Islam merupakan ajaran yang mementingkan nilai-nilai kedisiplinan sebagaimana kita ketahui, berbagai ibadah, mulai dari shalat, zakat, puasa, dan haji, semuanya memiliki waktunya masing-masing. Dalam hal shalat misalnya, seseorang tidak boleh mengerjakan shalat tertentu sebelum waktunya atau setelah lewat waktunya, kecuali apabila ada uzur yang dibenarkan syariat. Kemudian ketika menjalankan shalat berjama'ah, seorang makmum tidak boleh mendahului gerakan imam, atau tertinggal jauh darinya. Begitu pula dalam hal puasa, seseorang tak boleh makan lagi ketika masuk waktu subuh dan seharusnya segera berbuka ketika waktu masuk maghrib.

Selain itu banyak lagi perkara-perkara yang sarat dengan nilai-nilai kedisiplinan, salah satunya adalah anjuran untuk bangun pagi hari untuk mencari keberkahan di muka bumi, sebagaimana kisah Fathimah RA. yang ditegur Rasullullah SAW. sebagai berikut,
"Pada suatu pagi Rasulullah SAW. lewat di depanku dalam keadaan aku (Fathimah) sedang berbaring. Sambil membangunkan aku, beliau berkata, "Hai anakku, bangun, saksikanlah rezeki Tuhanmu dan janganlah engkau menjadi orang yang lalai, sebab Allah membagikan rezeki kepada manusia di waktu fajar mulai menyingsing hingga matahari terbit." (Riwayat Baihaqi)

Disiplin memang memerlukan stamina mental untuk mengatasi kebiasaan buruk. Disiplin membutuhkan ketabahan untuk menolak tarikan dari banyak godaan yang bisa membujuk kita berbelok ke sesuatu yang berguna. Disiplin membutuhkan perhatian kepada hal-hal yang berarti.

Istri Rasulullah SAW. yang bernama 'Aisyah RA. menegaskan,
"Amal (perbuatan) yang paling disukai oleh Rasulullah adalah yang dikerjakan secara terus menerus (disiplin dan kontinu) oleh pelakunya." (Riwayat Bukhari)

Hadist ini mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW. menyukai sekaligus terbiasa melakukan sesuatu yang baik dan dikerjakan dengan disiplin dan terus-menerus. Kedisiplinan dan kontinuitas adalah jalan yang menghubungkan seseorang dengan kesuksesan.

Seorang praktisi manajemen, F.W. Nichol mengatakan, ketika kita sungguh-sungguh mencari akar dari kata sukses, maka kita akan menemukan bahwa artinya sederhana, yaitu mengerjakan sesuatu sampai selesai.

Senada dengan itu, motivator dan penulis buku How to Get What You Want, Zig Ziglar pernah mengatakan, kesuksesan adalah sesuatu yang tidak dapat dibeli secara tunai. Kita dapat membelinya dengan cara mencicilnya setiap hari. 

Rasulullah SAW. mendisiplin diri dalam mengelola waktu sebaik mungkin, beliau juga secara kontinu melakukan kegiatan-kegiatan positif dan konstruktif. Ketika tiba saatnya shalat malam, Rasulullah SAW. bangun dari tidurnya dan melaksanakan qiyamul lail, paginya setelah shalat subuh, melakukan aktivitas rutin, yang diawali dengan membantu meringankan pekerjaan istri serta memperlakukan keluarga dengan baik.

Setelah itu seperti biasa, beliau juga mendisiplinkan diri dengan menjalankan beragam tugas sosial kemayarakatan, dakwah, kemiliteran, dan sebagai pemimpin Negara atau pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Disela-sela menjalankan tugas-tugas rutinitasnya, Rasulullah SAW. mendisiplinkan diri dengan berpuasa sunah di hari-hari tertentu, shalat sunah, membaca Al-Qur'an, dan i'tikaf di waktu tertentu pula.

Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Aisyah RA.
"Rasulullah suka melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis."
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Nasa' dari Ibnu Abbas,
"Rasulullah SAW. tidak makan (berpuasa) meskipun hari-hari yang panas, baik selagi bermukim maupun sedang bepergian."
Pada hadits lain dari Ibnu Umar,
"Rasulullah SAW. suka melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Beliau pun berdisiplin dalam menunjukan kepedulian terhadap sesama dengan berusaha mengetahui keadaan mereka serta memenuhi harapan-harapannya. Apabila ada diantaranya yang sakit, Rasulullah SAW. biasa menjenguk dan mendoakan kesembuhan mereka. Jika sedang dalam bepergian mendoakan keselamatannya, dan bila ada yang tidak memiliki makanan, beliau mengupayakannya. Seandainya ada diantara mereka meninggal, Rasulullah SAW. melawat, menshalatkan, menguburkan, serta mendoakan.

Kedisiplinan dan kontinuitas Rasulullah SAW. dalam kebaikan melekat dengan sosoknya yang mulia. Beliau sangat menghargai sisa-sisa waktu yang ada walaupun dengan melakukan hal-hal kecil selama membawa kebaikan dan manfaat. Sabdanya,
"Bebanilah diri kalian dengan amalan yang mampu untuk dikerjakan." (Riwayat Bukhari)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa disiplin dan, kontinuitas itu pada mulanya menjadi beban (sesuatu yang berat). Namun, apabila dilakukan dengan penuh kesadaran dan kedisiplinan, serta berkesinambungan (kontinu), sesuatu yang semula terasa sebagai beban akan menjadi mudah dan ringan. Itulah keniscayaan dari disiplin serta kontinuitas.

BERSERAH KEPADA ALLAH SWT.
Disamping menekankan pentingnya disiplin dalam melakukan sesuatu secara kontinu, melalui wahyu yang diterimanya, Rasulullah SAW. pun memotivasi kita untuk bijaksana.

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب

Faitha faraghta fainsab Waila rabbika fairghab

Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerja keraslah kamu (dengan urusan yang lain). Dan kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS. Al-Insyirah (94): 7-8)

Memang, menjadi tidak bijaksana seandainya setelah menuntaskan sesuatu, tidak dilanjutkan dengan mengerjakan yang lain, padahal itu juga perlu dikerjakan, lebih tidak bijaksana lagi apabila kita mengharapkan keberhasilan hanya dari hasil ikhtiar tanpa dibarengi mengharap pertolongan dari Allah SWT. 

Wallahu'alam. ***

[Tulisan disalin dari "AL-HILAL" Buletin Jumat DKM Al-Ittihad Edisi Juni-2013]

by
u-must-b-lucky
Alam akhirat adalah tempat kehidupan manusia setelah menempuh kehidupan alam dunia. Proses menuju alam akhirat, melalui ajal kematian pada waktu yang ditentukan hanya oleh Allah SWT. Masuk ke alam kubur atau alam barzakh. Di sana, melakukan penantian dalam masa amat relatif hingga tiba hari kiamat. Disebut masa amat relatif karena mungkin manusia berada di alam barzakh terasa ribuan atau jutaan tahun. Mungkin pula hanya terasa sedetik, semenit atau sehari dua hari. Bergantung pada amal perbuatan masing-masing manusia selama menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi.

Ibnul Qayyim al Jauziyah (abad ke-14), dalam kitab Fawa'idul Fawa'id, menyatakan, manusia yang mendapat nikmat kubur, hanya akan merasakan waktu secepat kilat sejak ia masuk liang lahat hingga datang hari kiamat. Nikmat kubur telah menembus segala batas kesulitan. Nikmat kubur itu diperoleh berkat keimanan kepada Allah SWT. dan amal saleh kepada sesama manusia selama hidup di dunia. Kondisi kubur yang secara kasat mata amat sempit, gelap, penuh serangga penyengat seperti ular dan kalajengking, tiba-tiba menjadi lapang, terang benderang, dan resik bersih. Datang para pelayan yang ramah berpakaian rapi menebarkan aroma wewangian, membawa aneka makanan dan minuman lezat.

Sementara itu, manusia yang tidak beriman dan tidak beramal saleh, begitu masuk ke alam kubur, lubang sempit seukuran untuk tubuh tergeletak, tiba-tiba mengerut. Membuat penghuni kubur menjerit-jerit ngeri. Tiba-tiba datang gumpalan besar, berwarna hitam menjijikkan, mengeluarkan bau menyengat. Mendesak mayat itu hingga kian terjepit. Tak ada ruang gerak sedikit pun.

Pengungkapan kisah menyenangkan dan mengerikan tersebut oleh para ulama, semata-mata bertujuan memperkuat keimanan kepada alam akhirat yang merupakan bagian dari rukun Iman. Yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada takdir Allah, dan iman kepada hari akhir. Seraya menegaskan, sifat Maha Adil Allah SWT. dalam memberikan pahala anugerah kepada orang yang beriman kepada-Nya dan menimpakan siksa hukuman kepada yang tidak beriman kepada-Nya. Sekaligus membutikan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia bukan untuk main-main. Melainkan, untuk menunjukkan kekuasaan-Nya.

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Afahasibtum annama khalaqnakum AAabathan waannakum ilayna la turjaAAoona

Maka, apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja? Bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS. Al-Mu'minun (23): 115)

Pada masa sekarang, kemungkinan kepercayaan kepada hari akhir atau kemungkinan kepada seluruh rukun iman telah mengalami degradasi (penurunan kualitas). Acuh tak acuh terhadap petunjuk mengenai "masa depan" kehidupan manusia di luar batas tarikan napas dan degup jantung. Artinya, setelah mati, terserah bagaimana nanti.

Padahal, Al-Qur'an sudah mengingatkan, setelah menembus ambang kematian, manusia akan dihadapkan kepada Allah Penguasa Semesta Alam.

أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
 يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِين

Ala yathunnu olaika annahum mabAAoothoona Liyawmin AAatheemin Yawma yaqoomu alnnasu lirabbi alAAalameena

Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (QS. Al-Muthaffifin (83): 4-6)

Saat manusia melihat segala perbuatannya dulu.

إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا

Inna antharnakum AAathaban qareeban yawma yanthuru almaro ma qaddamat yadahu wayaqoolu alkafiru ya laytanee kuntu turaban

Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah". (QS. An-Naba (78): 40)

Saat Allah SWT. memberitakan semua perbuatan yang masing-masing telah dikerjakan manusia, bahkan yang sudah dilupakannya.

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ وَقَدْ أَنزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Inna allatheena yuhaddoona Allaha warasoolahu kubitoo kama kubita allatheena min qablihim waqad anzalna ayatin bayyinatin walilkafireena AAathabun muheenun

Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan. (QS. Al-Mujadalah (58): 5)

Saat segala sesuatu dari keadaan manusia tidak ada yang tersembunyi sedikit pun dari pengetahuan Allah SWT.

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ

Yawmaithin tuAAradoona la takhfa minkum khafiyatun

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (QS. Al-Haqqah (69): 18)

Saat itu, bukanlah saat untuk beramal karena sudah memasuki tahap perhitungan semua amal yang tercatat teramat cermat.

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Am hasiba allatheena ijtarahoo alssayyiati an najAAalahum kaallatheena amanoo waAAamiloo alssalihati sawaan mahyahum wamamatuhum saa ma yahkumoona

Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian? Amat buruklah yang mereka sangka itu! (QS. Al-Jatsiyah (45): 21)

Di dunia, mungkin klausul "yang salah mendapat sukses, yang benar mendapat celaka" berlaku di mana-mana. Akan tetapi, di akhirat, tidak. Sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas dan dipertegas lagi dalam ayat lain.

Kekacauan yang terjadi di segala bidang kehidupan selama ini akibat persepsi yang salah tentang kehidupan di dunia yang dianggap terputus dari kehidupan di akhirat. Hal ini akibat tidak punya rasa keimanan terhadap hari akhir khususnya dan umumnya terhadap seluruh rukun iman tadi.

Maka, salah satu upaya mengatasi kekacauan tersebut adalah memperkokoh rasa keimanan. Terutama keimanan kepada hari akhir dan kehidupan di akhirat yang merupakan tempat perhitungan amal perbuatan yang telah ditabur di dunia. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 27 Juni 2013 / 18 Saban 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Secara umum, mujahid adalah seorang Muslim yang berjuang di jalan Allah dengan mengerahkan segenap daya dan potensinya memerangi musuh-musuh Islam, berupa kekufuran, kemunafikan, kebatilan, dan kemungkaran sampai tidak ada fitnah dan sampai agama semata untuk Allah.

Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa,

Pertama, seorang mujahid itu tidak hanya disematkan pada orang-orang yang mengangkat senjata secara fisik melawan musuh-musuh yang hendak menghancurkan Islam di kancah peperangan, orang-orang yang berjuang melawan kebatilan, kemungkaran dan kemunafikan di luar situasi peperanganpun layak sebagai seorang mujahid.

Hal ini dapat kita pahami dari hadits Rasulullah SAW. ketika Rasulullah SAW. ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau menjawab,
"Mengatakan yang hak (benar) di hadapan penguasa yang dzalim." (HR. Ahmad, Nasa'i, dan Imam Baihaqi)

Dalam sabdanya yang lain,
"Tak ada seorang pun nabi yang diutus sebelum aku, kecuali mempunyai pengikut dan sahabat yang mengikuti sunnahnya dan perintah-perintahnya. Kemudian, datanglah generasi (baru) yang suka mengatakan apa yang tidak dikerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka, barangsiapa berjihad untuk memerangi mereka dengan tangan atau kekuasaannya, dia adalah seorang Mukmin. Barang siapa yang memerangi mereka dengan lidahnya adalah Mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, dia pun adalah seorang Mukmin. Tidak ada keimanan sebesar biji sawi pun setelah itu." (HR Muslim)

Kedua, untuk menjadi seorang mujahid tidak hanya saat berkecamuknya peperangan fisik melawan kafir harbi, pada saat terjadinya penyimpangan aqidah, kesesatan berpikir, kebejatan moral, kemiskinan dan kebodohan kitapun bisa menjadi seorang mujahid dengan syarat betul-betul untuk memperjuangkan agama Islam. Itu karena inti dari jihad adalah memerangi kekufuran, kebatilan, dan kemungkaran serta memerangi sebab-sebab yang dapat mendatangkan itu semua, seperti kebodohan dan kemiskinan.

Ketiga, lapangan jihad itu sangat luas, bukan hanya berperang fisik, bukan pula hanya memerangi kemungkaran dan kebatilan, membina dan mendidik umat agar mereka menjalankan ajaran agama secara menyeluruh juga merupakan bagian dari jihad, sebab, tujuan dari jihad adalah lenyapnya fitnah dan supaya agama itu semata untuk Allah.

Dengan demikian, mujahid itu bukan hanya orang yang berperang secara fisik dan tidak pula hanya ada di kancah peperangan fisik. Memerangi dekadensi moral, kemiskinan, kebodohan dan membina umat bisa menjadi lahan untuk menjadi seorang mujahid.

Adapun jihad paling utama disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh umat Islam, bila kondisi dan situasinya mengharuskan ia mengangkat senjata melawan musuh, maka berperang merupakan jihad yang paling utama yang harus dilakukan oleh seorang mujahid. Namun, bila kondisi dan situasinya mengharuskan dirinya membina dan menggerakkan umat untuk menjalankan ajaran Islam dan mempersiapkan generasi umat Islam menjadi pembela dan penolong agama Allah, maka ini merupakan jihad yang paling utama.

Oleh karena itu, mujahid-mujahid pada masa kini adalah orang-orang yang berjuang melawan aqidah yang menyimpang, kebejatan moral, kemiskinan dan kebodohan, juga orang-orang yang membentengi diri, keluarga dan masyarakat dengan mendidiknya, dan membinanya agar mereka memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya.

Mujahid-mujahid masa kini itu boleh jadi adalah para dai, penulis, guru, orangtua, atau siapa pun juga yang berjuang mengerahkan segenap kemampuannya menebarkan kebenaran, mendidik umat, dan berupaya menjadikan ajaran Islam direalisasikan oleh kaum Muslimin. Dan boleh jadi mereka itu adalah orang-orang yang sedang bertobat yang dengan sepenuh kekuatannya melepaskan diri dari belenggu kemaksiatan dan kemungkaran yang melilit dirinya agar ia dapat kembali pada jalan Allah SWT.

Di dalam ajaran Islam, seorang Mujahid menempati kedudukan yang tinggi lagi mulia. Ia juga akan mendapatkan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Ketika kita menjadi seorang mujahid maka sesungguhnya manfaat dan kebaikan jihad yang kita lakukan bukan untuk Allah, akan tetapi akan kembali kepada diri kita sendiri.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. MOCH. HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah RW.07 Sarijadi Bandung, alumnus Pontren Perguruan KH. Zainal Musthafa Sukamanah Singaparna Tasikmalaya. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 21 Juni 2013 / 12 Saban 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Dalam kerangka beribadah, doa merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Doa juga merupakan unsur pelengkap keutuhan ibadah seseorang, sebab dengan berdoa seseorang berarti telah meyakini sepenuhnya atas eksistensi Rabb yang menjadi titik pusat perhatian segala tindakan beribadah.
Dalam ibadah, shalat misalnya, sejak awal yang ditandai dengan takbiratul ihram hingga ditutup dengan salam, dipenuhi doa yang menjadi substansi pesan dari setiap bacaan yang diucapkan.

Doa merupakan ekspresi imani, sebagai bentuk pengakuan atas segala keterbatasan kemampuan seseorang dalam melakukan apa pun di dunia ini. Karena itu sepintas, doa terkadang dapat terkesan berseberangan dengan konsep ikhtiar yang juga diperintahkan oleh Allah SWT. Berdoa sering kali disikapi sebagai tindakan fatalistik untuk menghindari beban usaha yang tidak lagi mampu dilakukan. Padahal sesungguhnya doa merupakan unsur pelengkap yang dapat memperkokoh proses ikhtiar seseorang.

Para nabi pun senantiasa meminta, jika sewaktu-waktu ada desakan untuk memperoleh pertolongan-Nya. Bahkan Nabi Muhammad SAW. pun meminta kepada Allah SWT., ketika orang-orang di sekelilingnya membencinya dan bahkan mengusirnya. Sebagian besar, kemungkinan termasuk kita di dalamnya, sering bertanya dalam diri, kenapa doa terasa tidak terkabulkan. Padahal Allah SWT. berfirman di dalam Al-Qur'an,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Waqala rabbukumu odAAoonee astajib lakum

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. Ghaafir (40): 60)

Sejumlah hadits dan beberapa ayat Al-Qur'an mejelaskan, kenapa doa tidak terkabulkan.
  1. Pertama, sebetulnya seluruh doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. kalau doa itu dilakukan dengan tulus dan ikhlas, mengharap ridha Allah. Masalahnya, ada yang diberikan instan dan ada juga menyangkut waktu.
  2. Kedua, paling tidak doa itu dicatat sebagai bagian dari ibadah dan kesabaran. Allah SWT. sendiri memberikan petunjuk, untuk meraih sesuatu yang diinginkan hendaklah ditempuh melalui doa dan usaha. "Mintalah kamu kepada Allah SWT., minta tolonglah kamu kepada Allah SWT. dengan kesabaran dan doa demi doa."
  3. Ketiga, ketika doa belum terkabulkan, barang kali apa yang diminta ini memang tidak akan membahagiakan, kemungkinan yang lain karena sedang mengalami proses ujian dari Allah SWT. Perjalanan hidup ini adalah perjalanan melalui ujian demi ujian. Orang-orang yang saleh yang disayangi dan dicintai oleh Allah SWT. sering diberikan sejumlah ujian, dengan kasih sayang-Nya, Allah memberikan ujian itu dimaksudkan supaya dapat meningkatkan kelas keimanannya.
Rasulullah SAW. memberikan petunjuk, bagaimana doa supaya betul-betul dikabulkan oleh Allah SWT. Antara lain doa yang paling baik adalah doa yang diawali oleh taqorrub kepada Allah SWT. Hampiri Allah, dengan memuja dan memuji Allah, dengan shalat, infak, berbuat kebajikan, kemudian baru minta kepada Allah.

Selain itu, Rasulullah mengajarkan, doa yang paling baik adalah doa seseorang untuk orang lain dan orang lain yang didoakannya tidak tahu.
"Barang siapa yang mendoakan orang lain dan orang lain yang didoakan itu tidak tahu dirinya sedang didoakan, maka sekian ratus malaikat berdoa kepada Allah. Dengan doa yang sama untuk orang yang membaca doa."

Pernah satu waktu, Rasulullah SAW. sedang berkumpul dengan para sahabat, tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan menangis dia mengangkat tangan ke atas, berdoa "Ya Allah penuhi doaku, kabulkan permintaanku, penuhi doaku," Nabi memberikan komentar, yang terdengar oleh para sahabat. Beliau menyampaikan komentar, Fainna yustajaabu lahuu. Bagaimana mungkin doa orang itu akan diijabah oleh Allah, padahal dia memakan makanan yang diperoleh dengan cara yang haram. Dia berpakaian diperolehnya dengan usaha yang haram. Bagaimana mungkin kapan bisa diijabah oleh Allah.

Imam Al-Ghazali memberikan amanatnya. "Hati-hati dengan makanan yang haram, hati-hati dengan sesuap makanan yang haram yang masuk ke perut kita. Sebab bagi seseorang yang kemasukan barang haram ke dalam perutnya itu adalah bahaya, fatal dia katakan. Fatalnya itu sebanyak memakan barang yang haram, akan semakin jauh dari rahmat dan berkah Allah SWT. dan yang lebih fatal lagi doa kita tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT."

Wallahu a'lam bisshawab. ***

[Ditulis oleh DEDY SUTRISNO AHMAD SHOLEH, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 14 Juni 2013/5 Saban 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Terdapat banyak arti takwa yang disampaikan oleh para ahli, termasuk Prof. DR. Quraisy Shihab. Beliau menjelaskan tentang takwa yang juga bermakna cinta, sebab kata cinta akan berbuah makna kerinduan. Kerinduan pada gilirannya akan melahirkan rasa simpati dan kedekatan. Orang yang dirinya telah diliputi rasa cinta dapat dipastikan akan selalu mendambakan kedekatan dan simpati.
Orang yang hidupnya selalu diliputi rasa cinta kepada Allah SWT. misalnya, maka dapat dipastikan hidupnya ingin selalu dekat dengan-Nya. Berat rasanya bila ada, aktivitas yang memberi kesan bahwa dirinya jauh dengan Allah, walau sekejap, atau sedetik dalam hitungan waktu.

Berbeda halnya dengan takwa yang dimaknai takut. Hal ini merupakan kebalikan dari "cinta". Rasa takut bagi seseorang tidak sedikit akan melahirkan kebencian, kekhawatiran, bahkan ketidaknyamanan dalam kehidupan, yang efeknya akan menumbuhkan sikap ingin menjauh, antipati, bahkan tidak mustahil ingin berupaya paling tidak berdoa agar hal yang ditakuti itu lepas, lenyap, atau sirna dalam kehidupan ini.

Sudah saatnya bagi kita memaknai takwa dengan cinta. Sebab dengan pemaknaan cinta akan membentuk kekuatan moral (moral force) yang mampu memelihara jati diri baik sebagai umat maupun sebagai bangsa. Seseorang yang karena cintanya melahirkan kerinduan dan kedekatan dengan Allah SWT., maka hidupnya tidak sekadar merasakan kesenangan, tetapi ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Dalam hidupnya selalu merasakan kehadiran Allah dekat dengan dirinya, para malaikat diyakini sebagai pengawal bagi dirinya, sehingga tidak ada perasaan takut dan bersakit hati, selalu optimistis terhadap proses dan tujuan hidup serta janji ilahi.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Inna allatheena qaloo rabbuna Allahu thumma istaqamoo tatanazzalu AAalayhimu almalaikatu alla takhafoo wala tahzanoo waabshiroo bialjannati allatee kuntum tooAAadoona

Sesunguhnya orang-orang yang berkata 'Rabbunallah' (Tuhan kami adalah Allah), kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.' (QS. Fussilat (41): 30)

Istiqamah (teguh pendirian) pada ayat tersebut di atas bukan sekadar ungkapan atau sikap yang tanpa makna, akan tetapi pernyataan yang membuahkan kekuatan rohaniah (quwwatar-ruhaniah) yang memotivasi sekaligus menumbuh suburkan sikap mental bagi seseorang sehingga pola pikir, pola sikap, dan pola tindaknya betul-betul mencerminkan seseorang yang selalu dekat dengan Allah, beramal karena Allah, merasa disaksikan oleh Allah dan yang dituju ridha Allah.

Pola pikir yang diharapkan selalu baik (positive thinking) dan cerdas, ia tidak pernah berburuk sangka kepada siapa pun, tidak pernah mencari-cari kesalahan siapa pun, dan tidak akan menjatuhkan/menggulingkan siapa pun. Dipegangteguhnya prinsip hidup "mikul duwur, mendem jero" (siapa yang pernah berbuat baik bagi dirinya, maka dia akan dikenang terus dan kebaikannya disampaikan kepada orang lain, dan dijadikannya teladan, sebaliknya siapa yang pernah berkhianat bagi dirinya maka cukup dirinya yang tahu dan berusaha melupakannya dalam-dalam).

Dalam menyikapi kehidupan di mana pun dirinya berada, selalu hati-hati, teliti, disiplin, amanah, ramah, santun, arif, bijaksana, dan toleran. Tindakannya dirasakan bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungannya, sebagaimana yang dipesankan Rasulullah SAW.,
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang dalam hidupnya bermanfaat bagi sesama manusia."

Silih asih, silih asah, dan silih asuh, bukan hanya sesanti atau slogan yang hanya cukup dihafal atau ada kesan hanya untuk masyarakat Jawa Barat (Sunda); tetapi harus pula diwujudkan dalam tatanan kehidupan yang bersifat global.

Kita sangat merindukan kehidupan yang diliputi suasana saling memberi tanpa basa basi dan pamrih. Kita sangat mendambakan untaian tindakan saling mempererat, saling memperkokoh, saling memperkuat, saling memajukan, saling mencerdaskan untuk kepentingan bersama tanpa pilih-pilih kasih, pura-pura, dan prasangka. Kita sangat mengharapkan suasana kehidupan yang saling mengingatkan di kala salah, saling menghibur di kala susah atau duka, saling mendukung untuk kemajuan dan keagungan umat dan bangsa, tanpa perasaan luka cedera dan aniaya. Itulah jati diri kita, jati diri sebagai umat dan bangsa yang harus dipelihara sepanjang masa.

Jati diri kita sebagai umat telah diabadikan dalam Al-Qur'an,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kuntum khayra ommatin okhrijat lilnnasi tamuroona bialmaAAroofi watanhawna AAani almunkari watuminoona biAllahi

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran (3): 110)

Atas dasar ayat tersebut, jelas sekali bahwa kita memiliki derajat khaira ummah (sebaik-baik umat). Bahkan pada ayat lain dijelaskan ahsan takwim, yaitu sebaik-baik penciptaan. Akan tetapi, sebaik apa pun suatu derajat kita, jika tidak mampu dan berusaha untuk memelihara jati dirinya, pasti akan berubah statusnya menjadi kebalikannya, yaitu dari khaira ummah menjadi sarru ummah (sejelek-jelek umat) atau fasadul ummah (serusak-rusak umat), ahsan takwim menjadi asfal safilin (nasib yang memprihatinkan).

Ciri-ciri umat yang memiliki derajat khaira ummah atau ahsan takwim yaitu selalu berusaha menjadi manusia rahmatan lil'alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), yakni manusia yang mampu menebarkan rahmat (kasih sayang, keselamatan) bagi seluruh alam; tidak hanya bagi keselamatan manusia, tetapi juga bagi makhluk-makhluk lainnya yang ada dimuka bumi ini seperti hewan, tumbuhan beserta lingkungan sekitar.

Bukan kebetulan, apabila di Tatar Sunda(Jawa Barat) terdapat sebutan "Siliwangi" yang antara lain diabadikan menjadi nama Kodam, yaitu Kodam III/Siliwangi. Dan menjadi sebuah moto "Siliwangi adalah masyarakat Jawa Barat dan masyarakat Jawa Barat adalah Siliwangi." Hal ini merupakan kata sekaligus kalimat yang penuh makna yang merupakan penjabaran dari jati diri sebagai umat sekaligus sebagai bangsa yang rahmatan lil'alamin.

Siliwangi berasal dari dua kata, yaitu silih = saling, dan wangi (Sunda) = harum. Artinya saling mengharumkan atau saling menebar keharuman. Keharuman bisa bermakna nilai-nilai kebaikan, kejayaan, kemuliaan, keluhuran, atau kesuksesan. Saling mengharumkan atau menebar keharuman bukan berarti sombong, lantaran keharumanya disebut-sebut dan disampaikan kepada orang lain. Akan tetapi, keharuman itu harus disadari dan dimaknai tidak hanya untuk dan milik diri sendiri atau atas dasar usaha sendiri, tetapi berasal dari proses yang melibatkan orang lain, dan keharuman itu harus membuat orang lain menjadi harum.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh Drs. H. ASEP SODIKIN, MM., perwira pembina mental Kodam III/Siliwangi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 31 Mei 2013 / 21 Rajab 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky