Bangkrut adalah kata keterpurukan yang amat parah. Bangkrut adalah sebuah kata yang sangat ditakuti manusia, bahkan momok yang mengerikan karena umumnya bukan hanya menghabisi manusia dari segi material dan finansial, tetapi juga dapat meremukkan mental dan moral.

Oleh karena itu, bangkrut jadi gambaran bagi suatu evolusi dari kesuburmakmuran, kejayaan, dan kecukupan, bahkan bisa jadi kelebihan dan keunggulan, lalu jatuh pailit, serba-habis, dan berbalik menjadi miskin disertai mental dan moral yang jatuh. Bahkan, tidak jarang menjadi garim (tenggelam di dalam utang). Hal seperti ini dapat menimpa siapa pun, baik perseorangan, yayasan, perusahaan, bahkan lembaga, hingga lembaga besar seperti suatu negara sekalipun.

Yunani yang notebene merupakan sokoguru ekonomi Eropa ambruk dengan demo-demo dari masyarakat yang berkelanjutan. Bahkan, Yunani tidak mampu walau hanya untuk membayar gaji PNS. Mereka mencoba menawarkan beberapa pulau yang sekiranya dapat dijual. Amerika yang utang tahap I-nya jatuh tempo, ketar-ketir untuk mempertahankan kehidupan ekonomi, dengan ancaman jatuh tempo utang tahap II-nya. Jadi, Eropa dan Amerika, di ambang kebangkrutan.

Sementara itu, ada cerita yang sering dianggap sederhana. Konon, seorang tuan/bos dengan banyak pekerja atau karyawan bergerak di bidang perusahaan toko besi dan material. Ia tampak berhasil dengan beberapa kendaraan besar pengangkut barang, beberapa rumah mewah serta vila di tempat-tempat yang elite. Istri-istri dan anak-anaknya pun masing-masing berkendaraan mewah, sehinggga terlihat sebagai keluarga yang teramat mulia dan terhormat dengan limpahan harta dan kekayaan.

Akan tetapi, karena keberhasilan yang dirasakannya demikian melimpah, ia lupa diri. Ia gila judi, terbuai dengan perempuan nakal, bahkan minuman keras. Suatu ketika dia dikejar-kejar oleh bank dan bandar. Kekayaan yang dimilikinya terus disita, hingga pihak bank menyatakan kebangkrutannya karena tidak ada lagi yang bisa ditarik. Kini ia hanyalah seorang yang tidak mempunyai keberanian untuk keluar rumah. Ia senantiasa mengurung diri di sebuah rumah kecil kontrakan. Ia pun tidak mempunyai kemampuan untuk bertemu dengan orang-orang; malu, pilu, dan terhina rasanya. Setiap orang yang ditemui seakan mencibir dan memandangnya dengan pandangan yang merendahkan. Dua istri mudanya pulang kepada orang tuanya masing-masing. Tinggallah istri pertamanya yang sesekali tampak keluar, mungkin untuk mendapatkan keperluan sekadar makan dan minum. Adapun anak-anaknya yang dahulu dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemewahan tetapi tanpa terayomi kebutuhan rohani dan akhlaknya, entah di mana dan bagaimana nasibnya. Mereka bahkan malu dikatakan anak bapaknya.

Ini hanyalah sekelumit kisah yang tidak mustahil dialami oleh yang lainnya dengan nama dan kasus yang berbeda tetapi dengan substasi yang sama, lebih besar atau lebih kecil. Masih adakah dari kita yang sedang mempersiapkan nasib menuju prahara seperti itu? Nauzubillahi min zalik.

Pertanyaannya, apakah ini benar-benar kebangkrutan? Dalam pandangan Islam, cerita ini sesungguhnya amat sederhana karena bagaimana pun urusan dunia, kekayaan atau kemiskinan, kekurangan atau kelebihan, mendapatkan jabatan atau kehilangan jabatan, semua itu merupakan hal yang relatif dan tidak absolut. Bukankah Rasulullah SAW. telah bersabda,
"Dua rakaat qabla subuh lebih baik dari dunia dan segala isinya." (HR. Muslim)

Bahkan, Rasulullah SAW. belum memandang bangkrut terhadap orang yang kaya menjadi miskin, pejabat menjadi rakyat, dan hal-hal lain seperti itu. Sebuah negara sekalipun dengan limpahan utang yang tidak terbayar, sehingga pemerintahannya harus terus-menerus mengemis agar dibebaskan dari beban utangnya atau paling tidak diberi tempo lagi dan lagi.

Di dalam Islam tidak ada istilah negara yang bangkrut. Kalau pun ada, maksudnya adalah negara dengan penduduk yang berakhlak hina, para pejabatnya korup, rakyatnya sudah merasa susah untuk mendapatkan yang halal, wanita-wanitanya sudah tidak malu memamerkan aurat sehingga perzinaan mendapatkan legalitasnya. Pernikahan syah secara syar'i dipersulit dengan berbagai dalih, anak-anak telantar, beringas, dan tawuran. Hal itu karena tidak terpayungi kasih sayang orang tua dan lingkungan. Keamanan tidak lagi terjamin sehingga biaya hidup terus meningkat dan harga-harga tidak terkendali. Minuman keras, perjudian, perkelahian, dan kejahatan semakin meningkat. Jadi, pada dasarnya kembali kepada para pengisi dan pengelola negeri itu.

Suatu ketika Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabatnya,
"Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut?" Para sahabat menjawab, "Yang bangkrut dari kita ialah orang yang tidak punya dirham dan perhiasan." Rasulullah SAW. bersabda, "Sesugguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang-orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shaum, shalat, dan zakat, tetapi (malang nian) ia pernah mencaci-maki orang, menuduh orang lain berbuat zina, ia pernah memakan harta orang (dengan tidak halal), membunuh dan memukul ini dan itu, maka diberikanlah dari kebaikan-kebaikannya ke sana kesini sampai apabila telah habis dari kebaikan-kebaikannya itu sebelum benar-benar terlunasi, diambillah keburukan orang-orang yang didzalimnya dibebankan kepadanya lalu dicampakkan ke neraka." (HR. Muttfaq alaih)

Demikian pula apabila suatu negara atau lingkup lainnya yang lebih kecil, penduduknya telah berlaku dzalim, saling tuduh, saling injak, bahkan sesama kawan sudah saling menggunting dalam lipatan, hilanglah rasa silaturahmi dalam hati, yang ada hanyalah rasa curiga dan syak wasangka. Hal ini berarti kebangkrutan telah melanda mereka. Maka wajib bagi setiap umat Muhammad SAW. berlindung dengan sungguh-sungguh dari kebangkrutan seperti ini dan kembali ke jalan Allah SWT. dengan menjalankan syariah-Nya.

Setiap umat Muhammad SAW. hendaklah menyadari bahwa kebaikan yang telah dikerjakanya belumlah banyak. Bahkan, mungkin masih sangat kurang, dengan berbagai kenikmatan, kemampuan, dan kesempatan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada dirinya. Alangkah malangnya apabila dari kebaikan yang teramat sedikit ini pahalanya harus diberikan kepada yang lain karena kedzaliman yang dilakukannya, lalu dosa orang lain dipikul karena perbuatannya.

Sebenarnya di antara semua itu ada yang lebih bangkrut daripada bangkrut, yaitu orang yang hidup dengan anak yang banyak, harta melimpah, uang yang berlebih, sawah ladang yang luas. Akan tetapi, semua itu mengendalikan dirinya sehingga ia menjadi hamba dunia.

Tidak ada yang dilakukan oleh anak-anaknya selain mendatangkan derita dan coreng-moreng di mukanya, sehingga tidak pernah lagi disebut namanya selain laknatan orang-orang yang didzalimnya. Uang yang banyak dan sawah ladang yang luas itu dihasilkan dengan cara yang dzalim, karena saking banyaknya, tidak sempat dinikmati semuanya, bahkan sebagian miliknya ada yang belum sempat dilihatnya. Namun, ketahuilah, detik demi detik, waktu yang terus berjalan, tetap ia sebagai pemiliknya dan dihisab oleh Allah SWT. sebagai pemiliknya.

Oleh karena itu, berangkat dari harta yang halal, keberkahan harta dan anak saleh dapat diharap, doa-doa yang dipanjatkan besar harapan terijabah, mawadah dan sakinahnya rumah tangga bukan khayalan.

Mudah-mudahan Allah SWT. senantiasa melindungi kita dari kebangkrutan dunia dan akhirat. ***

[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Dakwah PP Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 31 Januari 2013 / 19 Rabiul Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Iyyaka naAAbudu waiyyaka nastaAAeenu

Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah: 5)

Segenap aktivitas manusia memiliki nilai ibadah apabila disertai dengan kesucian tujuan. Termasuk ketika kita bekerja. Tujuan itu sangat memegang peranan penting yang menentukan "bernilai" ataukah "tidak bernilai" aktivitas kerja kita. Inti tujuan hidup ialah mengarahkan segala aktivitas tertuju pada pengabdian tanpa henti kepada Allah, sehingga kita memiliki konsep hidup bertauhid.

Allah SWT. berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Wama khalaqtu aljinna waalinsa illa liyaAAbudooni

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-dzariyat: 56)

Ayat ini mengindikasikan, sejatinya kita mendasarkan segala tujuan hidup untuk beribadah kepada-Nya. Dengan prinsip ibadah ini tentunya mengajarkan agar seseorang mampu bekerja sesuai dengan kapasitas semangat, pengabdian, setia, dan loyal pada tujuan perusahaan yang ditetapkan. Dalam bahasa sederhana, ia akan menjadi seorang pekerja yang profesional dan berintegritas. Budaya kerja yang berlandaskan spiritualitas ilahi atau keimanan dapat mendorong seseorang memiliki integritas yang dijunjung tinggi.

Oleh karena itu, ketika kita bekerja akan mengoptimalkan diri sehingga seluruh aktivitas kerja selalu dibarengi dengan doa, harapan, dan kerja keras. Di tengah kondisi ekonomi umat Islam yang mengkhawatirkan, seorang Muslim tentunya harus melakukan ketiga hal tersebut (doa, harapan, dan usaha). Di dalam kalimat-kalimat doa ada penyebutan asma Allah yang bisa dijadikan sebagai pengokoh jiwa kita ketika sedang bekerja. Pengulangan asma Allah ketika berdoa akan memberikan modal bagi seseorang untuk berani menghadapi kerasnya kehidupan.

Dalam bahasa lain, doa semacam dorongan membangun karakter kepribadian yang lebih baik sehingga dapat mengeluarkan riya dari segala lilitan masalah.
"Ya Allah, tiada yang mudah selain yang Kau mudahkan dan Engkau jadikan kesusahan itu mudah jika Engkau menghendakinya jadi mudah." (HR. Ibnu Hibban)

Itulah mengapa doa saya pahami sebagai sesuatu yang bisa memberikan kekuatan diri. Dengan berdoa, seorang manusia menjadi tangguh, kokoh, tabah, disiplin, dan tidak berhenti berkarya untuk kemajuan perusahaan. Sebagai manusia, kita memiliki sifat-sifat dan potensi yang tidak dimiliki makhluk lain. Manusia diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi, kemudian diberi anugerah potensi antara lain: bertanggung jawab, mampu menyusun konsep, mengemukakan, dan menjalankannya.

Ketika kita berdoa sebetulnya tengah mengaktifkan aura kesucian yang sejak dulu diberikan Allah SWT. Ketika berdoa ada asma-asma Allah yang selalu diucapkan dan itu akan menyadarkan atas kehadiran-Nya dalam hidup. Ketika kita sadar atas kehadiran Allah, akan muncul dorongan yang selalu mengarahkan kita dalam berpikir, bersikap, dan bertindak positif.

Oleh karena itu, ketika kita bekerja, semestinya diawali dengan berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan dalam mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab kita, kemudian berusaha keras menghasilkan kerja yang berkualitas. Misalnya, ketika pekerjaan harus diselesaikan sesuai target (deadline), tentunya tidak bisa diselesaikan hanya dengan meratapi tanpa ada usaha sungguh-sungguh. Bagi seorang Muslim tumpukan pekerjaan akan dijadikan sebagai sarana beribadah kepada-Nya dan wahana perwujudan keimanan di dunia kerja. Itulah karakter kepribadian seorang pekerja Muslim yang profesional dan berintegritas.

Namun, sebagian dari kita ada yang beranggapan memberikan kontribusi pada perusahaan, kantor, atau di mana kita bekerja adalah hanya dengan melakukan pekerjaan sebesar-besarnya. Tentu saja ini benar dan harus dijadikan dasar pemikiran. Akan tetapi, jangan lupa, kita bisa berkontribusi untuk perusahaan kita, tempat kita bekerja dan berkarya melalui doa-doa sederhana yang dipanjatkan dengan tulus. Dengan berdoa untuk kebaikan orang-orang di sekeliling kita, bawahan, atau atasan kita merupakan wujud kontribusi yang bersifat suci. Allah adalah Penyumbang sejati untuk sebuah kesuksesan, keberhasilan, dan kemenangan. Tak ada kesuksesan tanpa izin dari-Nya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya demi kesuksesan karier, kemajuan usaha, dan perkembangan bisnis; kita berdoa kepada Sang Maha Pemilik, Allah SWT.

Seorang pekerja yang berdoa posisinya sama dengan orang yang bersedekah. Kita sering kali lupa bahwa sedekah terbesar adalah berdoa. Karena dengan berdoa, seseorang akan mendapatkan berkah dan keberhasilan. Begitu juga ketika kita berdoa sebelum memulai aktivitas kerja di kantor. Apabila aktivitas suci ini dilakukan, segala yang kita kerjakan akan bernilai ibadah. Seorang pekerja yang tidak melupakan kehadiran Allah di kantornya memiliki ketauhidan yang kokoh.

Allah, dalam paradigma kinerjanya tidak hanya hadir di saat bulan Ramadhan, tetapi hadir dalam setiap desah napas hidupnya. Jadi, biasakanlah menutup setiap meeting, rapat, dan pertemuan dengan doa. Caranya, bisa kita lakukan dalam hati sesuai kepercayaan masing-masing. Kita harus yakin bahwa Allah Maha Mendengar doa-doa kita semua, siapa pun dia, sebagai apa pun dia; sebab Allah Maha Kasih yang tidak pernah pilih kasih.

Semoga Allah memberkati Anda semua dan menjadi manusia penyebar kesuksesan bagi yang lain, sukses di alam materi dan alam besar nanti. Kehadiran para pekerja yang bertauhid di instansi pemerintah atau perusahaan-perusahaan dapat mendorong kualitas kerja dan produksi. Selamat bekerja dengan kerangka tauhid.

Allah SWT. berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

OdAAoo rabbakum tadarruAAan wakhufyatan innahu la yuhibbu almuAAtadeena 
Wala tufsidoo fee alardi baAAda islahiha waodAAoohu khawfan watamaAAan inna rahmata Allahi qareebun mina almuhsineena

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut (tidak memaksa). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. 
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (kinerja baik dan berkualitas). (QS. Al-A'raf: 55-56)

Wallahua'alam. ***

[Ditulis oleh H. IDAT MUSTARI, Ketua Biro Agama DPD Golkar Jawa Barat, aktivis ormas di Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 25 Januari 2013 / 13 Rabiul Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Seorang siswa bersama teman-temannya nekat mencegat dan memukuli gurunya di tengah jalan pulang gara-gara tidak tahan diomeli, dihina, diejek, dan dilecehkan gurunya hampir setiap hari di depan teman-temannya di kelas. Pun dengan seorang tetangga yang berniat mengajukan gugatan ke pengadilan karena dituding melakukan tindakan asusila oleh seorang kawannya di kompleks perumahannya. Itulah sedikit contoh kekacauan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh lisan yang tak terjaga. Menghina, mengejek, dan memfitnah adalah salah satu bahaya yang disebabkan lisan yang tidak terpelihara.

Lisan, salah satu nikmat anggota tubuh yang luar biasa dahsyat fungsinya. Dengan kehebatan lisannya, seseorang bisa dijuluki da'i sejuta umat. Dengan kedahsyatan lisannya, seseorang disebut orator ulung, dan dengan kekuatan lisannya seseorang digelari ulama sepanjang hayat. Sebaliknya, dengan keburukan lisannya, seseorang bisa dicap sebagai tukang fitnah. Dengan kejelekan lisannya seseorang dijuluki tukang gibah, dan kebusukan lisannya seseorang bisa digelari provokator.

Itulah lisan. Ibarat dua mata pisau, lisan bisa menyelamatkan sekaligus mematikan. Bisa menguntungkan tetapi bisa juga merugikan. Bisa melahirkan pahala tetapi juga dosa. Tentunya, itu semua bergantung pada bagaimana si empunya lisan menggunakannya. Apakah lisan sebagai nikmat Allah digunakan untuk kebaikan atau keburukan.

Perintah berkata baik telah tertera di dalam Al-Qur'an,

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا

Waqul liAAibadee yaqooloo allatee hiya ahsanu inna alshshaytana yanzaghu baynahum inna alshshaytana kana lilinsani AAaduwwan mubeenan

Dan katakan kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar) sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al-Isra' (17): 53)

Begitu pula dengan wasiat Rasulullah SAW. dalam haditsnya,

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Muttafaq Alaih)

Dengan jelas hadits ini memberikan pelajaran bahwa berkata yang baik adalah salah satu tanda keimanan seseorang, dan jika tidak bisa berkata baik, Rasul menyarankan untuk diam, karena diam itu lebih baik daripada berucap sesuatu yang tidak berguna. Ayat dan hadits ini juga seolah memberikan perintah tegas bahwa setiap orang dari kita harus pandai-pandai menjaga lisannya. Jika tidak bisa menjaganya, akan menimbulkan bahaya kemanusiaan yang berat.

Lisan yang tak terjaga cenderung berbicara sesuatu yang tak berguna, Ucapan yang tidak perlu adalah ucapan yang seandainya kita diam tidak berdosa, dan tidak akan membahayakan diri maupun orang lain. Manusia memiliki penyakit keinginan kuat untuk mengetahui segala sesuatu atau basa-basi untuk menunjukkan perhatian dan kecintaan, atau sekadar mengisi waktu dengan cerita-cerita yang tidak berguna. Rasulullah SAW. mengingatkan,

"Di antara ciri kesempurnaan Islam seseorang adalah ketika ia mampu meninggalkan sesuatu yang tidak berguna." (HR. Tirmidzi)

Lisan yang tak terjaga sering memunculkan perdebatan dan perselisihan. Perdebatan yang berlebihan membuat lisan kita gatal untuk menjatuhkan orang lain dengan menyerang, menyanggah, dan membantah pembicaraan orang lain. Pun orang yang diserang sering kali merasa tidak terima, tak tanggung-tanggung ia melakukan serangan balik dengan kata-kata yang lebih tajam. Perdebatan berlebihan ini sering berakhir dengan perselisihan. Rasulullah SAW. bersabda,

"Tidak akan tersesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan hidayah Allah kecuali mereka melakukan perdebatan." (HR. Tirmidzi)

Lisan yang tak terpelihara lebih suka pada caci maki, ucapan keji dan kotor. Cacian dan makian sering kali timbul karena hati yang penuh kebencian. Saat lisan mencaci maki biasanya diiringi dengan kata-kata keji dan kotor sebagai penguatnya. Apa yang harus kita lakukan jika mendapat cacian dan makian dari orang lain. Kita tidak usah membalasnya. Ada seorang A'rabiy (pedalaman) meminta wasiat kepada Nabi. Sabda Nabi,

"Bertakwalah kepada Allah, jika ada orang yang mencela kekuranganmu, maka jangan kau balas dengan mencela kekurangannya. Maka dosanya ada padanya dan pahalanya ada padamu. Dan janganlah kamu mencaci maki siapa pun." (HR. Ahmad)

Lisan yang tak terjaga sering kali mudah berbohong dan mengumbar janji palsu. Mulut sering kali cepat berjanji, kemudian hati mengoreksi dan memutuskan tidak memenuhi janji itu. Sikap ini menjadi tanda kemunafikan seseorang.

Lisan yang tak terpelihara hobinya adalah menggibah (menggunjing). Inilah yang paling sering kita lakukan tanpa sadar. Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat tentang arti gibah.
Jawab para sahabat, "Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui." Sabda Nabi, "Gibah adalah menceritakan sesuatu dari saudaramu, yang jika ia mendengarnya ia tidak menyukainya." Para sahabat bertanya, "Jika yang diceritakan itu memang ada?" Jawab Nabi, "Jika memang ada itulah gibah, jika tidak ada maka kamu telah mengada-ada (fitnah)." (HR Muslim)

Itulah sebagian bahaya yang ditimbulkan dari lisan yang tak terjaga. Paling tidak ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan agar lisan kita selalu terjaga.
  • Pertama, hendaknya pembicaraan kita selalu diarahkan ke dalam kebaikan.
  • Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri kita maupun orang lain yang mendengarnya.
  • Ketiga, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
  • Keempat, tidak membicarakan semua yang kita dengar.
    Rasulullah berwasiat,
    "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar." (HR. Muslim)>
Lisan adalah salah satu bentuk nikmat Allah yang harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya di jalan kebaikan. Jika tidak dijaga, akan menimbulkan bahaya hebat di tengah-tengah kehidupan masyarakat, karena keselamatan seseorang bergantung pada bagaimana ia menjaga lisannya. ***

[Ditulis oleh TAUFIK HIDAYATULLAH, khatib dan pengurus DKM Masjid Jami Al-Huda Pacet, Kabupaten Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Jumat (Pahing) 18 Januari 2013/6 Rabiul Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Waquli iAAmaloo fasayara Allahu AAamalakum warasooluhu waalmuminoona wasaturaddoona ila AAalimi alghaybi waalshshahadati fayunabbiokum bima kuntum taAAmaloona

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)

Ketika ada pelantikan pejabat, sumpah yang utama adalah harus bersikap profesional dalam bekerja. Tak lupa juga berlaku amanah. Sebenarnya apa itu profesional?
Profesi, profesional, dan profesionalisme jika ditelusuri secara asal historikal konteksnya, berakar dari kata latin profesio yang berarti ikrar.

Bekerja secara profesional adalah pekerjaan mulia dan suci demi pengabdian kepada Tuhan. Pekerjaan mulia dan suci tersebut seiring perjalanan waktu kini telah tidak mulia lagi, diselewengkan karena telah terkontaminasi hal-hal negatif. Seperti merebaknya kata profesi digunakan oleh pekerjaan dan perbuatan tidak suci lagi, seperti dijumpai kata pembunuh profesional, koruptor profesional, atau pelacur profesional.

Padahal, seorang profesional merupakan panggilan hidup, hati, jiwa, dan dikerjakan dengan sepenuh waktu (full time), dikerjakan selama hidupnya. Profesi adalah pekerjaan yang didalamnya terdapat pengetahuan, kecakapan /kemampuan dan keahlian yang secara khusus dipelajari dengan ilmiah. Seorang profesional, memiliki akuntabilitas (tanggung jawab) baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhannya yang disertai dengan komitmen, konsiten, konsekuen (istiqamah) yang tinggi serta sikap pengabdian yang tinggi (ikhlas lillahi ta'ala).

Kita sangat menyayangkan apabila para pejabat dan pelayan masyarakat bekerja secara amatir atau amatiran sebagai lawan kata dari profesional. Bekerja secara amatiran seakan-akan tidak pernah menghasilkan sesuatu yang ditargetkan. Amatiran menunjukkan kepada pekerjaan yang tidak kreatif, dan hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Dalam konteks bahasa maupun budaya, amatir atau bekerja amatiran adalah suatu pekerjaan yang dilakukan dengan hilangnya kemampuan, dikerjakan hanya setengah hati atau asal-asalan. Merriam Webster mengartikan amatir atau amateur adalah seseorang yang melakukan aktivitas tertentu tidak dengan sepenuh hati (bukan panggilan jiwa) dan tidak pula dikerjakan sepenuh waktu. Amatir di dalamnya tidak terdapat komitmen, tidak konsisten, di samping kurangnya pengalaman dan kompetensi (kewenangan).

Padahal, banyak hadits Nabi Muhammad SAW. yang menekankan pentingnya bekerja dengan profesional sekaligus ikhlas sebagai upaya mengemban amanah umat.
"Sesungguhnya Allah SWT. suka melihat hamba-Nya berusaha berpenat lelah mencari rezeki yang halal." (HR Ad-Dailami)

Ada juga hadits lain,

"Usaha yang paling baik ialah usaha orang yang bekerja dengan ikhlas." (HR. Ahmad)

Demikian juga dalam HR. Albaihaqi yang menyatakan,
"Sesungguhnya Allah suka apabila seseorang itu membuat sesuatu perkara ia melakukan dengan penuh ketekunan (memperbaiki dan mempertingkatkannya)."

Lebih baik profesional dalam posisi amatiran daripada tetap amatiran dalam posisi profesional. Misalnya, seorang guru atau dosen, dia profesional sebagai pengajar. Kalau ia mendapat tugas tambahan sebagai ketua jurusan, dekan, atau rektor, tetapi ia batasi dengan aturan tidak dapat terus-menerus menjadi pejabat struktural. Setelah ia selesai melakukan tugas tambahan, ia kembali kepada habitatnya sebagai dosen yang profesional. Jabatan tidak bisa dicari dan diminta, jabatan adalah kepercayaan dan amanah yang bersifat sementara.

Pejabat yang terlalu lama menjabat, jangankan kurang mampu, bila baik pun secara etika-moral, menjabat terlalu lama bisa berdampak buruk. Jabatan dan kekuasaan bukan profesi, karenanya tidak perlu diburu dan dicari. Walaupun kekuasaan dan Jabatan bukan profesi, seseorang yang sedang menjabat harus menjaga amanah, menumbuhkan keadilan, juga harus bertindak profesional dalam melakukan dan mengelola kepemimpinannya.

Kita harus bercermin kepada Sahabat Khalid bin Walid RA. yang setelah masuk Islam menjadi panglima perang tertangguh hingga dijuluki Nabi Muhammad SAW. sebagai Syaifallah (pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab RA. tidak lepas dari ketanggguhan Khalid.

Namun, apa yang didapat Khalid bin Walid RA. ketika sedang menaklukkan Syam? Khalifah Umar bin Khattab RA. malah mencopot jabatan Khalid dan diserahkan kepada orang lain. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas menerimanya seraya berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, melainkan karena Allah."
Dalam menilai jabatan, Nabi dan para sahabatnya yang utama bukan posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat ambisi. Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi.

Seorang pemimpin harus bersikap ksatria (al-futuwwah). Siapa pun yang bersedia memegang jabatan umat atau rakyat, maka harus bersikap menunaikan amanah dan memberikan pertanggungjawaban atas jabatannya dengan penuh kehormatan diri.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 17 Januari 2013 / 5 Rabiul Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Ikhlas adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dipraktikkan dalam beramal sehari-hari. Kita sering merasa sudah berbuat baik dan beramal saleh. Padahal, belum tentu amal yang kita lakukan itu bernilai pahala di sisi Allah.

Abdullah bin Mubarak, seorang ulama salaf pernah berkata, "Jangan meremehkan amal-amal kecil. Betapa banyak amal kecil berpahala besar karena niat dan betapa banyak amal besar tetapi kecil pahalanya juga karena niat." Untuk memperkuat hal ini, Abu Hurairah berkata,
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, "Sungguh manusia pertama yang akan dihisab pada hari kiamat, yaitu 
  • Pertama, seorang yang berperang lalu mati syahid. Ketika di akhirat, dia didatangkan kepada Allah, lalu ditanya, 'Apa yang telah engkau lakukan di dunia?' Ia menjawab, 'Aku telah berperang semata-mata karena Engkau ya Allah sehingga aku mati syahid.' Lalu dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta!' Kemudian orang itu diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.
  • Kedua, seseorang yang belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an. Ketika ia didatangkan dan ditanya, 'Apa yang engkau lakukan di dunia?' Ia menjawab, 'Aku telah belajar ilmu dan mengamalkannya, aku membaca Al-Qur'an semata-mata karena Engkau ya Allah.' Lalu dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta, engkau belajar agar disebut orang pandai. Engkau membaca Al-Qur'an agar ingin disebut qari (pandai membaca Al-Qur'an).' Kemudian ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.
  • Ketiga, seseorang yang Allah lapangkan kepadanya beragam rezeki, lalu ia didatangkan di akhirat. 'Apa yang telah kau lakukan dengan hartamu?' Ia menjawab, 'Aku telah menginfakkannya di jalan yang Engkau cintai.' Dikatakan kepadanya, 'Engkau telah berdusta! Engkau mengeluarkan hartamu agar disebut orang dermawan.' Kemudian ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka." (HR. Muslim)
Hadits ini sangat mengejutkan, manusia yang digambarkan dalam riwayat ini adalah orang-orang yang merasa baik dan mulia selama di dunia. Seorang pejuang yang mati syahid, ulama yang banyak ilmunya, dan seorang dermawan karena kekayaannya. Akan tetapi, karena amal-amalnya tidak disertai keikhlasan, hasil akhirnya ia diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka.

Bagaimana dengan amal kita? sepertinya kita harus lebih banyak introspeksi diri atas segala amal yang kita kerjakan. Jangan-jangan semua yang kita bicarakan hanya karena ingin mendapat simpati dan acungan jempol dari rekan kerja. Jangan-jangan kerja keras kita di kantor hanya karena ingin mendapatkan perhatian lebih dari atasan kita. Jangan-jangan shalat kita lebih lama saat berjemaah daripada shalat sendirian hanya karena ingin disebut khusyuk oleh banyak orang. Jangan-jangan kita menginfakkan harta kita hanya karena ingin disebut dermawan. Jika demikian nyatanya, habislah kita nanti di hadapan Allah, saat diminta pertanggungjawaban atas semua amal kita karena bukan pahala yang kita dapatkan melainkan murka dan api neraka yang akan kita terima.

Lalu, bagaimana kita mengetahui keikhlasan seseorang. Paling tidak ada beberapa ciri yang dapat ditunjukkan kerja yang ikhlas. Orang ikhlas jarang sekali merasa kecewa dalam hidupnya. Orang ikhlas tidak pernah berubah-ubah sikapnya karena penilaian orang. Dia tetap stabil seandainya ada orang memujinya atau tidak memujinya atau bahkan mencaci maki dirinya. Dia yakin. amalnya bukan untuk mendapatkan penilaian manusia yang sering berubah-ubah. Akan tetapi, dia bulatkan seutuhnya hanya karena ingin mendapatkan penilaian sempurna dari Allah SWT.

Orang ikhlas tidak menggantungkan dirinya dan berharap pada makhluk lain. Ali bin Abi Thalib RA. pernah berkata, "Orang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun ia sama sekali tidak pernah mengharapkannya." Karena setiap kita beramal hakikatnya sedang berinterkasi dengan Allah. Olah karena itu, harapan yang ada senantiasa terkait dan bergantung kepada keridhaan Allah semata.

Orang ikhlas tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya dia mendapatkan kabar bahwa amalan kecil yang pernah ia lakukan, yaitu saat menyelamatkan seekor lalat yang tercebur di dalam botol tinta, ternyata itu bernilai pahala besar di sisi Allah. Oleh karena itu, sekecil apa pun suatu amal, apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan selain keridhaan Allah, maka akan menjadi amal yang sangat bernilai di hadapan Allah SWT.

Orang ikhlas sering merahasiakan amal kebaikannya. Mungkin ketika kita membaca Al-Qur'an di antara orang banyak, kita akan melakukannya dengan penuh semangat dan khidmat. Ketika kita shalat berjemaah, apalagi sebagai imam biasanya kita akan berusaha khusyuk dan lama dengan memanjangkan bacaannya. Akan tetapi, akankah hal itu kita lakukan dengan kadar yang sama saat kita membaca Al-Qur'an dan shalat sendirian? Apabila amal kita tetap sama atau bahkan cenderung lebih baik, lebih enak, lebih khusyuk saat sendiri, maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Akan tetapi, bila sebaliknya, ada kemungkinan amal yang kita lakukan masih belum ikhlas.

Orang ikhlas akan melupakan kebaikannya setelah beramal. Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari setiap amal dan kontribusinya. Namun, pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi, maupun instansi tempat kerja bersifat relatif atau sering berubah-ubah. Sering kita menyaksikan orang yang ingin disebut-sebut namanya setelah melakukan kebaikan, atau ingin dicatat namanya di papan besar agar semua orang mengetahui bahwa ia telah melakukan amal baik. Akan tetapi, tidak demikian dengan orang yang ikhlas.

Untuk belajar ikhlas lebih dalam, mari kita perhatikan cara-cara kaum Salafus Saleh dalam menjaga keikhlasannya.

Istri Hasan bin Sinan bercerita, "Biasanya, ketika Hasan masuk kamar dan berbaring bersamaku, ia mengelabuiku seperti seorang ibu mengelabui anaknya. Ketika dia mengira aku sudah tidur, maka ia bangun dan keluar untuk berwudhu dan shalat."

Ayyub As-Sakhtiyani ketika sedang membaca Al-Qur'an dan ada orang yang lewat, maka ia berpura-pura seperti orang yang terkena flu, ia pura-pura sibuk dengan penyakitnya. Ketika orang lewat itu sudah tidak terlihat, ia kembali tenggelam dengan bacaan Al-Qur'an-nya bahkan hingga menangis.

Imam Asy-Syafi'i sering memoles bibirnya dengan minyak saat sedang berpuasa sunah agar orang-orang mengetahui bahwa ia baru saja makan dan minum, seperti orang yang tidak berpuasa.

Begitu berharganya nilai suatu keikhlasan hingga setiap amal yang disertai dengannya akan mendapatkan derajat pahala di hadapan Allah. Setiap orang mempunyai kesempatan untuk mampu beramal, tetapi tidak setiap amal yang dilakukannya bernilai di sisi Allah. Bisa saja bernilai di hadapan manusia tetapi belum tentu bernilai di sisi Allah. Karena ikhlas cukup sulit untuk disertakan dalam setiap amal, kita harus terus-menerus belajar menjaga niat dan tujuan setiap amal yang kita kerjakan.

Semoga kita termasuk pada golongan orang-orang yang ikhlas.

Wallahua'lam bisshawab.***

[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Bandung, pegiat Kajian Islam Pemuda Yayasan Pesantren Islam (YPI) Pacet Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi JUmat (Kliwon) 11 Januari 2013 / 28 Safar 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Para ulama bijak bestari menyatakan, "Matsalul imani mitslu baldatin khamsatun minal husuni." yang artinya Iman itu ibarat sebuah wilayah yang dikelilingi benteng lima lapis. Lapisan utama terbuat dari emas, kedua dari perak, ketiga dari perunggu, keempat dari besi dan lapisan terluar dari tembok.

Pemilik wilayah selalu berusaha memelihara benteng sebaik-baiknya agar tidak ditembus musuh. Setiap lapis benteng benar-benar difungsikan sehingga tidak satu pun celah terbuka, yang akan membawa akibat buruk terhadap keutuhan wilayah keseluruhan.

Dari ibarat tersebut, dapat diperinci, Benteng paling utama adalah iman, akidah, keyakinan. Benteng kedua, keikhlasan. Benteng ketiga, pelaksanaan ibadah wajib. Benteng keempat, pelaksanaan ibadah sunah. Benteng kelima yang ada di bagian paling luar adalah akhlak, sopan santun, etika, dan norma.

Selama orang beriman memiliki akhlak mulia, menjaga etika, menerapkan sopan santun dalam pergaulan sosial, memelihara norma yang berlaku di tengah khalayak sehingga setan sebagai makhluk perusak iman, tidak akan berdaya.

Selama orang beriman mampu bersikap sopan santun, berbudi luhur, memiliki rasa malu, kemudian mampu melaksanakan rangkaian ibadah sunah, dan sudah tentu tak pernah lalai melaksanakan ibadah wajib, kondisi benteng akan semakin kuat dan kokoh. Iman semakin aman terlindungi dari segala gangguan, kesesatan, dan kelemahan.

Namun, apabila lapisan terluar, dalam hal ini akhlak, mengalami degradasi dan dekadensi, akan merambat kepada benteng-benteng lain. Amal-amalan sunah berangsur lenyap. Bahkan, amalan wajib pun mulai lepas satu per satu. Keikhlasan akan tergantikan pamrih. Iman pun mulai terkena virus berbahaya, baik yang bersifat vertikal, hubungan dengan Allah SWT. (hablum minallah), maupun yang bersifat horisontal, hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), segera berantakan. Tinggal puing-puing tak berarti.

Akhlak hancur, amal-amalan sunah lenyap, amal-amalan wajib tersendat, maka keikhlasan sirna tanpa bekas. Yang ada hanya formalitas. Bersamaan dengan itu, habislah bangunan benteng karena semua berujung pada rusaknya keyakinan. Rusaknya akidah.

Iman itu tumbuh dari takwa. Menjalankan segala perintah Allah SWT., sekaligus menjauhi segala larangan-Nya. Sementara takwa itu terletak di dalam hati (kalbu). Sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW. ketika ditanya para sahabat mengenai letak takwa. Jawab beliau sambil menunjuk dada, "Attaqwa hahuna. / Takwa itu di sini." Rasulullah SAW. juga menjelaskan, betapa penting peranan hati dalam meluruskan aktivitas anggota badan,
"Ketahuilah, sesungguhnya pada tubuh itu, terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila daging itu rusak, rusaklah seluruh tubuh. Yang dimaksud daging itu adalah hati."

Tugas hati yang menjadi "wadah" iman dalam tubuh setiap manusia amat berat. Karena setiap saat selalu diganggu dan kemungkinan diserang telak oleh musuh yang amat tangguh, tak kenal lelah, tak kenal kalah, tak kenal menyerah, yaitu nafsu dan setan. Kejahatan kedua jenis makhluk, musuh bebuyutan manusia beriman, perusak ketakwaan, dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan sabda Rasulullah SAW., antara lain,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

inna alnnafsa laammaratun bialssooi illa ma rahima rabbee

karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS. Yusuf: 53)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ

Walawi ittabaAAa alhaqqu ahwaahum lafasadati alssamawatu waalardu waman feehinna

Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, tentu binasalah langit dan bumi serta segala isinya. (QS. Al-Mu'minun: 71)

أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

alshshaytanu an yudillahum dalalan baAAeedan

...dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa : 60)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

inna alshshaytana lilinsani AAaduwwun mubeenun

...Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagi manusia. (QS. Yusuf: 5)

Perang melawan nafsu merupakan jihad terberat dibandingkan dengan perang. Menurut beberapa riwayat, seusai Perang Badar (2 Hijriah), Rasulullah SAW. menyatakan, "Kita pulang dari jihad kecil, menuju jihad besar." Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud jihad besar itu, ya Rasulullah?" Jawab Rasulullah, "Jihad melawan nafsu."

Kalangan ulama salafus salihin mengungkapkan, perbuatan baik manusia yang membawa ke keimanan dan ketakwaan terdiri dari banyak jenis, di antaranya pemurah, menahan marah, dan mengakui kesalahan diri sendiri untuk bertaubat.

Nafsu dan setan selalu menyeret manusia agar menjauhi sifat pemurah agar menjadi orang kikir dan bakhil dengan memperbesar kecintaan terhadap harta. Padahal, orang yang pemurah, yang terjaga dari kekikiran, merupakan orang-orang beruntung.

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

waman yooqa shuhha nafsihi faolaika humu almuflihoona

Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9)

Nafsu dan setan selalu berupaya menjerumuskan manusia ke dalam amarah sehingga menjadi lemah tak berdaya dalam pelukan nafsu dan setan. Nafsu dan setan selalu mendorong manusia untuk selalu merasa benar, tidak mau mengaku salah, apalagi bertaubat dari segala kesalahannya itu. Sabda Rasulullah SAW.,
"Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat dari kesalahannya." (HR. Imam Turmudzi)

Oleh karena itu, sudah sewajibnya kita memelihara benteng pelindung iman, yaitu dengan cara menerapkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari secara nyata, melaksanakan ibadah sunah, dan wajib secara tetap, memelihara ketulusan dan keikhlasan dalam segala perbuatan, serta memperkokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. sehingga kita terhindar dari serangan nafsu dan setan yang terus mengincar dan memusuhi kita tanpa henti. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk, Garut, pembimbing haji dan umrah BPIH Megacitra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 10 Januari 2013 / 27 Safar 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky