MORALITAS MANUSIA BERAGAMA

Kadang kita tidak sadar bahwa nilai-nilai keagamaan begitu penting dalam hidup ini. Keseimbangan dan kesentosaan hidup akan tercipta tatkala setiap manusia menjalankan nilai-nilai keagamaan dalam kesehariannya secara konsisten. Akan tetapi, realitas hidup membuktikan masih banyak di antara kita yang menjadikan agama (hanya) sebagai simbol, bukan dijadikan esensi diri. Alhasil, kerap kita temui fenomena kekerasan, keserakahan, diri egoistik, ketidakpedulian, disintegritas diri, dan disorientasi hidup di tengah bebalnya kehidupan era modernitas ini.
Intinya, banyak manusia kehilangan esensi diri sehingga dengan mudah menggadaikan kehidupannya kepada nafsu keserakahan. Hubungan dengan sesama manusia pun ketika berinteraksi dan bersosialisasi tidak dipedulikan. Filosofi hidup "asal gue senang" begitu diagungkan dan menjadi sumber konflik yang tak berujung dengan siapa pun. Entah itu dengan tetangga kita, para karyawan, bos, kolega bisnis, atau dengan sahabat kita sekalipun. Dalam bahasa lain, kita, sedemikian menjauh dan malas menerapkan nilai-nilai agama dalam wujud praktikal keseharian.

Apabila setiap manusia berpegang teguh pada suara hatinya yang bersih (nurani), dia akan menyuarakan kebenaran dan kesucian, karena hal itu merupakan fithrah Allah. Agama dalam konteks etika dan moral, posisinya sama dengan asal muasal suara kebenaran dan kesucian. Ketika seaeorang tetap memegang teguh, dia akan mengejawantahkan perilaku yang baik, mulia, agung, dan luhung. Dalam Islam, inilah yang disebut dengan akhlaq karimah.

Dalam pemahaman saya, agama yang menghasilkan nilai, etika, dan moralitas, sangat berperan dalam membentuk karakter diri seseorang. Oleh karena itu, di tengah karut-marut kondisi yang menimpa bangsa ini, sesungguhnya kita sangat memerlukan kehadiran pemimpin yang berkarakter alias berbudi luhur. Tak hanya pemimpin di negeri ini. Kita juga memerlukan cerdik cendikia, pengusaha, legislator, birokrat, aparat, dan tokoh masyarakat yang berbudi luhur. Mereka menjadikan nilai agama sebagai sumber suara kebenaran yang diimplementasikan secara praksis ke dalam wujud integritas diri, kejujuran, keberanian, kesadaran moral, dan konsistensi memperjuangkan keadilan.

Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Faaqim wajhaka lilddeeni haneefan fitrata Allahi allatee fatara alnnasa AAalayha la tabdeela likhalqi Allahi thalika alddeenu alqayyimu walakinna akthara alnnasi la yaAAlamoona

Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini (Islam) sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang Dia telah ciptakan manusia atasnya (agama). Itulah Agama yang lurus, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum (30): 30)

Oleh sebab itu, untuk mengingatkan kita ikhwal esensi diri yang mulia, agung, dan luhung, pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan agama itu? Di dalam buku bertajuk Masyarakat Religius (2010: 90), Prof Nurcholis Madjid berujar, agama bukanlah sekadar tindakan ritual seperti shalat dan berdoa semata. Lebih jauh dari itu, agama merupakan keseluruhan perilaku umat manusia yang dilakukan demi memperoleh ridha Tuhan, dan perilaku tersebut membentuk keutuhan dirinya sebagai makhluk berbudi luhur (akhlaq karimah).

Selain pengertian Cak Nur di atas, tentunya masih banyak para ahli mengetengahkan definisi agama dan kabarnya sangat sulit didefinisikan. Bahkan, pembicaraan tentang definisi agama telah melewati rentang yang lama selama berabad-abad. Dalam salah satu riwayat, dijelaskan bahwa baginda Nabi Muhammad SAW. pernah didatangi oleh seorang laki-laki dan bertanya, "Ya Rasulullah, apakah agama itu?" Rasulullah pada waktu itu menjawab simpel, "Akhlak yang baik".

Pertanyaan tentang agama itu diajukan berkali-kali dan setiap dilontarkan pertanyaan yang sama, beliau pun masih menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian di akhir tanya jawab.itu, Rasulullah SAW. kembali menjawab dengan mengemukakan pertanyaan balik, "Belumkah kamu mengerti? Agama itu akhlak yang baik, Misalnya, janganlah kamu marah."

Pengertian agama yang disampaikan Rasulullah SAW. tersebut sejatinya membuat kita paham ihwal intisari keagamaan, yakni membentuk perilaku yang baik dalam hidup keseharian. Oleh karena itu, untuk menguji kadar perilaku kita (baik atau jahat) ialah mencoba berinteraksi dalam sebuah medan sosial, antara kita dengan sesama. Tidaklah disebut baik ketika kita diam sendirian tidak bertemu dengan satu manusia pun sepanjang hari, minggu, bulan, dan tahun hingga kita mati. Sebab, kita akan menjadi manusia berperilaku baik (ihsan) dan disebut manusia baik (muhsin) setelah berhubungan dengan manusia lain.

Dalam perspektif ilmu psikologi, yang dimaksud perilaku itu tentu mencakup pikiran (kognitif), perasaan (afektif), tindakan (psikomotorik), dan kehendak (konatif) kita kepada orang lain. Dalam bahasa psikologi, perilaku baik itu erat kaitannya dengan empati, yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dengan memiliki empati diri, tentunya segala amal perbuatan akan menampakkan kebajikan. Empati tentu harus kita tampilkan dengan ketulusan sebab jika kita pura-pura tulus, satu saat akan ketahuan sebenarnya kita tidaklah tulus.

Betul kiranya pandangan seorang pakar orientalisme, HAR Gibb, yang pernah memuji Islam sebagai ajaran komplet mengatur seluruh sektor kehidupan hingga yang terkecil sekalipun. "Islam is indeed much more a than system of theology. Islam it's complete civilization." Begitu kira-kira refleksi di hari Jumat Agung ini.

Semoga bermanfaat.***

[Ditulis oleh H. IDAT MUSTARI, Ketua Biro Agama DPD Golkar Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat ((Pon) 19 April 2013 / 8 Jumadil Akhir 1434 H pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: