Perilaku mulia nan indah tetapi serasa sulit dilaksanakan ialah "memberi". Berbeda dengan menerima. Setiap orang pasti berebut bila saja mengurusi segala hal yang berkaitan dengan penerimaan. Entah itu ketika menerima jabatan, harta kekayaan, atau materi yang disedekahkan orang lain.

Di dalam Islam, amal kebajikan yang tinggi ialah praktik memberi melalui perintah zakat, infak, dan sedekah. Bahkan, memberi tidak harus menunggu kita menjadi orang yang kaya raya. Ini telah dicontohkan oleh panutan umat Islam, Rasulullah SAW. sepanjang hayatnya. Betapa tidak, saking gemarnya memberi, Baginda Rasulullah sampai menangis saat menyaksikan seorang yatim dan miskin telantar di jalanan. Beliau pun dengan sigap langsung menawarkan istrinya, Aisyah, untuk menjadi ibu angkat bagi anak yatim yang terlantar tadi.

Bahkan, tak jarang demi kegiatan memberi ini, Rasulullah SAW. rela mengganjal perutnya dengan batu kerikil untuk menahan lapar. Padahal, manusia sekelas Nabi, bukan tak punya makanan. Akan tetapi, makanan itu diberikan kepada fakir miskin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Ya ayyuha allatheena amanoo la tubtiloo sadaqatikum bialmanni waalatha kaallathee yunfiqu malahu riaa alnnasi wala yuminu biAllahi waalyawmi alakhiri famathaluhu kamathali safwanin AAalayhi turabun faasabahu wabilun fatarakahu saldan la yaqdiroona AAala shayin mimma kasaboo waAllahu la yahdee alqawma alkafireena

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tilak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. AI-Baqarah (2): 264)

Di dalam ayat di atas, setinggi apa pun keinginan memberi, tetap saja kita sebagai pemberi perlu mengindahkan perasaan hati si penerima. Memberi dengan cara menghardik atau memamer-mamerkan apa yang telah kita berikan merupakan perilaku yang dapat mengundang rasa sakit hati si penerima. Oleh karena itu, alangkah bijaksana apabila memberi dilakukan dengan niat ikhlas, menolong orang ke luar dari rasa sedih, khawatir, dan resah. Inilah yang membuat perilaku memberi menjadi tidak mudah. Sebab, sedikit saja tergelincir dari niat, kita malah akan terjebak pada perilaku ria (ingin terlihat baik oleh orang lain).

Praktik memberi laksana matahari menyinari bumi. Bayangkan, dengan cahayanya yang kadang terasa menyengat, matahari melepaskan seluruh makhluk bumi dari ancaman kematian. Tanpa matahari, alam semesta akan kehilangan energi yang mampu memberikan kekuatan untuk bergerak. Hebatnya, sebanyak apa pun matahari melepaskan cahayanya, ia tak pernah meminta balasan.

Dalam konteks filantrofis, si penerima, kurang pantas jika menolak pemberian orang atau meminta lebih dari apa yang orang lain berikan. Sebab, menolak rezeki lewat tangan orang lain juga tidak disukai Rasulullah. "Janganlah menolak permintaan seseorang, walaupun kamu melihatnya memakai sepasang gelang emas," begitulah salah satu sabda Rasulullah SAW.

Hanya, satu catatan perlu diingat; jangan sampai membuat orang keasyikan dengan kebiasaan menerima pemberian. Sebab, dalam ajaran Islam, praktik meminta-minta tidak begitu disenangi. Rasulullah SAW. berwasiat, "Siapa yang meminta guna memperbanyak apa yang dimilikinya, maka sesungguhnya ia hanya mengumpulkan bara api (neraka).

Oleh karena itu, pemberi yang baik adalah pemberi yang sekaligus mampu memberdayakan si penerima hingga mampu hidup mandiri, seperti matahari. Hal ini dikatakan Moeslim Abdurrahman dalam bukunya, Islam sebagai Kritik Sosial (1996:41) sebagai Muslim "organik". Yakni kegiatan tolong-menolong antarsesama yang dapat menciptakan ikatan masyarakat yang teguh di tengah kondisi lemah. Dalam arti lain masyarakat yang mampu memaksimalkan segala sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk menopang kebutuhan hidup.

Oleh karena itu, kita kerap memandang sepele praktik memberi. Notabene masyarakat kita begitu asyik memaknai bahwa memberi sekadar memberi; bukan memberi dengan cara memberdayakan. Oleh karena itu, gagasan konsepsional Moeslim Abdurrahman dalam rangka membangun Muslim "organik" patut menjadi petunjuk guna mewujudkan kesejahteraan hidup. Artinya, tidak ada alasan lagi bagi kita berkeluh kesah dan mengharap belas kasih orang lain. Akan tetapi, menanamkan keyakinan bahwa kita harus menjadi pemberi yang tak sekadar memberi; tetapi memberi dengan cara yang memberdayakan.

Rasulullah SAW. bersabda, "Tangan di atas (pemberi yang memberdayakan) lebih baik daripada tangan yang di bawah (peminta)?"

Allah SWT. berfirman,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Waibtaghi feema ataka Allahu alddara alakhirata wala tansa naseebaka mina alddunya waahsin kama ahsana Allahu ilayka wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena

Dan carilah pada apa yang telah Allah karuniakan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas (28): 77)

Wallahua'lam. ***

[Ditulis oleh SUKRON ABDILLAH, Aktivis Muda Muhammadiyah Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Kliwon) 22 November 2013 / 18 Muharam 1435 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Beberapa hari yang lalu, umat Islam memperingati Tahun Baru Hijriah. Tahun baru umat Islam ini diambil dari jejak hijrah Rasulullah SAW. yang menjadi salah satu momentum penting penegakan syariat Islam di muka bumi.

Kita pun seyogyanya menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan tahun Hijriah ini. Tahun Hijriah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama Tahun Muhammad atau Tahun Umar. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Atau pula tidak seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (Dewa Matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 Februari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Hijrah yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam pada awal-awal pertumbuhannya adalah eksodus besar-besaran yang menuntut pengorbanan dan perjuangan yang sangat berat. Para sahabat muhajirin rela meninggalkan tanah kelahiran, harta benda, dan segala yang dicintainya, bukan karena diusir kaum kuffar Mekah, melainkan karena perintah Allah SWT.

Begitulah sejarah telah mencatat, betapa ikhtiar baik yang dilandasi oleh dimensi keikhlasan dan kepasrahan total akan selalu dikenang dan tak lekang oleh zaman. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya adalah ekspresi keagamaan yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pertimbangan menuju perubahan yang dicita-citakan. Ia menyimpan banyak pelajaran yang harus dipetik, direnungkan, lalu diaplikasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari, terutama di masa kini.

Momentum Tahun Baru Hijriah ini harus kita jadikan sebagai sarana "hijrah" menuju kehidupan yang lebih baik. Dalam Islam disebutkan, "haasibuu qobla antuhaasabuu. Artinya, hitunglah dirimu sebelum kamu sekalian dihitung (hisab)". Sebagai rasa syukur maka sebaiknyalah kita sebagai Muslim yang taat memanfaatkan tahun baru ini untuk menginstrospeksi diri, mengevaluasi diri, bermuhasabah atas segala perencanaan, perbuatan, dan program hidup yang telah dilakukan tahun sebelumnya.

Jadikan saat-saat seperti ini sebagai momen yang tepat bagi kita untuk selalu berintrospeksi diri tentang amal ibadah apa yang sudah kita capai dan hal apa saja yang masih kurang dalam diri kita. Dengan demikian, melalui instrospeksi tersebut nantinya kekurangan-kekurangan kita bisa diperbaiki dan diperbarui di masa depan dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan tidak akan diulangi lagi.

Bagi Rasulullah SAW., hijrah bukan hanya merupakan strategi dakwah Islam, tetapi juga merupakan pengembangan kecerdasan spiritual dan pendidikan nilai. Sungguh luar biasa kesabaran jiwa Rasulullah SAW. dan para sahabatnya dalam menghadapi berbagai intimidasi, cercaan, makian, boikot, bahkan ancaman pembunuhan terhadap dirinya dari kaum kafir Quraisy.

Pendidikan nilai inilah yang patut kita semaikan kembali kepada anak-anak dan murid kita di sekolah. Hijrah mendidik umat Islam agar selalu berkomitmen terhadap nilai-nilai heroik. Menjadi Muslim harus siap menjadi pejuang serta penegak kebenaran dan keadilan, di mana pun dan kapan pun. Nilai-nilai heroik dari hijrah tidak hanya tercermin dalam hijrah pertama umat Islam ke Habsyi (yang waktu itu tidak diikuti langsung oleh Rasulullah SAW.), tetapi juga terlihat dengan jelas dalam hijrahnya Nabi SAW. dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah.

Mereka semua rela mengorbankan harta, raga, dan bahkan jiwanya demi kejayaan Islam. Nilai heroik semacam ini sangat penting karena tidak jarang sebagian orang, ketika dihadapkan kepada pilihan perjuangan, yang dicari adalah "menyelamatkan diri" lebih dulu dan mencari keuntungan (duniawi) yang sebesar-besarnya.

Semoga kita bisa mengikuti teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW., para sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Amin Ya Robbal'alamin. ***

[Ditulis oleh AHMAD SYUKRON, Koordinator DKM Al-Muhajirin - Karang Anyar, Panjalu, Kab. Ciamis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis), 8 November 2013 / 4 Muharam 1435 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Peristiwa hijrah (perpindahan) umat Islam dari Mekah ke Madinah merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam karena memberi dampak positif bagi perkembangan Islam dan umat Islam.

Peristiwa hijrah merupakan keberangkatan umat Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. pada tahun ke-13 kenabian, dari Mekah menuju Yatsrib dengan menempuh perjalanan sejauh 500 km ke arah utara. Di Kota Yatsrib, yang kelak bernama Madinah al Munawarrah (kota bercahaya), umat Islam muhajirin (yang berhijrah) disambut baik oleh penduduk setempat yang memberi pertolongan penuh persaudaraan sehingga mendapat sebutan kaum penolong (anshar).

Sukses hijrah dirintis oleh diplomasi Nabi SAW. kepada dua kelompok utama Yatsrib, yaitu Kabilah Aus dan Khazraj. Mereka mula-mula mendapat pengertian tentang akidah Islam yang mempersatukan umat dalam naungan tauhid (mengesakan Allah SWT.), kesamaan ibadah (penyembahan kepada Allah SWT.) yang sahih berdasarkan petunjuk Nabi SAW., dan kemuliaan akhlak, baik dalam hubungan dengan Allah SWT. (hablum minallahi) maupun dengan sesama manusia (hablum minannas). Termasuk jalinan sosial (muamalah) yang didasari kebajikan dan kebaikan (ahsan).

Pengertian itu tertanam baik dan segera tumbuh subur dalam jiwa kedua suku tersebut. Mereka kemudian meninggalkan permusuhan tradisional yang sudah lama mengakar, menggantikannya dengan persahabatan di bawah naungan Islam yang diajarkan Nabi SAW.

Dengan penerimaan hangat penduduk Yatsrib, Nabi SAW. mendapat kesempatan menyempurnakan "bangunan Islam" (al Bina'ul Islam), yang telah dirintis di Mekah.

"Bangunan Islam" itu terdiri atas fondasi (asas) berupa akidah tauhid, tiang-tiang (arkan) berupa ibadah ritus, hiasan-hiasan berupa akhlak mulia, dan kegunaan (operasional) berupa muamalah (sosial).

Di Mekah, selama 13 tahun, Nabi SAW. baru berhasil meletakkan asas saja. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi menghindari gangguan kaum kafir Mekah.

Hijrah ke Madinah memberi lahan bebas dan luas untuk menyempurnakan "bangunan Islam" secara lengkap dan menyeluruh, terang-terangan dan leluasa. Oleh karena itu, di Madinah ini Nabi SAW. mendirikan masjid di Quba sebagai basis penyempurnaan itu. Akidah diperkuat, memperbanyak dan memperkhusyuk ibadah. Memperbagus akhlak dan muamalah yang meliputi berbgai sektor kehidupan sangat beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya, segera dijalankan.

Para sahabat yang ahli berjual beli, dimotori Abdurahman bin Auf, mulai menggerakkan roda perdagangan yang baik dan benar. Jika semula perekonomian Yatsrib dikuasai pedagang-pedagang Yahudi yang menerapkan sistem riba, para pelaku ekonomi Islam mencontohkan cara jual beli yang halalan thayyiban, jujur dan adil. Di Madinah, Rasulullah SAW. membentuk sistem pemerintahan sipil yang kelak menjadi pola bagi masyarakat madani di zaman modern. Pemerintahan yang mengatur tata hubungan masyarakat secara demokratis (bebas bersuara, berpendapat), tetapi tetap dalam koridor musyawarah (syura).

Selama berada di Madinah 10 tahun, terjadi 27 kali peperangan besar yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW. (gazwah), seperti Badar, Uhud, Khandak, Khaibar, dan lain-lain. Juga beberapa kali peperangan kecil yang dpimpin oleh salah seorang sahabat mewaikili Nabi SAW. (sariyah). Puncak dari semua perjuangan selama hijrah itu adalah futuh Makkah (Penaklukan Mekah) pada tahun 8 Hijriah.

Jika disederhanakan, hijrah Nabi SAW. adalah karya mahabesar dari kesempurnaan Islam (ash shumuliyatul Islam), yaitu bangunan megah lengkap binaul Islam yang berdiri di atas fondasi akidah tauhid, bertiangkan rukun-rukun Islam, berhiaskan ahlakul karimah dan berfungsi operasional dengan ahasnul muamalah. Untuk melindungi bangunan itu dari gangguan internal, dibuatlah pagar pelindung (al muayidaf). Untuk melindungi gangguan internal, yaitu amar makruf nahi mungkar mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, sedangkan untuk menahan serangan dari luar (eksternal) dinyalakan semangat jihad fi sabilillah. ***

Ditulis oleh USEP ROMLI HM., Wartawan senior. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 7 November 2013 / 3 Muharam 1435 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Salah satu pekerjaan yang kian diburu masyarakat adalah pegawai negeri sipil. Jangan lupakan pula "lowongan" menjadi wakil rakyat ataupun pengurus lembaga non departemen yang juga diburu. Kalau dulu PNS identik dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kini PNS, terutama yang memiliki jabatan, mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang cukup tinggi dan malah terkesan "wah".

Para pejabat, termasuk wakil rakyat, menunjukkan kehidupan yang jauh dari kondisi rakyat di bawah. Ketika rakyat terhimpit harga-harga kebutuhan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak ataupun tarif dasar listrik, kehidupan para pejabat dan wakil rakyat tak terpengaruh sama sekali. Bahkan, ketika negara memiliki utang lebih dari Rp. 2,000 triliun tetap saja tidak ada upaya untuk penghematan. Namun, anehnya, para pejabat tetap mengumandangkan agar rakyat hidup sederhana yang ironis dengan berbagai gaji, fasilitas, serta tunjangan-tunjangan yang besar.

Ajakan hidup sederhana harus dengan memberikan keteladanan atau contoh dari para pemimpinnya itu sendiri. Gerakan kesederhanaan atau apa pun programnya takkan berhasil kalau sebatas bicara saja atau formalitas dan insidental seperti yang ditunjukkan para pemimpin selama ini.

Tahun Hijriah yang akan berganti tak lama lagi mengingatkan kita akan sosok kepemimpinan seorang presiden, tepatnya Khalifah, yakni Umar bin Khattab RA. Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar RA. pada tahun 634 H, Umar telah mengembangkan kekuasaan Islam sehingga tumbuh dengan sangat pesat.

Selama kepemimpinan Khalifah Abu Bakar RA., Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan Dinasti Sassanid dari Persia. Kekuasaan Islam juga merambah Mesir, Palestina, Suriah, Afrika Utara, dan Armenia dari Kekaisaran Romawi (Byzantium).

Keberhasilan Umar bin Khattab RA. dalam menaklukkan Imperium besar (Persia dan Romawi) tidak lepas dari sosoknya yang tegas dan sangat bersahaja. Jangan bayangkan seorang khalifah dengan wilayah yang amat luas hidup dengan bergelimang gaji, fasilitas, tunjangan, dan kehidupan mewah lainnya. Bahkan, Umar bin Khattab RA. amat sederhana dengan gaji yang malah kekurangan sehingga memiliki utang.

Kisahnya pada suatu saat, ketika harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik sehingga tokoh-tokoh Muhajirin seperti Utsman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati agar gaji khalifah dinaikkan. Namun, mereka tak berani menyampaikan langsung ke khalifah sehingga melalui putri khalifah sekaligus istri Nabi Muhammad SAW., yakni Hafshah.

Namun, saat usulan tersebut disampaikan, Umar malah murka seraya berkata, "Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?" Hafshah menjawab, "Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan tersebut."

Umar balik bertanya kepada Hafshah, "Demi Allah, ketika Rasulullah masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki di rumahnya?" Hafshah menjawab, "Di rumahnya, Rasulullah hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari."

Umar bertanya lagi, "Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?" Hafshah menjawab, "Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin." Umar kembali bertanya, "Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?" Hafshah menjawab lagi, "Tidak, Beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas tidur."

Umar kemudian melanjutkan perkataannya, "Hafshah, katakanlah kepada mereka bahwa Rasulullah SAW. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu Beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku mengikuti jejak Rasulullah."

Kelebihan Khalifah Umar lainnya adalah sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri atau istilah saat ini "blusukan" meskipun tetap saja dikawal ajudan ataupun pengawal kepolisian. Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenali kalau Umar sebagai kepala pemerintahan. Kalau khalifah menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. Umar sadar, kekuasaan yang ada di tangannya bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Oleh karena itu, Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya.

Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Saking hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga Amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu.

Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan oleh rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar di mana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rakyat hormat dan patuh dengan titahnya karena pemimpin mencontohkan perilaku sederhana serta amanah dalam kesehariannya.

Hijrahkan para pemimpin kami ya Allah. Jadikan para pemimpin kami baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif seperti sosok Umar.

Amin. ***

[Ditulis oleh HABIB SYARIF MUHAMMAD ALAYDRUS, Ketua Yayasan Assalam Bandung dan Mantan Anggota MPR RI. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 31 Oktober 2013 / 26 Zulhijah 1434 H pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Suatu hari Rasulullah SAW. bercerita di hadapan para sahabatnya tentang dua orang yang datang kepada Nabi Musa AS. Orang pertama datang kepada Nabi Musa AS. dengan badan kotor, pakaian lusuh, dan compang-camping karena ia seorang yang miskin. Ia berkata kepada Nabi Musa AS., "Wahai Nabi Allah, sudilah kiranya engkau memohon doa kepada Allah agar menjadikanku sebagai orang kaya." Nabi Musa AS. pun menjawab, "Wahai sahabatku, banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah." Mendengar jawaban Nabi Musa AS., lelaki ini pun kaget dan bilang, "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku bisa bersyukur kepada Allah sedangkan untuk makan saja susahnya minta ampun, pakaian pun aku hanya punya satu pakaian yang aku pakai, ini pun sudah lusuh dan kotor." Dengan kecewa, pulanglah si miskin ini ke gubuknya.

Keesokan harinya, seorang lelaki kaya datang kepada Nabi Musa AS., "Wahai Nabi Allah, sudilah kiranya engkau memohonkan untukku kepada Allah agar menjadikanku sebagai orang miskin saja karena aku mulai terganggu dengan hartaku." Nabi Musa AS. pun menjawabnya, "Mengapa engkau berkata demikian sahabatku, tidakkah engkau bersyukur?" Si lelaki ini pun berkata, "Wahai Nabi Allah, sungguh aku sangat bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku bersyukur karena dengan mata ini aku bisa melihat, dengan telinga ini aku bisa mendengar, dengan tangan ini aku bisa bekerja." Maka, pulanglah lelaki kaya ini ke rumahnya.
Singkat cerita, kenyataan hidup pun terjadi pada dua lelaki ini. Lelaki miskin yang datang kepada Nabi Musa AS. menjadi semakin melarat dan miskin hingga tak sehelai baju pun yang bisa ia pakai karena ia sama sekali tidak pernah bersyukur atas apa yang ia miliki selama ini. Sementara si lelaki kaya menjadi semakin kaya dan makin berlimpah harta bendanya, karena ia pandai mensyukuri segala apa yang ia miliki dalam hidupnya.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah tersebut? Ya, sesungguhnya Allah akan menepati janjinya untuk menambah nikmat-Nya bagi siapa pun hamba-Nya yang pandai mensyukuri segala nikmat yang diperolehnya. Seorang miskin yang bersyukur, Allah menjadikannya berkecukupan. Seorang kaya yang bersyukur, Allah menjadikannya semakin kaya dan berlimpah. Inilah janji Allah yang tak pernah luput akan janjinya. Sebagaimana janji-Nya dalam Al-Qur'an,

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

...lain shakartum laazeedannakum walain kafartum inna AAathabee lashadeedun

... sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya sungguh siksa-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim (14): 7)

Sayangnya, kita sering kali berpikir bahwa nikmat Allah itu semata-mata hanya dalam bentuk kesenangan dan kebahagiaan. Kita pun sering kali mengungkapkan syukur saat kita memperoleh kesenangan dan kebahagiaan. Sementara saat kesengsaraan dan penderitaan menghampiri, kita enggan bersyukur. Padahal, seluruh seluk-beluk dalam kehidupan kita di Bumi ini tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT., dari ujung rambut hingga ujung kaki, itu semua adalah anugerah tak terkira yang wajib kita syukuri. Sejak bangun tidur hingga bangun kembali, ribuan nikmat telah kita rasakan.

Oleh karena itu, dalam surah Ar-Rahman (55), Allah SWT. seolah menyindir dengan kalimat,

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Fabiayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdziban

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ciri khas surah ini adalah kalimat berulang 31 kali yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.

Jika kita renungkan, di setiap tarikan napas yang kita hirup, di setiap bergantinya siang dengan malam, di setiap detak jantung, ada nikmat Allah yang kita sering lupakan. Ya, nikmat Allah yang sering lupa untuk kita syukuri. Dan ketika musibah dan ujian hidup diberikan pada kita, kita juga lupa bahwa itu sebagian nikmat yang Allah beri. Lalu kita pun hanya bisa mencaci maki, mengumpat, bahkan merasa Allah tidak adil. Oleh karena itu, nikmat Allah manakah yang akan kau dustakan?

Ada beberapa sebab manusia tidak pandai bersyukur?

Pertama, kita tidak pandai bersyukur karena sering kali beranggapan bahwa nikmat Allah itu hanya dalam bentuk kebahagiaan semata.

Kedua, kita sering kali membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang lain. Bila menempati rumah kecil dan sederhana, kita sering membandingkan dengan tetangga yang rumahnya lebih besar. Saat kesulitan menimpa, kita sering membandingkan dengan saudara yang hidupnya lebih sejahtera. Sikap membandingkan inilah yang membuat orang menjadi tidak pandai bersyukur.

Ketiga, kita sering memfokuskan diri pada kelemahan dan kekurangan dan tidak menjadikannya sebagai kekuatan. Jika direnungkan, banyak orang-orang lemah bersyukur dengan menjadikan kelamahannya sebagai kekurangan. Sebenarnya apa pun yang kita miliki, bagaimanapun kondisi saat ini, selalu ada hal terbaik jika kita mampu mensyukurinya.

Oleh karena itu, sama sekali tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur kepada Allah. Semakin kita pandai bersyukur, semakin berubah lebih baik kondisi kita. Sebaliknya, bila tak pandai bersyukur, kita pun akan semakin jatuh tersungkur.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh TAUFIK HIDAYAT, Khatib dan Pengurus DKM Masjid Jami Al Huda Pacet Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage), 1 November 2013 / 27 Zulhijah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky