Dalam mengarungi kehidupan, semestinya manusia Mukmin senantiasa insaf bahwa dirinya harus terus berusaha lebih baik dan berjuang sebab hidup memang perjuangan. Dalam perjuangan untuk mencapai sesuatu, harus siap menghadapi hasil, yakni berhasil, belum berhasil, atau tidak berhasil. Yang paling harus disadari dan diketahui sebelumnya dengan baik adalah akibat yang akan timbul pada diri, keluarga, bahkan masyarakat akibat dari perjuangannya itu.
Umpamanya sekarang dibuka lebar pendaftaran calon anggota legislatif, untuk tingkat kota/ kabupaten, provinsi, dan pusat. Seyogianya semua menyadari bahwa pintu ujian dan pengorbanan telah dibuka lebar. Barang siapa yang memasukinya, wajib menyadari bahwa ia memasuki pintu ujian itu.

Biaya yang wajib dikeluarkan untuk mencapai maksud tersebut tentulah tidak sedikit, baik moril maupun materiil. Dari pengorbanan yang sama, hasilnya bisa berhasil bisa gagal. Itulah risiko.

Biasanya manusia akan sumringah apabila berjumpa dengan keberhasilan, tertawa terbahak-bahak, atau paling tidak tersenyum lebar untuk menandai kegemibiraannya. Bahkan, selanjutnya tidak jarang kegembiraan ini menjadi cikal bakal gerakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Akan tetapi, sebaliknya manusia lemah lunglai, kecewa, dan bermuram durja bila harus menanggung kegagalan. Inilah yang sering menjadi gerakan kriminal, stres, atau depresi. Padahal, bila disadari, sesungguhnya keberhasilan dan kegagalan itu dua sisi dari cobaan atau ujian, dengan beban perasaan berbeda yang diatur sedemikian sempurnanya oleh Allah SWT.

Allah SWT. berfirman,

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا 
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا 
Inna alinsana khuliqa halooAAan 
Itha massahu alshsharru jazooAAan
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. (QS. Al-Ma'arij (70): 19-21)

Kegembiraan manusia dalam menerima keberhasilan, mesti diekspresikan dengan cara yang benar, proporsional, dan mengenal batas, diiringi dengan rencana dan aksi baik. Bila kegembiraan itu berlebihan, tidak jarang akan menimbulkan sifat kibir (congkak dan sombong) yang dapat mengakibatkan rasa jumawa bahwa keberhasilan itu hanya karena kehebatan dirinya.

Bila sudah dalam keadaan demikian, tentu ia tidak akan lagi mempersiapkan mentalnya untuk suatu saat menerima batas kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya bahkan kegagalan. Optimistis tidak lagi menghiasi perjuangannya, nafsu syaithaniyah dan penyakit mental yang setiap saat semakin parah menunggunya.

Sifat sombong dan lupa diri dalam menyikapi suatu keberhasilan pada gilirannya akan menimbulkan penyakit mental. Bila tidak segera disadari, suatu saat akan berbuah bukan hanya stres tetapi juga depresi. Yaitu ketika harus berhadapan dengan kegagalan, ia akan lunglai, tidak percaya diri, murung, putus asa, dan pada akhirnya akan merasa bahwa hidupnya tidak berguna lagi. Jika sudah demikian keadaannya, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan diri, mengembalikan sifat optimistis.

Akibat stres yang berat apalagi depresi, biasanya akan tampak pada jasmani dengan makan tak enak, tidur tak nyenyak, terasa gatal-gatal di seluruh badan, yang pada giliranya akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran peredaran darah dan kesehatan jantung serta organ lainnya.

Para ahli mengatakan, sikap pesimis akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran peredaran darah dan kesehatan jantung. Pada orang yang senantiasa optimistis dan mampu mengontrol hawa nafsu dengan baik, secara ilmiah sukar didapatkan penyakit jantung ataupun stroke.

Bagi orang-orang yang beriman dan mengamalkan keimanannya, tidak susah untuk menangkal atau mengobati stres yang menimpa. Bahkan, bila keimanan sedang meningkat, mustahil akan dihinggapi depresi mental, karena sudah sejak awal senantiasa mendapat bantuan dari kesabaran dan shalat yang didirikannya.

Firman Allah SWT.,

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
WaistaAAeenoo bialssabri waalssalati wainnaha lakabeeratun illa AAala alkhashiAAeena
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS. Al Baqarah (2): 45)

Di sisi lain, orang-orang yang beriman senantiasa meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan adalah kehendak Allah SWT. Keduanya adalah dua sisi yang merupakan sunnatullah. Semua itu tiada lain untuk menguji keimanan dan kesabaran. Ketika diuji dengan keberhasilan, tidak akan takabur bahkan syukur, dan senantiasa mawas diri. Lalu ketika ditimpa dengan ujian kegagalan, tidak akan kecewa secara berlebihan, bahkan sabar dan tawakal, jauh dari sikap suudzan billah.

Keberhasilan dan kegagalan sama-sama dapat mempertebal keimanan dan kesabaran. Setelah shalat, ada doa yang senantiasa diucapkan,
"Allahumma laa maani'a lima a'thait, wa laa mu'tiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzaljaddi minkaljad-du." (Ya Allah Tuhan kami, tiada apa pun penghalang terhadap apa yang Engkau berikan dan tiada apa pun pemberi terhadap apa yang Engkau halangi dan tidak bermanfaat pemilik kemuliaan kalau bukan kemuliaan dari-Mu.) (Hadits Sahih Mutafaq alaih)

Bila doa ini dipanjatkan dan benar-benar keluar dari hati sanubari yang bening, dipanjatkan baik ketika mendapatkan keberhasilan maupun kegagalan, sungguh sangat jauh dari penderitaan depresi mental yang amat menyusahkan.

Tidak jadi mendapatkan kewenangan dan jabatan yang diidamkan, kehilangan jabatan, perusahaan, karya, kesehatan, atau apa saja yang bersifat duniawi, tidak akan menyebabkan orang yang beriman pesimis. Sebaliknya, justru akan sangat dirasakan bahwa sabda Rasulullah SAW. itu benar adanya.
Dari Aisyah, "Dari Nabi SAW., beliau bersabda, 'Dua rakaat sebelum subuh adalah lebih baik dari dunia dan segala isinya'." (HR. Ahmad, Muslim, At-Tirmizi)

Apalagi pada situasi manusia sudah sangat saling berlomba untuk mendapatkan dunia, seolah dunia ini ingin ditelannya bulat-bulat. Persahabatan menjadi sangat semu, kepentingan pribadi dan kelompok menjadi imam dalam hati, sehingga seperti bersatu padahal di lubuk hatinya sesungguhnya bercerai-berai.

Mari kita senantiasa takarub kepada Allah SWT., yakni dengan apa pun yang diridhai-Nya. Husnudzan dan senantiasa menjauhkan diri dari suudzan kepada Allah SWT. Selanjutnya meluruskan niat suci, bekerja dengan ikhlas, bersosialisasi dengan baik dan wajar dengan lingkungan di sekelilingnya, Insya Allah akan jauh dari ketertekanan jiwa yang berat atau berlebihan.

Wallahu a'lam bish-shawab. ***

[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Dakwah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 25 April 2013 / 14 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Kadang kita tidak sadar bahwa nilai-nilai keagamaan begitu penting dalam hidup ini. Keseimbangan dan kesentosaan hidup akan tercipta tatkala setiap manusia menjalankan nilai-nilai keagamaan dalam kesehariannya secara konsisten. Akan tetapi, realitas hidup membuktikan masih banyak di antara kita yang menjadikan agama (hanya) sebagai simbol, bukan dijadikan esensi diri. Alhasil, kerap kita temui fenomena kekerasan, keserakahan, diri egoistik, ketidakpedulian, disintegritas diri, dan disorientasi hidup di tengah bebalnya kehidupan era modernitas ini.
Intinya, banyak manusia kehilangan esensi diri sehingga dengan mudah menggadaikan kehidupannya kepada nafsu keserakahan. Hubungan dengan sesama manusia pun ketika berinteraksi dan bersosialisasi tidak dipedulikan. Filosofi hidup "asal gue senang" begitu diagungkan dan menjadi sumber konflik yang tak berujung dengan siapa pun. Entah itu dengan tetangga kita, para karyawan, bos, kolega bisnis, atau dengan sahabat kita sekalipun. Dalam bahasa lain, kita, sedemikian menjauh dan malas menerapkan nilai-nilai agama dalam wujud praktikal keseharian.

Apabila setiap manusia berpegang teguh pada suara hatinya yang bersih (nurani), dia akan menyuarakan kebenaran dan kesucian, karena hal itu merupakan fithrah Allah. Agama dalam konteks etika dan moral, posisinya sama dengan asal muasal suara kebenaran dan kesucian. Ketika seaeorang tetap memegang teguh, dia akan mengejawantahkan perilaku yang baik, mulia, agung, dan luhung. Dalam Islam, inilah yang disebut dengan akhlaq karimah.

Dalam pemahaman saya, agama yang menghasilkan nilai, etika, dan moralitas, sangat berperan dalam membentuk karakter diri seseorang. Oleh karena itu, di tengah karut-marut kondisi yang menimpa bangsa ini, sesungguhnya kita sangat memerlukan kehadiran pemimpin yang berkarakter alias berbudi luhur. Tak hanya pemimpin di negeri ini. Kita juga memerlukan cerdik cendikia, pengusaha, legislator, birokrat, aparat, dan tokoh masyarakat yang berbudi luhur. Mereka menjadikan nilai agama sebagai sumber suara kebenaran yang diimplementasikan secara praksis ke dalam wujud integritas diri, kejujuran, keberanian, kesadaran moral, dan konsistensi memperjuangkan keadilan.

Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Faaqim wajhaka lilddeeni haneefan fitrata Allahi allatee fatara alnnasa AAalayha la tabdeela likhalqi Allahi thalika alddeenu alqayyimu walakinna akthara alnnasi la yaAAlamoona

Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini (Islam) sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang Dia telah ciptakan manusia atasnya (agama). Itulah Agama yang lurus, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum (30): 30)

Oleh sebab itu, untuk mengingatkan kita ikhwal esensi diri yang mulia, agung, dan luhung, pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan agama itu? Di dalam buku bertajuk Masyarakat Religius (2010: 90), Prof Nurcholis Madjid berujar, agama bukanlah sekadar tindakan ritual seperti shalat dan berdoa semata. Lebih jauh dari itu, agama merupakan keseluruhan perilaku umat manusia yang dilakukan demi memperoleh ridha Tuhan, dan perilaku tersebut membentuk keutuhan dirinya sebagai makhluk berbudi luhur (akhlaq karimah).

Selain pengertian Cak Nur di atas, tentunya masih banyak para ahli mengetengahkan definisi agama dan kabarnya sangat sulit didefinisikan. Bahkan, pembicaraan tentang definisi agama telah melewati rentang yang lama selama berabad-abad. Dalam salah satu riwayat, dijelaskan bahwa baginda Nabi Muhammad SAW. pernah didatangi oleh seorang laki-laki dan bertanya, "Ya Rasulullah, apakah agama itu?" Rasulullah pada waktu itu menjawab simpel, "Akhlak yang baik".

Pertanyaan tentang agama itu diajukan berkali-kali dan setiap dilontarkan pertanyaan yang sama, beliau pun masih menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian di akhir tanya jawab.itu, Rasulullah SAW. kembali menjawab dengan mengemukakan pertanyaan balik, "Belumkah kamu mengerti? Agama itu akhlak yang baik, Misalnya, janganlah kamu marah."

Pengertian agama yang disampaikan Rasulullah SAW. tersebut sejatinya membuat kita paham ihwal intisari keagamaan, yakni membentuk perilaku yang baik dalam hidup keseharian. Oleh karena itu, untuk menguji kadar perilaku kita (baik atau jahat) ialah mencoba berinteraksi dalam sebuah medan sosial, antara kita dengan sesama. Tidaklah disebut baik ketika kita diam sendirian tidak bertemu dengan satu manusia pun sepanjang hari, minggu, bulan, dan tahun hingga kita mati. Sebab, kita akan menjadi manusia berperilaku baik (ihsan) dan disebut manusia baik (muhsin) setelah berhubungan dengan manusia lain.

Dalam perspektif ilmu psikologi, yang dimaksud perilaku itu tentu mencakup pikiran (kognitif), perasaan (afektif), tindakan (psikomotorik), dan kehendak (konatif) kita kepada orang lain. Dalam bahasa psikologi, perilaku baik itu erat kaitannya dengan empati, yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dengan memiliki empati diri, tentunya segala amal perbuatan akan menampakkan kebajikan. Empati tentu harus kita tampilkan dengan ketulusan sebab jika kita pura-pura tulus, satu saat akan ketahuan sebenarnya kita tidaklah tulus.

Betul kiranya pandangan seorang pakar orientalisme, HAR Gibb, yang pernah memuji Islam sebagai ajaran komplet mengatur seluruh sektor kehidupan hingga yang terkecil sekalipun. "Islam is indeed much more a than system of theology. Islam it's complete civilization." Begitu kira-kira refleksi di hari Jumat Agung ini.

Semoga bermanfaat.***

[Ditulis oleh H. IDAT MUSTARI, Ketua Biro Agama DPD Golkar Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat ((Pon) 19 April 2013 / 8 Jumadil Akhir 1434 H pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Setiap orang ingin menggapai sukses. Doa dan ikhtiar ditujukan agar dalam menempuh hidup, terhindar dari kegagalan. Berhasil meraih segala yang didambakan menurut ukuran norma yang berlaku di segala bidang kehidupan. Berhasil melampaui segala rintangan.

Motivasi untuk sukses, selalu tersedia, baik dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun lingkungan sekeliling. Termasuk dari para motivator yang bermunculan, dari masa ke masa. Menawarkan jasa, untuk menempa kekuatan mental dan moral, memperluas wawasan, memperlancar akses dan menepis kesulitan, serta memanfaatkan aneka macam peluang. Berkat dukungan teknologi canggih, motivasi dari para motivator dapat disebarluskan melalui media audio visual, penyelenggaraan acara-acara berbentuk seminar, lokakarya, dan lain-lain yang tak pernah sepi dari peminat.

Berbeda dengan 40-50 tahun lalu, yang hanya mengandalkan bahan bacaan. Tahun 1950-an, misalnya, para pencari sukses, melahap buku-buku karya Dale Carnegie, motivator ulung asal Amerika. Juga buku-buku karya Mustafa al Ghulayani, ulama Libanon, yang diidolakan para santri masa itu.

Dari berbagai sumber tentang motivasi menuju hidup sukses, dapat dipetik intisari yang menjadi titik tolak pemberangkatan kesuksesan seseorang. Yaitu berkata benar, mencakup sifat jujur, tidak bohong, tidak mengingkari janji. Ucapan seseorang adalah goresan pahat di atas batu, yang tak akan pernah hilang terkena hujan dan panas, kata seorang bijak.
Menurut istilah Al-Qur'an, berkata benar adalah qawlan syadida. Dalam QS. Al-Ahzab (33): 70-71,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Ya ayyuha allatheena amanoo ittaqoo Allaha waqooloo qawlan sadeedan Yuslih lakum aAAmalakum wayaghfir lakum thunoobakum waman yutiAAi Allaha warasoolahu faqad faza fawzan AAatheeman

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Dinyatakan, setiap orang beriman diperintahkan berkata benar (qawlan syadidd). Dampak dari berkata benar ini, semua perbuatan dan pekerjaan diperbagus oleh Allah SWT. (yuslih lakum amalakum) serta dibersihkan dari kesalahan-kesalahan (yaghfirlakum dzunubakum). Disertai dengan taat kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, yaitu takwa, maka munculah kesuksesan yang gilang gemilang (faza fauzan adzima).

Jika dirunut jelas tampak, kejujuran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari qawlan syadida, akan menghasilkan karya mulus tanpa cacat, bersih dari kesalahan pembuat dan buatannya, hingga berada dalam posisi unggul. Mampu bersaing. Tak terkalahkan di arena pertarungan, baik produk material maupun produk mental dan intelektual.

Qawlan syadida, bicara benar, terbuka, terus terang, tanpa rekayasa kebohongan, dan menutup-nutupi persoalan, memang menjadi hal amat penting dalam gerak langkah setiap Muslim beriman. Dimulai dari ucapan syahadatain (dua kalimat persaksian), mengaku Allah SWT. sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah, dan mengaku Muhammad sebagai utusan-Nya, yang merupakan pembuka keislaman seseorang; hingga keberadaan kata dan kalimat lain yang betul-betul baik. Kalimah thayyibah. Sebagaimana firman Allah SWT.,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Alam tara kayfa daraba Allahu mathalan kalimatan tayyibatan kashajaratin tayyibatin asluha thabitun wafarAAuha fee alssamai Tutee okulaha kulla heenin biithni rabbiha wayadribu Allahu alamthala lilnnasi laAAallahum yatathakkaroona

Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah. Dia membuat perumpamaan-perumpamaan itu agar mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim (14): 24-25)

Dengan ucapan yang teguh (dalam kebaikan), Allah SWT. mengokohkan iman setiap Mukmin dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan Allah menyesatan orang-orang yang dzalim dan berbuat apa saja yang Dia kehendaki.

Selain qawlun syadidun, ucapan yang baik pembawa sukses, di dalam Al-Qur'an terdapat pula istilah qawlun tsabit. Ucapan yang konsisten, istiqamah. Terutama menyangkut keyakinan dan keimanan Islam.

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Yuthabbitu Allahu allatheena amanoo bialqawli alththabiti fee alhayati alddunya wafee alakhirati wayudillu Allahu alththalimeena wayafAAalu Allahu ma yashao

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. Ibrahim (14): 27)

Kemudian ada qawlun ma'rufun,

قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى ۗ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ

Qawlun maAAroofun wamaghfiratun khayrun min sadaqatin yatbaAAuha athan waAllahu ghaniyyun haleemun

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah (2): 263)

Selain itu, ada qawlan baligha. Perkataan yang cermat, jelas, efektif, membekas pada jiwa pendengarnya.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

Olaika allatheena yaAAlamu Allahu ma fee quloobihim faaAArid AAanhum waAAithhum waqul lahum fee anfusihim qawlan baleeghan

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. An-Nisa (4): 63)

Tidak gombal, penuh dusta. Lain ucapan, lain tindakan. Ada pula qawlan karima. Perkataan mulia,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Waqada rabbuka alla taAAbudoo illa iyyahu wabialwalidayni ihsanan imma yablughanna AAindaka alkibara ahaduhuma aw kilahuma fala taqul lahuma offin wala tanharhuma waqul lahuma qawlan kareeman

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Isra (17): 23)

Penuh sopan santun rendah hati. Terutama merupakan ke-harusan dari anak-anak muda terhadap ibu-bapak dan orang berusia tua. Adapun qawlun maysur,

وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا

Waimma tuAAridanna AAanhumu ibtighaa rahmatin min rabbika tarjooha faqul lahum qawlan maysooran

Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. (QS. Isra (17): 28)

Adalah ucapan yang pantas dari setiap orang yang akan pamit untuk meninggalkan perkara dosa dan munkar, sehingga menggugah kesadaran orang-orang yang mendengarnya.

Terakhir, qawlun layyin,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Faqoola lahu qawlan layyinan laAAallahu yatathakkaru aw yakhsha

maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaha (20): 44)

Perkataan lemah lembut. Terutama dalam menghadapi kedzaliman, baik di kalangan penguasa, maupun masyarakat, sehingga menimbulkan simpati, menjauhkan huru-hara, anarki, dan kekerasan.

Menjelang pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan sebagainya, seharusnya semua pihak mencoba menerapkan prinsip qawlan syadida dan qawlan-qawlan lain yang bermutu, penuh tanggung jawab, sebagaimana petunjuk Al-Qur'an. Hal itu agar terhindar dari dampak keburukan dan kekisruhan akibat qawlan khabitsa (perkataan buruk) yang penuh janji tanpa pernah ditepati, penuh iming-iming tanpa solusi, penuh tipu daya hanya mendapat dukungan sesaat.

Sudah saatnya semua memulai menuai kesuksesan dengan berkata benar dan jujur. Meninggalkan dusta dan tipu daya, bohong dan omong kosong.

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ

Wamathalu kalimatin khabeethatin kashajaratin khabeethatin ijtuththat min fawqi alardi ma laha min qararin

Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS. Ibrahim (14): 26)

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM, pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah BPIH Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 8 APril 2013 / 7 Jumadil AKhir 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Suatu hari, Rasulullah SAW. berjalan bersama para sahabat Ketika tiba di perkampungan, mereka melihat seorang pemuda bertubuh kekar sedang bekerja membelah kayu bakar. "Sangat disayangkan, kok badan sekekar itu hanya digunakan untuk bekerja membelah kayu bakar. Alangkah baiknya jika ia berjuang di jalan Allah," gumam para sahabat.

Sambil tersenyum, Rasulullah SAW. berkata, "Sungguh, jika ia bekerja membelah kayu bakar agar tidak mengemis, berarti ia juga berjuang di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi keluarganya, berarti ia tengah berjuang di jalan Allah."

Selain kisah di atas, dikisahkan pula suatu ketika Rasulullah SAW. sedang memperhatikan seorang sahabat yang terkenal karena rajin beribadah. Dari pagi hingga malam, ia senantiasa beribadah di masjid. Hingga Rasul bertanya kepada kerabat sahabat tadi, "Jika ia terus-menerus beribadah di masjid, siapa yang menafkahi keluarganya?" "Saya, ya Rasulullah. Saya yang menafkahi keluarganya," jawab si kerabat. "Sungguh, kau jauh lebih baik darinya," kata Rasulullah.

Ternyata ada perbedaan antara Rasul dan para sahabat dalam memaknai ibadah. Para sahabat mempersempit makna ibadah hanya sebatas ritus formal, seperti dzikir, shalat, puasa, dan haji serta berjuang/berperang di jalan Allah. Lain halnya dengan Rasul yang memaknai ibadah tidak sesempit itu. Rasul memaknai ibadah dengan perspektif lebih luas. Membelah kayu bakar, mencari nafkah di luar rumah serta pekerjaan lainnya merupakan ibadah juga jika itu didasari sebagai pengabdian terhadap Allah SWT.

Bahkan, suatu saat Rasulullah SAW. mencium tangan sahabatnya yang kasar dan melepuh karena kerasnya pekerjaan yang ia lakukan. Hingga Rasul berkata, "Sungguh tangan inilah yang tidak akan tersentuh api neraka." Jadi sangat jelas, ibadah itu bukan semata-mata aktivitas-aktivitas ritus formal di masjid atau di tempat-tempat suci. Lebih dari itu, profesi apa pun yang kita jalankan sama-sama merupakan ibadah. Bahkan, bisa lebih baik dan lebih mulia jika landasan niatnya benar dan ikhlas karena Allah SWT.

Jika kita perhatikan, sebenarnya ibadah (ritus) yang dilakukan dalam ajaran Islam memiliki ciri yang sangat khas dibandingkan dengan agama lain. Jika ibadah dalam agama lain dilakukan dengan kondisi relatif diam, tenang, dan pasif, ibadah dalam Islam sangat dinamis dan penuh gerakan.

Contoh nyata shalat. Kalau direnungkan dari awal hingga akhir, seluruh aktivitas shalat disertai gerakan seluruh tubuh. Apalagi ibadah haji, sebagai ibadah paripurna seorang Muslim. Haji merupakan ibadah total yang penuh dengan gerakan fisik, melintasi batas-batas daerah tertentu. Dengan begitu, semua kegiatan ibadah ritus memiliki benang merah yang sama. Ibadah merupakan penyucian jiwa, pengisian dengan sifat-sifat suci Allah, pengagungan dan komunikasi dengan Allah, dan semua itu harus diwujudkan dalam amal saleh-kerja nyata kepada sesama. Iman saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan amal saleh, action, dan kerja nyata.

Al-Qur'an juga memerintahkan agar kita selalu mencari karunia Allah di bumi dengan bekerja sebagai ungkapan rasa syukur, bahkan setelah shalat pun kita dianjurkan untuk segera bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Sebagaimana firman Allah,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Faitha qudiyati alssalatu faintashiroo fee alardi waibtaghoo min fadli Allahi waothkuroo Allaha katheeran laAAallakum tuflihoona
Apabila telah ditunaikan sahlat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS. Al-Jumu'ah (62): 10)

Jadi, Muslim yang rajin shalat di masjid termasuk yang saleh tetapi lebih saleh jika sesudah shalat, ia juga rajin bekerja di luar rumah. Menurut penelitian, di era modern, ulama-ulama cerdas itu, ulama-ulama yang berdasi, direktur kantor mewah, dan pengusaha sukses terkenal, bukan lagi ulama-ulama berjubah sorban yang bermarkas di masiid. Ulama cerdas adalah yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritus formal dan ibadah kerja-nyata di luar rumah. Ibadahnya tekun, kerjanya juga hebat.

Ada anekdot menarik, konon di akhirat terjadi perdebatan antara guru, ulama, dan dokter. Mereka berebut siapa yang pantas duluan masuk surga karena besar dan bermanfaatnya amalan-amalan mereka. Sang ulama mengklaim dia adalah orang pertama yang pantas masuk surga karena jasanya mendakwahkan ajaran Islam. Seorang guru menganggap dialah yang pantas masuk surga terlebih dahulu karena jasanya mencerdaskan banyak generasi di muka bumi. Tidak mau kalah, seorang dokter pun dengan ngotot mengklaim dirinyalah yang pantas masuk surga, jasanya mengobati dan menyehatkan masyarakat banyak menjadi amalan andalan yang membuat ia pantas masuk surga.

Di tengah ramainya perdebatan mereka, datanglah seorang pengusaha sukses. Mereka bertiga kaget campur senang karena teringat kebaikan-kebaikan sang pengusaha ini. Sang ulama berkata, "Inilah pengusaha yang banyak jasanya, ia mendermakan hartanya untuk membangun masjid-masjid di daerahku sehingga meringankanku mendakwahkan ajaran Islam kepada para jemaah. Dibandingkan dengan amalku, pengusaha ini jauh lebih mulia amalnya."

Giliran sang guru yang berujar, "Pengusaha ini juga yang menjamin biaya pembangunan sekolah-sekolah di daerahku sehingga para guru nyaman dan mudah mengajarkan ilmu dan mencerdaskan generasi-generasi muda. Sungguh, amal pengusaha ini jauh lebih hebat dari amalku."

Terakhir giliran sang dokter, "Kalian berdua harus tahu, pengusaha ini juga yang membantu biaya pembangunan rumah sakit hingga para dokter mendapat kemudahan melayani kesehatan untuk masyarakat. Jika dibandingkan dengan amalku, amal pengusaha ini jauh lebih bermanfaat dariku." Akhirnya ketiga orang ini, yaitu ulama, guru, dan dokter, sepakat untuk mempersilakan sang pengusaha ini masuk surga mendahului mereka bertiga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebaikan dan kesempurnaan seorang Muslim adalah ketika ia mampu menyeimbangkan antara ibadah yang bersifat ritus formal dan ibadah yang bersifat amalan dan kerja nyata di luar rumah, hingga kesalehannya bukan kesalehan individu semata, tetapi juga kesalehan sosial.

Wallahualam Bissawab....***

[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung, pegiat Kajian Islam Ilmiah Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Jumat (Wage), 5 April 2013/24 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Allah SWT. telah menciptakan perputaran hari, demikian pula dengan diedarkannya bulan dan bumi yang mengitari matahari. Lalu manusia menemukan jam, menit, dan detik, atau bahkan satuan waktu yang lebih kecil dari padanya. Semua itu sarana bagi manusia untuk mengisinya dengan hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Pencipta lagi Maha Cepat Hisaban-Nya.

Waktu yang akan datang berisikan harapan, rencana, dan kekhawatiran. Waktu yang telah lalu adalah catatan-catatan masa lalu dan sejarah. Baik dan buruk semestinya jadi ilmu dan pelajaran. Waktu sekarang adalah waktu menorehkan tinta untuk menjadikan catatan dan sejarah untuk dijadikan pelajaran dengan niat baik, amalan, dan perkataan.

Bila kita mau, dengan sedikit saja kemauan untuk berkaca pada sejarah, umpamanya ketika kaum Luth dibenamkan oleh Allah SWT., mereka benar-benar binasa bahkan dengan segala perilaku beserta penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh perilaku mereka. Perilaku seks mereka yang menyimpang menjadi sumber penyakit yang dapat mengancam keselamatan jiwa, keberlangsungan agama, dan luluh lantaknya kemanusiaan manusia serta hak manusia yang asasi, yaitu hidup di bawah aturan dan hukum Allah SWT. Mereka adalah kaum lesbian dan homoseks yang melampiaskan syahwat biologisnya dengan cara yang dilaknat Allah SWT.

Sekarang virus yang dahulu dibenamkan oleh Allah SWT. Dengan segala amoralitasnya telah dinamai HIV dan penyakit AIDS. Ia adalah virus yang mengambil dan merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga siapa pun yang dihinggapinya akan mudah diserang oleh penyakit dan virus-virus apa pun, bahkan kuman-kuman.

Selanjutnya pada masa sekarang, perzinaan yang dilakukan atas nama kebebasan atau sesungguhnya petualangan kepuasan biologis tak mengenal etika apalagi hukum agama. Dengan kata lain, hukum binatanglah yang berjalan di antara mereka. Media-media begitu gencar meraup keuntungan haram, memberitakan dengan penuh nafsu kejadian pemerkosaan, hingga berita tentang seorang ayah yang telah kalap lalu memerkosa anak kandungnya sendiri, atau anak yang memerkosa ibu kandungnya sendiri. Bahkan ada yang telah memerkosa lebih dari seorang anak-anaknya. Hal ini terjadi karena hilangnya norma-norma etika dan agama di dalam hati nuraninya.

Anak-anak menjadi korban dan menjadi penikmat visualisasi pornografi, antara lain karena keteledoran orang tua dan para pendidik yang membiarkan mereka tumbuh tanpa kekhawatiran terjerumus. Para ibu yang telah mempunyai anak atau bahkan beberapa anak masih tidak sungkan untuk memamerkan aurat mereka, anehnya juga tanpa kekhawatiran akan jadi didikan kepornoan bagi anak-anaknya.

Hal-hal yang semestinya kita berisftighfar (mengucap "Innalillahi wainna ilaihi raji'un") atas musibah / qiamat wustha yang menimpa lalu bertobat dan beristighfar atas perkembangan beragama yang mengenaskan ini dengan andil diri di dalamnya. Malah semakin bermunculanlah orang-orang tidak peduli akan rasa ngeri yang dirasakan teramat pahit, tentunya oleh orang yang mengalami pemerkosaan itu atau oleh keluarga, khususnya ibu dari anak-anak yang mengalaminya. Jika masih memiliki rasa peduli dan sedikit mau membuka hati, lalu hanya sekadar berandai-andai. Andai saja kejadian itu menimpa dirinya, keluarga, sahabat, atau kerabatnya, tentulah ia akan sangat mendukung kepada segala bentuk usaha menutup jalan-jalan yang akan membuka pintu perzinaan atau pemerkosaan yang teramat nista itu.
Selanjutnya bermunculan pula orang-orang yang merasa diri paling berseni atau paling paham akan seni, lalu penampilan dan perilaku porno yang menurut mereka sarat seni itu dijadikan dalih akan bolehnya memperlihatkan bagian-bagian sensitif yang menjadi objek stimulan bagi lawan jenis, bahkan di kalangan tertentu bagi lawan jenisnya. Sesungguhnya alasan-alasan seperti itu hanyalah pengakuan diri bahwa mereka para hamba hawa nafsu, mereka membuka pintu yang menganga lebar untuk masuknya setan dalam mecekokkan ide-idenya. Ide-ide setan adalah gambaran dan pelaksanaan pencarian kerabat nistanya untuk menemaninya dalam kutukan Allah SWT. dunia akhirat.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ

Qala fabima aghwaytanee laaqAAudanna lahum sirataka almustaqeema

Iblis berkata, "Oleh karena Engkau (wahai Tuhan) menyebabkan aku tersesat (maka) demi sesungguhnya aku akan mengambil tempat menghalangi mereka (dari menjalani) jalan-Mu yang lurus." (QS. Al-A'raf (7): 16)

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

Walaodillannahum walaomanniyannahum walaamurannahum falayubattikunna athana alanAAami walaamurannahum falayughayyirunna khalqa Allahi waman yattakhithi alshshaytana waliyyan min dooni Allahi faqad khasira khusranan mubeenan

Dan demi sesungguhnya, aku akan menyesatkan mereka (dari kebenaran), dan demi sesungguhnya aku akan memperdayakan mereka dengan angan-angan kosong, dan demi sesungguhnya aku akan menyuruh mereka (mencacatkan binatang-binatang ternak), lalu mereka membelah telinga binatang-binatang itu, dan aku akan menyuruh mereka mengubah ciptaan Allah. Dan (ingatlah) sesiapa yang mengambil syaitan menjadi pemimpin yang ditaati selain dari Allah, maka sesungguhnya rugilah ia dengan kerugian yang terang nyata. (QS An-Nisa (4): 119)

Nabi SAW. bersabda,
"Orang yang cerdas itu ialah yang mengagamai dirinya dan beramal untuk bekal setelah matinya. Sementara orang yang tolol ialah yang hanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan kepada Allah SWT. (Andai Allah memaafkannya, andai tidak ada pertemuan dengan Allah, andai tidak ada timbangan amal akhirat)." (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, IV: 368)

Semakin merebaknya rasa tidak malu untuk melakukan perzinaan setelah merasakan kenistaan dan kepiluan itu. Misalnya dirinya atau orang yang dicintainya dihinggapi virus HIV, keluarga korban pemerkosaan, atau anak terlahir dengan tidak jelas siapa ayahnya. Atau mungkin pengguguran-pengguguran kandungan yang sekarang semakin banyak terjadi.

Tidakkah dirasakan nasihat kepedulian Nabi SAW. yang menasihati Ali Bin Abu Thalib RA.
"Wahai Ali janganlah engkau ikutkan pandangan dengan pandangan, sesungguhnya hak-mu pandangan pertama tetapi tidak pandangan selanjutnya."

Lalu kita telah sangat mengetahui tentang batasan aurat yang haram apabila dilihat oleh bukan yang berhak. Inilah batasan yang apabila dipatuhi akan memberikan kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat.

Wallahu 'alam. ***

[Ditulis oleh KH. WAWAN SHOFWAN, Ketua Bidang Dakwah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 4 APril 2013 / 23 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Orang yang masuk surga ada 3 macam, yaitu:
  1. Langsung masuk surga tanpa hisab (dihitung kebaikan dan keburukannya),
  2. Masuk surga setelah dihisab,
  3. Dan masuk surga setelah diadzab terlebih dahulu di neraka.
Tentunya semua orang akan mengidam-idamkan masuk surga tanpa harus masuk neraka. Tapi bagaimana caranya? Mungkin ini adalah pertanyaan yang terlintas di benak setiap orang secara spontan begitu membaca judul ini.

Sempurnakan Tauhid !
Agar masuk surga tanpa hisab, syarat yang harus dipenuhi adalah membersihkan tauhid dari noda-noda syirik, bid’ah, dan maksiat.

Allah berfirman,


إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Inna ibraheema kana ommatan qanitan lillahi haneefan walam yaku mina almushrikeena
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (lurus). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb). (QS. An Nahl (16): 120)

Dalam ayat ini, Allah memuji Nabi Ibrahim AS. dengan menyebutkan empat sifat, yang apabila keempat sifat ini ada pada diri seorang insan, maka ia berhak mendapatkan balasan yang tertinggi, yaitu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Mencontoh Para Nabi Dalam Bertauhid
Di dalam Al Qur’an, Allah memberikan uswah (teladan) kepada kita pada dua sosok manusia yaitu Nabi Ibrahim AS. dan Nabi Muhammad ‘alaihimashsholaatu was salaam.

Allah berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
Qad kanat lakum oswatun hasanatun fee ibraheema waallatheena maAAahu ith qaloo liqawmihim inna buraao minkum wamimma taAAbudoona min dooni Allahi kafarna bikum wabada baynana wabaynakumu alAAadawatu waalbaghdao abadan hatta tuminoo biAllahi wahdahu illa qawla ibraheema liabeehi laastaghfiranna laka wama amliku laka mina Allahi min shayin rabbana AAalayka tawakkalna wailayka anabna wailayka almaseeru
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’. (QS. Al Mumtahanah (60): 4)

Perhatikanlah, Ibrahim ‘alaihissalam menjadi teladan dengan memurnikan tauhid dengan cara berlepas diri dari kesyirikan. Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
Laqad kana lakum feehim oswatun hasanatun liman kana yarjoo Allaha waalyawma alakhira waman yatawalla fainna Allaha huwa alghanniyyu alhameedu
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. (QS. Al Mumtahanah (60): 6)

Tidak diragukan lagi, balasan yang paling besar dan keselamatan yang dimaksud adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Itulah keselamatan yang hakiki yang dinanti oleh setiap jiwa yang pasti akan merasakan mati.

Allah juga berfirman tentang Nabi kita Muhammad shollAllahu ‘alaihi wa sallam,

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Laqad kana lakum fee rasooli Allahi oswatun hasanatun liman kana yarjoo Allaha waalyawma alakhira wathakara Allaha katheeran
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab (33): 21)

Nabi Muhammad SAW. adalah orang yang paling paham tentang tauhid, maka orang yang hendak mempraktekkan tauhid dalam dirinya harus mencontoh ajaran Beliau.

Patuh Terhadap Perintah Allah
Nabi Ibrahim AS. adalah seorang yang sangat patuh kepada Allah, teguh dalam ketaatannya dan senantiasa berada dalam ketundukannya, apapun keadaannya. Buktinya ketika Beliau diuji dengan perintah untuk menyembelih putra kesayangannya, Beliau pun tetap patuh melaksanakannya (Qoulul Mufid karya Syaikh Al Utsaimin). Begitu juga keturunannya, pemimpin para Nabi, Muhammad shollAllahu ‘alaihi wa sallam, hamba Allah yang paling taat.

Allah berfirman,

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
Amman huwa qanitun anaa allayli sajidan waqaiman yahtharu alakhirata wayarjoo rahmata rabbihi qul hal yastawee allatheena yaAAlamoona waallatheena la yaAAlamoona innama yatathakkaru oloo alalbabi
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? (QS. Az Zumar (39): 9)

Keluar dari Kegelapan Syirik Menuju Cahaya Tauhid
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hanif adalah menujukan ibadah hanya kepada Allah tauhid) dan berpaling dari peribadatan kepada selain-Nya (syirik).(Fathul Majid)

Inilah sifat orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yakni betul-betul menjaga kemurnian tauhidnya dengan berpaling sejauh-jauhnya dari kesyirikan dengan segala macam pernak-perniknya.

Mujahid berkata, “Nabi Ibrahim adalah seorang imam walaupun Beliau beriman seorang diri di tengah kaumnya yang kafir.(Tafsir Ibnu Katsir, An Nahl: 120)

Maksudnya Beliau adalah sosok yang selamat dari kesyirikan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan.” (Al Jadid karya Syaikh Al Qor’awi). Maka untuk memurnikan tauhid, kita harus berpaling dari syirik dan pelakunya.

Tawakkal Kepada Allah, Itu Kuncinya
Mari kita simak sabda Nabi yang paling kita cintai dan sangat mencintai umatnya, Muhammad sholAllahu ‘alaihi wa sallam tentang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Beliau bersabda,
“Beberapa umat ditampakkan kepadaku, lalu kulihat seorang nabi bersama beberapa orang, ada seorang nabi bersama satu atau dua orang, dan ada seorang nabi yang tidak disertai siapapun. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku satu golongan dalam jumlah yang amat banyak, sehingga aku mengira mereka adalah umatku. Maka ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Ini adalah Musa dan kaumnya.’ Aku melihat lagi, ternyata di sana ada jumlah yang lebih banyak lagi. Ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Itulah umatmu, tujuh puluh ribu orang di antara mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.’ Kemudian beliau bangkit dan masuk rumah. Maka orang-orang berkumpul bersama orang-orang yang sudah berkumpul. Sebagian mereka mengatakan, ‘Barangkali mereka adalah para sahabat Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam.’ Sebagian yang lain mengatakan, ‘Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak menyekutukan sesuatu pun beserta Allah.’ Mereka pun mengatakan banyak hal. Lalu Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka dan mereka memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta untuk (berobat dengan cara) disundut dengan api, dan tidak melakukan tathayyur, serta mereka bertawakal kepada Allah.’ Lalu ‘Ukkasyah bin Mihshon berdiri dan berkata, ‘Berdo’alah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian ada orang lain berdiri dan berkata, ‘Berdo’alah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau sudah didahului ‘Ukasyah.’” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

Di antara pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah bahwa tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan cara disundut dengan besi panas (kayy), dan tidak menganggap akan mengalami kesialan setelah mendengar atau melihat sesuatu (tathoyyur) merupakan wujud dan realisasi dari tawakkal kepada Allah. Karena itulah Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar tidak melakukan ketiga hal tersebut, karena pengaruh ruqyah dan kayy yang sangat kuat sehingga dikhawatirkan seorang hamba menggantungkan harapan kesembuhannya kepada cara pengobatan tersebut dan bukannya bersandar kepada Allah. Khusus untuk tathoyyur maka hukumnya tidak diperbolehkan.

Kesimpulannya, keadaan orang yang akan masuk surga sangat tergantung dari kadar ketawakkalan setiap orang, semakin tinggi tingkat tawakkalnya semakin tinggi pula tingkat kesempurnaan tauhidnya. Hanya kepada Allah-lah tempat kita bersandar dan menyerahkan urusan.

Ya Allah, masukkanlah kami dalam golongan orang yang mengharap rahmat-Mu dan banyak menyebut-Mu.

Wallahu a’lam.***

[Disarikan dari kajian Kitab Tauhid bersama Al Ustadz Abu Isa -hafizhohullah- Penulis : Nurdin Abu Yazid Sumber Artikel : www.muslim.or.id]

by
u-must-b-lucky