Tidak lama lagi kita akan bertemu dengan salah satu di antara dua hari besar umat Islam yang secara resmi ditetapkan oleh Rasulullah SAW., yaitu Iduladha atau Idulkurban. Sudah sama-sama kita mahfum bahwa pada bulan Zulhijah ada satu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah kepada umat Islam yang mampu, yaitu melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka yang tidak berangkat melaksanakan ibadah haji, dianjurkan untuk menyambut hari raya tersebut dengan taqorrub kepada Allah serta mewujudkan solidaritas sosial, yakni menolong orang-orang yang tidak mampu.

Pada setiap hari raya hendaklah disambut oleh umat Islam dengan taqorrub dalam bentuk menggemakan takbir, tahmid, tahlil, dan kemudian berbondong-bondong ke lapangan untuk melaksanakan shalat Ied. Untuk Idulfitri ada kewajiban zakat fitrah, sedangkan untuk Iduladha ada perintah untuk melaksanakan kurban. Kepada yang sedang melaksanakan ibadah haji, tepat tanggal 10 Zulhijah mereka sedang melaksanakan sejumlah kegiatan pokok dari ibadah haji, di antaranya mabit di Musdalifah, jumrotul 'aqobah di Mina. Kemudian mereka berbondong-bondong datang ke Mekah untuk melaksanakan thawaf rukun, yakni thawaf ifadhoh. Tepat 10 Zulhijah, mereka harus kembali lagi ke Mina serta menginap selama dua hari sampai tiga malam. Jadi, puncak dari upacara pelaksanaan ibadah haji itu pada 9 dan 10 Zulhijah.

Bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji, ada anjuran dari Nabi. Pertama, satu hari sebelum Iduladha yakni pada hari Arafah, umat Islam dianjurkan melaksanakan shaum Arafah. Shaum Arafah atau puasa pada 9 Zulhijah bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji dan ini telah dicontohkan oleh Nabi jauh sebelum turun Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 183, perintah tentang puasa Ramadhan. Shaum Arafah yang tepat tanggal 9 Zulhijah itu sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW. sejak beliau berada di Kota Mekah.

Beberapa ahli tafsir mengemukakan, shaum Arafah merupakan shaum sunah yang juga sudah disyariatkan oleh sejumlah nabi sebelum beliau. Sekali lagi kita dianjurkan untuk melaksanakan ibadah shaum pada tanggal 9 Zulhijah. Selain kita melaksanakan ibadah shalat Ied di lapangan, kepada ibu-ibu yang sedang haid pun dianjurkan untuk datang ke lapangan sekaligus mendengarkan khotbah dan menggemakan takbir. Juga diperintahkan oleh Allah SWT. kepada umat Islam untuk melaksanakan pemotongan hewan kurban.

Dalam ajaran Islam, paling tidak ada tiga macam ibadah yang diwujudkan dalam bentuk pemotongan hewan kurban.
  • Pertama, tepat tanggal 10,11,12, dan 13 Zulhijah yang dilakukan oleh mereka yang mampu untuk melaksanakan pemotongan hewan kurban. Di antaranya satu kambing untuk satu orang, paling tidak untuk satu keluarga, dan satu sapi untuk tujuh orang.
  • Kedua, yang terikat atau satu paket dengan ibadah haji. Bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji tamattu atau qirad diperintahkan melaksanakan pemotongan kurban, atau dikenal dengan alhadyu atau pula sering disebut dengan istilah dam tamattu dan dam qirad. Pemotongan hewan yang ada kaitannya dengan ibadah haji ini mesti dilakukan di Mina dan tidak boleh dilakukan di negeri sendiri. Bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan alhadyu, diperintahkan untuk menggantinya dengan puasa selama 10 hari, 3 hari di musim haji yakni di Tanah Suci dan 7 hari setelah pulang ke negeri masing-masing.
    Selain alhadyu dalam prosesi ibadah haji, ada ibadah lainnya yang juga disebut alhadyu atau dam, semacam denda karena pelanggaran-pelanggaran tertentu kepada mereka yang sedang melaksanakan ihram, termasuk yang tidak sempat melaksanakan mabit di Musdalifah, karena kesiangan di Arafah atau karena terlampau cepat keluar dari Musdalifah kemudian masuk ke Mina, mereka pun diperintahkan untuk memotong satu kambing.
    Juga kepada mereka yang terkena sesuatu, seperti uzur serta tidak berada di Mina pada saat mesti ada di Mina, mereka pun sama diperintahkan untuk memotong satu kambing dan semuanya mesti dilakukan di Mekah. Kemudian bagi mereka yang datang ke Mekah dengan melewati Miqot, mestinya dia berihram di Miqot. Akan tetapi, karena ketidaktahuan atau karena sesuatu hal dia melewati, dia pun terkena denda harus memotong satu kambing. Dam atau denda ini berlaku pula kepada mereka yang ketika melaksanakan ihram kemudian jatuh sakit.
  • Ketiga, ibadah memotong kambing karena dianugerahi oleh Allah kelahiran seorang bayi. Ketika bayi itu menginjak hari ketujuh, lakukanlah pemotongan hewan. Memotong satu kambing untuk bayi wanita dan dua kambing untuk bayi pria, ini namanya adalah akikah.
    Mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah itu bernilai sunah (anjuran), sehingga baik sekali untuk dilakukan. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa akikah itu hukumnya wajib bagi mereka yang mampu.
Mengenai ibadah kurban yang mengikat pada setiap Muslim, baik bagi mereka yang sedang ibadah haji maupun yang tidak melaksanakan ibadah haji, itu ada semacam ikhtilaf di kalangan para ulama. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa kurban itu bernilai wajib hukumnya, seperti yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, yang pengaruh mazhabnya banyak diikuti oleh umat Islam di Afrika Utara. Kedua, mengatakan bahwa kurban itu hukumnya adalah sunah tetapi muakadah, yakni sunah tetapi dekat kepada wajib.

Menurut sejarah, ibadah kurban ini adalah termasuk ibadah yang paling tua usianya karena kurban sudah disyariatkan oleh Allah kepada putra-putra Nabi Adam AS. Seperti diungkapkan dalam Al-Qur'an mengenai kisah Qabil dan Habil yang telah melakukan kurban. Kemudian mengenai ibadah kurban ini diabadikan oleh para nabi yang terdahulu, seperti Nabiyullah Ibrahim AS. yang diuji oleh Allah SWT. dengan mengorbankan putra kesayangannya sebagai hasil proses doa demi doa bertahun-tahun, yakni Ismail AS. Bahkan, masyarakat Jahiliyah sebelum Nabi lahir, sudah ada kebiasaan berkurban.

Menurut catatan sejarah, Nabi sendiri pernah mengemukakan, "Saya adalah keturunan dari dua orang yang pernah dikurbankan." Yang dimaksud adalah pertama, Nabi Ismail AS. Kedua adalah Abdullah, ayah beliau sendiri yang pernah dikorbankan yang kemudian diganti dengan mengorbankan 100 unta oleh kakeknya, yaitu Abdul Mutholib.

Bahkan Al-Qur'an Surat Al-Kautsar menegaskan bahwa kurban itu harus menjadi bagian manifestasi syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita.


إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Inna aAAtaynaka alkawthara 
Fasalli lirabbika wainhar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.

Aku berikan kepadamu nikmat yang serba banyak, maka sikapi nikmat itu dengan fasholli yakni lakukan shalat, wanhar, dan berkurban. Shalat dan berkurban sebagai salah satu manifestasi syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Wallahualam bissawab. ***

[Ditulis oleh M. SARIPUDDIN ABDURROCHIM, ketua Dewan Kemakmuran Masjid Arrahim, Kompleks Guruminda Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung dan khatib Jumat di beberapa masjid di Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 19 Oktober 2012 / 3 Zulhijah 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Kalau ditanya surat apa di Al-Qur'an yang paling hafal? Tentu rata-rata menjawab QS. Al-Kautsar yang terdiri atas tiga ayat pendek-pendek. Surat ini termasuk golongan surat-surat Makkiyyah diturunkan sesudah Surat Al-'Aadiyaat. Dinamakan Al-Kautsar, bermakna nikmat yang banyak diambil dari perkataan al-kautsar yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat ini sebagai penghibur hati Nabi Muhammad SAW. yang sedang "galau" (kalau menggunakan bahasa anak sekarang).

Pokok-pokok isi Surat Al-Kautsar adalah Allah telah melimpahkan nikmat yang banyak karena itu shalat-lah dan berkorbanlah. Nabi Muhammad SAW. akan mempunyai pengikut yang banyak sampai hari kiamat dan akan mempunyai nama yang baik di dunia dan di akhirat.

Kondisi Nabi Muhammad SAW. tidak sebagai yang dituduhkan pembenci-pembencinya. Surat ini menganjurkan agar orang selalu beribadah kepada Allah dan berkorban sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.

Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah yang diwujudkan dalam bentuk pemotongan hewan. Menurut Al-Qur'an, ibadah ini merupakan warisan dari sejak zaman Nabi Adam AS. ada di bumi. Ketika itu, Habil dan Qabil diperintahkan Allah untuk berkurban ketika memperebutkan seorang wanita bernama Iqlima.

Namun, makna kurban secara khusus diterangkan Al-Qur'an yakni seperti kurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. Ibadah kurban adalah pelestarian pelajaran yang baik dari Nabi Ibrahim AS. yang mengurbankan putranya sendiri, Ismail AS.

Meskipun begitu, Allah membuktikan bila seseorang telah berkurban, Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Dalam hal ini, selalu ada jaminan dari Allah kalau orang yang berkurban tidak akan menjadi miskin.

Nabi Muhammad SAW. sendiri melaksanakan ibadah kurban di Madinah setiap tahunnya. Tidak ada setahun pun yang Nabi lewatkan untuk berkurban. Bahkan, pada tahun terakhir hidupnya sebelum wafat, Nabi berkurban seratus kambing. Padahal, ketika itu ekonomi keluarga Nabi sedang pas-pasan. Namun, Nabi tetap bisa mempersiapkan ibadah kurban dengan baik.

Hal lebih menarik ketika Nabi Muhammad SAW. menegaskan,
"Saya berkurban bukan untuk diri saya. Saya berkurban mewakili umat saya yang tidak mampu berkurban, dan saya berkurban mewakili keluarga saya yang tidak mampu berkurban. Karena, saya tidak tahu barangkali tahun depan saya tidak bisa berkurban lagi."

Berkenaan dengan berkurban, Rasulullah SAW. sendiri sangat keras mengingatkan umatnya berkurban. Dalam suatu riwayat dinyatakan,
"Barang siapa yang mampu berkurban tetapi tidak mau berkurban, maka janganlah dekat-dekat dengan tempat shalatku."

Tak heran apabila sebagian ulama berpendapat ibadah kurban adalah wajib, sehingga mereka yang tidak mau berkurban dinyatakan tidak pantas datang ke tempat shalat Nabi. Meskipun begitu, ada juga ulama yang berpendapat berkurban adalah sunah muakad, sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

Dalam berkurban, Nabi sendiri mencontohkan hewan yang dijadikan kurban haruslah dipilih yang baik dan usianya mencapai ketentuan minimal. Selain itu, orang yang berkurban hendaknya ikhlas dan dari rezeki yang halal.

Al-Qur'an sendiri menyatakan, dalam ibadah kurban bukan darah dan dagingnya yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan dan keikhlasan sebagai bentuk untuk mendekatkan diri kepada Allah sebab makna kurban adalah mendekatkan diri. Selain aspek keimanan dan ketakwaan, ibadah kurban juga mampu berdampak secara sosial. Sederhananya, kurban adalah salah satu bentuk ibadah orang kaya kepada mereka yang tidak mampu dan miskin. Tujuannva, menghilangkan kecemburuan dan kesenjangan sosial.

Diharapkan, dengan kurban ada semacam komunikasi antara yang kaya dan miskin. Hal ini terbukti di banyak daerah di Indonesia. Nuansa keakraban mampu tercipta antara yang kaya dan yang miskin terjalin ketika ibadah kurban.

Tak hanya itu, ibadah kurban juga sebagai bentuk penyadaran kepada mereka yang mendapatkan kelebihan harta dari Allah. Rezeki dari Allah harus disalurkan sesuai dengan perintah-Nya.

Al-Qur'an sendiri menyebutkan bahwa orang-orang yang baik adalah mereka yang siap menginfakkan segala apa yang Allah berikan kepada dirinya untuk kepentingan orang lain. Infak bisa berupa ilmu, keahlian, wibawa, harta, tenaga, bahkan kedudukan. Semua itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan orang banyak, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Dalam skala yang lebih luas, berkurban atau berkorban merupakan syarat untuk mendapatkan hasil yang baik saat ini dan di masa depan. Semua itu harus ditebus dengan semangat berkorban. Bagaimana pun, tidak ada hasil yang baik tanpa adanya pengorbanan.

Selamat Iduladha. Selamat berkorban agar menjadi manusia terbaik, yakni bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya.***

[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI. Kota Bandung, Ketua Yayasan Ad Dakwah, dan pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 18 Oktober 2012 / 2 Zulhijah 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Kita menyadari bahwa sifat iman dalam diri kita bersifat fluktuatif. Saat kadar iman sedang menebal, kita selalu rajin melaksanakan ibadah-ibadah sebagai bukti ketaatan kepada Allah. Akan tetapi, saat iman menipis, memudar pula ketaatan kita kepada-Nya.

Hal ini mengindikasikan lemahnya istiqamah sebagai pengawal keimanan kita. Tidak heran, sebagian di antara kita merasa lebih beriman dalam kondisi berkecukupan, tetapi merasa kurang beriman dalam kondisi berkekurangan. Begitu juga sebaliknya. Kita sering merasa kuat iman jika sehat walafiat, tetapi lemah iman saat sakit. Pun sebaliknya begitu.

Allah SWT. menggambarkan kondisi keimanan kita dalam hadits qudsi-Nya,

"Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada yang merasa kurang imannya, kecuali dengan kekayaan. Dan jika ditimpa kemiskinan, sungguh ia kufur. Dan di antara hamba-hamba-Ku ada yang merasa kurang imannya kecuali dengan kemiskinan. Dan jika diberi kekayaan, sungguh ia kufur. Dan di antara hamba-hamba-Ku ada yang merasa kurang imannya ke¬cuali dengan kesakitan. Dan saat dianugerahi kesehatan, ia kufur. Dan di antara hamba-hamba-Ku ada yang kurang imannya kecuali dengan kesehatan. Dan saat ditimpa kesakitan, ia kufur."

Keterangan ini menggambarkan bahwa naik turunnya iman seseorang merupakan sifat dasar manusia. Namun bagaimana pun, kita tidak menginginkan kadar iman kita melemah dan berkurang. Tidak sedikit orang yang gencar menyuarakan kebenaran, tetapi sesaat kemudian ia lesu karena tergoda oleh kekuasaan dan harta yang menggiurkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap istiqamah sebagai penjaga, pengawal, dan energi agar sumbu iman kita tetap menyala.


Suatu hari Abu Amrah bin Abdullah menemui Rasulullah SAW. dan berkata, "Ya Rasulullah, sampaikanlah padaku suatu perkataan yang tidak akan aku tanyakan kepada selain engkau." Rasulullah SAW. berkata, "Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah." (HR Muslim)

Hadits ini memberi inspirasi bahwa ada dua perkara besar dalam keislaman seorang Muslim, yakni iman dan istiqamah. Mengapa iman? Karena iman merupakan fondasi, dasar, dan akar keislaman seseorang. Sebaik apa pun seseorang, rajin beramal dan selalu berbuat baik terhadap sesama, jika tidak dilandasi keimanan, amalnya tetap tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.

Bila dianalogikan dengan sebuah pohon, iman adalah akar yang menghunjam ke dasar bumi, akar yang kuat menjadikan batang pohonnya kuat pula, dan memungkinkan menghasilkan buah yang manis. Bila pohon itu ditebang, sedangkan akarnya masih menghunjam kuat di dalam bumi, pohon itu akan tetap tumbuh, berbatang, berdaun, dan berbuah. Sebaliknya, jika pohon itu ditebang hingga ke akar-akarnya, riwayat pohon pun habis sampai di sana. Itulah kekuatan iman dalam keislaman seseorang dan peranannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.

Bekal iman saja tidak cukup, perlu realisasi amal nyata sebagai buktinya, dengan cara patuh, taat, dan ikhlas menjalankan segala titah Allah dan bersedia meninggalkan segala perkara larangan-Nya. Ini tidaklah mudah, dibutuhkan sikap kuat, mental baja, dan pendirian teguh untuk menggapainya, yang disebut dengan istiqamah. Oleh karena itu, istiqamah penting peranannya sebagai kekuatan untuk memperjuangkan nilai-nilai keimanan dan keislaman.

Secara harfiah, istiqamah diambil dari istaqama - yastaqimu - istiqamah yang berarti tegak, berdiri, kuat, kokoh, lurus, dan konsisten. Jika diartikan lebih lanjut, istiqamah merupakan sikap mental yang kuat, dan sikap teguh pendirian dalam melaksanakan perintah Allah, dan konsisten meninggalkan larangan-Nya. Seorang yang istiqamah memiliki keyakinan yang tidak mudah terganggu oleh hal-hal yang menjauhkan dari agama. Ia mempunyai prinsip yang tidak mudah tergoda dengan perkara-perkara yang melenakan, dan ia memiliki keteguhan hati yang tidak mudah goyah oleh sesuatu yang menyesatkan dan merugikan keislamannya.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan makna istiqamah yang dikemukakan oleh para sahabat terdekat Rasul. Menurut Abu Bakar RA., istiqamah adalah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun (tauhidullah). Mengapa Abu Bakar RA. menghubungkan istiqamah dengan tauhidullah?

Al-Jauziah menjelaskan bahwa hanya dengan pijakan tauhidullah-lah seorang Muslim mampu beristiqamah dalam situasi dan kondisi apa pun.

Sementara Umar bin Khattab RA. berkata bahwa istiqamah adalah konsistensi dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya dan tidak pernah berbelok sedikit pun. Kemudian Utsman bin Affan RA. menambahkan bahwa istiqamah adalah mengikhlaskan segala amal semata-mata karena Allah SWT. Seorang yang istiqamah memiliki niat ikhlas dalam segala amalnya.

Kisah para sahabat dahulu telah membuktikan kekuatan iman yang diiringi dengan sikap istiqamah. Bilal bin Rabah RA., seorang budak belian berkulit hitam legam tidak pernah goyah sedikit pun mempertahankan tauhidnya. Demi iman, ia rela badannya ditelanjangi dengan cambukan kasar ratusan kali yang menderanya. Kemudian digusur dan diletakkan di atas batu panas karena sengatan matahari yang membakar. Ia terus dipaksa memeluk kembali kepada agama tuannya, dicambuk, disiksa sampai berdarah-darah untuk kembali tetapi imannya bergeming sedikit pun dari jiwanya. Mulutnya tersenyum dengan iringan kata ahad, ahad, ahad.

Demikian pula dengan keluarga Sumayyah dan Amar bin Yasir, Mereka disiksa, dibantai, dan dipaksa untuk kembali ke agama nenek moyangnya tetapi akidah mereka tetap tertancap kuat dan tidak pernah bergeser sedikit pun dari akar jiwa mereka.

Inilah bukti bahwa hanya dengan pijakan tauhid-lah seorang Muslim mampu beristiqamah dalam situasi dan kondisi apa pun. Mereka yakin ada surga yang telah Allah janjikan untuk orang-orang yang beriman dan beristiqamah.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Inna allatheena qaloo rabbuna Allahu thumma istaqamoo tatanazzalu AAalayhimu almalaikatu alla takhafoo wala tahzanoo waabshiroo bialjannati allatee kuntum tooAAadoona

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendiriannya (istiqamah), maka para malaikat akan turun kepada mereka dan berkata, janganlah kalian merasa takut dan bersedih. Dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu. (QS. Fushshilat: 30)

Oleh karena itu, iman yang kita miliki hari ini jangan sampai berubah melemah esok hari. Iman perlu dibela dan dipelihara serta diperjuangkan dengan sikap istiqamah yang membaja. Tidak pernah ada ketakutan dan kesedihan bagi orang-orang yang beriman dan istiqamah karena balasannya surga yang telah Allah janjikan. ***

[Ditulis oleh TAUFIK HIDAYATULLAH, Ketua Bidang Dakwah Pemuda Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) Pacet, pengurus DKM Masjid Jami' Al-Huda Pacet Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 12 Oktober 2012 / 26 Zulkaidah 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Ketika kehidupan kita dipenuhi dengan sikap mementingkan diri sendiri, kita perlu sosok seperti Nabi Ibrahim AS. Saat kondisi negara carut-marut, keadilan jauh dari harapan, kita butuh pemimpin seperti Ibrahim.

Ya, hanya dengan doa seorang Ibrahim membuat sebuah negeri seperti Mekah menjadi aman, sejahtera, dan tak kekurangan rezeki. Doa pemimpin yang adil merupakan salah satu doa yang pasti dijawab dan dipenuhi Allah SWT.

Mengapa sosok Ibrahim yang kita rindukan? Kalau kita mau berpikir sejenak dan melakukan napak tilas keteladanan Nabi Ibrahim AS., Kabah, tawaf, sai, sumur zam-zam, dan kurban, semuanya menjadi saksi sepanjang sejarah tentang perjuangan Nabi Ibrahim AS. beserta keluarganya dalam menempuh kehidupan.

Betapa mulia dan tinggi kebesaran dan prestasi Nabi Ibrahim AS. dalam mengarungi kehidupan. Penghargaan Ibrahim langsung dari Allah yang berdampak kepada kesejahteraan umat manusia sampai sekarang.

Kini para pemimpin merasa bangga ketika mendapatkan penghargaan meskipun tak jarang penghargaan itu sebatas kebanggaan bagi dirinya karena kiprah kepemimpinannya kurang dirasakan masyarakat.

Gelar-gelar yang diberikan Allah kepada Ibrahim adalah  

  • Seorang ulul azmi (QS. Al-Ahqaf: 35),
  • Nabi yang sangat jujur (QS. Maryam : 41), 
  • Hanif/lurus (QS. An-Nahl: 120),
  • Kekasih Allah (QS. An-Nisa': 125),
  • Pemulia tamu (QS. Adz-Dzariyat: 24-28),
  • Contoh terbaik/uswah hasanah (QS. Al-Mumtahan: 4),
  • Cerdas (QS. Al-Anbiya: 63),
  • Pembina rumah ibadah pertama (QS. Ali-Imran: 96),
  • Manusia yang disebut ummah (QS. An-Nahl: 120),
  • Teladan dalam berkurban (QS. Ash-Shoffat: 104-107),
  • Pengangkatan Ibrahim sebagai pemimpin umat manusia (QS. Al-Baqarah: 124).
Keberhasilan Ibrahim sebagai pemimpin umat, pemimpin agama, sekaligus pemimpin keluarga berpijak kepada beberapa hal.
  • Pertama, lurus dalam bertauhid. Semua sikap, ucapan, dan tindakan didasarkan dan disandarkan kepada Allah SWT. Bukan meminta pujian atau ada pamrih agar masyarakat mengakui kepemimpinannya.
  • Kedua, keberhasilan memimpin masyarakat bermula dari keberhasilan di keluarga sehingga Ibrahim membangun dulu keluarganya.
    Biasanya kita saat kekuasaan politik sudah berada di tangan, segera menyusun segala potensi, kita bangun istana, susun anak buah yang kuat, kumpulkan harta sebanyak-banyaknya, agar lawan politiknya bisa ditundukkan dengan hartanya, atau paling tidak untuk anak cucunya sampai tujuh turunan.
    Hal itu tidak berlaku sama sekali bagi Nabi Ibrahim. Dimana Ibrahim menjadikan keluarganya sebagai basis dakwah yang menjadi pendukung dan penerus risalah dan kepemimpinannya. Kepemimpinan yang berpijak kepada agama bukan harta.
  • Ketiga, Ibrahim mendahulukan iman dan ibadah daripada ekonomi. Dalam sehari-hari kita mendengar adanya kerjaan yang "basah" dan "kering" karena pekerjaan dilihat dari sudut pandang ekonomi. Manusia memperebutkan kekayaan material, pekerjaan, dan jabatan, yang dianggap mendatangkan kemakmuran dengan cepat. Terjadilah suap, uang pelicin, dan sejenisnya agar mendapatkan posisi itu.
    Berbeda dengan Ibrahim yang meninggalkan daerah-daerah subur, menuju daerah tandus. Dari Syam ke Mesir, terus ke Palestina, terakhir menetap di kawasan tandus, tiada sebatang pohon atau tanaman pun.
    Di sinilah Ibrahim diperintahkan merenovasi rumah ibadah pertama kali yang dibangun untuk manusia, yaitu Baitullah.

    رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
    Rabbana innee askantu min thurriyyatee biwadin ghayri thee zarAAin AAinda baytika almuharrami rabbana liyuqeemoo alssalata faijAAal afidatan mina alnnasi tahwee ilayhim waorzuqhum mina alththamarati laAAallahum yashkuroona
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian) itu agar mereka mendirikan shalat, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim: 37)

Cara membangun umat, Nabi Ibrahim juga pantas ditiru yakni bukan diawali dengan membangun ekonomi, melainkan landasan keyakinan atau ideologi yang kuat, iman, dan ibadah yang kokoh. Ibrahim membangun peradaban dengan ibadah, merenovasi Kabah bekerja sama dengan keluarga, istri dan anaknya, dengan keikhlasan yang luar biasa, tanpa meminta bantuan orang atau bangsa lain. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim tidak pernah didikte orang atau bangsa lain.

Puncak dari keteladanan Ibrahim adalah saat diperintahkan berkurban hal yang paling dicintainya yakni anak semata wayang, Ismail. Perintah ini dilaksanakan oleh Ibrahim dan Ismail dengan tulus semata-mata karena beribadah karena Allah. Dengan Rahmah-Nya, Allah mengganti Ismail dengan kambing besar sebagai kurban. Allah berfirman, 

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
Inna hatha lahuwa albalao almubeenu

Sesunggunya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (QS. Ash-Shoffat: 106)


Telah menjadi kaidah kehidupan, semakin besar pengorbanan seseorang atau suatu masyarakat, maka akan semakin besar peluang untuk meraih keberhasilan atau keuntungan.

Berkorban bisa berupa harta, akal, jiwa, energi, status, perasaan, waktu bahkan prestise. Kita semua diingatkan dengan sikap Ibrahim. Kita saat ini terlalu mementingkan diri sendiri, rakus dengan harta dan jabatan, dan enggan berbagi. Inilah penyebab utama muncul krisis ekonomi yang melanda Amerika, Eropa, dan kini merembet ke Asia.

Ibrahim juga mengingatkan berkorban bukan untuk membangun citra atau menutup-nutupi kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar. Ada orang memerintahkan kurban dan hidup prihatin, tetapi hanya untuk orang lain dan bukan untuk dirinya.

Ibrahim-kan kami ya Allah.***

[Ditulis oleh H PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 11 Oktober 2012 / 25 Zulkaidah 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Alkisah ada seorang murid yang mengadu kepada gurunya. "Guru aku sangat membenci si Fulan. Setiap hari aku bertemu dengannya, dan setiap kali itu juga kebencianku kepadanya semakin bertambah. Apa yang harus aku lakukan Guru?" Mendengar keluhan sang murid, guru pun menjawab dengan bijaksana, "Bawalah kantong ini ke mana pun kamu pergi. Setiap kamu bertemu dengan si Fulan, masukan satu buah tomat ke dalam kantong ini!"

Singkat cerita, murid pun melaksanakan saran dari gurunya tersebut. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga beberapa bulan kemudian sang murid kembali menemui gurunya. "Guru sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi membawa kantong ini, karena semakin hari kantong ini semakin berat dan semakin berbau busuk. Bolehkah aku meletakkan kantong ini guru?" Sesaat kemudian guru pun menjawab, "Kantong ini ibarat hatimu dan buah tomat ini ibarat kebencianmu. Sungguh rugi dirimu jika harus menyimpan kebencian itu, karena orang yang kamu benci itu tidak akan merasakan beban berat kebencianmu selama ini."

Berdasarkan cerita di atas, kaum beriman adalah orang-orang yang seharusnya memiliki sifat pemaaf, pengasih, dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Khuthi alAAafwa wamur bialAAurfi waaAArid AAani aljahileena
Jadilah engkau seorang yang pemaaf, dan perintahkanlah orang-orang untuk mengerjakan yang makruf (baik), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A'raf: 199)

Memaafkan kesalahan orang acap kali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan. Padahal, justru sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Akan tetapi, di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah dan manusia.

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Wajazao sayyiatin sayyiatun mithluha faman AAafa waaslaha faajruhu AAala Allahi innahu la yuhibbu alththalimeena
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggung) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim. (QS. Asy-Syura: 40)

Berikut beberapa kemuliaan dari memaafkan kesalahan.

Pertama,  Mendatangkan kecintaan Allah.
Allah berfirman dalam Surat Fushshilat ayat 34-35,

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Wala tastawee alhasanatu wala alssayyiatu idfaAA biallatee hiya ahsanu faitha allathee baynaka wabaynahu AAadawatun kaannahu waliyyun hameemun
Wama yulaqqaha illa allatheena sabaroo wama yulaqqaha illa thoo haththin AAatheemin
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugrahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar."

Ibnu Katsir menerangkan, "Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan mengiringi orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat."

Ibnu 'Abbas mengatakan, "Allah memerintahkan orang yang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun runduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat." (Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim 4/109)

Kedua, Mendapatkan pembelaan dari Allah. 
Al-Imam Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa
ada seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku." Maka Rasulullah besabda, "Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat pertolongan dari Allah atas mereka selama kamu di atas hal itu." (HR Muslim)

Ketiga, Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah.
Allah berfirman,

وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
wain taAAfoo watasfahoo wataghfiroo fainna Allaha ghafoorun raheemun
Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun: 14)

Adalah Abu Bakar, dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakar dan Muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi, Misthah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat menjelaskan kesucian Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah memberi taubat kepadanya.

Setelah peristiwa itu, Abu Bakar bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Wala yatali oloo alfadli minkum waalssaAAati an yutoo olee alqurba waalmasakeena waalmuhajireena fee sabeeli Allahi walyaAAfoo walyasfahoo ala tuhibboona an yaghfira Allahu lakum waAllahu ghafoorun raheemun
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun juga Maha Penyayang. (QS. An-Nur: 22)

Abu Bakar mengatakan, "Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah mengampuniku." Lantas Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Misthah. (lihat Shahih Al-Bukhari No. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Al-Munawi berkata, "Allah, mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahman dan pemaaf. Allah juga mencintai mahkluk-Nya yang memiliki sifat tersebut." (Faidhul Qadir 1/607)

Keempat, Mulia di sisi Allah maupun di sisi manusia.
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan orang lain, selain kedudukannya tinggi di sisi Allah, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapatkan pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan.

Nabi bersabda,
"Sedekah hakikatnya tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadu) karena Allah melainkan diangkat oleh Allah." (HR Muslim dari Abu Hurariah)

Hidup memang tak luput dari kesalahan. Terkadang kita berbuat salah kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Menurut Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul, memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia.

Dalam konteks kehidupan keseharian kita, alangkah indahnya jika saling memaafkan kesalahan dan mengubur kebencian ini menjadi budaya bagi para pejabat, baik eksekutif maupun legislatifnya, terlebih bagi masyarakatnya. Masyarakat yang sarat akan nilai-nilai cinta dan kasih bermula dari suatu proses yang sangat agung, yaitu saling maaf dan memaafkan.

"Orang-orang penyayang akan disayang oleh Allah yang Maha Rahman. Sayangilah penduduk kami, maka kalian akan disayangi oleh Allah." (HR Ahmad)

Wallahu'alam.***

[Ditulis olah ODED MUHAMAD DANIAL, tinggal di Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 5 Oktober 2012 / 19 Zulkaidah 1433 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Wasalamun AAala almursaleena Waalhamdu lillahi rabbi alAAalameena

Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Penguasa Seluruh Alam. (QS. Ash Shaffat: 181-182)


Islam memuliakan seluruh nabi dan rasul Allah tanpa kecuali. Setiap shalat, umat Islam mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW., dan Nabi Ibrahim AS. ayat 181-182 QS Ash Shaffat, yang dikutip di atas, sering digunakan sebagai penutup doa.

Itu membuktikan, Islam tidak membeda-bedakan status dan kedudukan para nabi dan rasul Allah walaupun telah menetapkan Nabi Muhammad SAW. menjadi rasul (utusan Allah) terakhir sekaligus penutup para nabi Khatamun nabiyyin.

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Ma kana muhammadun aba ahadin min rijalikum walakin rasoola Allahi wakhatama alnnabiyyeena wakana Allahu bikulli shayin AAaleeman
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al Ahzab: 40)

Ketika menyebut nama para nabi dan rasul tersebut, umat Islam selalu mengikutsertakan kalimat alaihissalam (keselamatan bagi mereka). Bahkan, nabi dan rasul yang dianggap sebagai "milik" kaum Yahudi (Nabi Musa AS.), dan kaum Nasrani (Nabi Isa AS.), mendapat kedudukan istimewa sebagai Ulul Azmi, nabi dan rasul yang paling berat perjuangannya. Para nabi dan rasul Ulul Azmi itu terdiri atas lima orang, yaitu Nuh AS., Ibrahim AS., Musa AS., Isa AS., dan Muhammad SAW.

Dalam QS. Ash Shaffat, diuraikan penghargaan Allah SWT. kepada para nabi dan rasul. Kepada Nabi Nuh AS., seorang hamba Allah yang beriman.

إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ
Innahu min AAibadina almumineena
Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. (QS. Ash Shaffat: 81)

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
سَلَامٌ عَلَىٰ نُوحٍ فِي الْعَالَمِينَ
Watarakna AAalayhi fee alakhireena Salamun AAala noohin fee alAAalameena
Dan Kami abadikan untuk Nuh itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam. (QS. Ash Shaffat: 78-79)

Begitu pula kepada Nabi Ibrahim AS., yang dianggap sebagai "Bapak Tauhid". "Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan Nuh.

وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ
Wainna min sheeAAatihi laibraheema
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (QS. Ash Shaffat: 83)

Pada ayat 114-121, dipaparkan anugerah nikmat Allah SWT. kepada Nabi Musa dan Nabi Harun. Kepada mereka berdua, Allah SWT. telah melimpahkan nikmat, menyelamatkan mereka dan kaumnya (Bani Israil) dari bencana besar, menolong mereka sehingga meraih kemenangan, memberi kitab (Taurat) yang sangat jelas, menunjuki mereka ke jalan lurus, dan bagi mereka diabadikan pujian yang baik di kalangan umat yang datang kemudian. Yaitu kesejahteraan bagi mereka yang telah berbuat baik dan menjadi hamba-hamba Allah yang beriman.

Nabi Ilyas yang diutus kepada kaum Punisia agar jangan menyembah berhala Bal (QS. ash Shaffat: 123-132). Nabi Luth yang diutus kepada kaum Sadum (Sodom) agar menghentikan perbuatan hubungan sesama jenis, homoseksual dan lesbian (QS. Ash Shaffat: 133-138). Nabi Yunus yang ditelan ikan hiu (QS. Ash Shaffat: 139-148), sama seperti Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Harun, mendapat anugerah nikmat Allah SWT. berkat perjuangan dan keimanan mereka. Bahkan, istighfar Nabi Yunus ketika berada dalam perut ikan hiu selama empat puluh hari dianjurkan untuk dibaca pada setiap kesempatan oleh umat Islam (al-hadits).

لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
la ilaha illa anta subhanaka innee kuntu mina alththalimeena
Tiada sembahan selain Engkau, ya Allah, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim. (QS. Al-Anbiya: 87)

Hampir semua surat dalam Al-Qur'an membicarakan dan memuji para nabi dan rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW., termasuk membicarakan dan memuji hamba-hamba-Nya yang beriman dan bersyukur, walaupun tidak spesifik disebutkan berkedudukan nabi atau rasul, seperti hamba Allah yang telah mendapat ilmu dan rahmat dari sisi-Nya.

Para mufassir menamakan "hamba Allah" tersebut sebagai Khidir, guru "spiritual" Nabi Musa (QS. Al-Kahfi: 65-82). Mengisahkan pula kepiawaian dan kekuatan Zulqarnain, melawan kejahatan Ya'juz-Ma'juz (QS. Al-Kahfi: 83-101). Dalam Surah Al-Kahfi juga dikisahkan tujuh pemuda beriman mencari petunjuk ke jalan lurus yang diridhai Allah SWT., lalu ditidurkan dalam satu gua selama kurang lebih 300 tahun (QS. Al-Kahfi: 9-26). Banyak lagi, keterangan yang menegaskan bahwa Islam memuliakan nabi dan rasul tanpa kecuali.

Apalagi, antara para nabi dan rasul itu, sejak Adam AS. hingga Muhammad SAW., merupakan kesatuan mata rantai dakwah yang sambung sinambung. Hubungan dakwah Nabi Muhammad SAW. dan para nabi dan rasul sebelumnya berjalan di atas prinsip ta'kid (penegasan) dan tatmim (penyempurnaan). Dakwah mereka menyangkut dasar akidah tauhid, syariat, dan akhlak. Esensi akidah para nabi dan rasul itu adalah beriman kepada wahdaniyah (keesaan) Allah SWT. Beriman kepada Hari Akhir. Akidah dainunnah lillahi wahdah (tunduk patuh hanya kepada Allah SW.), ini tidak mengalami perubahan sedikit pun. Demikian pula akhlak. Moral dan perilaku tetap mengacu pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi dosa, kemungkaran, dan kejahatan.

Hanya aspek syariat yang mengikuti kebutuhan zaman sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umat. Syariat Nabi Musa AS. yang diutus kepada Bani Israil yang amat ketat berbeda dengan syariat Nabi Isa AS. yang juga diutus kepada Bani Israil. Nabi Isa menyatakan,

وَمُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُم بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
Wamusaddiqan lima bayna yadayya mina alttawrati waliohilla lakum baAAda allathee hurrima AAalaykum wajitukum biayatin min rabbikum faittaqoo Allaha waateeAAooni
Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu. (QS. Ali Imran: 50)

Para nabi dan rasul itu, sejak Adam AS. hingga Muhammad SAW., diutus untuk menegakkan Ad Dienul Haq (Islam). Nabi Ibrahim AS. telah berwasiat kepada anak-anaknya, Ishak AS. dan Ismail AS., serta cucunya Yaqub AS. agar tidak mati kecuali dalam memeluk Islam karena Allah SWT. telah memilihnya sebagai anutan (QS. Al-Baqarah: 130-132). Nabi Musa AS. diutus kepada Bani Israil dengan membawa Islam. Bahkan, tukang sihir yang diperalat Firaun melawan Nabi Musa, akhirnya menyerah dan menyatakan agar dimatikan dalam keadaan Muslim. (QS. Al A'raf: 126)

Demikian pula Nabi Isa AS. ketika menghadapi keingkaran Bani Israil, minta disaksikan bahwa sesungguhnya ia dan para pengikutnya adalah orang-orang Muslim.

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Falamma ahassa AAeesa minhumu alkufra qala man ansaree ila Allahi qala alhawariyyoona nahnu ansaru Allahi amanna biAllahi waishhad bianna muslimoona
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. Ali Imran: 52)

Oleh karena itu, amat mustahil jika di antara umat Islam ada yang berani menghina, melecehkan, mengejek satu atau dua nabi dan rasul selain Muhammad SAW. Tidak akan ada seorang pun sineas Muslim beriman akan membuat film yang memperolok-olokkan nabi dan rasul mana pun. Tidak akan ada sastrawan, pelukis, pemusik, atau aktor/aktris Muslim beriman membuat karya-karya yang mendeskreditkan para nabi dan rasul sebagai perampok, pezina, pelanggar HAM, dan sejenisnya. Na'udzubillah. Maha Suci Allah SWT. yang telah melindungi para nabi dan rasul-Nya pada posisi maksum (bebas dari dosa). Apalagi, dosa yang diimajinasikan para penghujatnya.

Subhana rabbika rabbil izzati 'amma yasifun, wasalamun alal mursalin, walhamdulillahi rabbil 'alamin.***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk, Garut, pembimbing Haji dan Umrah BPIH Megacitra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 4 Oktober 2012 / 18 Zulkaidah 1433 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky