TERJEBAK IBADAH FORMALITAS

Seorang teman mendatangi meja kerja penulis. "Mengapa ya STMJ terus berjalan. Maksudnya, Shalat Terus Maksiat Jalan. Padahal, seharusnya shalat berfungsi mencegah kemungkaran dan kemaksiatan."

Sesungguhnya formalitas dalam keseharian sungguh amat terasa, malah melembaga. Para pemimpin dan politisi dengan begitu ringannya melakukan formalitas dengan maksud pencitraan diri agar terpilih kembali.

Demikian pula obral janji merupakan hal yang dianggap biasa, bahkan menjadi kewajiban dan kebutuhan. Sepertinya untuk meraih sesuatu harus banyak mengumbar janji. Padahal, janji berkaitan dengan iman karena orang-orang beriman diseru untuk memenuhi semua janjinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Ya ayyuha allatheena amanoo awfoo bialAAuqoodi

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. Al Maidah (5): 1)

Inilah beda antara pil KB dan pilkada. Kalau lupa meminum pil KB, akan jadi. Sementara calon pemimpin kalau sudah jadi, akan lupa. Wajar apabila masyarakat mengingatkan janji-janji yang telanjur diucapkan calon pemimpin.

Hal paling memprihatinkan adalah apabila ibadah juga sudah mulai masuk ke ranah formalitas. Ibadah akan kehilangan makna dan dampaknya dalam kehidupan karena sebatas melakukan ibadah, tanpa ditindak-lanjuti dengan perubahan ucapan, sikap, dan tindakan.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. menegaskan, penciptaan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Wama khalaqtu aljinna waalinsa illa liyaAAbudooni

Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Ad Dzariyyat (51): 56)

Dalam kehidupan sehari-hari terjadi penyempitan makna ibadah sehingga hanya sebatas shalat, puasa, zakat, infak, sedekah, haji, atau umrah. Sementara pekerjaan sehari-hari dianggap urusan duniawi yang tak boleh dicampuri urusan ibadah.

Persoalan lainnya, ibadah sering terjebak pada formalitas. Kalau keformalan ibadah merupakan suatu keniscayaan, misalnya dalam shalat, keformalan tersebut berarti syarat dan rukun untuk melakukan shalat.

Berbeda dengan ibadah formalitas yang secara sederhana bisa diungkapkan sebagai kesia-siaan melakukan ibadah karena rutinitas dan sekadar "menggugurkan kewajiban". Ibadah sekadar syarat dan hanya sampai pada tataran syariat sehingga merasa sudah cukup melakukannya ketika syarat dan rukunnya terpenuhi, sedangkan hakikat dan dampak dari ibadah kurang diperhatikan.

Menemukan makna dan hakikat ibadah secara mandiri akan menciptakan suatu keikhlasan dalam bertindak. Melakukan sesuatu sehingga segala perbuatannya semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Orang yang shalat hakikatnya sedang berbincang-bincang dengan Tuhannya. Ia akan disibukkan dengan gumam dan dzikir.

Ketika selesai melaksanakan shalat, ia mengucapkan dan menyebarkan salam (keselamatan dan kedamaian) kepada sesama manusia dan lingkungannya. Makna khusyuk bukan sebatas dalam shalat, melainkan juga selepas shalat dengan menerapkan ajaran shalat dalam kehidupan.

Dengan jumlah umat Islam yang mayoritas, seharusnya umat Islam mampu memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan disebabkan pancaran keimanannya. Seharusnya potensi umat Islam ini akan menyebabkan negara Indonesia menjadi negara yang adil, tenteram, dan bahagia.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Walaw anna ahla alqura amanoo waittaqaw lafatahna AAalayhim barakatin mina alssamai waalardi walakin kaththaboo faakhathnahum bima kanoo yaksiboona

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A'raaf (7): 96)

Ibadah pada tataran awal membutuhkan rutinitas dan pembiasaan (riyadoh) yang akan membentuk kualitas seseorang yang menikmati ibadah tersebut. Pada akhirnya seorang Muslim melaksanakan ibadah bukan karena sebatas kewajiban, melainkan menjadi kebutuhan. Bahkan, ibadah yang sunah sekalipun seperti shalat tahajud maupun puasa sunah, ia akan merasa kehilangan apabila tidak melaksanakannya. Hal itu disebabkan kita sudah merasa nikmat dan butuh dengan ibadah-ibadah tersebut.

Formalitas ibadah apabila seseorang melaksanakan ibadah, tetapi tidak memberikan perubahan pada dirinya ke arah yang lebih baik. Melaksanakan ibadah hanya sebatas melepaskan kewajiban. Kita sendiri tidak dapat menikmati ibadah itu sendiri.

Niatkan semua sikap dan perbuatan untuk investasi di akhirat, bukan sebatas pencitraan di dunia. Apabila kita menanam untuk akhirat, ibarat menanam padi yang pasti rerumputan akan tumbuh di sela-selanya. Buatlah "pencitraan" kepada Allah, pasti akan terjadi pencitraan kepada manusia. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 26 September 2013 /20 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: