TIDUR PUASA = IBADAH?

Seorang teman sedang tertidur pulas di sebuah masjid. Lalu, penulis bangunkan karena sudah akan memasuki shalat Ashar. "Tidur dari jam berapa?" tanya penulis. "Dari selepas shalat Dzuhur, Pak. Mau Ashar ya? Ternyata enak tidur saat puasa ya karena ibadah," jawabnya.

Apakah benar tidur seseorang yang sedang berpuasa apalagi puasa Ramadhan masuk kategori ibadah?

Padahal, kalau kita cermati sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. saat berpuasa malah berperang dengan kaum kafir saat Perang Badar dan penaklukan Kota Mekah (fathul-Makkah). Ini semua petunjuk bahwa puasa bukan untuk menjadikan kita malas, melainkan puasa adalah spirit agar kita bisa memberikan yang lebih baik meskipun dengan keterbatasan diri kita.

Rujukan yang dijadikan pegangan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah ialah hadits yang berbunyi,
"Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Doanya adalah doa yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan."

Kalau kita cermati, ternyata perawi hadits ini adalah 'Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (Juz 3 halaman 1.437). Selain itu, dalam hadits ini terdapat nama Ma'ruf bin Hasan yang dinilai perawi yang daif (lemah).

Kelemahan hadits tersebut juga terdapat nama perawi Sulaiman bin Amr yang lebih daif daripada Ma'ruf bin Hasan. Dalam riwayat lain, perawinya adalah Abdullah bin 'Amr. Hadits tersebut dibawakan Al 'Iroqi dalam Kitab Takhrijul Ihya' (1/310) dengan sanad hadits yang daif. Jadi, hadits yang menyatakan tidurnya orang berpuasa adalah ibadah merupakan hadits yang lemah. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho'ifah No. 4696 mengatakan, hadits ini adalah hadits yang lemah.

Kalau kita baca sejarah, tidur siang merupakan kebiasaan masyarakat Arab dan beberapa orang saleh dan ulama terdahulu yang disebut qailulah bermakna tidur sebentar waktu siang.

Qailulah bukan hanya pada Ramadhan, melainkan juga pada hari-hari biasa, khususnya pada waktu musim panas. Tujuan dari tidur sebentar itu agar pada malam harinya bisa bangun untuk mendirikan shalat Tahajud. Dalam sebuah riwayat, Imam Abu Hanifah selama 40 tahun tidak pernah tidur malam karena malam harinya untuk shalat.

Imam Abu Hanifah hanya tidur pada siang hari antara shalat Dzuhur dan shalat Ashar. Kalau memang tujuannya agar bisa bangun malam untuk shalat Tahajud, Rasulullah juga pernah melakukannya.

Namun, apabila tidur siang hanya untuk bermalas-malasan, apalagi malam harinya juga tidak shalat Tahajud, tidur siang selama Ramadhan bisa jadi salah satu tanda kemalasan. Umat menjadikan sandaran hadits lemah tersebut untuk bermalas-malasan dengan alasan capek atau khawatir puasanya batal.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Khalifah Umar bin Khattab pernah suatu hari melakukan inspeksi ke Iskandariah, Mesir, dengan Muawiyah bin Khudaij menjabat gubernur di kota itu. Umar datang ke kota itu waktu siang saat kebanyakan orang melakukan qailulah.

Umar menemukan Muawiyah tidak melakukan tidur siang. Lalu ia berkata, "Saya pikir kalian sedang tidur pada siang ini. Kalau kalian tidur siang hari, akan menelantarkan hak rakyat. Kalau kalian tidur malam, kalian menelantarkan hak Allah. Bagaimana kalian mengatur tidur antara dua hak ini wahai Mua'wiyah?"

Umar seperti mengingatkan manfaat waktu itu lebih penting daripada sekadar tidur siang. Intinya, harus proporsional dalam menggunakan waktu meskipun pada bulan Ramadhan.

Inti dari tidur agar tetap menjadi bagian dari ibadah adalah memperluas maknanya yakni "tidur" dari setiap perbuatan maksiat dan mungkar. Kita "tidur" selama Ramadhan dari bergunjing, menyebarkan fitnah, melihat gambar tak layak (pornografi), menyakiti orang lain, ataupun perbuatan maksiat lainnya.

Kalau tidur hanya untuk bermalas-malasan dan meninggalkan kewajiban serta menelantarkan tugas, tentu itu sangat bertentangan dengan makna ibadah puasa itu sendiri. Para sahabat Rasulullah SAW. menjalani puasa Ramadhan dengan tugas-tugas yang cukup berat.

Tidur bermakna ibahah atau mubah bermakna boleh dan merupakan kebutuhan seorang manusia layaknya makan dan minum pada hari-hari biasa, atau makan minum pada malam hari selama Ramadhan. Perkara yang mubah bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan, "Sesungguhnya perbuatan mubah jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah, dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran)."

Ibnu Rajab pun menerangkan dalam kitab Lathoif Al Ma'arif, halaman 279-280 menyatakan, "Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya pada malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, tidur seperti ini bernilai ibadah."

Semua amal bergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun, jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 26 Juli 2012 / 6 Ramadhan 1433H pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: