Maaf adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan tetapi tidak setiap orang mampu memberikannya dengan sepenuh hati kepada orang yang memintanya. Terlebih lagi bila yang meminta maaf itu adalah orang yang pernah berbuat sesuatu yang amat menyakitkan hatinya.

Ada fenomena yang menunjukkan kepada kita bahwa aktivitas pemberian maaf dalam hidup keseharian kita sepertinya tidak lebih sebagai bagian dari budaya basa-basi. Bahkan, kata maaf belakangan ini semakin tidak memiliki nilai karena-saat maaf diberikan tidak ada lagi di dalamnya "roh".

Hilangnya "roh" inilah yang membuat pemberian maaf tidal memiliki nilai-nilai ruhaniah, yang akhirnya membuahkan kehampaan. Hampa karena kata maaf hanya menjadi konsumsi bibir. Padahal, aktualisasi maaf bukan hanya menjadi konsumsi bibir/mulut, melainkan juga konsumsi hati. Jadi, ketika kata maaf terucap, kata tersebut tidak sekadar diucapkan, tetapi juga harus didasari keikhlasan atau ketulusan hati.

Kita ketahui bersama bahwa aspek keikhlasan itu adalah objek qalbu karena keikhlasan terkait erat dengan niat. Niat itulah yang menentukan kualitas suatu perbuatan di mata Allah. Rasulullah SAW. bersabda,
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari)

Sementara niat itu, seperti kita ketahui, haruslah terfokus pada satu titik/tujuan, yaitu ridha Allah, tidak untuk kepentingan lain. Itu semua terangkum dalam ungkapan ikhlas. Tentang hal ini, Allah SWT. dalam firman-Nya mengungkapkan,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Wama omiroo illa liyaAAbudoo Allaha mukhliseena lahu alddeena hunafaa wayuqeemoo alssalata wayutoo alzzakata wathalika deenu alqayyimati
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Memberi maaf secara tulus hati berarti di dalamnya terkandung unsur semangat untuk tidak memperpanjang permasalahan/konflik yang terjadi antara kedua belah pihak. Artinya, permasalahan dituntaskan sampai di situ.

Kemudian unsur lain yang terkandung dari pemberian maaf adalah adanya semangat pembebasan. Pihak yang dimaafkan terbebas dari tuntutan atau kompensasi yang seharusnya dia berikan karena kesalahannya. Ketika seseorang memberikan maaf kepada orang lain, selesailah urusan antara mereka dan serta-merta Allah pun tidak akan lagi mempermasalahkan kesalahan si pelaku itu saat yang bersangkutan bersimpuh di atas sajadah memohon ampunan kepada-Nya terkait kesalahannya tersebut.

Secara manusiawi memang wajar bila seseorang merasakan betapa sulitnya memaafkan orang lain yang sudah melakukan hal-hal yang teramat menyakitkan hatinya. Namun, akan menjadi tidak wajar apabila kita tidak berupaya keras untuk berlatih memaafkan orang lain. Memaafkan bagaimana pun adalah sebuah perbuatan yang Allah perintahkan kepada kita. Perintah tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Fakta membuktikan kepada kita bahwa perilaku memaafkan orang lain adalah salah satu unsur terpenting untuk terwujudnya sebuah masyarakat yang harmonis.

Memaafkan adalah sebuah sikap atau perilaku yang tidak muncul seketika. Dibutuhkan sebuah proses yang cukup panjang untuk bisa benar-benar menjadi seorang pemaaf. Untuk menjadi pemaaf dibutuhkan sebuah kesadaran bahwa setiap manusia tidaklah sempurna.

Terkadang pada saat tertentu seseorang bisa khilaf dan kemudian berbuat sesuatu di luar kepatutan. Terkadang boleh jadi karena aspek ketidaktahuan si pelaku atas apa yang dilakukannya. Terkait hal ini, dalam tarikh diungkapkan perilaku dan ketinggian akhlak Rasulullah SAW.

Saat Perang Uhud, Rasulullah mendapat luka pada bagian muka dan juga patah beberapa giginya. Kemudian ada salah seorang sahabatnva memberikan usul. "Cobalah tuan doakan agar mereka celaka."

Rasulullah menjawab, "Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan sebagai rahmat." Lalu beliau menengadahkan tangannya kepada Allah Yang Maha Mulia dan berdoa, "Allahummaghfir liqaumi fa innahum la ya lamun." (Ya Allah ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.)

Sebuah perbuatan negatif mungkin juga dilakukan karena keterpaksaan yang sulit terhindarkan oleh si pelaku. Tidak sedikit kasus seperti ini sering kita baca dan kita dengar di berbagai media informasi. Akan tetapi, tidak kita pungkiri juga bahwa sering kali perbuatan negatif dilakukan karena unsur kesengajaan.

Apa pun alasannya, perbuatan negatif tetap adalah perbuatan negatif. Setiap perbuatan negatif pastilah menimbulkan akibat. Akibat tersebut pastilah menyakiti perasaan orang lain. Dari kacamata agama setiap perbuatan yang menyakiti perasaan orang lain adalah dosa. Ketika kita memaafkan orang lain, sebenarnya secara sadar kita telah membebaskan orang tersebut dari dosanya. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa seorang pemaaf adalah seorang "pembebas".

Di Arab Saudi, kasus-kasus pengampunan terkadang diterima oleh warga Indonesia yang terbukti telah melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang kemudian terbebaskan dari hukuman pancung karena dimaafkan oleh keluarga dari pihak yang terbunuh. Kasus tersebut sebagai contoh betapa pemberian maaf sejatinya memiliki semangat "membebaskan". Lewat pemberian maaf itulah si pembunuh akhirnya terbebaskan, selamat, dan kemudian bisa pulang serta bertemu lagi dengan keluarganya.

Sudah saatnya sekarang kita membangun masyarakat pemaaf karena itu adalah perintah Allah,

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Allatheena yunfiqoona fee alssarrai waalddarrai waalkathimeena alghaytha waalAAafeena AAani alnnasi waAllahu yuhibbu almuhsineena
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Imran: 134)

Hal ini penting untuk ditegaskan mengingat bahwa ada kecenderungan masyarakat kita telah bergeser menjadi masyarakat pemarah dan pendendam.

Tawuran antar anak sekolah, antar mahasiswa, dan tawuran antar warga yang sering kali diberitakan lewat media cetak ataupun media elektronik adalah kasus-kasus yang bisa dijadikan sebagai fakta yang pendukung kecenderungan tersebut. Oleh karena itu, langkah-langkah akseleratif tentunya harus segera kita lakukan. Berawal dari diri kita tentunya.

Tidak mudah memang, tetapi bagaimanapun harus kita mulai bangun fondasi untuk itu sekarang juga.

Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan kekuatan kepada kita agar dapat mewujudkan sebuah masyarakat pemaaf.  ***

[Ditulis oleh HE. NADZIER WIRIADINATA, Kasubbag Hukmas dan KUB Kementerian Agama Kanwil Provinsi Jawa Barat.Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 24 Agustus 2012 / 6 Syawal 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
إِلَّا الْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ
لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Inna alinsana khuliqa halooAAan
Itha massahu alshsharru jazooAAan
Waitha massahu alkhayru manooAAan
Illa almusalleena
Allatheena hum AAala salatihim daimoona
Waallatheena fee amwalihim haqqun maAAloomun
Lilssaili waalmahroomi
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (QS Al Ma'arij: 19-25)

Berkaca kepada ayat Al-Qur'an itu, secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak dia diciptakan.

Allah yang menciptakan manusia telah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Allah juga yang mengiyakan akan sifat-sifat itu dan menjauhinya atau menggantinya dengan sifat-sifat baik, sebab Allah menurunkan dua sifat sekaligus kepada manusia. Ibarat dua mata uang koin, sifat baik (taqwa) dan sifat buruk.

Bukankah kalau kita tidak memiliki harta, kita sering berkeluh kesah. Namun, sebaliknya apabila memiliki banyak harta, kita cenderung kikir alias pelit? Lalu, bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah dan kikir) bisa kita geser dan berubah menjadi sifat yang menerima segala ketentuan Allah dan pemurah dengan mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, ataupun wakaf?

Salah satu cara Allah, untuk mendidik dan melatih umat manusia adalah melalui pembinaan selama sebulan penuh yakni Ramadhan yang baru kita lakukan beberapa hari lalu. Pertanyaannya, apakah puasa atau shaum kita telah berjalan dengan sukses? Atau malah hanya mendapatkan pahala berupa lapar dan dahaga?

Ciri-ciri orang yang berhasil dalam Ramadhan antara lain adalah mantap dalam shalatnya, terbiasa untuk shalat malam, dan senantiasa beristighfar di akhir malam. Ciri keberhasilan Ramadhan yang tak kalah pentingnya adalah memiliki kepedulian sosial dengan membelanjakan harta di jalan Allah.

Kepedulian sosial dengan menyisihkan sebagian harta kita merupakan salah satu sifat dari manusia taqwa. Ketaqwaan merupakan akhir atau tujuan dari ibadah selama Ramadhan

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Allatheena yuminoona bialghaybi wayuqeemoona alssalata wamimma razaqnahum yunfiqoona
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3)

Kepedulian sosial tersebut hendaknya terwujud bukan hanya di saat lapang, tetapi juga di saat sempit. Inilah hebatnya ajaran Islam yang menekankan pula mengeluarkan harta bukan hanya di saat kelebihan bahkan saat kekurangan sekali pun.

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
WasariAAoo ila maghfiratin min rabbikum wajannatin AAarduha alssamawatu waalardu oAAiddat lilmuttaqeena
Allatheena yunfiqoona fee alssarrai waalddarrai waalkathimeena alghaytha waalAAafeena AAani alnnasi waAllahu yuhibbu almuhsineena
Waallatheena itha faAAaloo fahishatan aw thalamoo anfusahum thakaroo Allaha faistaghfaroo lithunoobihim waman yaghfiru alththunooba illa Allahu walam yusirroo AAala ma faAAaloo wahum yaAAlamoona
Olaika jazaohum maghfiratun min rabbihim wajannatun tajree min tahtiha alanharu khalideena feeha waniAAma ajru alAAamileena 
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal. (QS. Ali-Imran: 133-136)

Dalam satu hadits Qudsi, Allah SWT. berfirman, yang artinya,
Berinfaklah kamu, niscaya Allah akan memberi belanja kepadamu.(Muttafaq Alaih)

Bila ada yang meminta pertolongan kepada kita dan lingkungan sekitar, berebutlah untuk memberikan pertolongan karena sesungguhnya hal tersebut adalah lahan kebajikan. Biasanya kalau ada seseorang yang meminta pertolongan umumnya kita merasa enggan bahkan kadang merasa khawatir, jangan-jangan uang atau barang yang kita berikan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi bukan kepentingan umat seperti yang tertera dalam surat atau proposalnya.

لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Lan tanaloo albirra hatta tunfiqoo mimma tuhibboona wama tunfiqoo min shayin fainna Allaha bihi AAaleemun
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. Ali-Imran: 92)

Kalaulah kita tidak bisa memberikan pertolongan, setidaknya berusahalah menjadi pribadi yang mandiri, tidak tergantung kepada pertolongan orang lain. Adapun mengenai hal tolong-menolong, hendaknya hanya pada yang membawa kebaikan atau yang dapat mencegah kemungkaran.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
wataAAawanoo AAala albirri waalttaqwa wala taAAawanoo AAala alithmi waalAAudwani
... Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan....(QS. Al-Ma'idah: 2)

Bulan Ramadhan mengajarkan dan membiasakan diri kita untuk peduli kepada sesama yang diawali dari kepedulian kepada lingkungan sekitar. Apabila setiap Muslim yang mampu menyantuni tetangga terdekat yang masih kekurangan, yakinlah, tidak akan ada lagi tetangga yang kelaparan, menangis akibat tak memiliki beras, ataupun putus sekolah karena tak ada biaya.

Terakhir, penulis ucapkan, taqabbalallahu minna waminkum. Semoga amal-amal Ramadhan kita diterima Allah SWT. agar berdampak kepada perbaikan akhlak dalam kehidupan.

Amin. ***

[Ditulis oleh H MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI Kota Bandung, Ketua Yayasan Ad Dakwah, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis 23 Agustus 2012 / 5 Syawal 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Taqabalallahu minna wa minkum shiyamana wa siyamakum.

Saatnya kembali bersuci diri….
Tinggalkan segala keduniawian.
Untuk bersujud khusyu’ di atas sajadah.
Bertakbir memuji sang Khalik.
Bersihkan hati yang mulai berdebu.
Tentramkan jiwa yang lelah untuk mema’afkan dan memohon ampunan.

Karena Tiada Kata Seindah Dzikir..
Tiada Bulan Seindah Ramadhan..
Izinkan Tangan Bertangkup Mohon Maaf.
Untuk Lisan Yang Tak Terjaga.
Janji Yang Terabaikan.
Hati Yang Berprasangka.
Semua Sikap Yang Pernah Menyakitkan.
Mohon Maaf Lahir Dan Bathin.

Berharap padi dalam lesung, yang ada cuma rumpun jerami, 
harapan hati bertatap langsung, cuma terlayang tulisan ini.
Sebelum cahaya surga padam, Sebelum hidup berakhir,
Sebelum pintu taubat tertutup saya mohon maaf lahir dan bathin….

Taqqobalallahu Minna Waminkum, Taqobal Ya Karim,
Allaahumma baariklanaa fi Sya’ban wa ballighnaa Ramadhan.

Ya Rabb, berkahi kami pada bulan Sya’ban 
dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan,
Amin.


by
u-must-b-lucky
Ramadhan tinggal mengbitung hari. Insya Allah umat Islam Indonesia akan melaksanakan shalat Idulfitri secara bersamaan pada Minggu (19/8/2012) meskipun dalam penetapan awal Ramadhan lalu terdapat perbedaan.

Mumpung masih ada waktu beberapa hari lagi, kita harus manfaatkan untuk memantapkan ibadah. Mungkin dari awal Ramadhan amalan-amalan kita belum baik, tetapi di akhir Ramadhan ini berupaya keras untuk memperbaiki dan meningkatkannya. Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.

Bulan Ramadhan merupakan madrasah (sekolah) pembentuk karakter dan mental taqwa sesuai dengan tujuan puasa yakni membentuk manusia yang bertaqwa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Ya ayyuha allatheena amanoo kutiba AAalaykumu alssiyamu kama kutiba AAala allatheena min qablikum laAAallakum tattaqoona
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al Baqarah: 183)

Ramadhan merupakan pendidikan dan pelatihan setiap tahun yang tidak akan bisa tergantikan dan tak akan kita dapatkan di bulan selainnya.

Tempaan tiga puluh hari dalam nuansa ibadah dan ruhiyah adalah sesuatu yang mahal harganya dan hanya akan kembali lagi setelah sebelas bulan perpisahan. Ramadhan adalah pelatihan tahunan yang harus menghasilkan Muslim yang berbeda dari sebelumnya. Seorang Muslim baru yang harus lebih baik dari sebelum Ramadhan.

Kita masih ingat harus bangun di sepertiga malam, menundukkan nyamannya tidur, dan melempar mimpi kita untuk sejenak makan sahur. Meski tak jarang makan di sepertiga malam juga tidak mendatangkan kenikmatan. Pelatihan ini akan membentuk seseorang yang terbiasa untuk bangun malam bertahajud, mengadu kepada Allah atas segala persoalan yang menginggapi pundaknya.

Ingatkah dari tanggal satu Ramadan kita ditempa untuk berlapar dahaga di tengah aktivitas yang justru semakin padat? Kita pun mengerjakan banyak hal justru di saat fisik kita tak diisi dengan makanan dan minuman. Namun, kita bisa menjalankannya dengan sepenuh hati, nyaris tanpa keluh kesah menodai lisan kita.

Kita bisa menepiskan makanan dan minuman di saat siang hari, padahal makanan dan minuman itu halal. Tentu di luar Ramadhan kita juga akan mampu menjauhkan diri dari makanan dan minuman haram, baik dari zatnya yang haram maupun cara mendapatkan rezeki dari jalan haram, seperti korupsi dan manipulasi.

Masih ingatkah kita, betapa punggung dan kaki kita tak jenuh menyucikan Allah SWT. melalui gerakan Tarawih? Setiap malam selama Ramadhan, kita dilatih untuk melaksanakan shalat malam tanpa mengenal kata lelah dan capek sebab lelah akan hilang, sedangkan kebaikan pasti kekal.

Inilah hakikat Ramadhan sesungguhnya sebagai madrasah pembentukan karakter manusia. Ramadhan bukan sekadar ajang panen pahala dan penggugur dosa-dosa. Sungguh Ramadhan tak akan pernah ingkar janji, selalu menghasilkan sosok-sosok baru, meluluskan alumni-alumni baru, yang akan menghiasi hari-harinya sepanjang tahun dengan semangat menebar kebaikan.

Ramadhan membentuk karakter manusia yang ikhlas dengan meninggalkan sikap riya. Ketika dia membantu, tak perlu dibesar-besarkan, dibuat spanduk, dan baliho, maupun diberitakan besar-besaran. Toh saat pemerintah menyalurkan bantuan bukanlah pemberian hibah, atau apa pun namanya yang menjurus ke sosial, sebab sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memperhatikan rakyat bahkan menyejahterakannya.

Di samping itu, Ramadhan juga diisi dengan pembayaran zakat baik zakat fitrah maupun zakat maal/harta. Jangan sampai pembayaran zakat pejabat malah menggunakan dana rakyat dari APBN atau APBD. Zakat yang berarti bersih dan membersihkan juga tak bisa dibayar dengan harta hasil korupsi. Harta yang kotor tidak bisa dibersihkan dengan berzakat, berinfak, atau bersedekah.

Manusia-manusia yang menepati janji juga merupakan hasil didikan dari Ramadhan. Janji merupakan utang sehingga mereka khawatir kalau terlalu mengumbar janji akan memperbesar kran utangnya. Mereka bersikap disiplin dengan waktu dan tak mau main-main apalagi mempermainkan waktu.

Dalam menyongsong akhir Ramadhan, Rasulullah SAW. dan para sahabatnya menumpahkan kesedihan yang amat mendalam karena berlalunya bulan penuh pahala dan keberkahan. Banyak di antara mereka yang menangis, takut dan khawatir, kalau-kalau di tahun berikutnya tidak bisa lagi menemui Ramadhan.

Anehnya di saat sekarang ini, kita saksikan akhir Ramadan dipandang sebagai puncak dan pintu kebebasan bahkan sebebas-bebasnya. Kita merasa bebas dari kekangan dan kungkungan yang membatasi dirinya, seperti makan, minum, bicara, dan bergaul dengan siapa saja. Akibatnya, pasca-Ramadhan banyak manusia yang kembali tenggelam dalam lautan dosa dan kemaksiatan dan kembali pada keadaan sebelum Ramadhan.

Wajar apabila Nabi Muhammad SAW. menegaskan, tidak sedikit manusia yang mendapatkan sekadar lapar dan dahaga dari puasa Ramadhannya. Kita berlindung dari hasil kesia-siaan itu.

Amin.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan ini disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 16 Agustus 2012 / 27 Ramadhan 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by 
u-must-b-lucky
Anak saya yang baru saja datang dari klub tempat latihan tenis meja bertanya, "Pak, apa benar puasa itu seperti bermain tenis meja?" Saya balik bertanya, "Kata siapa?" "Kata pelatih!" jawabnya sambil menyimpan tas dan sepatu di rak. Saya mencoba mencari jawaban yang tepat agar dimengerti, masuk logika anak, dan tentu saja tidak menyesatkan. Setelah berpikir sejenak, saya menjawab, "Betul, Nak! Puasa itu seperti mengikuti kejuaraan tenis meja. Harus siap fisik, teknik, taktik, dan mental. Kalau tidak, kita kalah."

"Memangnya, puasa ada teknik dan taktiknya?" kata anak saya bertanya lagi. Sambil mengusap kepalanya, saya menerangkan padanya bahwa puasa itu betul-betul seperti yang saya sebutkan tadi. Puasa itu ibadah yang harus dijalani dengan menggabungkan kekuatan fisik dan mental, kemampuan teknik, dan kecerdasan taktik.

Di antara ibadah mahdhoh yang membutuhkan kekuatan fisik dan mental, selain ibadah haji/umrah adalah puasa, terutama pada bulan Ramadhan. Ibadah puasa tak ubahnya mengikuti kejuaraan olah raga. Siapa yang kuat fisik dan mentalnya, serta menguasai teknik dan taktik bermain, dialah yang akan menjadi pemenang. Sebaliknya, siapa yang lemah fisik dan mentalnya, dia akan menjadi pecundang dan hanya akan menjadi penonton saat orang lain naik podium merayakan kemenangan penuh sukacita.

Tujuan akhir puasa Ramadhan adalah meraih kemenangan, mendapatkan gelar paling terhormat di hadapan Allah SWT. yakni,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
...laAAallakum tattaqoona
...agar kalian menjadi orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Suatu gelar paling mulia bagi manusia sebagaimana Allah sebutkan dalam QS Al-Hujurat: 13,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
inna akramakum AAinda Allahi atqakum inna Allaha AAaleemun khabeerun
...sesunguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui hal-hal yang belum diketahui.

Meraih gelar tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap calon peserta harus mengikuti seleksi yang ekstra ketat. Dia harus bertanding mati-matian dengan segenap kemampuannya. Tidak boleh menyerah meskipun merasa lelah. Logikanya harus tetap berfungsi agar dia dapat menjalankan teknik-teknik yang sudah dikuasainya dengan baik. Dia juga harus cerdik menggunakan taktik saat mulai berada di lapangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah stabilitas emosional (mental). Kemampuan teknik seseorang akan hilang lebih dari 20 persen manakala mentalnya terganggu. Sehebat apa pun Wang Hao dalam teknik bermain, misalnya, pemain tenis meja Cina untuk Olimpiade di Inggris itu akan kehilangan kemampuan mengontrol bola di atas meja ketika emosinya terganggu. Akurasi pukulannya akan mengendur. Pasti, tidak akan menjadi juara seperti sekarang.

Itulah puasa. Banyak hal yang sangat berpengaruh pada para peserta "kejuaraan besar" ini. Setiap peserta (Muslim) mesti mempersiapkan stamina yang prima, karena selain harus menahan lapar dan dahaga, dia pun harus tetap survive untuk menjalankan aktivitas lain. Dia harus tetap shalat, tetap bekerja, dan berkreasi sesuai dengan profesinya masing-masing.

Angka Kecukupan Gizi
Stamina yang prima dihasilkan oleh nutrisi yang baik dan bergizi. Stamina yang prima bukan dihasilkan oleh kuantitas makanan yang masuk ke dalam perut, melainkan oleh kualitas gizi yang terkandung di dalamnya. Stamina yang prima ditentukan oleh angka kecukupan gizi.

Ramadhan membimbing umat Islam untuk belajar disiplin terhadap diri sendiri, terutama dalam soal makan.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
wakuloo waishraboo wala tusrifoo
Makan dan minumlah tapi jangan berlebihan. (QS. Al-A'raf: 31)

Berbuka puasa dan sahur secukupnya saja, tetapi asupan gizinya harus tetap tinggi. Makan yang berlebihan hanya akan menghilangkan lapar. Mengonsumsi makanan secara berlebihan justru berpotensi mendatangkan gangguan kesehatan. Semua penyakit berasal dari perut.

Islam mengajarkan kepada umatnya agar pandai-pandai memilih makanan yang baik dan halal, sehingga bermanfaat bagi tubuhnya, terutama saat menjalani ibadah puasa.

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ
Wakuloo mimma razaqakumu Allahu halalan tayyiban waittaqoo Allaha allathee antum bihi muminoona
Makanlah makanan yang halal dan baik dari semua yang telah (Allah) berikan kepada kalian. Bertakwa dan berimanlah kalian kepada Allah. (QS Al-Maidah: 88)

Dalam ayat lain Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Ya ayyuha alnnasu kuloo mimma fee alardi halalan tayyiban wala tattabiAAoo khutuwati alshshaytani innahu lakum AAaduwwun mubeenun
Wahai manusia, makanlah makanan halal yang ada di bumi dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqarah: 168)

Memasuki babak akhir Ramadhan, stamina fisik harus tetap terjaga karena semakin hari semakin berat. Sayang jika kita harus gugur di babak final. Oleh karena itu, sangat bijak untuk mengonsumsi makanan-makanan yang sarat gizi. Tetap disiplin untuk makan sahur pada akhir waktu dan berbuka pada awal waktu dengan porsi yang proporsional.

Ini termasuk teknik seorang peserta agar meraih kemenangan dalam "pertandingan besar" tahunan ini.

Stabilitas Mental
Puasa bukan hanya manahan lapar dan dahaga, puasa bukan hanya menahan lelah, melainkan mengontrol dan mengelola emosi agar menjadi kekuatan dahsyat. Emosi dalam kajian psikologis bukan hanya marah, melainkan juga rasa senang, syahwat, benci, tidak nyaman, dan lain-lain. Puasa adalah aktivitas menahan keinginan (syahwat) untuk makan, minum, berhubungan dengan lawan jenis. Jika semua dilanggar maka batal puasanya.

Puasa juga merupakan aktivitas mengelola perasaan benci, marah, dan mengelola fungsi mata, telinga, lidah agar sesuai dengan tupoksinya. Tidak menghasut, tidak mencaci, tidak ghibah, tidak mencerca, tidak memandang lawan jenis dengan penuh hasrat. Jika itu dilabrak, dia hanya akan mendapatkan lapar dan dahaganya, tidak mendapatkan pahala puasa.

Sebagai peserta tangguh, beradu badan, dan beradu kaki saat berebut bola adalah hal yang sangat wajar karena itu merupakan bagian dari dinamika permainan. Para perserta tidak boleh tersulut emosi karena akan merugikan. Mungkin tidak terlalu berpengaruh pada skor, tetapi sangat berpengaruh terhadap kualitas permainan.

Begitu juga puasa. Boleh jadi kita tersingung, boleh jadi kita merasa sakit hati, merasa didzalimi, dirampas hak, dilecehkan, dan dihina, tetapi "peserta pertandingan besar" tidak boleh meluapkan emosinya. Orang yang sedang shaum justru harus mengelola emosinya, belajar menjadi orang sabar. Sebab, itu yang diajarkan Rasulullah SAW., "Jika ada yang mengajak bertengkar, katakan, 'Aku sedang puasa'."

Dengan demikian, fisik kuat, mental mantap, dan bersiaplah menyongsong podium untuk menerima piala besar langsung dari Allah SWT. Nabi mengatakan, imbalan puasa akan langsung diberikan oleh Al-Khalik.***

[Ditulis oleh NANA SUKAMANA, pengurus DKM Asy-Syifa STIKES Bhakti Kencana Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 10 Agustus 2012/21 Ramadhan 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Begitu mudahnya sebuah nyawa melayang. Hanya karena bersenggolan di tempat keramaian lalu terjadi perkelahian dan nyawa hilang. Akibat rebutan uang receh juga membuat amarah memuncak lalu membunuh teman yang selama ini sering bergurau bersama.

Puasa atau shaum pada hakikatnya tidak sebatas menahan nafsu makan dan minum dari Subuh sampai Maghrib, melainkan pelatihan menahan nafsu dan amarah. Bentuk tipu daya setan di antaranya amarah dan dendam kesumat.

Amarah dan dendam kesumat akan mengeraskan dan menodai hati. Rasulullah SAW. ketika dimintai nasihat oleh salah seorang sahabatnya tentang urusan agama hanya bisa menjawab dengan singkat, "Jangan marah."

Sahabat Abu Hurairah RA. berkata, seseorang datang menemui Rasulullah SAW. dan meminta diajarkan perkara agama dan ia meminta agar tidak banyak-banyak sehingga tidak memberatkan, Rasulullah SAW. menjawab, "Jangan marah." Orang itu bertanya sampai tiga kali, dan dijawab Rasulullah SAW. dengan jawaban yang sama, "Jangan marah." Sikap tidak marah menunjukkan hati yang lemah lembut.

Kelembutan hati Rasulullah SAW. diakui seorang sahabat bernama Anas bin Malik RA.
"Aku telah melayani Rasulullah SAW. selama sepuluh tahun. Demi Allah, Nabi tidak pernah mengeluarkan kata-kata menghardik kepadaku, tidak pernah menanyakan, 'Mengapa engkau lakukan?' dan pula tidak pernah mengatakan, 'Mengapa tidak engkau lakukan?" (HR. Bukhari Muslim)

Hadits di atas menggambarkan betapa terpuji sifat dan akhlak Rasulullah SAW. yang tidak pernah menghardik atau membentak ketika menyikapi seseorang. Bahkan, terhadap seseorang yang dianggap pembantu di rumah tangga. Akhlak yang dicontohkan Rasul adalah bersikap lemah lembut.

Sikap lemah lembut ini menjadi prinsip dasar bagi siapa saja yang mengharap ridha Allah SWT. Sahabat Jarir bin Abdullah RA. meriwayatkan sebuah hadits. Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, ia tidak dikarunia segala macam kebaikan." (HR Muslim)

Ath-Thabrani dengan sanad dari Abu Darda' RA. meriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah SAW. mengadukan hatinya yang keras. Lalu Rasul pun bersabda,
"Apakah kamu suka jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi? Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah ia makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhamu terpenuhi." (HR. Ath-Thabrani)

Teladan Rasulullah SAW. tersebut mengarah pada saran bagi setiap orang yang berhati keras (sekeras perilakunya) agar melatih sifat lemah lembut atau melunakkan hatinya dengan belajar memberi kasih sayang secara lahir berupa makan dan minum dan kasih sayang batin dengan mengusap kepala anak yatim (touch behavior).

Bayangkan jika ajaran tersebut kita praktikan, saat kita melihat, bertemu, dan bersentuhan langsung (kontak fisik) dengan anak yatim. Hati kita juga akan tersentuh, tubuh kita bergetar, terasa aliran darah mengalir mengirim sinyal-sinyal pesan kasih sayang ke otak.

Di otak ini, pesan akan diorganisasi menjadi perintah dalam bentuk perilaku. Dengan seizin Allah, pesan kasih sayang yang kita miliki akan berbuah hikmah sikap dan perilaku kita menjadi lebih lemah lembut.

Puasa sebulan di Ramadhan ini sebagai ajang latihan terbaik untuk menahan amarah sekaligus melembutkan hati. Meskipun banyak godaan sehingga membuat kita seharusnya menumpahkan amarah, toh bisa kita tahan. Caranya, dengan satu kalimat,

Inni shoimun (saya sedang berpuasa).

Demikian pula dengan lemah lembut bisa terbentuk melalui puasa ini. Bukankah selama puasa kita dilatih untuk merasakan penderitaan dan kesusahan orang lain? Kita juga dilatih agar mengulurkan kebaikan termasuk harta benda kita kepada orang-orang yang membutuhkannya.

Alangkah baik apabila orangtua mengajak anak-anaknya mengunjungi panti-panti asuhan, panti jompo, atau rumah sakit. Tujuannya agar anak-anak melihat langsung kondisi orang-orang yang berada dalam kesusahan dan penderitaan. Anak-anak yatim piatu bisa diminta menceritakan kondisi kehidupannya yang sudah ditinggalkan kedua orangtuanya.

Dampak dari kunjungan itu adalah meningkatkan rasa syukur kepada anak maupun diri kita sebagai orangtua dan menambah kepedulian sosial kepada orang-orang yang kesusahan. Ramadhan mengajarkan kita kelembutan dan kepedulian sebagai bekal menggapai kehidupan di sebelas bulan berikutnya.

Insya Allah. Semoga. ***

[Ditulis oleh : H HABIB SYARIEF MUHAMMAD AL AYDRUS, mantan anggota MPR RI dan Ketua Yayasan As-salaam Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 9 Agustus 2012 / 20 Ramadhan 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

Ada kesangsian yang luar biasa besar di kalangan para malaikat ketika Allah SWT. menyatakan akan menciptakan makhluk yang bernama manusia.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Waith qala rabbuka lilmalaikati innee jaAAilun fee alardi khaleefatan qaloo atajAAalu feeha man yufsidu feeha wayasfiku alddimaa wanahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka qala innee aAAlamu ma la taAAlamoona
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 30)

Setelah manusia pertama diciptakan Allah, yakni Adam, tercipta Siti Hawa yang kemudian menjadi istri Adam. Selanjutnya manusia pun berkembang jumlahnya. Turun-temurun berkelanjutan hingga kini dengan jumlahnya yang kurang lebih mencapai 7 miliar orang.

Apa yang pernah menjadi keberatan para malaikat memang terbukti, manusia membuat kerusakan di muka bumi. Terjadi saling bunuh dengan cara yang berbeda-beda, baik perseorangan maupun secara massal.

Namun, tentu saja tidak semuanya benar apa yang dipertanyakan malaikat tadi. Makna dari pernyataan Allah bahwa "Aku lebih mengetahui dari apa-apa yang tidak kamu ketahui," dengan jelas terbukti. Manusia tidak semuanya berperilaku buruk. Ada manusia-manusia yang berperilaku baik, taat menjalankan perintah-perintah Allah, tegas dalam menjauhi apa-apa yang dilarang Allah. Mereka adalah hamba-hamba Allah, yang berpegang teguh untuk tetap mengimani Allah.

Bulan Ramadhan, yang menjadi hari-hari diwajibkannya orang-orang beriman untuk berpuasa, menjadi salah satu jawaban kebenaran apa yang Allah nyatakan pada ayat di atas.

Manusia-manusia yang beriman kepada Allah begitu tekun menjalankan kewajiban untuk tidak makan, tidak minum, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang merusak puasanya. Tidak hanya pada saat dalam keadaan terlihat manusia lain, bahkan ketika menyendiri di kesepian pun tidak berani merusak puasanya. Apa yang mendorong orang-orang mau menjalankan ibadah puasa seperti itu? Tentu saja karena didorong oleh keimanan.

Pernah Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat, "Siapakah yang terbaik dari kalangan makhluk Allah?" Para sahabat menjawab, "Malaikat!"

Kata Rasul, "Bukan, kalau malaikat selalu taat beribadah adalah wajar, karena mereka adalah makhluk yang diberi tugas langsung oleh Allah serta tidak diberi nafsu."

Lalu kata sahabat, "Kalau bukan malaikat, berarti para nabi dan rasul yang terbaik itu." Kata Rasul, "Juga bukan, kalau nabi dan rasul itu taat kepada Allah adalah hal wajar, karena mereka adalah orang-orang yang dibimbing langsung oleh Allah dengan cara diberi wahyu."

Lalu sahabat kembali bertanya, "Kalau begitu berarti kamilah para sahabat yang terbaik itu." Kata Rasul, "Juga bukan, kalau kamu menjadi orang-orang yang baik adalah wajar, karena kamu semua mendapat bimbingan langsung dariku." Lalu sahabat bertanya, "Kalau begitu, lalu siapa makhluk yang terbaik itu?"

Kata Rasul, "Makhluk terbaik itu adalah orang-orang yang hidup sesudah kita dan mereka tetap beriman kepada Allah, padahal mereka tidak mendapat wahyu langsung dari Allah dan tidak dibimbing secara langsung oleh para rasul."

Semoga, Ramadhan benar-benar merupakan momentum yang menjadi jawaban hamba-hamba Allah akan kesangsian para malaikat. Untuk itu, kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah harus semakin meningkat. Jangan mengundang kemurkaan Allah, karena pada Ramadhan ini Allah sedang membangga-banggakan hamba-Nya di hadapan para malaikat. 

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.,
"Ramadan adalah bulan penuh berkah, dosa-dosa dihapus, doa-doa diijabah. Untuk itu, tampilkanlah amal sebaik-baiknya, karena Allah sedang membangga-banggakan kamu semua di hadapan para malaikat-Nya." (Hadis Riwayat Thabrani)
***

[Ditulis oleh AGUS ISHAK, Ketua Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia KBB. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 3 Agustus 2012 / 14 Ramadhan 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Khoja Ahmad Mubarak, sufi pengembara (darwis), abad ke-16, menatap hilal (bakal bulan sabit), pertanda datang bulan Ramadhan, dengan wajah berseri-seri. Di suatu perhentian kafilah kota Balkh, Afghanistan, ia menyerukan sabda Nabi Muhammad SAW. tentang kegembiraan menyambut Ramadhan.

"Atakum Ramadhanu sayyi-dusy syuhuri! Fa marhaban bihi wa ahlan. Ja-a syahrush shiyami bil barakati. Fa akrim bihi min za-irin huwa-atin." Artinya, "Telah datang kepadamu bulan, penghulu segala bulan. Selamat datanglah kepadanya. Telah datang bulan shaum membawa segala macam keberkatan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu."

Selama menjalankan ibadah shaum seraya berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lain, dan menyantuni fakir miskin serta orang-orang lemah, Khoja Ahmad selalu menampakkan wajah berbeda-beda. Suatu kali ia sangat murung. Suatu kali ia sangat gembira. Sahabat sepengembarannya mempertanyakan hal itu.

Khoja Ahmad menjawab, "Hatiku selalu diinggapi perasaan cemas. Takut kesempatan setahun sekali ini terlepas dariku. Lalu aku tak dapat apa-apa dari keberkahan Ramadhan. Ingatkah kau akan sabda Nabi SAW. bahwa telah datang kepada kita bulan Ramadhan penuh berkah. Allah telah mewajibkan bagi kita shaum di dalamnya. Pintu surga dibukakan. Pintu neraka dikunci rapat. Semua setan dibelenggu erat. Dalam Ramadhan itu pula, terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa tidak diberikan kebajikan malam itu, maka tidak diberikan kebajikan kepadanya. Wahai, sahabat! Mampukah kita memasuki surga yang terbuka lebar itu dengan kehinadinaan diri kita? Mampukah kita lolos dari neraka yang terkunci rapat itu dengan kesombongan ego kita? Mampukah kita melepaskan diri dari tipu daya setan yang terbelenggu itu dari kelengahan kita yang sudah menjadi kebiasaan? Dan mampukah kita memanfaatkan malam seribu bulan dengan kebajikan kita yang serba terbatas? Untuk itu, aku selalu cemas dan cemas!"

"Tapi sesekali kulihat engkau tampak gembira," kata sahabatnya kembali bertanya. "Aku punya harapan," jawab Khoja Ahmad, "Karena sabda Nabi SAW. mengenai bulan Ramadhan adalah janji penghapusan dosa bagi orang yang melakukan fardhu shaum di dalamnya, menjalankan sunah Nabi dengan mendirikan ibadah malam hari. Ramadhan itu sendiri terdiri atas tiga fase. Sepuluh hari pertama, ampunan. Sepuluh hari kedua, rahmat. Dan sepuluh hari ketiga, pembebasan dari api neraka. Siapa yang tak berharap akan ampunan, rahmat, dan pembebasan dari siksa?"

Kisah di atas menjadi tuturan cerita rakyat (folklor) di kalangan pengikut sufi tradisional. Banyak dikutip para pengamat sufi. Antara lain, Idris Shah (wafat 1996), penulis buku Tales of Sufi, The Way of Sufi, dan lain-lain. Banyak disukai, karena mengandung unsur koreksi diri (muhasabah) terhadap watak manusia, yang pada dasarnya lemah tetapi selalu ambisius, mulia tetapi kadang-kadang sesat dan hina, mengetahui kebenaran tetapi sering lupa karena diselimuti kabut kesalahan.

Prinsip takut (khauf) dan harap (raja'), yang dipopulerkan Imam Gazhali (abad 11), penulis Ihya Ulwnuddin, menjadi acuan para shoimin (orang-orang yang menjalankan Shaum), dalam menghadapi ujian Ramadhan. Takut menjalani lapar, dahaga, dan menghindari nafsu syahwat siang hari yang semua bersifat fisik, tidak dibarengi ketetapan hati dari gangguan was-was, ketertutupan mata, telinga, dan mulut dari berbagai penglihatan, pendengaran, dan ucapan kotor, sehingga shaumnya kehilangan nilai. Hanya mendapat lapar dan dahaga serta lesu juga kantuk akibat bangun malam. Pahalanya nol besar (Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah dan at Thabarani). Sebab, setiap manusia, sering terkooptasi oleh tiga hal yang oleh Nabi SAW. dianggap merusak (tsalatsa muhlikaf), yaitu i'jabul mir'i bi nafsihi (takjub terhadap diri sendiri), syahhun matha'un (kekikiran yang akut), dan hawan mattaba'un (hawa nafsu yang diperturutkan).

Sementara itu, harapan terletak pada keagungan nilai Ramadhan itu sendiri, yang terbuka bagi siapa saja yang ingin mengecapnya, dengan syarat imanan (beriman kepada Allah dan Rasul-Nya), dan ihtisab (mengharap ampunan Allah). Kesempatan setiap manusia menikmati bulan Ramadhan setiap tahun, dengan imanan wahtisaban merupakan kesempatan untuk menghapus dosa-dosa kecil dalam tenggang waktu itu, selama tidak berbuat dosa-dosa besar.

Sabda Nabi SAW.,
"Ash shalatul khamsu waljumu'atu ilaljumu'ati wa ramadhanu ila ramadhani mukaffiratun lima bainahunna idaj tunibatil kaba-iru." Artinya, shalat lima waktu, shalat Jumat ke Jumat, dan dari Ramadan ke Ramadan, menjadi penebus dosa yang ada di antaranya, selama menjauhi dosa-dosa besar. (Hadits sahih riwayat Muslim)

Sufi pengembara Khoja Ahmad Mubarak mengingatkan kita, agar memperhatikan adab dan tertib shaum Ramadhan sebagai sarana, bukan tujuan. Sementara tujuan dari Ramadhan itu sendiri, adalah pencapaian taqwa. Ia ingin shaum itu sebenar-benar shaum, total, menyeluruh. Tidak hanya lapar dan dahaga. Karena untuk tiba ke tujuan tattaqun (bertaqwa) diperlukan alat dan penggunaan alat yang baik dan benar. Tidak asal-asalan.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
innama yataqabbalu Allahu mina almuttaqeena
Sesungguhnya Allah hanya menerima amal ibadah dari orang yang taqwa kepada-Nya saja. (QS. Al Maidah: 27)

Di pengujung bulan Ramadhan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berseru, mempertanyakan siapa gerangan yang puasanya diterima atau ditolak. Kepada yang diterima, akan mengucapkan tahni'ah. Selamat berbahagia. Kepada yang ditolak, akan dihibur agar terlepas dari gundah gulana.

Nabi Muhammad SAW. juga berseru di akhir Ramadhan,
"Wahai saudara-saudara yang puasanya telah diterima oleh Allah SWT. bergembiralah kalian. Namun, wahai saudara-saudara yang puasanya ditolak, semoga Allah SWT. menghapus bencana yang telah menimpa kalian."
Semoga kita menemukan Ramadhan yang bernilai seperti dambaan Khoja Ahmad Mubarak.***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI, pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk, Garut, pembimbing haji dan umrah BPIH Megacitra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 2 Agustus 2012 / 13 Ramadhan 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky