Siapa pun yang mengkaji Islam dengan menggunakan kecerdasannya dan kejernihan hatinya akan menyimpulkan bahwa Islam merupakan agama profesional. Rahasianya adalah ajaran Islam tidak sekadar rutinitas ritual melainkan juga sebagai ideologi. Seluruh aspek kehidupan merupakan suatu sistem utuh yang telah diciptakan oleh Zat Mahasempurna yakni Allah SWT. Dan, dalam realitasnya juga bisa dimengerti bahwa sistem Islam tersebut sesuai dengan fitrah manusia, dapat memuaskan akal dan menenangkan hati.

Demikian halnya, terhadap persoalan perilaku (behavior), yang secara khusus menyangkut produktivitas hidup dan kerja, Islam demikian memberikan panduan dan bimbingan yang luar biasa. Hanya orang yang tidak mempelajari Islam atau orang yang terlebih dulu tidak menyukai Islam, mereka sudah antipati denganya. Seakan Islam merupakan agama nenek moyang yang tidak memiliki sistem sebagaimana gambaran orang-orang yang buta dengan Islam. Padahal jika dipelajari dalam konteks ini, Islam demikian mengatur terhadap persoalan kerja, kinerja, dan sebagainya.
Islam mengajarkan bahwa kerja merupakan bagian dari aktivitas ibadah. Bekerja tidak sekadar untuk mendapatkan penghasilan atau rezeki, tetapi juga bernilai tambah karena Islam menegaskan bahwa bekerja keras melaksanakan kewajiban rumah tangga bagi seorang pria akan diganjar dalam bentuk pahala.

Hal ini terangkum dalam Al-Qur'an Surat Adz Dzariat (51) ayat 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Wama khalaqtu aljinna waalinsa illa liyaAAbudooni

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Dari ayat tersebut saja sudah bisa dipahami bahwa jika suatu pekerjaan disebut merupakan bagian dari ibadah, maka barang siapa melakukannya maka akan mendapatkan pahala.

Islam memberikan motivasi yang luar biasa bagi umatnya untuk berprestasi. Islam, dalam banyak hadits memberikan pujian dan penghargaan yang sangat besar bagi kaum Muslim yang menjadi pekerja keras. Bahkan dikatakan oleh Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi,
"Tidakkah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari keringatnya sendiri."

Dari Zubair bin Awwam, Rasulullah SAW. bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian pergi membawa kapaknya, lalu datang membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia menjualnya hingga Allah menyelamatkannya dari kehinaan. Maka yang demikian itu jauh lebih baik dari ia meminta-minta pada orang lain." (HR. Bukhari)

Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas bermakna bahwa ajaran Islam sudah mewanti-wanti agar umatnya sungguh-sungguh bekerja secara aktif dan tidak bergantung kepada orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda
"al yadul 'ulya khairun minal yadissufla— tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."

Artinya kinerja seorang Muslim adalah aktif, bukan pasif. Seorang Muslim tidak akan menjadi "benalu" yang hinggap dan hanya membebani orang lain. Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan "teologi kerja (job theology)" atau suatu niat suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Mahaagung.

Ketika kita bekerja di kantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas di bawah standar, atau ketika ketika kita hanya mempu menciptakan pelayanan yang centang-perenang dan membuat para pelanggan patah arang, maka mestinya kita menanggap ini semua sebagai sebuah "dosa" dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Mahatahu.

Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah.

Kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW. juga adalah seorang pedagang yang ulet. Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Bila kamu telah shalat Subuh, maka janganlah kamu tidur dan meninggalkan rezeki."
Selanjutnya Nabi mengatakan,
"Sesungguhnya Allah tak menyukai hamba yang santai (tak bekerja)."

Umar RA. mengatakan, "Janganlah kamu duduk saja berdoa. Ya Allah berilah aku rezeki, padahal ia tahu bahwa Allah tak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak."

Dalam Surat Al-Insyirah (94) ayat 7, Allah berfirman,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

Faitha faraghta fainsab

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,

Kesemuanya ini sudah jelas menjadi penanda bahwa Islam sangat mendorong timbulnya etos kerja dan paradigma berusaha pada diri setiap kaum Muslim. Manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Oleh karena itu, Islam senantiasa memotivasi umatnya untuk terus bersemangat dalam bekerja dan berusaha. Setiap Muslim harus berusaha untuk mandiri, tidak membebani orang lain, apalagi dengan meminta-minta setiap saat. Bekerja dalam Islam bukan sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi juga bagian dari pelaksanaan ibadah yang melahirkan kemuliaan.

Wallahualam bissawab. ***

[Ditulis Oleh AHMAD SUTARJO, Koordinator DKM Al Insaniyah Cikole Kabupaten Ciamis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 6 Desember 2013 / 3 Safar 1435 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Perilaku mulia nan indah tetapi serasa sulit dilaksanakan ialah "memberi". Berbeda dengan menerima. Setiap orang pasti berebut bila saja mengurusi segala hal yang berkaitan dengan penerimaan. Entah itu ketika menerima jabatan, harta kekayaan, atau materi yang disedekahkan orang lain.

Di dalam Islam, amal kebajikan yang tinggi ialah praktik memberi melalui perintah zakat, infak, dan sedekah. Bahkan, memberi tidak harus menunggu kita menjadi orang yang kaya raya. Ini telah dicontohkan oleh panutan umat Islam, Rasulullah SAW. sepanjang hayatnya. Betapa tidak, saking gemarnya memberi, Baginda Rasulullah sampai menangis saat menyaksikan seorang yatim dan miskin telantar di jalanan. Beliau pun dengan sigap langsung menawarkan istrinya, Aisyah, untuk menjadi ibu angkat bagi anak yatim yang terlantar tadi.

Bahkan, tak jarang demi kegiatan memberi ini, Rasulullah SAW. rela mengganjal perutnya dengan batu kerikil untuk menahan lapar. Padahal, manusia sekelas Nabi, bukan tak punya makanan. Akan tetapi, makanan itu diberikan kepada fakir miskin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Ya ayyuha allatheena amanoo la tubtiloo sadaqatikum bialmanni waalatha kaallathee yunfiqu malahu riaa alnnasi wala yuminu biAllahi waalyawmi alakhiri famathaluhu kamathali safwanin AAalayhi turabun faasabahu wabilun fatarakahu saldan la yaqdiroona AAala shayin mimma kasaboo waAllahu la yahdee alqawma alkafireena

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tilak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. AI-Baqarah (2): 264)

Di dalam ayat di atas, setinggi apa pun keinginan memberi, tetap saja kita sebagai pemberi perlu mengindahkan perasaan hati si penerima. Memberi dengan cara menghardik atau memamer-mamerkan apa yang telah kita berikan merupakan perilaku yang dapat mengundang rasa sakit hati si penerima. Oleh karena itu, alangkah bijaksana apabila memberi dilakukan dengan niat ikhlas, menolong orang ke luar dari rasa sedih, khawatir, dan resah. Inilah yang membuat perilaku memberi menjadi tidak mudah. Sebab, sedikit saja tergelincir dari niat, kita malah akan terjebak pada perilaku ria (ingin terlihat baik oleh orang lain).

Praktik memberi laksana matahari menyinari bumi. Bayangkan, dengan cahayanya yang kadang terasa menyengat, matahari melepaskan seluruh makhluk bumi dari ancaman kematian. Tanpa matahari, alam semesta akan kehilangan energi yang mampu memberikan kekuatan untuk bergerak. Hebatnya, sebanyak apa pun matahari melepaskan cahayanya, ia tak pernah meminta balasan.

Dalam konteks filantrofis, si penerima, kurang pantas jika menolak pemberian orang atau meminta lebih dari apa yang orang lain berikan. Sebab, menolak rezeki lewat tangan orang lain juga tidak disukai Rasulullah. "Janganlah menolak permintaan seseorang, walaupun kamu melihatnya memakai sepasang gelang emas," begitulah salah satu sabda Rasulullah SAW.

Hanya, satu catatan perlu diingat; jangan sampai membuat orang keasyikan dengan kebiasaan menerima pemberian. Sebab, dalam ajaran Islam, praktik meminta-minta tidak begitu disenangi. Rasulullah SAW. berwasiat, "Siapa yang meminta guna memperbanyak apa yang dimilikinya, maka sesungguhnya ia hanya mengumpulkan bara api (neraka).

Oleh karena itu, pemberi yang baik adalah pemberi yang sekaligus mampu memberdayakan si penerima hingga mampu hidup mandiri, seperti matahari. Hal ini dikatakan Moeslim Abdurrahman dalam bukunya, Islam sebagai Kritik Sosial (1996:41) sebagai Muslim "organik". Yakni kegiatan tolong-menolong antarsesama yang dapat menciptakan ikatan masyarakat yang teguh di tengah kondisi lemah. Dalam arti lain masyarakat yang mampu memaksimalkan segala sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk menopang kebutuhan hidup.

Oleh karena itu, kita kerap memandang sepele praktik memberi. Notabene masyarakat kita begitu asyik memaknai bahwa memberi sekadar memberi; bukan memberi dengan cara memberdayakan. Oleh karena itu, gagasan konsepsional Moeslim Abdurrahman dalam rangka membangun Muslim "organik" patut menjadi petunjuk guna mewujudkan kesejahteraan hidup. Artinya, tidak ada alasan lagi bagi kita berkeluh kesah dan mengharap belas kasih orang lain. Akan tetapi, menanamkan keyakinan bahwa kita harus menjadi pemberi yang tak sekadar memberi; tetapi memberi dengan cara yang memberdayakan.

Rasulullah SAW. bersabda, "Tangan di atas (pemberi yang memberdayakan) lebih baik daripada tangan yang di bawah (peminta)?"

Allah SWT. berfirman,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Waibtaghi feema ataka Allahu alddara alakhirata wala tansa naseebaka mina alddunya waahsin kama ahsana Allahu ilayka wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena

Dan carilah pada apa yang telah Allah karuniakan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas (28): 77)

Wallahua'lam. ***

[Ditulis oleh SUKRON ABDILLAH, Aktivis Muda Muhammadiyah Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Kliwon) 22 November 2013 / 18 Muharam 1435 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Beberapa hari yang lalu, umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah. Tahun baru umat Islam ini diambil dari jejak hijrah Rasulullah SAW. yang menjadi salah satu momentum penting penegakan syariat Islam di muka bumi.

Kita pun seyogyanya menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan tahun Hijriah ini. Tahun Hijriah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama Tahun Muhammad atau Tahun Umar. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Atau pula tidak seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (Dewa Matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 Februari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Hijrah yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam pada awal-awal pertumbuhannya adalah eksodus besar-besaran yang menuntut pengorbanan dan perjuangan yang sangat berat. Para sahabat muhajirin rela meninggalkan tanah kelahiran, harta benda, dan segala yang dicintainya, bukan karena diusir kaum kuffar Mekah, melainkan karena perintah Allah SWT.

Begitulah sejarah telah mencatat, betapa ikhtiar baik yang dilandasi oleh dimensi keikhlasan dan kepasrahan total akan selalu dikenang dan tak lekang oleh zaman. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya adalah ekspresi keagamaan yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pertimbangan menuju perubahan yang dicita-citakan. Ia menyimpan banyak pelajaran yang harus dipetik, direnungkan, lalu diaplikasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari, terutama di masa kini.

Momentum Tahun Baru Hijriah ini harus kita jadikan sebagai sarana "hijrah" menuju kehidupan yang lebih baik. Dalam Islam disebutkan, "haasibuu qobla antuhaasabuu. Artinya, hitunglah dirimu sebelum kamu sekalian dihitung (hisab)". Sebagai rasa syukur maka sebaiknyalah kita sebagai Muslim yang taat memanfaatkan tahun baru ini untuk menginstrospeksi diri, mengevaluasi diri, bermuhasabah atas segala perencanaan, perbuatan, dan program hidup yang telah dilakukan tahun sebelumnya.

Jadikan saat-saat seperti ini sebagai momen yang tepat bagi kita untuk selalu berintrospeksi diri tentang amal ibadah apa yang sudah kita capai dan hal apa saja yang masih kurang dalam diri kita. Dengan demikian, melalui instrospeksi tersebut nantinya kekurangan-kekurangan kita bisa diperbaiki dan diperbarui di masa depan dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan tidak akan diulangi lagi.

Bagi Rasulullah SAW., hijrah bukan hanya merupakan strategi dakwah Islam, tetapi juga merupakan pengembangan kecerdasan spiritual dan pendidikan nilai. Sungguh luar biasa kesabaran jiwa Rasulullah SAW. dan para sahabatnya dalam menghadapi berbagai intimidasi, cercaan, makian, boikot, bahkan ancaman pembunuhan terhadap dirinya dari kaum kafir Quraisy.

Pendidikan nilai inilah yang patut kita semaikan kembali kepada anak-anak dan murid kita di sekolah. Hijrah mendidik umat Islam agar selalu berkomitmen terhadap nilai-nilai heroik. Menjadi Muslim harus siap menjadi pejuang serta penegak kebenaran dan keadilan, di mana pun dan kapan pun. Nilai-nilai heroik dari hijrah tidak hanya tercermin dalam hijrah pertama umat Islam ke Habsyi (yang waktu itu tidak diikuti langsung oleh Rasulullah SAW.), tetapi juga terlihat dengan jelas dalam hijrahnya Nabi SAW. dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah.

Mereka semua rela mengorbankan harta, raga, dan bahkan jiwanya demi kejayaan Islam. Nilai heroik semacam ini sangat penting karena tidak jarang sebagian orang, ketika dihadapkan kepada pilihan perjuangan, yang dicari adalah "menyelamatkan diri" lebih dulu dan mencari keuntungan (duniawi) yang sebesar-besarnya.

Semoga kita bisa mengikuti teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW., para sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Amin Ya Robbal'alamin. ***

[Ditulis oleh AHMAD SYUKRON, Koordinator DKM Al-Muhajirin - Karang Anyar, Panjalu, Kab. Ciamis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis), 8 November 2013 / 4 Muharam 1435 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Peristiwa hijrah (perpindahan) umat Islam dari Mekah ke Madinah merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam karena memberi dampak positif bagi perkembangan Islam dan umat Islam.

Peristiwa hijrah merupakan keberangkatan umat Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. pada tahun ke-13 kenabian, dari Mekah menuju Yatsrib dengan menempuh perjalanan sejauh 500 km ke arah utara. Di Kota Yatsrib, yang kelak bernama Madinah al Munawarrah (kota bercahaya), umat Islam muhajirin (yang berhijrah) disambut baik oleh penduduk setempat yang memberi pertolongan penuh persaudaraan sehingga mendapat sebutan kaum penolong (anshar).

Sukses hijrah dirintis oleh diplomasi Nabi SAW. kepada dua kelompok utama Yatsrib, yaitu Kabilah Aus dan Khazraj. Mereka mula-mula mendapat pengertian tentang akidah Islam yang mempersatukan umat dalam naungan tauhid (mengesakan Allah SWT.), kesamaan ibadah (penyembahan kepada Allah SWT.) yang sahih berdasarkan petunjuk Nabi SAW., dan kemuliaan akhlak, baik dalam hubungan dengan Allah SWT. (hablum minallahi) maupun dengan sesama manusia (hablum minannas). Termasuk jalinan sosial (muamalah) yang didasari kebajikan dan kebaikan (ahsan).

Pengertian itu tertanam baik dan segera tumbuh subur dalam jiwa kedua suku tersebut. Mereka kemudian meninggalkan permusuhan tradisional yang sudah lama mengakar, menggantikannya dengan persahabatan di bawah naungan Islam yang diajarkan Nabi SAW.

Dengan penerimaan hangat penduduk Yatsrib, Nabi SAW. mendapat kesempatan menyempurnakan "bangunan Islam" (al Bina'ul Islam), yang telah dirintis di Mekah.

"Bangunan Islam" itu terdiri atas fondasi (asas) berupa akidah tauhid, tiang-tiang (arkan) berupa ibadah ritus, hiasan-hiasan berupa akhlak mulia, dan kegunaan (operasional) berupa muamalah (sosial).

Di Mekah, selama 13 tahun, Nabi SAW. baru berhasil meletakkan asas saja. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi menghindari gangguan kaum kafir Mekah.

Hijrah ke Madinah memberi lahan bebas dan luas untuk menyempurnakan "bangunan Islam" secara lengkap dan menyeluruh, terang-terangan dan leluasa. Oleh karena itu, di Madinah ini Nabi SAW. mendirikan masjid di Quba sebagai basis penyempurnaan itu. Akidah diperkuat, memperbanyak dan memperkhusyuk ibadah. Memperbagus akhlak dan muamalah yang meliputi berbgai sektor kehidupan sangat beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya, segera dijalankan.

Para sahabat yang ahli berjual beli, dimotori Abdurahman bin Auf, mulai menggerakkan roda perdagangan yang baik dan benar. Jika semula perekonomian Yatsrib dikuasai pedagang-pedagang Yahudi yang menerapkan sistem riba, para pelaku ekonomi Islam mencontohkan cara jual beli yang halalan thayyiban, jujur dan adil. Di Madinah, Rasulullah SAW. membentuk sistem pemerintahan sipil yang kelak menjadi pola bagi masyarakat madani di zaman modern. Pemerintahan yang mengatur tata hubungan masyarakat secara demokratis (bebas bersuara, berpendapat), tetapi tetap dalam koridor musyawarah (syura).

Selama berada di Madinah 10 tahun, terjadi 27 kali peperangan besar yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW. (gazwah), seperti Badar, Uhud, Khandak, Khaibar, dan lain-lain. Juga beberapa kali peperangan kecil yang dpimpin oleh salah seorang sahabat mewaikili Nabi SAW. (sariyah). Puncak dari semua perjuangan selama hijrah itu adalah futuh Makkah (Penaklukan Mekah) pada tahun 8 Hijriah.

Jika disederhanakan, hijrah Nabi SAW. adalah karya mahabesar dari kesempurnaan Islam (ash shumuliyatul Islam), yaitu bangunan megah lengkap binaul Islam yang berdiri di atas fondasi akidah tauhid, bertiangkan rukun-rukun Islam, berhiaskan ahlakul karimah dan berfungsi operasional dengan ahasnul muamalah. Untuk melindungi bangunan itu dari gangguan internal, dibuatlah pagar pelindung (al muayidaf). Untuk melindungi gangguan internal, yaitu amar makruf nahi mungkar mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, sedangkan untuk menahan serangan dari luar (eksternal) dinyalakan semangat jihad fi sabilillah. ***

Ditulis oleh USEP ROMLI HM., Wartawan senior. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 7 November 2013 / 3 Muharam 1435 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Salah satu pekerjaan yang kian diburu masyarakat adalah pegawai negeri sipil. Jangan lupakan pula "lowongan" menjadi wakil rakyat ataupun pengurus lembaga non departemen yang juga diburu. Kalau dulu PNS identik dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kini PNS, terutama yang memiliki jabatan, mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang cukup tinggi dan malah terkesan "wah".

Para pejabat, termasuk wakil rakyat, menunjukkan kehidupan yang jauh dari kondisi rakyat di bawah. Ketika rakyat terhimpit harga-harga kebutuhan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak ataupun tarif dasar listrik, kehidupan para pejabat dan wakil rakyat tak terpengaruh sama sekali. Bahkan, ketika negara memiliki utang lebih dari Rp. 2,000 triliun tetap saja tidak ada upaya untuk penghematan. Namun, anehnya, para pejabat tetap mengumandangkan agar rakyat hidup sederhana yang ironis dengan berbagai gaji, fasilitas, serta tunjangan-tunjangan yang besar.

Ajakan hidup sederhana harus dengan memberikan keteladanan atau contoh dari para pemimpinnya itu sendiri. Gerakan kesederhanaan atau apa pun programnya takkan berhasil kalau sebatas bicara saja atau formalitas dan insidental seperti yang ditunjukkan para pemimpin selama ini.

Tahun Hijriah yang akan berganti tak lama lagi mengingatkan kita akan sosok kepemimpinan seorang presiden, tepatnya Khalifah, yakni Umar bin Khattab RA. Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar RA. pada tahun 634 H, Umar telah mengembangkan kekuasaan Islam sehingga tumbuh dengan sangat pesat.

Selama kepemimpinan Khalifah Abu Bakar RA., Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan Dinasti Sassanid dari Persia. Kekuasaan Islam juga merambah Mesir, Palestina, Suriah, Afrika Utara, dan Armenia dari Kekaisaran Romawi (Byzantium).

Keberhasilan Umar bin Khattab RA. dalam menaklukkan Imperium besar (Persia dan Romawi) tidak lepas dari sosoknya yang tegas dan sangat bersahaja. Jangan bayangkan seorang khalifah dengan wilayah yang amat luas hidup dengan bergelimang gaji, fasilitas, tunjangan, dan kehidupan mewah lainnya. Bahkan, Umar bin Khattab RA. amat sederhana dengan gaji yang malah kekurangan sehingga memiliki utang.

Kisahnya pada suatu saat, ketika harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik sehingga tokoh-tokoh Muhajirin seperti Utsman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati agar gaji khalifah dinaikkan. Namun, mereka tak berani menyampaikan langsung ke khalifah sehingga melalui putri khalifah sekaligus istri Nabi Muhammad SAW., yakni Hafshah.

Namun, saat usulan tersebut disampaikan, Umar malah murka seraya berkata, "Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?" Hafshah menjawab, "Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan tersebut."

Umar balik bertanya kepada Hafshah, "Demi Allah, ketika Rasulullah masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki di rumahnya?" Hafshah menjawab, "Di rumahnya, Rasulullah hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari."

Umar bertanya lagi, "Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?" Hafshah menjawab, "Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin." Umar kembali bertanya, "Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?" Hafshah menjawab lagi, "Tidak, Beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas tidur."

Umar kemudian melanjutkan perkataannya, "Hafshah, katakanlah kepada mereka bahwa Rasulullah SAW. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu Beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku mengikuti jejak Rasulullah."

Kelebihan Khalifah Umar lainnya adalah sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri atau istilah saat ini "blusukan" meskipun tetap saja dikawal ajudan ataupun pengawal kepolisian. Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenali kalau Umar sebagai kepala pemerintahan. Kalau khalifah menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. Umar sadar, kekuasaan yang ada di tangannya bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Oleh karena itu, Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya.

Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Saking hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga Amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu.

Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan oleh rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar di mana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rakyat hormat dan patuh dengan titahnya karena pemimpin mencontohkan perilaku sederhana serta amanah dalam kesehariannya.

Hijrahkan para pemimpin kami ya Allah. Jadikan para pemimpin kami baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif seperti sosok Umar.

Amin. ***

[Ditulis oleh HABIB SYARIF MUHAMMAD ALAYDRUS, Ketua Yayasan Assalam Bandung dan Mantan Anggota MPR RI. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 31 Oktober 2013 / 26 Zulhijah 1434 H pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Suatu hari Rasulullah SAW. bercerita di hadapan para sahabatnya tentang dua orang yang datang kepada Nabi Musa AS. Orang pertama datang kepada Nabi Musa AS. dengan badan kotor, pakaian lusuh, dan compang-camping karena ia seorang yang miskin. Ia berkata kepada Nabi Musa AS., "Wahai Nabi Allah, sudilah kiranya engkau memohon doa kepada Allah agar menjadikanku sebagai orang kaya." Nabi Musa AS. pun menjawab, "Wahai sahabatku, banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah." Mendengar jawaban Nabi Musa AS., lelaki ini pun kaget dan bilang, "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku bisa bersyukur kepada Allah sedangkan untuk makan saja susahnya minta ampun, pakaian pun aku hanya punya satu pakaian yang aku pakai, ini pun sudah lusuh dan kotor." Dengan kecewa, pulanglah si miskin ini ke gubuknya.

Keesokan harinya, seorang lelaki kaya datang kepada Nabi Musa AS., "Wahai Nabi Allah, sudilah kiranya engkau memohonkan untukku kepada Allah agar menjadikanku sebagai orang miskin saja karena aku mulai terganggu dengan hartaku." Nabi Musa AS. pun menjawabnya, "Mengapa engkau berkata demikian sahabatku, tidakkah engkau bersyukur?" Si lelaki ini pun berkata, "Wahai Nabi Allah, sungguh aku sangat bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku bersyukur karena dengan mata ini aku bisa melihat, dengan telinga ini aku bisa mendengar, dengan tangan ini aku bisa bekerja." Maka, pulanglah lelaki kaya ini ke rumahnya.
Singkat cerita, kenyataan hidup pun terjadi pada dua lelaki ini. Lelaki miskin yang datang kepada Nabi Musa AS. menjadi semakin melarat dan miskin hingga tak sehelai baju pun yang bisa ia pakai karena ia sama sekali tidak pernah bersyukur atas apa yang ia miliki selama ini. Sementara si lelaki kaya menjadi semakin kaya dan makin berlimpah harta bendanya, karena ia pandai mensyukuri segala apa yang ia miliki dalam hidupnya.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah tersebut? Ya, sesungguhnya Allah akan menepati janjinya untuk menambah nikmat-Nya bagi siapa pun hamba-Nya yang pandai mensyukuri segala nikmat yang diperolehnya. Seorang miskin yang bersyukur, Allah menjadikannya berkecukupan. Seorang kaya yang bersyukur, Allah menjadikannya semakin kaya dan berlimpah. Inilah janji Allah yang tak pernah luput akan janjinya. Sebagaimana janji-Nya dalam Al-Qur'an,

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

...lain shakartum laazeedannakum walain kafartum inna AAathabee lashadeedun

... sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya sungguh siksa-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim (14): 7)

Sayangnya, kita sering kali berpikir bahwa nikmat Allah itu semata-mata hanya dalam bentuk kesenangan dan kebahagiaan. Kita pun sering kali mengungkapkan syukur saat kita memperoleh kesenangan dan kebahagiaan. Sementara saat kesengsaraan dan penderitaan menghampiri, kita enggan bersyukur. Padahal, seluruh seluk-beluk dalam kehidupan kita di Bumi ini tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT., dari ujung rambut hingga ujung kaki, itu semua adalah anugerah tak terkira yang wajib kita syukuri. Sejak bangun tidur hingga bangun kembali, ribuan nikmat telah kita rasakan.

Oleh karena itu, dalam surah Ar-Rahman (55), Allah SWT. seolah menyindir dengan kalimat,

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Fabiayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdziban

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ciri khas surah ini adalah kalimat berulang 31 kali yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.

Jika kita renungkan, di setiap tarikan napas yang kita hirup, di setiap bergantinya siang dengan malam, di setiap detak jantung, ada nikmat Allah yang kita sering lupakan. Ya, nikmat Allah yang sering lupa untuk kita syukuri. Dan ketika musibah dan ujian hidup diberikan pada kita, kita juga lupa bahwa itu sebagian nikmat yang Allah beri. Lalu kita pun hanya bisa mencaci maki, mengumpat, bahkan merasa Allah tidak adil. Oleh karena itu, nikmat Allah manakah yang akan kau dustakan?

Ada beberapa sebab manusia tidak pandai bersyukur?

Pertama, kita tidak pandai bersyukur karena sering kali beranggapan bahwa nikmat Allah itu hanya dalam bentuk kebahagiaan semata.

Kedua, kita sering kali membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang lain. Bila menempati rumah kecil dan sederhana, kita sering membandingkan dengan tetangga yang rumahnya lebih besar. Saat kesulitan menimpa, kita sering membandingkan dengan saudara yang hidupnya lebih sejahtera. Sikap membandingkan inilah yang membuat orang menjadi tidak pandai bersyukur.

Ketiga, kita sering memfokuskan diri pada kelemahan dan kekurangan dan tidak menjadikannya sebagai kekuatan. Jika direnungkan, banyak orang-orang lemah bersyukur dengan menjadikan kelamahannya sebagai kekurangan. Sebenarnya apa pun yang kita miliki, bagaimanapun kondisi saat ini, selalu ada hal terbaik jika kita mampu mensyukurinya.

Oleh karena itu, sama sekali tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur kepada Allah. Semakin kita pandai bersyukur, semakin berubah lebih baik kondisi kita. Sebaliknya, bila tak pandai bersyukur, kita pun akan semakin jatuh tersungkur.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh TAUFIK HIDAYAT, Khatib dan Pengurus DKM Masjid Jami Al Huda Pacet Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage), 1 November 2013 / 27 Zulhijah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky

Kepemimpinan merupakan sunatullah yang telah ditetapkan kepada umat manusia. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah (2): 30,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Waith qala rabbuka lilmalaikati innee jaAAilun fee alardi khaleefatan qaloo atajAAalu feeha man yufsidu feeha wayasfiku alddimaa wanahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka qala innee aAAlamu ma la taAAlamoona

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Amanah kekhalifahan (kepemimpinan) di muka bumi ini tentunya bukan amanah yang ringan. Namun, termasuk sesuatu masalah yang berat untuk diemban dan dipertanggungjawabkan.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Inna AAaradna alamanata AAala alssamawati waalardi waaljibali faabayna an yahmilnaha waashfaqna minha wahamalaha alinsanu innahu kana thalooman jahoolan

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab (33): 72)

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW. ditegaskan masing-masing kita adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya,
"Kullukum raa-in wakullukum mas-uulun 'an ra'iyyatihi."
Demikian bunyi lengkap haditsnya.

Pertanggungjawaban kepemimpinan tersebut sesuai dengan kapasitas dan tingkatan tiap individunya. Baik sebagai kepala negara, kepala daerah, pimpinan kantor, perusahaan, bahkan sebagai kepala rumah tangga.

Ada tiga tipe pemimpin yang patut menjadi renungan buat kita semua.

Pertama, pemimpin yang berkarakter 'sayyidul ummah' (majikan umat). Tipe pemimpin ini adalah tipe pemimpin yang berlaku sebagai tuan/majikan untuk masyarakat atau umatnya. Dia ingin selalu dilayani bawahannya, pekerjaannya di antaranya hanya memerintah dan menunjuk-nunjuk.

Sifat yang lainnya selalu gila jabatan dan gila hormat sehingga pada kenyataannya menjadi takut ketika berhadapan dengan masyarakatnya sendiri. Bahkan, perlu dikawal dan dilindungi bodyguardnya serta takut kalau kursi atau jabatannya ada yang merebutnya.

Kedua, pemimpin yang berkarakter 'khadimul ummah' (pelayan umat). Tipe pemimpin ini adalah tipe pemimpin yang berlaku sebagai pelayan umat/masyarakat. Dia memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pembantu siapa pun yang memerlukannya. Bagi pemimpin seperti ini, jabatan bukanlah segala-galanya. Bahkan, dengan jabatan yang dia emban menjadi media untuk menghasilkan kemaslahatan bagi umat yang lain.

Gambaran seperti itulah yang telah diaplikasikan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA. tatkala melakukan sidak ke rakyatnya. Suatu malam beliau sempat dibuat kaget melalui tindakan seorang ibu yang sedang memasak batu hanya karena untuk meredam tangisan anaknya yang kelaparan. Dengan sigap, Khalifah Umar langsung membawa sembako dari istananya untuk diberikan kepada warganya tadi. Itulah pemimpin yang menjadi pelayan umat sebenarnya.

Ketiga, pemimpin yang berkarakter 'aqdaamul ummah' (tangga kesuksesan umat). Jiwa pemimpin seperti ini memposisikan dirinya seperti anak tangga bagi yang lain. Dia tidak hanya menjadi pelayan bagi umatnya, tetapi lebih dari itu, bisa memperjuangkan dan menjadi fasilitator bagi kesuksesan rakyatnya.

Pengabdian yang dilakukan oleh pemimpin tipe ini adalah pemberdayaan umatnya. Dia bersikap adil dan profesional terhadap umat sendiri. Pada prinsipnya, yang penting umatnya bisa mencapai kesuksesan dan keberhasilan. Hal inilah yang dicontohkan Rasulullah SAW. kepada para sahabat pada khususnya dan kita semua pada umumnya.

Pada akhirnya, kita semua berharap mudah-mudahan masing-masing diri kita dan para pemimpin kita bisa memiliki tipe pemimpin yang kedua dan bahkan yang ketiga

Amin. ***

[Ditulis oleh IHSAN FAISAL, Penyuluh Agama Islam pada Kemenag Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Kliwon) 18 Oktober 2013/ 13 Zulhijah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Ada dua nabi yang mendapat pujian dan penegasan wajib dicontoh (uswah) dan diikuti (qudwah) bagi umat akhir zaman, yaitu Nabi Ibrahim AS. dan Muhammad SAW. Penegasan keteladanan Ibrahim AS. didapat pada firman Allah,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

Qad kanat lakum oswatun hasanatun fee ibraheema waallatheena maAAahu

Sesungguhnya telah ada keteladanan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang mengikutinya. (QS. Al-Mumtahanah (60): 4)

Beberapa kali Allah memuji akhlaknya, ketabahannya, dan keyakinannya dalam mempertahankan akidah sehingga menjadi panutan umatnya.

Allah memberikan penegasan agama yang dianut Ibrahim AS. melalui firman-Nya,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Ma kana ibraheemu yahoodiyyan wala nasraniyyan walakin kana haneefan musliman wama kana mina almushrikeena

Ibrahim bukan seorang Yahudi, juga bukan Nasrani, tapi seorang manusia yang benar menyerahkan dirinya kepada Allah (Muslim) dan dia tidak termasuk orang yang menyekutukan Allah. (QS. Ali Imran (3): 67)

Bahkan, Nabi Muhammad SAW. diperintahkan Allah secara langsung untuk mengikuti dan menguatkan ajaran yang dibawa Ibrahim AS.

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Thumma awhayna ilayka ani ittabiAA millata ibraheema haneefan wama kana mina almushrikeena

Kemudian kami mewahyukan kepadamu (Muhammad), ikuti agama Ibrahim, seorang manusia yang benar, dan ia tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. (QS. An-Nahl (16): 123)

Ibrahim lahir dalam kultur masyarakat penyembah berhala, ayahnya juga penyembah berhala fanatik. Ibrahim lahir di Babilonia di bawah kekuasaan Raja Namruj. Dia hadir meluruskan segala bentuk peribadatan manusia dengan mengajarkan paham Tauhidisme, Tuhan yang tunggal, Tuhan bagi seluruh umat, yaitu Allah SWT. Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim adalah Tuhan imanen (selalu ada dan selalu hadir) dalam setiap detak kehidupan. Tuhan yang menyertai ketika senang dan susah, ketika sedang menyendiri atau berkelompok, ketika sedang terbangun dan terjaga. Bahkan Tuhan yang paling dekat kepada hambanya, lebih dekat dari urat leher hamba tersebut.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ

Waitha saalaka AAibadee AAannee fainnee qareebun

Dan apabila hambaku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah sesungguhnya Aku sangat dekat. (QS. Al-Baqarah (2): 186)

Ibrahim datang memberi contoh ketika kaumnya mengadakan persembahan sesajen berupa manusia untuk persembahan berhala. Hal itu ditentangnya, manusia terlalu tinggi nilainya untuk sekadar dijadikan persembahan kepada dewa. Namun, ketika Allah menguji dengan meminta Ismail, anak satu-satunya dari Siti Hajar untuk dikorbankan, dia sanggup melaksanakannya. Beruntung Allah menggantikannya sehingga menjadi syariat Kurban yang melegenda sampai saat ini.

Waibraheema allathee waffa

Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. (QS. an-Najm (53): 37)

Ibrahim AS. diutus membawa kabar gembira neraca keadilan yang diterima seluruh umat manusia, puncaknya akan diterima di akhirat kelak. Ibrahim AS. mengajarkan prinsip kemanusiaan yang universal, setiap manusia kedudukannya sama di hadapan Allah SWT. Prinsip keteladanan itu terwujud dalam praktik ibadah haji yang di kemudian hari diperkuat Rasulullah SAW. Seperti firman Allah,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا

Waothkur fee alkitabi ibraheema innahu kana siddeeqan nabiyyan

Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam kitab Al-Qur'an sesungguhnya ia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. (QS. Maryam (19): 41)

Persamaan derajat kemanusiaan mendapat tempat paling dominan dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam satu kasus, Allah menegur sekelompok manusia yang merasa punya kelebihan dibanding dengan yang lain, perasaan superioritas itu terjadi ketika pelaksanaan wukuf di Padang Arafah.

Refleksi dari keteladanan Nabi Ibrahim AS. hendaknya menjadi spirit agar lebih mawas diri. Di tengah merebaknya kemusyrikan modern, saat manusia menghambakan diri untuk berhala yang tidak hanya berupa patung, tetapi juga berupa isme, paham, tokoh, ajaran, dan konsep yang hanya didasarkan pada ro'yu (pikiran) serta nafsu, maka spirit Nabi Ibrahim hendaknya menjadi inspirasi untuk kembali kepada Allah, memurnikan tauhid dan menolak segala bentuk kemusyrikan.

Di tengah pelaksanaan hukum yang tidak lagi menjadi panglima, saat hukum dipermainkan, dan tidak lagi memberikan perlindungan terhadap hak-hak manusia maka spirit Nabi Ibrahim sebagai pengabar neraca keadilan Tuhan, hendaknya membuat kita sadar, bahwa hukum Allah akan berlaku di dunia sampai hari pembalasan nanti. Jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim AS. adalah jalan yang lurus dan benar. Yang ditempuh Rasulullah juga jalannya para sodoqin (benar), sobirin (sabar) yang akan menyelamatkan manusia.

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Qul innanee hadanee rabbee ila siratin mustaqeemin deenan qiyaman millata ibraheema haneefan wama kana mina almushrikeena

Katakanlah sesungguhnya aku telah ditunjuk oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar (Islam), agama Ibrahim yang lurus dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). (QS. Al-An'am (6): 161)

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. AGUS ISMAIL, Khatib dan Imam Jumat di beberapa Masjid. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat Jumat (Pon) 11 Oktober 2013 / 6 Zulhijah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky