Alqaashidin.

Adab pertama yang harus diperhatikan, para jemaah harus membebaskan diri dari urusan perniagaan, serta utang-piutang yang bisa menyibukkan diri dan mengacaukan konsentrasi ibadah. Dalam hal ini, hendaknya jemaah menyatukan niat hanya untuk ketaatan kepada Allah.

Adab kedua, tidak membawa pelana yang bagus dan mewah. Di dalam konteks kekinian, pelana dimaknai sebagai bekal. Oleh karena itu, saat berhaji, para jemaah tidak diperkenankan membawa bekal, misalnya uang, dalam jumlah berlebih. Bekal yang dibawa cukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan (bukan keinginan) hidup selama berhaji. Tatkala menunaikan ibadah haji, Rasulullah SAW. menunggang hewan dan berbekal pelana yang sudah usang.

Adab ketiga, jemaah harus waspada terhadap perbuatan riya' dan berbangga diri. Dua sifat itu sama sekali tak memberikan manfaat bagi dirinya, malah merusak amal ibadah yang telah ditunaikan. Oleh karena itu, begitu keluar rumah (untuk berhaji), jemaah hendaknya menganggap bahwa dirinya seakan-akan keluar dari dunia membawa kematian, menunggu tibanya hari kiamat.

Adab keempat, saat melepaskan pakaian lalu mengenakan ihram, hendaklah jemaah ingat bahwa seakan-akan dia sedang mengenakan kain kafan.

Adab kelima, saat mengucapkan talbiah, hendaknya jemaah mengharapkan pengabulan dari Allah, berharap agar seruannya diterima. Ketika tiba di Tanah Suci, dia harus mengharapkan perlindungan dari siksa. Harapan dan permohonannya harus dilakukan secara terus-menerus sebab saat itu merupakan saat-saat pengabulan doa.

Adab keenam, ketika melihat Baitulharam (Kabah), hendaknya dia merasakan keagungan-Nya dan mengucap syukur karena digolongkan orang-orang yang bisa berkunjung ke sana. Saat mencium atau melambai ke arah Hajar Aswad, hendaklah ia bersumpah setia kepada Allah untuk taat kepada-Nya.

Adab ketujuh, saat bersa'i antara Safa dan Marwah, jemaah harus menggambarkan dua tempat itu seperti dua timbangan. Dia akan mendatangi dua timbangan itu pada hari kiamat atau sekan-akan dia sedang mendatangi pintu tempat malaikat untuk mengharapkan belas kasih-Nya.

Adab kedelapan, ketika wukuf dan melihat begitu banyak manusia yang berkumpul di sana, bayangkanlah seakan-akan saat itu berada di Padang Mahsyar, saat di mana manusia berkumpul dan memohon syafa'at.

Adab kesembilan, saat melempar jumrah, niatkanlah untuk tunduk kepada perintah, menunjukkan ubudiyah dan ketundukan. Hal itu dilakukan semata karena mengikuti perintah, bukan tujuan lain.

Adab kesepuluh, ketika berkunjung ke Madinah, bayangkanlah bahwa itulah negeri yang dipilih Allah untuk Nabi-Nya saat berhijrah sekaligus menjadikannya sebagai tempat tinggal. Bayangkan pula tempat-tempat yang sering dilalui Rasulullah SAW., bagaimana kekhusyukan dan ketenangan Beliau. Jika berkesempatan menziarahi makam Rasul, bayangkanlah keagungan, kharisma, sosok yang mulia. Lalu, hadirkan pula kebesaran kedudukan Beliau di dalam hati. Ucapkan syalawat dan salam kepada Beliau. Ingatlah, sesungguhnya Beliau mengetahui kehadiran dan salammu.

Mudah-mudahan, sepuluh adab haji dan rahasia-rahasianya ini bisa menjadi bekal dalam perjalanan spiritual yang akan anda lalui. Semoga bermakna dan berkualitas.***

[Ditulis oleh : SAMSUL MA'ARIF, S.Ag., pegiat di Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (el-TAM) dan Pembina Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPR-MI) Kabupaten Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Rabu (Wage) 28 September 2011 / 29 Syawal 1432 H. pada Kolom "DI BALIK RITUS"]

by

u-must-b-lucky
Dalam beberapa hari mendatang, jemaah haji dari seluruh dunia akan "menyerbu" dua kota suci, Mekah Almukarramah dan Madinah Almunawwarah. Jemaah haji Indonesia akan diberangkatkan mulai 1 Oktober 2011 mendatang. Namun, jemaah haji dari negara lain, seperti Malaysia dan Mesir akan berangkat pada minggu keempat September ini.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (ditentukan). Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah : 197)

Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Orang yang berhaji dan orang yang berumrah adalah tamu Allah. Jika mereka berdoa memohon kepada-Nya, niscaya diperkenankan-Nya, dan jika mereka memohon ampun kepada-Nya, niscaya diampuni-Nya." (HR. Ibnu Majah yang bersumber dari Abu Hurairah)

Tentu sebagai tamu harus mengormati dan mematuhi segala aturan dari pemilik rumah. Demikian pula dengan ibadah haji. Kepada para tamu, Allah berpesan agar para tamu dapat menjaga diri dan haruslah membawa bekal terbaik dari tanah airnya. Bekal itu adalah takwa karena bersama nilai-nilai ketakwaan akan tumbuh sikap syukur, sabar, dan ikhlas.

Apabila para tamu Allah hanya berbekal tenaga semata apalagi uang, boleh jadi ia akan bertengkar dan berkelahi apabila saat tawaf dengan mengitari Kabah lalu kakinya terinjak oleh jemaah haji lain, tentu saja ia akan marah-marah. Demikian pula saat tempat shalatnya ternyata "dipersempit" karena tiba-tiba ada jemaah lain yang langsung shalat persis di depannya. Apabila bekal yang diperbanyak adalah bekal rupiah atau riyal, boleh jadi bawaannya hanya ingin belanja saja sehingga ibadah di masjid terlupakan.

Jemaah haji yang berbekal takwa akan tumbuh sikap merasa selalu diawasi Allah (ihsan). Ketika muncul kejengkelan dan kekesalan suami pada istrinya atau sebaliknya, dia akan memahami bahwa Allah tahu sikap yang ada dalam dadanya sekalipun terlihat ramah dan santun.

Ketika tumbuh sikap buruk dan perilaku yang tidak terpuji pada orang lain, Allah pasti mengetahui tamu-Nya yang bersikap tidak baik itu. Ketika tumbuh sikap riya, sombong, dan takabur diantara tamu-tamu-Nya, pasti Allah mengetahui satu per satu siapa yang bersikap tidak terpuji itu. Oleh karena itu, berbahagialah mereka yang berbekal takwa karena pada diri mereka akan tumbuh sikap yang terpuji dan akhlak mulia. Allah berfirman dalam bagian lain QS. Al-Baqarah : 197,
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahui.

Hal ini harus dimaknai pada saat seseorang yang  sendirian di kamar mandi dan ia membersihkan bagian-bagian yang kotornya, tidak perlu disampaikan kepada orang lain karena Allah sudah mengetahui dan mencatat kebaikan itu.
Saat seorang jemaah haji menolong jemaah lain meski tidak mengenalnya, tidak perlu disampaikan kepada orang lain karena Allah telah mengetahui dan mencatat kebaikan itu. Ketika kita berada di Masjidilharam atau Masjid Nabawi lalu berlama-lama dzikir, shalat, membaca Al-Qur'an, berdoa, atau amalan lainnya, tidak perlu dengan sikap riya menyampaikan hal itu kepada orang lain karena Allah dan malaikat-Nya sudah mengetahui dan mencatat kebaikan itu.

Sikap-sikap seperti itu yang dapat menyelamatkan amalan-amalan seseorang dari sikap riya. Allah tidak akan menerima amalan seseorang apabila dilakukan dengan riya atau ingin mendapatkan pujian dari sesama manusia. Selamatkanlah amalan kebaikan dengan ikhlas dan penuh mengharap ridha Allah.

Nabi Muhammad SAW. mengingatkan agar tetap sabar selama berada di Tanah Suci karena kesabarannya kelak akan mendapatkan derajat tertinggi,dan kelak Nabi akan menjadi Saksi dan pembelanya di hari kiamat.

Dari Yuhannas Maula Zubair, Rasulullah bersabda,
"Siapa yang sabar menahan kesusahan dan kesulitan yang dideritanya di kota ini (Tanah Suci), aku akan menjadi saksi atau pembelanya nanti di Hari Kiamat." (HR. Muslim hadits nomor 1.303)

Selamat mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah haji 1432 H/2011 kepada jemaah haji reguler maupun haji plus. Niatkan karena Allah, sebab ayat yang memerintahkan agar berhaji dan berumrah diawali kata karena Allah atau walillaahi.

Semoga perjalanan ibadah haji berjalan aman dan lancar.

Insya Allah! ***

[Ditulis Oleh DEDI MULYASANA, Pembimbing Haji Plus dan Umrah Qiblat Tour serta Guru Besar Universitas Islam Nusantara (UNINUS). Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Selasa (Pon) 27 September 2011 / 28 Syawal 1432 H. pada Kolom "UMRAH & HAJI"]

by

u-must-b-lucky
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk : 15)
Ajaran agama Islam selalu memotivasi setiap hamba-Nya untuk beramal, bekerja, dan mencari nafkah, memerintahkan untuk menyebar ke muka bumi mencari karunia Allah, makanan dari rezeki yang halal dan baik yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. 
Ibnu Abbas RA. berkata,
"Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, 'Barangsiapa yang pada sore hari membawa uang yang banyak dengan hasil jerih payahnya sendiri, maka baginya ampunan Allah.'

Dan dari Miqdad RA. dari Nabi SAW. bersabda,
"Tidaklah seseorang makan makanan sedikit pun lebih baik dari makan yang dihasilkan dari hasil tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud AS. makan dengan hasil tangannya sendiri."

Adapun contoh dari para nabi yang bekerja dan mencari nafkah dan mereka memiliki keahlian untuk mencari rezeki darinya, yaitu Nabi Adam AS. adalah petani (penggarap ladang), Nabi Daud AS. pembuat baju besi dan tameng, Nabi Musa AS. menjadi penggembala pada seseorang yang saleh, Nabi Muhammad SAW. menjadi penggembala dan pedagang. 

Kewajiban umat Muslim dalam bekerja menurut ajaran Islam sebagaimana telah digambarkan di atas, minimal ada beberapa hal:

Pertama, memiliki kapabilitas. Kapabilitas yang dimaksud adalah mampu merealisasikan pekerjaan dengan ilmu yang dimiliki pada bidang pekerjaan yang disandarkan padanya, mampu menunaikan tugas secara baik, dipercaya atas apa yang ditugaskan kepadanya.

Allah SWT. berfirman,
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (QS. Al-Qashash : 26)

Kedua, kerja yang profesional. Islam memotivasi umat Islam untuk kerja yang profesional dalam berbagai sisi kehidupan dan berbagai sarana kerja.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Sesungguhnya Allah mencintai seseorang jika melakukan sesuatu dengan cara profesional."

Seorang pekerja yang ikhlas dan profesional adalah ciri insan yang cerdas dan ahli dalam melakukan sesuatu juga ahli dalam pekerjaannya. Selain itu, mampu menunaikan tugas yang diberikan kepadanya secara profesional dan sempurna, diiringi adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam setiap pekerjaannya, sehingga penuh semangat dalam meraih keridhaan Allah di balik pekerjaannya.

Model pegawai atau buruh seperti yang tidak membutuhkan adanya pengawasan dari manusia, berbeda dengan orang yang melakukan pekerjaan karena takut manusia, sehingga akan menghilangkan berbagai sarana yang ada, melakukan penipuan terhadap apa yang dapat dilakukan. Adapun pegawai yang mukhlis, yang bekerja di bawah perasaan adanya pengawasan oleh Zat yang tidak pernah lengah sedikit pun, dan tidak ada yang tersembunyi atas apa yang tersembunyi di dalam bumi dan di langit.

Ketiga, tawakal kepada Allah SWT. Seorang Muslim dalam pekerjaannya selalu bertawakal kepada Allah, kemudian melakukan sebab-sebab menuju ketawakalan tersebut.

Sebagaimana Umar ketika melewati suatu kaum dia berkata, "Siapakah kalian?"

Mereka berkata, "Orang-orang sedang bertawakal."
Kemudian Umar berkata lagi, "Kalian adalah orang-orang yang sedang bertawakal. Pada sesungguhnya yang dimaksud dengan orang yang bertawakal adalah seseorang yang melemparkan benih ke dalam perut bumi dan kemudian bertawakal kepada Allah."

Keempat, memohon rezeki yang halal dan baik dengan cara yang elegan. Seorang Muslim selalu melakukan pekerjaannya dengan bijak, kerja keras, bersih, dan apik, yakin bahwa rezeki yang telah ditentukan Allah adalah miliknya tidak akan lepas darinya begitu saja.

Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,
"Tidaklah akan diperlambat rezeki salah seorang dari kalian karena Jibril AS. telah memberitahukan dalam jasadku bahwa seseorang di antara kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal) kecuali telah disempurnakan rezekinya; bertakwalah kepada Allah wahai sekalian manusia dan mohonlah rezeki dengan cara yang elegan dan indah; dan jika rezekinya lambat menghampirinya maka janganlah ia mencarinya dengan cara maksiat kepada Allah; karena Allah tidak menyukai karunia-Nya yang diperoleh dengan cara yang maksiat."

Dengan motivasi yang kuat untuk beramal kepada Allah SWT., Insya Allah kita akan dijauhkan dari sifat dengki, picik, dan mau menang sendiri. 

Semoga Allah merahmati setiap langkah dan aktivitas kita. Amin. 

Allahu a'lam bisshawab.***

[Ditulis oleh DEDY SUTRISNO AHMAD SHOLEH, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung dan aktivis beberapa masjid. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Wage) 23 September 2011 / 24 Syawal 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by

u-must-b-lucky
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tujuan Allah SWT. menciptakan manusia adalah hendak menjadikan manusia menjadi waliyullah, karena dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya akan melahirkan kecintaan Allah SWT. dan menjadikannya sebagai waliyullah.

Dalam ajaran Islam, waliyullah merupakan suatu kedudukan yang tinggi lagi mulia. Ia merupakan hamba-hamba pilihan Allah SWT. dan Allah memuliakan mereka dengan memberikan cinta dan karomah-karomah-Nya kepada mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. ia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
"Sesungguhnya Allah SWT. berfirman, 'Barang siapa yang memusuhi kekasih (wali)-Ku, maka Aku nyatakan perang padanya. Sesuatu yang paling Aku sukai yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku adalah amalan yang aku wajibkan kepadanya. Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya." (HR. Bukhari)

Kata wali yang terambil dari akar kata wauw, lam, dan ya makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. (Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, halaman 255)
Dengan demikian, waliyullah adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT., mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, memerintah dengan perintah-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, melarang dengan larangan-Nya, mencintai dengan cinta-Nya, dan marah dengan kemarahan-Nya.

Seorang waliyullah tidak selalu identik dengan gamis dan sorban. Begitu pula dengan kesaktian, ataupun bergelut dalam organisasi keagamaan. Boleh jadi, ia itu seorang pedagang, pengusaha, buruh, atau apa pun pekerjaan dan profesinya, asalkan memiliki kedekatan kepada Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah kepadanya, dan senantiasa melakukan perkara yang sunah, ia layak menyandang predikat waliyullah.

Setiap orang yang beriman dan bertakwa adalah wali Allah. Hanya saja, tingkatan mereka berbeda, bergantung kepada keimanan dan ketakwaannya. Siapa saja yang iman dan ketakwaannya sempurna, maka kedudukannya di sisi Allah SWT. semakin tinggi lagi mulia.

Ketika seseorang hamba melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT. hingga dia sampai pada kedudukan sebagai seorang wali, maka banyak keutamaan-keutamaan yang akan di raihnya, di antaranya Allah SWT. akan menurunkan ketenangan dan ketenteraman ke dalam hatinya, sehingga ia tidak akan merasa khawatir dan bersedih hati dalam hidupnya.

Allah SWT. berfirman,


أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka, berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) jdi akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus : 62-64)

Selain itu, Allah SWT. pasti akan mengabulkan segala permohonannya, jika memang pengabulan itu menjadi kebaikan baginya. Atau menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik darinya, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Sabda Rasulullah SAW. dalam haditsnya yang Beliau riwayatkan dari Allah SWT. yang berfirman,
"Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya." (HR. Bukhari)

Kemudian, Allah SWT. akan menjadi pembela, pelindung, dan akan membalas terhadap orang yang berbuat jahat terhadapnya. Sabda Rasulullah SAW. dalam haditsnya yang Beliau riwayatkan dari firman Allah SWT.,
"Aku pasti balas dendam bagi wali-wali-Ku, seperti balas dendamnya singa yang marah."

Begitu juga Allah SWT. akan memberikan berbagai karomah terhadapnya. Karomah terbesar yang diberikan Allah SWT. kepada orang yang telah sampai pada derajat waliyullah adalah memberikan kemampuan kepadanya untuk konsisten melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan, dan menjauhi hal-hal haram, dan larangan-larangan-Nya.

Mengingat di antara tujuan utama penciptaan manusia adalah menjadi waliyullah dan setiap Muslim berpeluang sama untuk menggapainya, sudah sepantasnya kita berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menggapai kedudukan waliyullah adalah dengan menumbuhkan iradah (kehendak) yang kuat untuk berpegang teguh pada jalan yang membimbing kepada kebenaran. Hal ini direalisasikan dengan senantiasa taat dan tunduk kepada aturan Allah SWT. (Islam) yang dibawa oleh Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW. Dan senantiasa melaksanakan ibadah wajib yang diikuti dengan selalu melakukan ibadah sunah, seperti melakukan shalat rawatib, shalat malam, dan membaca Al-Qur'an.

Allah SWT. berfirman,


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah : 277)

Selanjutnya, untuk meraih derajat waliyullah adalah dengan mencurahkan kasih sayang kepada sesama dan menolong mereka baik yang taat maupun durhaka agar mereka senantiasa berada di jalan Allah SWT. Hal ini dapat direalisasikan dengan melakukan amar makruf nahi munkar.

Allah SWT. berfirman,


وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah : 71)

Rasulullah SAW. bersabda,
"Bantulah saudaramu yang berlaku aniaya dan dianiaya." Para sahabat bertanya, "Ini yang dianiaya, maka bagaimana menolong yang menganiaya?" Nabi SAW. menjawab, "Dengan menghalanginya melakukan penganiayaan." (HR. Bukhari)

Wallahualam.***

[Ditulis oleh H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM. Al-Hikmah Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung, Alumnus Pontren KH. Zaenal Musthafa Sukamanah Singaparna Tasikmalaya. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 21 September 2011 / 23 sYAWAL 1432 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by

u-must-b-lucky
Ramadhan telah berlalu. Namun, suasana silaturahmi dalam acara halalbihalal di setiap instansi atau lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan, demikian terasa gema syiarnya. Bahkan yang sedang tren kali ini adalah serempaknya bewara reunian memanfaatkan momen Syawal. Seusai merayakan hari kemenangan di hari nan fitri setiap 1 Syawal, umat Islam senantiasa merayakannya dengan penuh sukacita. Bukan saja disebabkan oleh telah lulusnya beribadah puasa selama sebulan penuh. Akan tetapi, banyak hal yang menjadikan para ash-shaimun merasa bergembira. Satu di antaranya adalah dapat berkumpulnya para sanak keluarga yang mereka sangat cintai. 

Umat Muslim yang telah melewati masa-masa berpisah karena terhalang libur nasional Lebaran di kalangan para sahabat dekat di lingkungan pekerjaan atau yang telah lama berpisah seperti teman sewaktu di bangku sekolah dahulu pun turut serta memanfaatkan silaturahmi melalui istilah yang dikenal dengan halalbihalal.

Halalbihalal sebenarnya bukanlah terambil dari Al-Qur'an, bukan pula dari Hadits. Bahkan kebiasaan itu tidak dikenal di kalangan orang Arab dan kawasan Timur Tengah. Tidak dikenal pula di negara-negara yang berpenduduk dengan jumlah umat Islamnya mayoritas, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, atau Afganistan. Karena halalbihalal lahir sebagai tradisi kaum Muslimin di Indonesia dalam menyambut Idulfitri (merujuk silaturahmi).

Kata halalbihalal dapat dipandang dari tiga pendekatan.
Pertama, dari aspek hukum. Bahwa dengan melaksanakan halalbihalal, diharapkan akan terciptanya sebuah sikap kita yang tadinya haram/dosa, menjadi halal dan tak berdosa lagi. Yang awalnya tidak saling bertegur sapa menjadi berkomunikasi kembali dengan penuh kehangatan tanpa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati, bahkan harus dengan keridhaan dari lubuk hati yang paling dalam. Sebagaimana Allah tegaskan,

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ

"Fa'fu 'anhum wastaghfir lahum." Maafkanlah mereka /orang-orang sedang diskomunikatif dengan kita, mohonkanlah ampun bagi mereka. (QS. Ali Imran : 159)


Kedua, secara bahasa. Halal diambil dari kata halla atau halala yang mempunyai makna menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, dan melepaskan ikatan yang membelenggu.


Ketiga, menurut tinjauan Al-Qur'an, seperti yang terdapat dalam

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl : 116)


قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS. Yunus : 59)


Yang paling penting, dengan pelaksanaan halalbihalal harus mengedepankan nawaitu yang lurus. Artinya, halalbihalal yang dilaksanakan hendaknya berorientasi kepada arti penting silaturahmi yang pada hakikatnya berlaku sepanjang waktu. Tidak hanya disebabkan datangnya bulan Syawal. Meski memang esensi dari acara maaf-memaafkan dan silaturahmi itu sangat sesuai dengan hakikat Idulfitri. Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 1.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.


Di akhir ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya, dan menjalin tali silaturahmi karena sesungguhnya Allah Zat yang selalu menjaga dan mengawasi kita. Pada Al-Qur'an Surat Ar-Ra'd ayat 21,

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.


Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsier dalam sebuah tafsirnya, yakni orang yang mendapatkan keuntungan di akhirat kelak adalah orang yang selalu mengadakan hubungan silaturahmi, tali persaudaraan, dan berbuat baik. Sebaliknya, orang yang memutuskan tali silaturahmi tidak akan masuk surga (na 'udzubillahi mindzalik), sebagaimana di tegaskan oleh Nabi SAW.,
"Laa yadhulul jannata qaati'un" Artinya, tidak akan masuk surga orang yang suka memutuskan tali silaturahmi. (Al-Hadits)


Hal lain yang harus diperhatikan oleh saudara kita yang melangsungkan acara halalbihalal adalah menjaga lidah kita untuk hanya berbicara yang baik-baik dan tentu saling memaafkan dan mendoakan dengan sesama yang hadir. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah tentang ucapan hari raya, maka beliau menjawab, "Taqabbalallahu minna wa minkum." Artinya, Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian.

Hal ini diperkuat oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, "Taqabbalallahu minna wa minka." Artinya, Semoga Allah menerima amalan kami dan engkau. Bahkan ada juga yang suka menambah lagi dengan ucapan... "shiyaamana wa shiyamakam taqabbal Ya Karim..." Semoga pula amal ibadah puasa kita dan juga puasa kalian diterima oleh Allah Yang Mahamulia.

Adakah hikmah yang bisa didapat dari silaturahmi melalui media halalbihalal? Fahrur Mu'is menjelaskan, beberapa hikmah yang bisa kita petik dari pelaksanaan halalbihalal, yang selama ini dilaksanakan kaum Muslimin di Indonesia, antara lain:
  1. Cinta kepada sesama Muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Hadits Nabi SAW.,
    "Tidaklah sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Membudayakan tebar salam, jabat tangan, dan bertutur kata yang baik. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW.
    "Hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada enam perkara; yaitu apabila kamu berjumpa dengannya hendaklah memberi salam kepadanya. Apabila kamu diundang, penuhilah undangannya itu. Apabila ia meminta nasihat kepadamu, nasihatilah ia. Apabila ia bersin dan memuji Allah, jawablah dengan ucapan yarhamukallah. Apabila ia sakit, hendaklah kau tengok ia. Dan, apabila meninggal dunia, iringilah jenazahnya." (HR. Muslim)
  3. Mempergauli sesama Muslim dengan akhlak yang baik Rasulullah SAW. bersabda,
    "Orang Mukmin yang paling sempuna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya." (HR. Tirmidzi)
  4. Bersikap tawadu kepada sesama Muslim.
  5. Mencari kerelaan sesama Muslim dan saling menolong dalam menegakkan kebaikan dan takwa.

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2)
  6. Menyayangi sesama Muslim dengan menghormati orang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
  7. Saling memaafkan di antara sesama umat Islam.
  8. Mendamaikan dua orang Muslim yang sedang bersengketa.
Tentu dari poin-poin tadi, masih banyak hal yang harus dijauhi oleh orang yang melaksanakan halalbihalal, di antaranya bersikap sombong dan meremehkan orang lain, karena sombong akan merugikan diri bagi pelakunya. Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW. dalam salah satu haditsnya,
"Laa yadkhulul jannata man kaana fii qalbi hii mitsqaala dzarratin min kibrin." Artinya, tidak akan masuk, surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun seberat biji sawi. (HR. Muslim)


Terdapat pula inti dari halalbihalal ialah sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 159,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya saja.

Sementara itu, derajat yang paling tinggi dari memaafkan ialah (Mushafahah) yakni berjabat tangan saling melapangkan dada. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.,
"Maa min muslimaini yaltaqiyaani fayatashaafahani illaa ghufira lahuma qabla an yaftariqa." Artinya, Tiada dua orang Muslim yang bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni dosa-dosanya oleh Allah sebelum mereka berpisah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)


Wallahu a'lam bi ash shawab.***

[Ditulis oleh H. ZAENAL ABIDIN, guru pada Madrasah Aliyah Sirnamiskin Bandung dan dosen PAI di STMIK Mardira Indonesia,Unjani Cimahi,dan SMK Marhas Margahayu. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 16 September 2011 / 15 Syawal 1432 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT")

by

u-must-b-lucky