Ketika menjanjikan melakukan sesuatu hal, kita diperintahkan agar mengucapkan kalimat "insya Allah" (jika Allah menghendaki). Perintah ini termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al-Kahfi (18) ayat 23-24,

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

Wala taqoolanna lishayin innee faAAilun thalika ghadan
Illa an yashaa Allahu waothkur rabbaka itha naseeta waqul AAasa an yahdiyani rabbee liaqraba min hatha rashadan

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) 'Insya Allah'.

Menggunakan kalimat "insya Allah" ketika menjanjikan melakukan sesuatu pun telah dipraktikkan oleh para nabi dan rasul sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti dicontohkan oleh Nabi Ismail AS. ketika ayahnya, yakni Nabi Ibrahim AS. diperintahkan Allah agar menyembelih anaknya, yakni Ismail AS.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Falamma balagha maAAahu alssaAAya qala ya bunayya innee ara fee almanami annee athbahuka faonthur matha tara qala ya abati ifAAal ma tumaru satajidunee in shaa Allahu mina alssabireena

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash-Shaaffat (37): 102)

Begitu juga dilakukan oleh Nabi Musa AS. ketika berjanji kepada Nabi Khidir AS. untuk patuh kepada semua arahannya sepanjang perjalanan menuntut ilmu.

قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا

Qala satajidunee in shaa Allahu sabiran wala aAAsee laka amran

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun." (QS. Al-Kahfi (18): 69)

Dengan demikian, menggunakan kalimat "insya Allah" merupakan etika bahwa jika kita hendak melakukan sesuatu pada masa akan datang, hendaklah mengembalikan hal itu kepada Yang Maha Mengetahui perkara gaib, yakni Allah SWT. (Tafsir Ibnu Katsir).

Hal ini dilakukan karena kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan tidak dapat memastikan hal itu dapat dilakukan karena semuanya kembali kepada kehendak Allah SWT. Manusia berencana dan berusaha, tetapi Allah jualah yang menentukan.

Dengan demikian, selain mengikuti sunah para nabi dan rasul, orang yang bersungguh-sungguh mengucapkan kalimat "insya Allah" ketika menjanjikan hendak melakukan sesuatu hal menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki keimanan yang benar kepada Allah SWT. Itu karena ia meyakini bahwa dirinya tidak akan mampu mewujudkan apa yang dikehendakinya, kecuali dengan kehendak Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Wama tashaoona illa an yashaa Allahu rabbu alAAalameena

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At-Takwir (81): 29)

Selain itu, menunjukkan akhlak yang mulia, yakni rendah diri terhadap Allah dan rendah hati terhadap sesama manusia. Karena ia menyadari, dirinya tidak akan mampu mewujudkan apa yang dijanjikannya kecuali atas pertolongan dan perlindungan Allah SWT. "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil 'azim."

Selain itu, orang yang membiasakan mengucapkan "insya Allah" ketika menjanjikan melakukan sesuatu, termasuk yang mengagungkan kalimat yang mulia ini dan mensyiarkan ajaran Islam.

Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa kalimat "insya Allah" merupakan kalimat yang agung. Suatu kalimat yang bukan hanya menunjukkan akhlak islami, tetapi juga menunjukkan akan keimanan dan akidah seorang Muslim. Namun demikian, dalam keseharian kita kerap mendapati ada orang yang menyalahgunakan kalimat "insya Allah". Kalimat ini kadang digunakan untuk memperdaya dan mendustai saudaranya.

Sering kita mendapati ada orang yang banyak memberikan harapan terhadap orang lain dengan menggunakan kalimat "insya Allah" dengan tujuan membujuk agar orang itu agar melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Namun, ketika ia mendapatkan apa yang dia inginkan dan saudaranya menuntut apa yang telah diucapkannya, ia berkilah bahwa dirinya tidak mengucapkan janji, tetapi mengucapkan "insya Allah". Ia menganggap, dengan mengucapkan "insya Allah", tidak ada kewajiban untuk mewujudkan apa yang ia sampaikan kepada saudaranya.

Selain itu, sering kita mendapati ada orang yang menggunakan kalimat "insya Allah" dengan tujuan menolak secara halus. Ketika diundang seseorang, ia berkata, "Insya Allah, saya akan datang." Padahal, dirinya tidak bermaksud memenuhi undangan tersebut. Ia menganggap dengan mengucapkan "insya Allah", tidak ada kewajiban baginya memenuhi undangan saudaranya.

Perilaku-perilaku di atas menjadikan kalimat "insya Allah" mengalami degradasi nilai. Akibatnya, orang lebih senang mendengar dari saudaranya ucapan "pasti atau iya", ketimbang dengan ucapan "insya Allah" ketika menjanjikan hendak melakukan sesuatu. Mereka menganggap, dengan ucapan "insya Allah" menunjukkan ketidakseriusan orang tersebut.

Sebagai orang beriman, sudah sepantasnya kita menjauhkan diri dari sikap-sikap tersebut. Pasalnya, hal itu akan menjerumuskan kita pada perbuatan durhaka kepada Allah SWT. karena telah jelas bahwa mengucapkan kalimat "insya Allah" ketika menjanjikan melakukan sesuatu merupakan perintah Allah SWT. Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Kahfi (18) ayat 23-24 di atas. Lebih dari itu, akan menjerumuskan kita pada kesombongan, kekafiran, dan kesyirikan karena dengan meninggalkan kalimat "insya Allah", kita "menuhankan" terhadap kemampuan diri kita sendiri.

Begitu pun bagi orang yang menyalahgunakan kalimat "insya Allah" dengan tujuan menipu dan mendustai saudaranya, ia mendapatkan dua dosa, dosa kepada Allah SWT. karena telah menjadikan nama Allah untuk berbuat dosa dan dosa terhadap sesama karena ia menipu dan mendustainya.

Untuk itu, mari kita gunakan kalimat "insya Allah" dengan benar yang dibuktikan dengan kesungguhan kita berikhtiar mewujudkan apa yang kita janjikan. Lalu kita serahkan hasil ikhtiar kita kepada Allah SWT. karena semuanya berakhir dengan kehendak Allah SWT. jua.

Semoga dengan kesungguhan kita menggunakan kalimat "insya Allah" ketika menjanjikan hendak melakukan suatu hal, menjadikan kita sebagai orang yang terpercaya yang dapat meninggikan derajat kita di sisi Allah dan dihormati sesama manusia. Amin.

Wallahu 'alam.***

[Ditulis oleh DIKY DILY WS, Ketua FKDT Kecamatan Sukasari, anggota FKDT Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 22 Maret 2013 / 10 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Saat ini Indonesia masih dilanda krisis kepemimpinan (crisis of leadership). Era Reformasi yang sudah berlangsung cukup lama belum mampu memberikan perubahan signifikan. Ironisnya, pemimpin yang diharapkan umat, tidak ada rasa keprihatinan terhadap rakyatnya, tidak memiliki rasa malu melakukan korupsi, mengambil uang rakyat dengan jalan batil.

Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka semakin menurun. Be-berapa lembaga survei menyebutkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap beberapa to-koh atau pemimpin di Indonesia berkisar di bawah 50 persen. Artinya, sosok pemimpin yang menjadi harapan masyarakat masih di bawah rata-rata.

Saat ini beberapa tokoh atau calon pemimpin ditampilkan di tengah-tengah masyarakat agar menjadi pemimpin pilihan umat dalam pilkada ataupun pemilu untuk memilih calon presiden belum sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Kurang berhasilnya para pemimpin dalam mengemban tugas selama ini membuat tingkat kepercayaan terhadap mereka menurun.

Pemimpin yang ideal layaknya memiliki kriteria yang ideal pula. Sosok Rasulullah SAW. adalah seorang pemimpin yang ideal. Rasulullah selain sebagai pemimpin agama, juga pemimpin pemerintahan. Ia mampu menerapkan dan melaksanakan tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan negara yang baik (good government) serta penyelenggaraan pemerintahan yang adil (alhukumah al'adalah). Rasulullah SAW. bukan hanya dalam tataran slogan, melainkan juga implementasi di lapangan lebih dominan.

Kriteria utama pemimpin menurut Islam adalah sidik, amanah, adil, bertanggung jawab, dan punya misi. Kriteria tersebut perlu diawali dengan niat tulus dan ikhlas (husnun niyyah wal ikhlash). Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab dilandasi dengan niat sesuai dengan yang telah Allah gariskan.

Substansi kepemimpinan atau jabatan adalah amanah dan tanggung jawab, bukan semata-mata anugerah dan kemuliaan (fudhul). Jabatan yang diterima oleh seorang pemimpin bersifat temporer. Oleh karena itu, pemimpin yang sejati tidaklah ditentukan oleh rendah tingginya sebuah jabatan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tanggapan bawahannya, yakni masih tetap diterima masyarakat karena membekas di hati mereka.

Sosok seorang pemimpin yang diharapkan selalu berada di tengah-tengah rakyatnya (populis) dan egaliter sehingga kepemimpinannya selalu dihargai dan disegani, bukan ditakuti. Jejak dirinya (integritas) tidak hanya menjadi rujukan dan contoh banyak orang selama pemimpin itu hidup, tetapi akan terus dirasakan generasi berikut walaupun ia sudah wafat.

Pemimpin itu harus jujur karena akan membawa kebaikan dan kebaikan akan membawa ketakwaan. Bila semua pemimpin jujur, tidak perlu lagi ada KPK. Kita diperintahkan jujur walaupun adakalanya itu menyakitkan. Jujur dalam berkata dan bertingkah laku. Perkataan yang benar mampu dibuktikan dengan perbuatan (implementasi) yang benar pula. Masyarakat tidak cukup disuguhi dengan janji-janji muluk tetapi kenyataannya tidak terwujud.

Pemimpin yang bersikap amanah merupakan kriteria berikutnya karena pemimpin seperti itu yang menjadi harapan umat.

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

inna khayra mani istajarta alqawiyyu alameenu

karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (QS. Al-Qashash (28): 26)

Dalam sejarah Islam, ada dua peristiwa monumental, yaitu tatkala Khalid bin Walid RA. dan 'Amr bin Ash RA. diangkat menjadi panglima militer walaupun baru masuk Islam (mualaf). Ternyata keduanya sanggup mengemban amanah tersebut dengan efektif.

Seorang pemimpin bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Al-Qur'an memberi pelajaran melalui kisah Nabi Yusuf AS. yang diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (Al-Amin), pandai menjaga amanat (hafizh) dan berpengetahuan (alim).

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Waqala almaliku itoonee bihi astakhlishu linafsee falamma kallamahu qala innaka alyawma ladayna makeenun ameenun
Qala ijAAalnee AAala khazaini alardi innee hafeethun AAaleemun

Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS. Yusuf (12): 54-55)

Ini berarti, kriteria pemimpin diberi tekanan (stressing) yaitu hafizh artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits,
"Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafizh) atau menyia-nyiakannya (khianat)." (HR. Nasa'i dan Ibnu Hibban)

Kriteria lainnya, mampu menjunjung hukum dengan memutuskan perkara dengan adil, tepat, dan cepat tanpa membeda-bedakan status mereka (tidak tebang pilih), rakyat atau pejabat, kaya atau miskin. Kehancuran suatu bangsa terdahulu adalah apabila rakyat jelata bersalah ditegakkan hukuman kepada mereka, sementara bila pejabat bersalah diabaikan atau tidak ditegakkan hukuman bagi mereka. (Al Hadits)

Adakah indikasi hadits Nabi tersebut terbukti pada masyarakat kita sekarang? Rasulullah SAW. sendiri menyampaikan, seandainya Fatimah RA., putri Nabi Muhammad SAW. mencuri, pasti ia potong tangannya. Sungguh tegas Rasulullah SAW. menerapkan keadilan kepada umatnya tanpa melihat siapa mereka.

Orang-orang yang menegakkan hukum dengan adil akan mendapatkan naungan dan perlindungan Allah SWT. pada hari kiamat. Demikian pula dalam sabdanya,
"Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara, kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerumuskan oleh kedzalimannya." (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir)

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh HABIB SYARIEF MUHAMMAD ALAYDRUS, Ketua Umum Yayasan Assalaam Bandung, pembimbing utama KBIH Assalaam, mantan anggota MPR dan mantan Ketua PW NU-Jabar. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 21 Maret 2013 / 9 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Keajaiban sedekah mungkin sering didengar, baik dalam bentuk tuntunan maupun penuturan pengalaman seseorang. Bagaimana dengan utang? Apakah juga menyimpan keajaiban dan keunikan sebagaimana sedekah?

Banyak hadits terkait soal utang. Mereka yang memberi bantuan meminjamkan utang, disebutkan oleh Rasulullah SAW., pahalanya separuh dari bersedekah.

Dari Ibnu Mas'ud RA.,
"Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda bahwa seorang Muslim yang mempiutangi seorang Muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali."

Logikanya sederhana, mengapa memberi utang itu walau tak mengurangi harta pemberi utang, bernilai tinggi. Ada semangat menolong yang luar biasa. Bahkan, kadang bisa lebih bernilai secara ekonomi dari sedekah.

Ketika seseorang bersedekah, mungkin juga orang yang diberi sebenarnya secara ril saat itu tidak terlalu membutuhkan. Berbeda dengan orang yang datang ingin meminjam uang. Kecuali yang memang hobi berutang, mereka biasanya memanfaatkan "fasilitas" itu karena terpaksa. Benar-benar terdesak kebutuhan.

Memberi bantuan pinjaman, tentu saja tanpa bunga (tanpa riba) bernilai tinggi. Mereka itu, mengutip hadits qudsi, tergolong orang-orang yang memudahkan dan membantu saudaranya.
"Barang siapa mempermudah urusan hamba-Ku, akan dipermudah urusannya."

Keajaibannya bagi pemberi pinjaman, memang tak terlihat seperti sedekah, karena biasanya tak terlalu dirasakan. Tidak dalam bentuk kelipatan harta, seperti halnya sedekah.

Yang menarik, ada keajaiban unik dalam proses utang piutang ini sesuatu yang kurang disadari hingga jarang mendapat perhatian apalagi dipraktikkan. Suatu keajaiban bermata pisau ganda yang akan dialami mereka yang berutang.

Mata pisau pertama, jika orang yang berutang itu lalai atau bersikap kurang peduli apalagi tak memperlihatkan iktikad baik untuk membayar, dijamin, ia justru akan makin terjerat kesulitan. Apalagi ketika sekali waktu mendapat rezeki, tetap juga berlagak lupa, kurang peduli untuk membayar. Kesulitan akan makin meningkat. Utang tak terbayar, rezeki yang didapat, kemungkinan besar akan habis.

Mengapa makin terjerat kesulitan? Secara ekonomi dan komunikasi sosial, mereka yang berutang itu tetap terjerat utang dan berpeluang bertambah utangnya. Kemungkinan kedua, karena masih punya utang di mana-mana dan biasanya menghindar dari pemberi utang, dia tanpa menyadari menutup jalan rezekinya sendiri.

Silaturahmi terhenti. Komunikasi dengan sesama makin sempit. Karena silaturrahmi berkurang, ruang-ruang peluang pun otomatis,berkurang. Rezeki pun kemungkinan besar berkurang. Sangat rasional sekali, tuntunan Islam menyangkut soal utang ini. Pararel dengan logika ekonomi.

Mata pisau kedua, kemudahan rezeki, bagi mereka yang bersemangat membayar utang. Ini kejaiban yang tak kalah dahsyat dari sedekah. Bahkan, bisa jadi lebih dahsyat. Namun, karena tertutup untuk menyeimbangkan keuangan, terkesan tak terlihat. Anda mungkin tak merasa mendapat rezeki besar, karena rezeki yang Anda dapat langsung sepenuhnya dibayarkan untuk utang. Jadi kurang terlihat sebagai tumpukan rezeki.

Ada jaminan Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang bersemangat membayar utang akan dipermudah rezekinya. Selalu terbuka jalan keluar untuk membayar utang, jika seseorang memperlihatkan kesungguhan untuk membayar, yang dibuktikan dengan segera membayar utangnya ketika mendapat rezeki. Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa berutang dengan maksud melunasinya, maka Allah akan membantunya (untuk melunasinya)."

Disebutkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda,
"Seseorang yang berutang dan Allah melihat yang bersangkutan berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menjadikan dia dapat melunasinya di dunia ini."

Bagaimana kalau rezeki yang diperoleh tak terlalu besar dan kebutuhan sendiri perlu juga dipenuhi? Bayarlah utang itu sebagian. Tak harus semuanya.

Katakanlah, Anda mempunyai utang Rp. 500.000,- lalu sekali waktu memperoleh rezeki Rp. 400.000,- dan masih ada keperluan memenuhi kebutuhan hidup. Tak perlu dibayar semua. Kebutuhan hidup tetap dipenuhi. Yang penting perlihatkan iktikad membayar utang walau mungkin hanya membayar sebagian. Jadi, bayarkan yang separuh dan penuhi kebutuhan hidup dari sisanya.

Konteks hadits Rasulullah SAW. pada persoalan utang, tidak menekan apalagi memaksa kita segera membayar keseluruhan. Mereka yang sedang tidak mampu membayar bahkan dianjurkan dibebaskan oleh si pemberi utang. Asal memang benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk membayar.

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Wain kana thoo AAusratin fanathiratun ila maysaratin waan tasaddaqoo khayrun lakum in kuntum taAAlamoona

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah (2): 280)

Yang ditekankan di sini adalah iktikad dan kesungguhan untuk membayar. Jadi, ketika mampu hanya membayar separuh, bayar segera. Insya Allah, akan ada rezeki lain yang akan datang. Bukan bersikap sebaliknya ketika memiliki uang, tetapi tak memperlihatkan iktikad untuk melunasi utang.

Pilihannya sudah jelas. Dengan membayar utang, rezeki akan dipermudah. Namun, jika mengabaikan alias lalai membayar utang, akan mengalami kesulitan mendapat rezeki. ***

[Ditulis oleh MIQDAD HUSEIN, aktivis DDII, tinggal di Kota Depok. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 15 Maret 2013 / 3 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Setiap manusia ingin memperoleh kehidupan mulia. Dalam arti memiliki kedudukan yang mapan secara lahiriah (material-finansial) dan batiniah (moral-spiritual) di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga ada semboyan populer yang menggambarkan tentang ini, "isy kariman, awu mutsyahidan" (Hidup mulia atau mati syahid).

Hidup dihiasi perbuatan-perbuatan bermanfaat, baik yang bersifat vertikal berupa ketaatan kepada Allah SWT., menjalankan segala perintah-Nya sekaligus menjauhi larangan-Nya, maupun bersifat horizontal. Berbuat amal saleh, kebajikan, yang ikhlas tanpa pamrih, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. dan Rasul-Nya, kepada sesama manusia. Sementara ketika mati, mencapai nilai syahid, berkat sikap dan perilaku ketika menjalani tugas kewajiban di muka bumi.

Kemuliaan itu seluruhnya milik Allah SWT. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang memenuhi syarat. Sebagaimana firman-Nya,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Man kana yureedu alAAizzata falillahi alAAizzatu jameeAAan ilayhi yasAAadu alkalimu alttayyibu waalAAamalu alssalihu yarfaAAuhu

Siapa saja yang menghendaki kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya kepunyaan Allah. Kepada-Nya lah naik kalimat-kalimat yang baik dan amal saleh mengangkatnya. (QS. Fathir (35): 10)

Para mufasir menjelaskan, kemuliaan hidup yang didambakan manusia berada pada genggaman kekuasaan Allah SWT. Setiap manusia yang memperoleh kemuliaan yang membawa kebahagiaan, derajat kedudukan terhormat, hakikatnya merupakan pinjaman sementara dari Allah SWT. Sewaktu-waktu Allah SWT. dapat mencabutnya tanpa kompromi.

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ

Quli allahumma malika almulki tutee almulka man tashao watanziAAu almulka mimman tashao watuAAizzu man tashao

Katakanlah, ya Allah Pemilik Kerajaan, Engkau beri kerajaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau rengggut kerajaan itu dari siapa saja yang Engkau kehendaki, Engkau beri kemuliaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau timpakan kehinaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki. (QS. Ali Imran (3): 26)

Syarat untuk mendapat bagian dari kemuliaan (izzah) adalah keimanan dan ketakwaan. Iman merupakan fondasi untuk menancapkan pilar-pilar takwa. Takwa itulah yang menjadi tangga pencapaian kemuliaan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak.

Dalam takwa itu terdapat kalimat yang baik (kalimatuth thayyibah). Perilaku yang serba bagus, mulai dari niat, ucapan, hingga tindakan. Semua menunjukkan kerendahan hati, sopan santun, lemah lembut, kasih sayang, tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah SWT., menjaga norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dirumuskan oleh para ulama salafiis shalihin, kalimat yang baik meliputi doa, dzikir, membaca Al-Qur'an, dan lain-lain yang berkaitan dengan ibadah ritual. Hubungan dengan Allah SWT. (hablum minallahi), serta perbuatan-perbuatan baik dan bajik terhadap sesama manusia (hablum minannasi). Di antara kalimat yang baik dengan perbuatan baik dan bajik atau amal saleh, tidak terpisahkan satu sama lain dalam menghasilkan kemuliaan dari Allah SWT. Tegasnya, kalimat yang baik yang merupakan presentasi hubungan dengan Allah SWT., tidak sempurna tanpa amal saleh yang merupakan wujud hubungan dengan sesama manusia. Ibadah ritual akan terangkat berkat ibadah sosial (amal saleh).

Orang yang sudah beruntung mendapat kemuliaan dari Allah SWT. dalam bentuk harta kekaayaan, pangkat, jabatan, ketinggian ilmu, ketekunan ibadah, serta bentuk-bentuk lain yang menjadi ciri kehormatan diri serta penghormatan orang lain, harus mampu mempertahankannya hingga akhir hayat. Jangan sampai ternodai oleh hal-hal yang dapat menghancurkan nilai kemuliaan itu, terutama sikap lupa diri dan penyalahgunaaan wewenang kemuliaan itu. Tumpuan fondasi iman dan takwa jangan digoyahkan oleh perilaku-perilaku yang menyimpang dari kalimat thayyibah dan amal saleh.

Terjatuhnya seseorang dari kemuliaan hidup yang sudah diperolehnya, akan muncul hanya karena menyimpang dari prinsip-prinsip kalimat thayyibah dan amal saleh. Merasa kuat, kaya, tampan, dan sebagainya, seolah-olah milik pribadi. Lupa bahwa itu hanya pinjaman atau titipan dari Allah SWT. yang diberikan berkat kalimat thayyibah dan amal saleh. Begitu kalimat thayyibah dan amal saleh hilang, hilang pulalah kemuliaan itu dalam sekejap.

Peringatan dari Allah SWT. sangat jelas,

وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۖ وَمَكْرُ أُولَٰئِكَ هُوَ يَبُورُ

waallatheena yamkuroona alssayyiati lahum AAathabun shadeedun wamakru olaika huwa yabooru

Dan orang-orang yang membuat rencana jahat, bagi mereka azab yang keras, serta rencana jahat mereka akan binasa. (QS. Fathir (35): 10)

Artinya, orang-orang yang bermaksud menyelewengkan kemuliaan yang ada pada dirinya, untuk memuaskan hawa nafsu, mengumbar perilaku sewenang-wenang, dan tindakan tercela lainnya, segera akan dicabut kemuliaannya. Anggapan untuk mempertahankan kemuliaan dengan mencederai kalimat thayyibah dan amal soleh, adalah salah sama sekali. Allah SWT. sebagai pemilik kemuliaan, tidak akan tinggal diam. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk mencampakkan manusia yang hari ini mulia, besok hina dina.

Tidak ada jalan lain bagi orang yang sudah mencapai kemuliaan, untuk mempertahankannya dengan memelihara kalimat thayyibah, yang menjadi pertanda hablum minallah, dan amal saleh (hablum minannasi).

Wallahua'lam. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM, pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah BPIH Megacitra/KBIHMega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pahing) 14 Maret 2013 / 2 Jumadil Awal 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Manusia hidup di dunia tak selamanya dalam kondisi sehat fisik. Sudah menjadi sunnatullah siapa pun orangnya pasti akan mengalami sakit, bisa sakit ringan atau berat.

Orang mengalami sakit sebagai salah satu ciri bahwa manusia makhluk lemah, tidak ada daya dan upaya, semuanya atas kekuasaan dan kehendak Allah SWT. Selain itu, tidak ada sesuatu pun yang dapat melebihi kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Jadi, ketika kita dalam sakit sebenarnya menjadi salah satu jalan untuk semakin merenenungi kekuasaan Allah SWT. Menambah keimanan dan ketawakalan kepada-Nya.

Apabila sakit tersebut diterima dengan sabar dan tawakal akan menjadi salah satu penyebab diampuni dosa-dosa. Sebagaimana dalam salah satu hadits diceritakan bahwa pada suatu waktu Rasulullah SAW. menjenguk Salman Al-Farisi RA. yang tengah berbaring sakit di rumahnya. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda,
"Sesungguhnya ada tiga pahala yang menjadi kepunyaanmu di kala sakit. Engkau sedang mendapat peringatan dari Allah SWT., doamu dikabulkan-Nya, dan penyakit yang menimpamu akan menghapuskan dosa-dosa-mu."

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya,
"Tidaklah orang Muslim ditimpa cobaan berupa penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan keburukannya, sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya." (HR. Bukhari-Muslim)

Sementara itu, bagi kaum Muslimin lainnya berkewajiban menjenguk si sakit tersebut. Dengan dijenguk, orang yang sakit akan merasa terhibur dan merasa masih ada orang yang memperhatikannya. Masih merasa bagian dari orang-orang di sekelilingnya. Selain itu, dengan menjenguk orang sakit merupakan salah satu wujud turut merasakan penderitaan si sakit.
Pada dasarnya dalam agama Islam antara Mukmin yang satu dan Mukmin yang lainnya bersaudara, bahkan oleh Rasulullah SAW. digambarkan pula sebagai satu tubuh. Hal itu sebagaimana dalam hadits, yang artinya,
"Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, menurut Rasulullah SAW., menjenguk orang sakit merupakan salah satu dari lima hak antara seorang Muslim dan Muslim lainnya. Sebagaimana sabdanya, yang artinya,
"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima, yaitu menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tidak semata-mata Allah SWT. memerintahkan sesuatu hal kepada kita. Demikian juga tidak semata-mata Rasulullah SAW. menganjurkan sesuatu kepada kita, kecuali apabila perintah dan anjuran tersebut kita laksanakan akan menjadi suatu kebaikan kepada kita secara langsung atau tidak, di dunia atau mungkin juga di akhirat kelak.

Demikian pula dengan adanya perintah atau anjuran kepada kita agar menjenguk orang sakit. Di dalam perintah tersebut terdapat hikmah atau nilai yang sangat besar bagi kita yang melaksanakannya. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah RA., ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa menjenguk orang sakit maka berserulah seorang penyeru dari langit (malaikat), 'Bagus engkau, bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan tempat tinggal di dalam surga'."

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Saydina Ali RA., ia berkata,
"Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, 'Tiada seorang Muslim yang menjenguk orang Muslim lainnya pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh 70.000 malaikat hingga sore hari; dan jika ia menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh 70.000 malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma yang dipetik di taman surga." (HR. Tirmidzi, dan beliau berkata, "Hadits Hasan")

Adapun tuntunan dari Rasulullah SAW. ketika kita menjenguk orang sakit, kita dianjurkan untuk memberikan semangat kepada si sakit agar cepat sembuh. Menghiburnya bahwa sakitnya tersebut semoga menjadi penghapus dosa. Selain itu, mendoakan kesembuhannya seraya berada di bagian kepala si sakit. Apabila memungkinkan dan sesama muhrim dapat disertai dengan memegang tangan atau kening si sakit.

Berkaitan dengan doa, banyak doa yang diucapkan Rasulullah SAW. Dalam berbagai hadits, Rasulullah SAW. mendoakan orang sakit di antaranya dengan membaca taawuz, Surat Al-Fatihah, shalawat, atau doa khusus, seperti doa berikut yang artinya,
"Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah ia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi."
Namun, apabila orang tersebut sakitnya sangat parah yang dimungkinkan akan wafat. Bagi keluarganya atau bagi penjenguk yang diberi amanah oleh keluarga yang sakit sebaiknya menalkininya, yaitu dengan menuntunnya atau memperdengarkan kalimat "La ilaha illallah" dengan suara lembut dan tidak berulang terus-menerus.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW., yaitu dari Abu Said Al-Khudri RA., dia berkata,
"Rasulullah SAW. bersabda, 'Talkinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan mati di antara kalian kalimat Laa ilaaha illallaah'."

Menurut Imam Nawawi, menalkin (menuntun) sebagaimana di atas hukumnya sunah. Selanjutnya menurut sebagian ulama, apabila orang sakit telah mengucapkan kalimat yang ditalkinkan itu sekali, jangan dipaksa untuk mengulanginya. Kecuali kalau si sakit menyelingi dengan kata-kata lain (berbicara dan lain-lain) maka talkin tersebut diulangi lagi agar kalimat (talkin) itu menjadi akhir dari ucapannya.

Kemudian apabila orang yang sakit itu wafat, disunahkan bagi orang yang menghadiri kematiannya untuk memejamkan kedua mata si sakit. Selain itu, mendoakan kebaikan untuknya. Hal itu didasarkan pada hadits dari Ummu Salamah RA., dia berkata,
"Rasulullah SAW. masuk kepada Abu Salamah dan pandangan Abu Salamah telah menatap ke atas. Selanjutnya Rasul memejamkannya dan bersabda, 'Sesungguhnya roh apabila telah digenggam pandangan mata akan mengikutinya'."

Demikian di antara keutamaan dan beberapa cara ketika kita mengunjungi orang yang sakit berdasarkan beberapa hadits dan qaululama. Walaupun pada dasarnya mengunjungi orang sakit itu hukumnya sunah atau menjadi fardu kifayah, tetapi bagi kita selagi mampu dan ada keluangan waktu jangan sampai merasa enggan untuk menjenguk orang sakit.

Kita pun suatu saat akan mengalami sakit. Tentu ketika ada yang menengok, (pada umumnya) kita akan merasa bersenang hati. Dengan demikian, peduli terhadap orang lain berarti pula peduli terhadap diri sendiri.

Wallahualam.***

[Ditulis oleh ASEP JUANDA, ketua DKM At-Taqwa, Cicalengka, Cihampelas, Bandung Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 8 Maret 2013 / 25 Rabiul Akhir 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Alhamdulillah, masyarakat Jawa Barat lulus ketika harus memilih pemimpinnya melalui pemilihan gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wali kota yang sebagian daerah digelar bersamaan.

Situasi berlangsung aman, tertib, dan jauh dari huru-hara sehingga masyarakat tetap bisa menjalankan aktivitasnya dengan baik.

Ada salah satu hadits terkenal soal kepemimpinan ini,
"Ibn Umar RA. berkata, 'Saya telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan, seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggunganjawaban) dari hal hal yang dipimpinnya'." (HR Bukhari dan Muslim)

Setiap diri kita pemimpin apalagi pemimpin formal, seperti gubernur, wakil gubernur, dan bupati/wali kota. Konsekuensi seorang pemimpin adalah melayani masyarakat, bukan malah sebaliknya. Pakar kepemimpinan Eugene B Habecker menyatakan, "Pemimpin sejati melayani. Melayani orang-orang. Melayani minat terbaik mereka. Dalam memimpin, mereka tidak selalu bertindak populer, dan tidak juga selalu mengesankan. Tetapi pemimpin sejati selalu dimotivasi oleh kepedulian kasih dibandingkan hasrat kejayaan pribadi dan mereka pun bersedia membayar harganya."

Hal yang melekat pada seorang pemimpin adalah kewenangan yang kerap dimaknai sebagai hak untuk memerintah. Padahal, memimpin yang efektif bukanlah memerintah anak buah maupun masyarakat. Kalau pemimpin sebatas memerintah, semua orang pun bisa melakukan hal itu jika diberi kekuasaan.

Memimpin yang efektif adalah sebuah seni melayani yang lebih banyak menggunakan otak kanannya daripada otak kiri. Kita sayangkan para pemimpin kita lebih banyak memakai otak kiri sehigga gaya pemimpinnya cenderung rasional, kaku, njlimet, dan tak memudahkan urusan.

Pemimpin yang memiliki banyak pengikut adalah pemimpin yang melayani. Menurut pakar kepemimpinan John C Maxwell, untuk menjadi orang besar kita harus mau menjadi yang paling kecil dan juga pelayan bagi orang lain.

Siti Aisyah RA. berkata,
"Saya telah mendengar Rasulullah bersabda di rumahku ini, "Ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya." (HR Muslim)

Pemimpin itu harus melayani orang lain dengan melakukan potensi, kewenangan, maupun kekuasaan yang dimilikinya. Dia bersedia menyingsingkan lengan baju untuk bekerja sehingga otomatis akan menjadi contoh bagi karyawan atau masyarakatnya. Dengarkan aspirasi karyawan dan warga serta berempatilah pada mereka. Empati Anda akan menimbulkan rasa hormat mereka terhadap pemimpin.

Seorang pemimpin juga sekaligus mentor atau pembimbing bagi anak buah dan masyarakatnya. Mentor bertugas membuat orang lain menjadi lebih baik lagi kehidupannya. Kesalahan pemimpin ketika lebih sering mengedepankan emosi karena merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan.

Setiap manusia termasuk pemimpin hanya punya dua pilihan ketika bicara emosi. Mengendalikan emosi atau justru sebaliknya dikendalikan oleh emosi. Nabi Muhammad SAW. menyatakan selepas meraih kemenangan dari Perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadhan ketika 300 pasukan Muslim harus menghadapi sekitar 1,000 pasukan kafir bahwa Perang Badar merupakan perang kecil. Ada perang yang jauh lebih besar yakni perang untuk mengendalikan emosi (hawa nafsu).

Bekal pemimpin lainnya adalah harus berani untuk melakukan inovasi, terobosan, maupun ide-ide cemerlang lainnya. Jawa Barat merupakan wilayah besar sehingga membutuhkan para pemimpin yang berani keluar dari kebiasaan. Banyak orang yang ingin sukses, tetapi hanya sedikit yang berani mengambil risiko.

Larry Osborne pernah mengatakan, "Hal paling mencengangkan dari para pemimpin yang paling efektif adalah betapa sedikitnya persamaan dalam diri mereka. Tetapi ada satu sifat menonjol yang mudah dikenali yaitu kesediaan mereka menempuh risiko."

Seorang pemimpin jangan merasa berada di zona aman dan nyaman sehingga dininabobokan berbagai keberhasilan. Keberanian akan membuka pintu pada hal yang paling bermanfaat. Keberanian bukan saja memberikan permulaan yang baik, tetapi juga masa depan yang lebih baik.

Tentu sebagai masyarakat harus melakukan pengawasan terhadap kinerja para pemimpinnya. Abu Hurairah RA. berkata,
"Rasulullah bersabda, 'Dahulu Bani Israil selalu dipimpin nabi, tiap mati seorang nabi digantikan nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah banyak.' Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apakah pesanmu kepada kami?' Jawab Nabi, Tepatilah baiatmu (janji/kontrak politik) pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada Allah bagimu, maka Allah akan menanyakan mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hamba-Nya.'"

Selamat memimpin untuk melayani.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Penulis, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 7 Maret 2013 / 24 Rabiul AKhir 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky