MENYELAMI HAKIKAT KURBAN

Tak terasa, kita akan kembali merayakan Hari Raya Iduladha atau yang sering disebut dengan Idul Kurban. Dalam hari tersebut, setelah disebutkan kenikmatan yang besar, Allah SWT. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mendirikan shalat dan berkurban sebagai bukti rasa syukur atas nikmat-nikmat itu.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Inna aAAtaynaka alkawthara
Fasalli lirabbika wainhar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. (QS. Al-Kautsar (108): 1-2)

Hal itu ditegaskan pula dalam QS. Al-Hajj (22): 34,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Walikulli ommatin jaAAalna mansakan liyathkuroo isma Allahi AAala ma razaqahum min baheemati alanAAami

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan, penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka...

Saking pentingnya perintah berkurban, sehingga Rasulullah SAW. dengan tegas dan lugas bahkan disertai ancaman mengatakan,
"Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam hadits itu, Rasulullah SAW. melarang seseorang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati tempat shalat (masjid) jika ia tidak mau berkurban. Hal ini menunjukkan, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan perintah berkurban.

Berkurban pada hakikatnya tidak sekadar mengalirkan darah binatang, tidak hanya memotong hewan kurban, lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan seorang hamba secara totalitas terhadap perintah-perintah Allah SWT. dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.

Berkurban juga berarti menyembelih sifat-sifat hewan yang melekat dalam diri setiap insan. Karena itu, sangatlah berat, tidak semua orang berkurban mampu melakukannya, kecuali mereka sadar, semua yang mereka miliki (harta, jabatan, keluarga, popularitas, dll) hanyalah titipan Allah SWT. yang tidak layak untuk disombongkan dan bisa diambil kapan saja jika Dia menghendaki.
Jika sikap tersebut telah dimiliki orang, niscaya akan tercipta keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi pengusaha, ia akan berkurban dengan bisnis halal. Bagi yang berpunya, akan berkurban dengan banyak berderma. Bagi suami atau istri, akan berkurban dengan menjadikan rumah tangga sebagai ladang penyiapan generasi berbudi pekerti. Sebagai pendidik, akan berkurban dengan mengerahkan segala potensinya dalam menyiapkan calon pemimpin masa depan. Sebagai pengusaha akan berkurban dengan memberikan hak-hak kepada karyawannya sebelum keringatnya mengering.

Seorang politisi akan berkurban demi kemaslahatan bangsa dan negara, bukan malah sebaliknya, memanfaatkannya saat dibutuhkan dan menelantarkannya jika harapannya tercapai. Para pejabat akan berkurban untuk kesejahteraan rakyatnya, memperjuangkan nasib rakyatnya. Sebagai pemegang amanah negeri berkurban dengan berusaha mengelola negeri ini dengan kejujuran, bukan malah sebaliknya, melakukan korupsi atau mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Bagi yang masih merasa gamang untuk berkurban ada baiknya kembali memahami hikmah di dalamnya,
Pertama, setiap helai bulu hewan kurban dibalas satu kebaikan. Rasulullah SAW. bersabda,
"Setiap satu helai rambut hewan kurban adalah satu kebaikan." Lalu sahabat bertanya, "Kalau bulu-bulunya?" Beliau menjawab, "Setiap helai bulunya juga satu kebaikan." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Kedua, sebagai ibadah yang paling dicintai Allah.
Ketiga, sebagai ciri keislaman seseorang.
Keempat, sebagai syiar agama Islam.
Kelima, mengenang ujian kecintaan Allah kepada Nabi Ibrahim AS. (QS. Ash-Shaffat (37): 102-107).
Keenam, sebagai misi kepedulian kepada sesama.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Hari Raya Kurban adalah hari untuk makan, minum, dan dzikir kepada Allah SWT." (HR. Muslim)

Jika hakikat berkurban itu terus diselami, digali, dan diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara niscaya bangsa ini akan dapat menjadi baldatun thayyibatun warubbun ghafur.

Semoga. ***

[Ditulis oleh IMAM NUR SUHARNO, Dosen Agama Islam Fakultas Hukum Universitas Kuningan, Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 3 Oktober 2013 / 27 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "DIBALIK RITUS"]

by
u-must-b-lucky

0 comments: