AMANAH DAN PROFESIONAL

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Waquli iAAmaloo fasayara Allahu AAamalakum warasooluhu waalmuminoona wasaturaddoona ila AAalimi alghaybi waalshshahadati fayunabbiokum bima kuntum taAAmaloona

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)

Ketika ada pelantikan pejabat, sumpah yang utama adalah harus bersikap profesional dalam bekerja. Tak lupa juga berlaku amanah. Sebenarnya apa itu profesional?
Profesi, profesional, dan profesionalisme jika ditelusuri secara asal historikal konteksnya, berakar dari kata latin profesio yang berarti ikrar.

Bekerja secara profesional adalah pekerjaan mulia dan suci demi pengabdian kepada Tuhan. Pekerjaan mulia dan suci tersebut seiring perjalanan waktu kini telah tidak mulia lagi, diselewengkan karena telah terkontaminasi hal-hal negatif. Seperti merebaknya kata profesi digunakan oleh pekerjaan dan perbuatan tidak suci lagi, seperti dijumpai kata pembunuh profesional, koruptor profesional, atau pelacur profesional.

Padahal, seorang profesional merupakan panggilan hidup, hati, jiwa, dan dikerjakan dengan sepenuh waktu (full time), dikerjakan selama hidupnya. Profesi adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat pengetahuan, kecakapan /kemampuan dan keahlian yang secara khusus dipelajari dengan ilmiah. Seorang profesional, memiliki akuntabilitas (tanggung jawab) baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhannya yang disertai dengan komitmen, konsiten, konsekuen (istiqamah) yang tinggi serta sikap pengabdian yang tinggi (ikhlas lillahi ta'ala).

Kita sangat menyayangkan apabila para pejabat dan pelayan masyarakat bekerja secara amatir atau amatiran sebagai lawan kata dari profesional. Bekerja secara amatiran seakan-akan tidak pernah menghasilkan sesuatu yang ditargetkan. Amatiran menunjukkan kepada pekerjaan yang tidak kreatif, dan hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Dalam konteks bahasa maupun budaya, amatir atau bekerja amatiran adalah suatu pekerjaan yang dilakukan dengan hilangnya kemampuan, dikerjakan hanya setengah hati atau asal-asalan. Merriam Webster mengartikan amatir atau amateur adalah seseorang yang melakukan aktivitas tertentu tidak dengan sepenuh hati (bukan panggilan jiwa) dan tidak pula dikerjakan sepenuh waktu. Amatir di dalamnya tidak terdapat komitmen, tidak konsisten, di samping kurangnya pengalaman dan kompetensi (kewenangan).

Padahal, banyak hadits Nabi Muhammad SAW. yang menekankan pentingnya bekerja dengan profesional sekaligus ikhlas sebagai upaya mengemban amanah umat.
"Sesungguhnya Allah SWT. suka melihat hamba-Nya berusaha berpenat lelah mencari rezeki yang halal." (HR Ad-Dailami)

Ada juga hadits lain,

"Usaha yang paling baik ialah usaha orang yang bekerja dengan ikhlas." (HR. Ahmad)

Demikian juga dalam HR. Albaihaqi yang menyatakan,
"Sesungguhnya Allah suka apabila seseorang itu membuat sesuatu perkara ia melakukan dengan penuh ketekunan (memperbaiki dan mempertingkatkannya)."

Lebih baik profesional dalam posisi amatiran daripada tetap amatiran dalam posisi profesional. Misalnya, seorang guru atau dosen, dia profesional sebagai pengajar. Kalau ia mendapat tugas tambahan sebagai ketua jurusan, dekan, atau rektor, tetapi ia batasi dengan aturan tidak dapat terus-menerus menjadi pejabat struktural. Setelah ia selesai melakukan tugas tambahan, ia kembali kepada habitatnya sebagai dosen yang profesional. Jabatan tidak bisa dicari dan diminta, jabatan adalah kepercayaan dan amanah yang bersifat sementara.

Pejabat yang terlalu lama menjabat, jangankan kurang mampu, bila baik pun secara etika-moral, menjabat terlalu lama bisa berdampak buruk. Jabatan dan kekuasaan bukan profesi, karenanya tidak perlu diburu dan dicari. Walaupun kekuasaan dan Jabatan bukan profesi, seseorang yang sedang menjabat harus menjaga amanah, menumbuhkan keadilan, juga harus bertindak profesional dalam melakukan dan mengelola kepemimpinannya.

Kita harus bercermin kepada Sahabat Khalid bin Walid RA. yang setelah masuk Islam menjadi panglima perang tertangguh hingga dijuluki Nabi Muhammad SAW. sebagai Syaifallah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab RA. tidak lepas dari ketanggguhan Khalid.

Namun, apa yang didapat Khalid bin Walid RA. ketika sedang menaklukkan Syam? Khalifah Umar bin Khattab RA. malah mencopot jabatan Khalid dan diserahkan kepada orang lain. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas menerimanya seraya berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, melainkan karena Allah."
Dalam menilai jabatan, Nabi dan para sahabatnya yang utama bukan posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat ambisi. Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi.

Seorang pemimpin harus bersikap ksatria (al-futuwwah). Siapa pun yang bersedia memegang jabatan umat atau rakyat, maka harus bersikap menunaikan amanah dan memberikan pertanggungjawaban atas jabatannya dengan penuh kehormatan diri.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 17 Januari 2013 / 5 Rabiul Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: