Sebelas tahun setelah menerima wahyu, oleh Allah SWT., Nabi Muhamad SAW., diperjalankan pada malam hari (Isra) dari Masjidil Haram, Mekah ke Masjidil Aqsa, Jerusalem. Dari sana, diangkat ke langit (Miraj). Menembus batas atmosfir jagat, hingga mencapai ufuk terjauh dan tertinggi (as Sidratul Muntaha). Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur'an Surah Israa: 1, dan An Najm: 1-18.

Perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. dihiasi berbagai kisah fantastis. Penuh dengan contoh-contoh (ibrah), agar manusia (umat Islam) berbuat kebaikan, sekaligus meninggalkan keburukan. Menurut beberapa hadits, segala peristiwa yang disaksikan Nabi Muhammad SAW. itu dijelaskan terperinci oleh Malaikat Jibril AS. yang mendampingi beliau.

Umpamanya, ada sekumpulan manusia yang tak henti-henti memamah daging mentah busuk, penuh belatung. Padahal, di depannya terdapat daging segar yang sudah dimasak sedap. Malaikat Jibril AS. menerangkan, itulah contoh kelakuan para pezina. Mereka sudah disediakan "daging masak" halal, bersih, tetapi masih tergiur "daging mentah" yang haram, kotor, dan berderajat bangkai. 

Di situ Nabi SAW. juga melihat sekelompok orang tak henti-henti mengguntingi lidah sendiri hingga berlumuran darah. Setiap lidah putus, tersambung lagi, lalu digunting lagi. Begitu berulang-ulang. Malaikat Jibril AS. menjelaskan, itulah contoh kelakuan manusia tukang gosip (gibah), penyebar berita bohong (fitnah), pengadu domba, dan pembuka aib orang lain (namimah). Hukumannya di akhirat lebih mengerikan daripada mengguntingi lidah sendiri.

Itulah sebagian kecil dari peristiwa Isra Miraj. Namun, yang terpenting, esensi dari Isra Miraj, adalah makna peran dan fungsi masjid, mengingat perjalanan itu dimulai dari masjid menuju masjid. Kemudian, Nabi SAW. menerima periritah shalat fardhu lima waktu secara langsung tatkala beraudensi dengan Allah SWT.

Dikaitkan dengan kondisi aktual masa kini, dimana umat Islam rata-rata sedang mengalami keterpurukan di berbagai belahan bumi, perlu menyerap kembali spirit Isra Miraj. Bukan hanya sebatas mengagumi keajaiban Isra Miraj yang dialami Nabi SAW., melainkan harus menggali semangat hakikat Isra Miraj. Minimal mengaktualisasikan kembali tiga faktor penting di balik kandungan peristiwa tersebut.

Pertama, peran dan kegunaan masjid. Nabi SAW. berjalan dari satu masjid (al Haram, Mekah) ke masjid lain (al Aqsa, Jerusalem). Dapat ditarik kesimpulan, masjid merupakan tempat mulia, yang harus diutamakan. 

Ketika hijrah ke Yatsrib (Madinah), Nabi SAW. lebih dulu membangun masjid di kawasan Quba. Baru membangun rumah. Ini merupakan sunah yang sering terlupakan. Pada masa kini sering terjadi, umat Islam berlomba-lomba membangun rumah dahuli. Membangun masjid belakangkan. Sering terjadi, rumah sudah berkali-kali direnovasi, masjid masih belum selesai. Padahal, masjid merupakan titik pemberangkatan bagi siapa saja yang ingin mendapat petunjuk Allah SWT.

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Innama yaAAmuru masajida Allahi man amana biAllahi waalyawmi alakhiri waaqama alssalata waata alzzakata walam yakhsha illa Allaha faAAasa olaika an yakoonoo mina almuhtadeena

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)

Kedua, meningkatkan nilai dan tujuan shalat. Salah satu "oleh-oleh" terpenting dari Isra Miraj adalah shalat fardhu lima waktu. Shalat merupakan ibadah paling utama dalam rukun Islam. Setiap Muslim, rajin berpuasa, murah hati mengeluarkan zakat, sedekah, infaq, menunaikan ibadah, tetapi malas melaksanakan shalat fardhu, maka segala kebaikan dan kebajikan tadi menjadi tidak berguna sama sekali. Pasalnya, shalat jati diri setiap Muslim beriman

Perintah shalat dalam Al-Qur'an ditegaskan berkali-kali, sebelum rukun-rukun Islam lainnya. Perintah mengeluarkan zakat, didahului oleh perintah menegakkan shalat (lihat QS. Al Baqarah : 43,83,110,177,277; An Nisa: 77,162; Al Maidah: 12,55; Al-A'raf: 156; At Taubah: 11,18,71; Al Hajji: 41,78; An Nur: 56; An Naml: 3; Luqman: 4; Al Ahzab: 3; Al Mujadalah: 13; Al Muzammil: 29; Al Bayyinah: 5; Maryam: 55; Al Anbiya: 73). 

Shalat juga memiliki peran mencegah kerusakan dan kemunkaran.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُون
Otlu ma oohiya ilayka mina alkitabi waaqimi alssalata inna alssalata tanha AAani alfahshai waalmunkari walathikru Allahi akbaru waAllahu yaAAlamu ma tasnaAAoona

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut: 45)

Akan tetapi, mengapa sekarang amat merebak kejahatan dan kemungkaran? Bahkan para pelakunya mayoritas Muslim? Salah satu penyebabnya, umat Islam belum mampu menegakkan shalat secara benar, baik syarat rukunnya, maupun niat, tujuan serta kekhusyukannya, sehingga tergelincir ke dalam shalat yang bersifat sahun (seadanya, formalitas belaka) dan yuro'un (ingin mendapat pujian manusia, sekadar cari muka). 

Ketiga, menjunjung tinggi keunggulan umat Islam adalah segala bidang kehidupan nyata di dunia, dan kehidupan abadi di akhirat. Melalui Isra Miraj, Nabi Muhammad SAW. sudah membuktikan reputasi Islam secara komprehensif integral. Memegang teguh prinsip tauhid (Allah Maha Esa), pasrah hanya kepada-Nya (Dainunnah lillahi wahdah), dilanjutkan kepada umatnya agar selalu unggul tak terungguli oleh yang lain (al Islamu ya'lu wa la yu'la alaihi). 

Perjalanan Miraj Nabi SAW. ke Sidratul Muntaha merupakan simbol keunggulan tersebut sebab nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya, dari Adam AS. hingga Isa AS., tak pernah diperlakukan seistimewa itu. 

Namun, kenyataan sekarang, umat Islam akhir zaman, seolah-olah tak mampu menyangga amanat tersebut. Bahkan, umat Islam diinjak-injak, dirusak akidahnya, dilecehkan ibadahnya, diganggu muamalahnya, dan digerogoti akhlaknya. 

Umat Islam yang seharusnya menjadi hamba-hamba Allah yang sempurna, paripurna, ahli ibadah yang taat tekun, banyak beramal saleh, aktif, kreatif, menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu meladeni musuh seberapa pun hebatnya  

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولَاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ ۚ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولًا
Faitha jaa waAAdu oolahuma baAAathna AAalaykum AAibadan lana olee basin shadeedin fajasoo khilala alddiyari wakana waAAdan mafAAoolan


Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. (QS. Israa: 5)

Pada kenyataannya umat Islam ternyata tak berdaya. Kalah di segala sektor. Hanya mampu menjadi konsumen, bukan produsen. Sekadar epigon, pengekor, bukan peminpin. 

Padahal, Allah SWT. dan Rasul-Nya, telah menetapkan ketentuan agar umat Islam memiliki kekuatan fisik, material serta mental spiritual. Di antaranya, melalui kekuatan iman dan penguasaan iptek  

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِين أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Ya ayyuha allatheena amanoo itha qeela lakum tafassahoo fee almajalisi faifsahoo yafsahi Allahu lakum waitha qeela onshuzoo faonshuzoo yarfaAAi Allahu allatheena amanoo minkum waallatheena ootoo alAAilma darajatin waAllahu bima taAAmaloona khabeerun

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Mujadallah: 11)

Tampaknya hal ini sudah diabaikan umat Islam. Berdasarkan data-data Islamic World Bank (Bank Dunia Islam) tahun 2006, perilaku generasi muda umat Islam dan umat Yahudi di Timur Tengah, tatkala anak-anak muda Yahudi berdesakan masuk universitas-unversitas termashyur Amerika, seperti Yale, Berkeley, Harvard, MIT, untuk mendapat ilmu-ilmu mutakhir, generasi muda Muslim memadati hotel dan kasino di London, Paris, Pattaya, Kuta, dan Iain-lain. Mereka mabuk minuman keras, diiringi musik dalam dekapan wanita-wanita mata duitan. Ketika para remaja Yahudi terjun ke pusat-pusat saham di WTC, Wall Street, dan lain-lain, remaja-remaja Muslim sedang asyik berjudi di Las Vegas, Monte Carlo, dan lain-lain. Akibatnya, umat Yahudi sudah unggul sebelum bertarung. Menyingkirkan umat Islam yang kalah sebelum siap siaga. 

Jika dikaji dan direalisasikan, tiga nilai saripati Isra Miraj di atas akan menjadi modal dasar umat Islam untuk meraih kembali kejayaannya yang hilang diambil alih orang lain.

Insya Allah.***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk, Garut juga pembimbing haji dan umrah BPIH Megacitra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 31 Mei 2013 / 10 Rajab 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"] 

by 
u-must-b-lucky
Nabi Adam AS. selaku  manusia pertama dan iblis yang diciptakan Allah SWT., sama-sama telah berbuat maksiat kepada Allah SWT. Nabi Adam AS. melakukan kemaksiatan.dengan memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 35 sampai 36,

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ

Waqulna ya adamu oskun anta wazawjuka aljannata wakula minha raghadan haythu shituma wala taqraba hathihi alshshajarata fatakoona mina alththalimeena
Faazallahuma alshshaytanu AAanha faakhrajahuma mimma kana feehi waqulna ihbitoo baAAdukum libaAAdin AAaduwwun walakum fee alardi mustaqarrun wamataAAun ila heenin

Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.'

Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, sebagaimana firman Allah,

قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ

Qala ihbitoo baAAdukum libaAAdin AAaduwwun walakum fee alardi mustaqarrun wamataAAun ila heenin

Allah berfirman, 'Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.' (QS. Al-A'raf: 24)

Sementara itu, kemaksiatan yang dilakukan iblis adalah keengganan dan pembangkangannya terhadap perintah Allah SWT., untuk bersujud kepada Nabi Adam AS. Sebagaimana dijelaskan Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 11, Allah SWT. berfirman, 

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ

Walaqad khalaqnakum thumma sawwarnakum thumma qulna lilmalaikati osjudoo liadama fasajadoo illa ibleesa lam yakun mina alssajideena

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, 'Bersujudlah kamu kepada Adam, mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.

Perbedaannya, ketika Nabi Adam AS. telah melakukan kemaksiatan, beliau menyesali perbuatannya dan bertobat kepada Allah SWT. Kemudian Allah menerima tobatnya itu dan mengampuninya.

Allah SWT. berfirman, 

فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ"

Fatalaqqa adamu min rabbihi kalimatin fataba AAalayhi innahu huwa alttawwabu alrraheemu

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 37)

Sementara itu, iblis tidak menyesali kedurhakaan yang dilakukannya dan ia tidak mau bertobat kepada Allah SWT. Bahkan, ia berbuat sombong karena itu ia termasuk golongan kafir. Hal ini disampaikan Allah SWT., kepada kita melalui Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 34

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Waith qulna lilmalaikati osjudoo liadama fasajadoo illa ibleesa aba waistakbara wakana mina alkafireena

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam.' Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir.

Oleh karena itu, selain dalam bahan penciptaannya, perbedaan yang utama lainnya antara nenek moyang manusia, yaitu Nabi Adam AS. dan iblis adalah dari segi bertobat. Tobat adalah kembali kepada jalan Allah SWT., dengan cara menyesali dosa, jera, melepaskan diri dari dosa dengan memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang pernah didzaliminya, serta bertekad tidak akan mengulangi lagi.

Dasar yang menjadikan Nabi Adam AS. segera bertobat kepada Allah atas kemaksiatan yang telah dilakukannya karena ia menyadari bahwa perbuatannya itu termasuk bagian dari kedzaliman. Hal ini tercermin dari ucapan tobatnya yang diabadikan dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 23

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Qala rabbana thalamna anfusana wain lam taghfir lana watarhamna lanakoonanna mina alkhasireena

Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.'

Sementara itu, iblis tidak mau bertobat karena ia memiliki sifat sombong. Ia menolak kebenaran dan merendahkan Nabi Adam AS.

Allah SWT. berfirman, 

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ
إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Faitha sawwaytuhu wanafakhtu feehi min roohee faqaAAoo lahu sajideena
Fasajada almalaikatu kulluhum ajmaAAoona
Illa ibleesa istakbara wakana mina alkafireena

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya, kecuali iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir. (QS. Shaad: 72-74)

Dalam ayat lain, Allah SWT. berfirman, 

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Qala ma manaAAaka alla tasjuda ith amartuka qala ana khayrun minhu khalaqtanee min narin wakhalaqtahu min teenin

Allah berfirman, 'Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?' Menjawab iblis, 'Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah'. (QS. Al-A'raf: 12)

Sebagai anak keturunan Adam (bani adam) yang tidak akan mampu berlepas diri dari kemaksiatan dan dosa, hendaknya kita meneladani nenek moyang kita, Nabi Adam AS. untuk senantiasa bertobat dari perbuatan maksiat yang kita lakukan. Jika kita tidak bertobat, apalagi karena kesombongan, tidak ubahnya diri kita sama dengan iblis yang enggan bertobat. Akibatnya, kita akan tenggelam dalam kemaksiatan dan kedurhakaan dan di akhirat kelak Allah SWT. akan memasukkan kita ke api neraka jahanam bersama iblis.

Naudzubillahi mindzalik.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Setiap anak Adam itu berbuat dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa ialah yang memohon tobat (kepada Tuhannya)." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Untuk itu, upaya yang harus kita lakukan agar mampu bertobat dari setiap dosa yang dilakukan dan sekaligus bisa membedakan diri dengan iblis,

Pertama, memupuk keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Orang yang beriman dan bertakwa akan sensitif terhadap dosa yang telanjur dilakukannya yang membuat dirinya bersegera untuk bertobat.

Allah SWT. berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Waallatheena itha faAAaloo fahishatan aw thalamoo anfusahum thakaroo Allaha faistaghfaroo lithunoobihim waman yaghfiru alththunooba illa Allahu walam yusirroo AAala ma faAAaloo wahum yaAAlamoona

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali-Imran: 135)

Kedua, mengikis sifat kesombongan yang ada pada diri kita. Kesombongan merupakan sebab yang menjadikan diri kita enggan bertobat kepada Allah SWT. dan meminta maaf kepada orang yang pernah didzalimi karena menganggap diri benar dan lebih baik dari orang lain.

Ketiga, membiasakan diri beristighfar setiap hari. Dengan membiasakan diri beristighfar, akan menjadi sarana untuk mengingat dosa dan menjadi jalan bertobat. Rasulullah SAW. bersabda,
'Yaa ayyuhannaasu tuubuu ilallohi, fainnii atuubu filyaumi miata marotin.'

"Wahai sekalian manusia, bertobatlah kamu sekalian kepada Allah dan mohonlah ampunan kepada-Nya karena sesungguhnya aku bertobat seratus kali setiap harinya." (HR.Muslim)

Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah SWT. untuk selalu bertobat dari berbagai kemaksiatan dan kedurhakaan yang kita lakukan dan menjauhkan diri dari perilaku iblis yang enggan bertobat kepada Allah SWT. 
Wallahu'alam.***

[Ditulis oleh H MOCH. HISYAM, Penulis, alumnus Pondok Pesantren KH. Zaenal Musthafa Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya dan LAIC Cipasung Singaparna, Tasikmalaya. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 25 Mei 2012 / 4 Rajab 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Lemah lembut dalam bahasa Arab disebut layyin, sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Musa AS. dan Harun AS. untuk memberi peringatan kepada Firaun, raja yang sangat kejam dan dzalim.

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Faqoola lahu qawlan layyinan laAAallahu yatathakkaru aw yakhsha

Maka berbicaralah kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thaha: 44)

Sifat lemah lembut adalah gabungan sifat halim, tawadu, pemaaf, dan sabar. Sikap lemah lembut merupakan salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah yang kadangkala lebih efektif dan berimplikasi positif. Lemah lembut merupakan ruh (spirit) penyelesaian masalah melalui forum dialog, musyawarah, dan secara kekeluargaan. 
Pemimpin yang menyelesaikan persoalan kebangsaan dengan sikap lemah lembut menunjukkan pemimpin tersebut telah mencapai kematangan kepribadian dan menunjukkan integritas dirinya sebagai pemimpin yang memiliki kewibawaan. Contoh Nabi Sulaeman AS., Khalifah Umar bin Abdul Azis, dan Panglima Salahudin Al Ayubi

Kecenderungan pemimpin yang lebih banyak menonjolkan sifat-sifat kerasnya, cenderung otoriter, diktator, dan kurang menghargai hak-hak asasi. Sejarah mencatat bengisnya Raja Namruz, Firaun, Hitler, Musolini, Stalin, dan lain-lain. 

Lemah lembut sebagai salah satu cara atau metode penyelesaian masalah menempatkan manusia dalam posisi sejajar. Dengan kata lain, lemah lembut itu "memanusiakan manusia", tidak menempatkan manusia sebagai objek kekerasan. Apabila dengan cara lemah lembut tidak menyelesaikan masalah, pendekatan kekerasan sebagai alternatif terakhir. 

Apabila sikap lemah lembut masih bisa diupayakan, hindarkan dan jauhkanlah penyelesaian dengan cara kekerasan. Sikap lemah lembut akan melahirkan lebih jauh beberapa sikap yang terpuji dan positif, misalnya sikap kasih sayang, toleransi, saling pengertian, saling menghormati, dan tenggang rasa. 

Untuk sampai ke tingkat seorang pribadi yang lemah lembut memerlukan proses yang cukup panjang. Dituntut sikap sabar dan lapang dada terutama mampu mengendalikan dorongan emosinya. Rasulullah SAW., memaafkan Hindun dan Wahsyi yang telah membunuh secara keji paman Nabi, Hamzah RA. Nabi juga mengampuni orang yang akan membunuhnya (Suraqah), memaafkan orang yang melempari Nabi dengan kotoran. Rasulullah merupakan sosok manusia yang memiliki sikap lemah lembut yang paripurna. 

Sifat lemah lembut, sopan santun, dan akhlak mulia merupakan kekuatan besar, yaitu adanya peluang kembalinya kesadaran seseorang untuk bisa mengetahui kebenaran dan kebatilan. Bahkan, bisa dipastikan, di zaman Nabi hampir tidak ada orang masuk Islam karena perdebatan, tetapi mereka masuk Islam karena sikap dan sifat lemah lembut Rasulullah.

Demikian pula sikap dan sifat lemah lembut akan membawa kesuksesan, terutama bagi para dai yang menyampaikan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan Rasulullah berdakwah disebabkan sikap lemah lembut. Allah menegaskan dalam Al-Qur'an,  

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Fabima rahmatin mina Allahi linta lahum walaw kunta faththan ghaleetha alqalbi lainfaddoo min hawlika faoAAfu AAanhum waistaghfir lahum washawirhum fee alamri faitha AAazamta fatawakkal AAala Allahi inna Allaha yuhibbu almutawakkileena

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasat, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran: 159)

Siapa pun jika ingin sukses, mendapat rahmat Allah, harus memilih sikap lemah lembut sebagai perangai diri. Bukan kebencian, kedengkian, dan permusuhan. Apabila kita telah berusaha menjadi pribadi santun dan ternyata belum ada perubahan pada apa yang kita harapkan berubah, serahkanlah semua kepada Allah, sebab kita hanya berkewajiban menjadi pribadi yang santun. Kita sama sekali tidak punya kekuatan mengubah kondisi hati orang lain. Allah pasti punya maksud yang lebih baik, lebih indah, dari setiap situasi dan kondisi yang kita hadapi. 

Tampilan lahiriah seseorang menunjukkan kondisi hati orang tersebut dan bahasa lisan maupun bahasa tubuh seseorang mewakili isi hatinya. Rasulullah SAW., menegaskan,
"Ingatlah dalam diri seseorang ada segumpal daging. Jika daging itu baik, seluruh anggota badan akan baik. Jika sepotong daging itu buruk, buruklah seluruh anggota badan. Ingatlah bahwa sepotong daging itu adalah hati."

Suasana hati senantiasa dalam dzikrullah, ketaatan, dan pengawasan Allah. Jika suasana hati tidak diisi dengan hal yang demikian, pasti ia akan diganti oleh setan dengan hal-hal buruk. Bentuk tipu daya setan bisa berupa mengumbar omongan, mengeraskan pembicaraan, dan tidak menghormati orang lain. 

Padahal, Allah SWT. memerintahkan kita menjaga lisan dan tidak mengumbarnya apalagi berkata yang tidak baik sehingga akan menodai kepribadiannya. 

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Waiqsid fee mashyika waoghdud min sawtika inna ankara alaswati lasawtu alhameeri

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19)

Semoga kita bersikap lemah lembut dalam memecahkan permasalahan, bukan mengedepankan kekerasan sehingga jatuh korban. *** 

[Ditulis oleh H HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL'AYDRUS, Ketua Umum Yayasan Assalaam, mantan anggota MPR, dan mantan ketua PW NU Jabar. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 24 Mei 2012 / 3 Rajab 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"] 

by 
u-must-b-lucky
"Berhati-hatilah dalam bicara, jaga lidah." Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar untuk mengingatkan agar kita senantiasa berhati-hati dalam bicara. Tidak asal bunyi. Ada ungkapan lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan menyakitkan dibandingkan dengan pedang.

Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa menata ucapan dan diamnya sehingga ia bisa meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih keselamatan dari sikap diam yang diambilnya.

Sabda Nabi SAW.,
"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seorang hamba yang berbicara sehingga meraih keberuntungan dan diam sehingga mendapatkan keselamatan." (Diriwayatkan Abu Syaikh dari Abu Umamah RA.)

Rasulullah SAW. pun mengingatkan akan akibat buruk dari lidah, ini. Bahkan hal inilah yang sangat beliau khawatirkan terhadap umatnya. Dari Sufyan bin Abdillah RA., ia berkata,
"Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan." Beliau menjawab, "Katakanlah, Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah." Saya berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku?" Rasulullah SAW. menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, "Ini." (HR. Tirmidzi)

Bahkan, ketika Rasulullah SAW. ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau pun menjawab,
"Dua hal yang kosong, lidah dan kemaluan." (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah SWT. dan hari akhir. Sabda Nabi SAW.,
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam." (HR. Muslim)

Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya menjaga hubungan baik dengan sesama. Akan tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah.

Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah menyebutkan, empat syarat perkataan yang mengandung manfaat, yaitu,
  • Pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohannya, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan fitnah.
    Oleh karena itu, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan pasti, sehingga selamat dari kesalahan serta bisa menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.
    Disebutkan dalam sebuah atsar, "Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila ingin berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan ia akan berbicara, jika mendatangkan bahaya, ia akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia akan selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya."
  • Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga mendatangkan manfaat besar. Pasalnya, perkataan yang tidak tepat waktu dan tempatnya, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah.
    Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan.
    Disebutkan dalam atsar, "Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri."
  • Ketiga, hendaknya perkataan itu diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu pasti memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitasnya hanya akan mengurangi manfaat dan pengaruhnya, di samping juga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkannya.
    Dalam atsar disebutkan, "Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan."
  • Keempat, memilih kata-kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas seseorang, hendaknya ia senantiasa memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA., Nabi SAW. pernah berkata,
    "Aku kagum dengan ketampananmu." Ia bertanya, "Apa ketampanan seorang lelaki, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Lidahnya."
Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. 
  • Pertama, tidak banyak bicara atau diam. Rasulullah SAW. bersabda,
    "Barangsiapa yang diam pasti selamat." (HR. Tirmidzi)
  • Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Rasulullah SAW.,
    "Barangsiapa yang  menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya." (HR. Ibnu Dunya)
  • Ketiga, berkata yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda,
    "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam." (HR. Muslim)
  • Keempat, takut kepada Allah SWT.
    "Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya."
    Ketahuilah, setiap ucapan yang keluar dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT. berfirman,

    مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
    Ma yalfithu min qawlin illa ladayhi raqeebun AAateedun
    Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf [50]: 18)
Kemudian, Dr Musfhafa Dieb Al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi Fi Syarhil Arba'in An-Nawawiyah menambahkan bahwa etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara. Di antara adab-adab itu adalah, 
  • Pertama, seorang Muslim hendaknya senantiasa berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna tersebut di antaranya adalah gibah, namimah, mencela orang lain.
  • Kedua, tidak banyak berbicara. Karena dengan banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa jadi menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW.,
    "Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras." (HR. Tirmidzi)
  • Ketiga, wajib berbicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi mungkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
Dengan demikian, jika setiap kita mampu mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu domba, hasutan, dan sejenisnya, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. 

Wallahu a'lam.***

[Ditulis oleh H. IMAM NUR SUHARNO, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Husnul Khotimah, Kuningan. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 18 Mei 2012 / 26 Jumadil Akhir 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Pernah suatu ketika para sahabat dibarengi orang-orang sekitar Madinah mendatangi Rasulullah SAW. Mereka mendatangi beliau untuk menyampaikan keluhan sekitar harga-harga di Pasar Madinah semakin bergerak naik dan terasa memberatkan keadaan ekonomi mereka.

Mereka meminta Rasulullah SAW. agar berkenan untuk menurunkan harga-harga barang tersebut. Mengingat saat itu Rasulullah SAW. sebagai khalifah (pemimpin negara) dapat mengubah kebijakannya memenuhi tuntutan para sahabat tersebut.
Mendengar permintaan dan keluhan orang-orang saat itu, beliau dengan sigap merespons aspirasi mereka. Beliau mengatakan dengan bahasa diplomasi,
"Bahwa tingkat harga yang berlaku sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. sehingga pemerintah termasuk beliau tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap harga-harga."

Beliau menolak permintaan sejumlah sahabat untuk menurunkan harga barang-barang di Pasar Madinah yang cenderung naik. Rasulullah SAW. mengatakan, beliau tidak ingin melakukan kedzaliman dengan menetapkan harga. Naik turunnya harga berada di tangan Allah SWT. karena Allah adalah Al-Mushoir (Sang Penetap Harga).

Lalu beliau menyampaikan dua hal di hadapan para sahabat dan orang-orang Madinah saat itu.
"Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah itu Penetap harga maka Dia-lah yang menyempitkan dan meluaskan rezeki kalian. Bila harga naik karena ketetapan Allah, Allah-lah yang mengatur rezeki kalian. Akan tetapi, bila harga itu naik karena kedzaliman para penguasa, sesungguhnya aku (Nabi SAW.) berharap mereka (para penguasa) bertemu dengan Allah dalam keadaan hina dan tersiksa." (HR. Abu Daud, lihat Aunul Ma'bud IX:320)

Jawaban beliau di hadapan orang-orang tersebut karena kondisi pasar berada dalam keadaan normal dan prinsip keadilan tampak di sana sehingga beliau tidak berhak mengintervensi harga-harga itu. Namun, jika kondisi abnormal terjadi di pasar, akibat perilaku spekulan pasar yang melakukan penimbunan dan terjadi ketidakadilan kebijakan pasar yang ditandai dengan kolusi antara pengusaha dan penguasa, intervensi untuk melakukan koreksi pasar menjadi mutlak dilakukan, bukan saja oleh pemerintah malahan rakyat pun berhak menuntut ketidakadilan itu.

Hal itu sebagaimana hadits dari Ma'mar bin Abdillah, beliau bersabda,
"Tidak akan menimbun barang kecuali yang berdosa, dan setiap orang berhak menuntut hak atas kedzaliman yang ia terima, baik meminta gantinya atau berdoa keburukan bagi pendzalim." (HR. Muslim)

Dengan riwayat-riwayat tersebut dapat menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita semuanya. Bila Allah telah menetapkan sesuatu terhadap dan untuk hamba-hamba-Nya, tidak ada kekuatan mana pun dapat mengubahnya. Jika Allah telah menetapkan sesuatu kepada hamba-Nya, percayalah sesuatu tersebut tidak akan luput sedikit pun. Janganlah kita salahkan diri kita, orang lain, apalagi Allah. Sesungguhnya kita hanya patut berusaha, Allah Penetap segalanya.

Kalau seandainya harga-harga jadi naik semuanya dengan izin Allah, percayalah bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya tergeletak tanpa dibarengi rezekinya. Bukankah Rasulullah SAW. telah menyatakan dalam sabdanya,
"Tidak akan mati jiwa seseorang kecuali sudah Allah hentikan rezekinya bagi orang itu." (HR. Tirmidzi)

Artinya, selama kita hidup, rezeki itu tidak akan pernah dihentikan Allah

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Allahu khaliqu kulli shayin wahuwa AAala kulli shayin wakeelun
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (QS. Az-Zumar: 62)

Akan tetapi, apabila naiknya harga itu karena terjadi ketidakadilan, kedzaliman, dan kolusi antara penguasa dan pengusaha, tunggulah keadilan Allah terhadap mereka akan diperlihatkan-Nya dalam waktu dekat. Keadilan Allah terhadap kedzaliman mereka akan diperlihatkan berupa siksa dan azab sebagaimana dalam hadits riwayat Tirmidzi dari sahabat Ali bin Abi Thalib berupa; angin panas, gempa bumi, longsor, kelaparan, kericuhan, dan hilangnya ketidakpercayaan antar manusia, juga bencana-bencana lainnya.

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Waittaqoo fitnatan la tuseebanna allatheena thalamoo minkum khassatan waiAAlamoo anna Allaha shadeedu alAAiqabi
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya. (QS. Al-Anfal: 25)

Sabda beliau,
"Seandainya Allah hendak menyiksa seluruh penduduk langit dan bumi, pasti Dia akan menyiksa mereka dengan tidak dzalim. Kalaupun Dia hendak merahmati mereka, pasti rahmat-Nya lebih baik daripada amal-amal mereka. Dan seandainya kamu berinfak emas sebesar Gunung Uhud di jalan Allah, Allah tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman pada takdir, dan seandainya kamu mati dalam keadaan dosa dan keyakinan tidak percaya takdir, kamu pasti masuk neraka." (HR. Ad-Dailami)

Ketahuilah bahwasanya semua diketahui oleh Allah SWT. serta catatan setiap amal manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya dan di hadapan hamba-hamba-Nya.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Alam taAAlam anna Allaha yaAAlamu ma fee alssamai waalardi inna thalika fee kitabin inna thalika AAala Allahi yaseerun
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauhil mahfuz). Dan sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. Al-Haj: 70)

Dengan demikian yang harus kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin. Jangan berbuat kedzaliman terhadap orang lain. Kita kembalikan semuanya kepada Yang Maha Menentukan, Sang Penetap harga yaitu Allah SWT. 

Semoga kita mendapatkan yang terbaik berdasarkan ketentuan-Nya. Amin.***

[Ditulis oleh UCU NAJMUDIN, mengajar di Pesantren Tahdzibul Washiyah, Gumuruh, Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 11 Mei 2012 / 19 Jumadil Akhir 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita dikejutkan dengan maraknya pemberitaan soal jual beli gelar akademik. Pembuatan tugas kuliah, skripsi, bahkan tesis dan disertasi melalui perantara (calo). Fenomena memprihatinkan lainnya ketika sebagian mahasiswa berhasil meraih sarjana tanpa melalui kuliah atau kuliah alakadarnya.

Dampak dari semua itu adalah ulama (cendekiawan) yang bergelar tanpa nalar dan berijazah tanpa kuliah. Penulis ingin meluruskan dulu istilah ulama dan cendekiawan karena kedua istilah itu bermakna sama, cuma saat ini pengertiannya dipersempit. Ulama dimaknai sebagai pakar ilmu agama, sedangkan cendekiawan memiliki keluasan dalam ilmu-ilmu umum.
Padahal, ilmu Allah tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur'an

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
innama yakhsha Allaha min AAibadihi alAAulamao

Sesungguhhya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. (QS. Fathir: 28)

Inilah makna khosyatillah, takut kepada Allah. Ayat ini secara kasatmata menyebutkan keistimewan ulama (cendekiawan) dibandingkan dengan hamba-hamba Allah yang lain adalah rasa takut mereka kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT. itulah yang menjadi sifat ulama yang paling menonjol sehingga wajar disebut ulama sebagai pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Seorang ulama asal Banten yang dikenal di Timur Tengah, Imam Nawawi al Bantani, menjelaskan kriteria ulama ini, yakni beriman, menguasai ilmu syariah secara mendalam, dan memiliki pengabdian tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah. Ulama itu bukan mencari keridhaan manusia. Dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan baik dalam masalah ibadah maupun muamalah.

Bukan hanya mumpuni dalam ilmu agama, menurut Imam Nawawi, ulama juga harus jujur, amanah, cerdas, menyampaikan (tablig), mengenal situasi dan kondisi masyarakat, serta mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah

Cendekiawan/ulama tidak membutuhkan gelar, melainkan temuan dan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat sebagai solusi dan kesejahteraan lingkungannya. Meskipun banyak gelar yang ditempelkan pada namanya belum tentu menunjukkan amal saleh, ikhlas, dan peduli, maupun mau menerima masukan dan pendapat orang lain. Tak jarang seseorang yang merasa sudah bergelar apalagi memiliki jabatan amat susah menerima pendapat seseorang karena merasa dirinya sudah benar. Peribahasa Sunda menyebutnya, adat kakurung ku iga (sudah mengkristal dan susah berubah).

Ulama tidak mendiamkan, tidak menyetujui, dan tidak mendukung kedzaliman dan siapa pun yang berbuat dzalim

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Wala tarkanoo ila allatheena thalamoo fatamassakumu alnnaru

Janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka. (QS. Hud: 113)

Ibnu Juraij menyatakan, kata "la tarkanu" berarti jangan cenderung kepadanya. Sementara itu, Imam Qatadah menyebutkan, jangan bermesraan dan jangan menaatinya, serta Imam Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti jangan meridhai perbuatan-perbuatannya.

Ulama hanya takut kepada Allah. Sebaliknya, mereka tidak pernah takut kepada selain-Nya, meski dia adalah seorang penguasa dunia. Bahkan, mereka senantiasa berada di garis depan menentang setiap kedzaliman yang dilakukan para penguasa.

Ketinggian ilmu seseorang yang tanpa adanya hidayah Allah hanya akan membuat ulama/cendekiawan makin jauh dari-Nya, Ilmu tanpa didasari rasa takut kepada Allah hanya akan menimbulkan kebinasaan, kecelakaan, bahkan terjerembap dalam kekufuran. Hati orang itu telah mati.

Tersebutlah nama ulama/cendekiawan sekelas Hasan al-Bashri yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah sehingga tak pernah gentar kepada penguasa dunia yang lalim. Beliau berani menentang penguasa Hijaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ucapan Hasan al Bashri yang sangat terkenal, "Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."

Demikian pula Sufyan ats-Tsauri yang menentang kebijakan penguasa Abu Ja'far al-Manshur ketika mendanai dirinya dan para pengikutnya yang beribadah haji ke Baitullah dalam jumlah yang sangat besar dengan dana dari Baitulmaal. Saat ini kita lihat betapa banyak anggaran pemerintah dari rakyat yang akhirnya dipergunakan untuk kepentingan segelintir pejabat.

Ulama lainnya seperti Abu Hanifah, pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja'far al-Manshur dan menolak uang 10.000 dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, "Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga?" Beliau menjawab, "Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan dua dirham saja."

Keberanian ulama juga ditunjukkan Abu Muslim Al Khaulani yang tak mau mendengar pidato Khalifah Muawiyah. Ketika ditanya alasannya, Abu Muslim menjawab, "Karena engkau (Khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum Muslim (rakyat). Padahal, harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu."

Mendengar itu, Khalifah Muawiyah sangat marah. Ia lalu turun dari mimbar, pergi dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja, yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari Baitulmaal (Al-Badri, Al-Islam bayna al-Ula-ma' wa al-Hukkam, hlm. 101).
Semoga masih ada ulama, cendekiawan, dan kaum cerdik pandai lainnya yang berani meluruskan kedzaliman dan kesalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 

Wallahu-a'lam. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 10 Mei 2012 / 18 Jumadil Akhir 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky