"Manusia terbiasa lupa dan salah (al insanu ma'alul khatha wan nisyari)," demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, manusia harus berupaya, jangan sampai terus-terusan lupa dan berada dalam kesalahan.

Bahkan Allah SWT. melarang manusia agar tidak melupakan banyak hal. Antara lain, melarang manusia menyuruh berlaku baik terhadap orang lain, seraya melupakan keadaan dirinya sendiri. 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ


Atamuroona alnnasa bialbirri watansawna anfusakum waantum tatloona alkitaba afala taAAqiloona


Apakah patut kamu menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu melupakan dirimu, padahal kamu membaca kitab Allah. Apakah kamu tidak berakal? (QS. Al-Baqarah (2): 44)

Sibuk mengurus keadaan orang lain, mencela dan mencari keburukan orang lain, termasuk satu dari enam sifat yang merusak amal manusia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
"Ada enam perkara yang merusak amal kebaikan manusia. Yaitu, sibuk memperhatikan kesalahan orang lain, hati keras membatu, cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang khayalan, dan tak henti berlaku dzalim," (al hadits)

Mencari-cari kesalahan orang lain, akan mengundang saling salah menyalahkan, sehingga menjadi penyebab kerusuhan di tengah masyarakat kuas. Manusia juga dilarang melupakan nasib di dunia, walaupun harus mengutamakan nasib di akhirat kelak. Dalam QS. Al-Qashash (28): 77,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ


Waibtaghi feema ataka Allahu alddara alakhirata wala tansa naseebaka mina alddunya waahsin kama ahsana Allahu ilayka wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dari ayat di atas, Allah SWT. memerintahkan agar manusia mencari kebahagiaan di akhirat, sambil tidak melupakan bagian (kenikmatan) di dunia, dengan tambahan syarat-syarat, harus berbuat baik sebagaimana Allah SWT. telah berbuat baik kepada manusia, dan melarang melakukan perusakan di muka bumi karena sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang pembuat kerusakan.

Para ahli tafsir menyebutkan, konsentrasi terbesar manusia selama hidup di dunia adalah untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat. Sementara untuk mereguk kenikmatan dunia, cukup dengan ukuran sekadar jangan lupa saja. La tansya nasibaka minad dunya. Tegasnya tidak berlebihan. Bahkan itu pun disertai syarat, harus berbuat amal kebaikan kepada sesama makhluk, karena Allah SWT. telah berlaku baik terhadap manusia, mulai dari masa penciptaan manusia dalam bentuk seindah-indahnya (QS. At-Tin (95): 4), sempurna dan seimbang (QS. Al-Infithar (82): 7), serta menjauhi perbuatan merusak di muka bumi, yang amat tidak disukai-Nya.

Maka setiap Muslim yang beriman, memiliki kewajiban untuk tidak melupakan bagian di dunia. Harus berusaha sekuat tenaga agar mampu mandiri, menjauhi ketergantungan kepada orang lain, baik secara individual, maupun massal. Namun, harus tetap memperhatikan batas-batas yang ditentukan oleh aturan Islam (syar'i).

Selain itu juga dilarang melupakan kebaikan orang lain. Hidup adalah kesatuan tak terpisahkan dari gotong-royong, saling mendukung, memberi-menerima, saling lengkap melengkapi satu sama lain.

وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


wala tansawoo alfadla baynakum inna Allaha bima taAAmaloona baseerun


Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 237)

Bahkan bantuan itu sering datang dari kalangan lemah dan papa. Para petinggi negeri, baik di legislatif maupun eksekutif, mustahil dapat menduduki jabatan empuk, gaji tinggi, dll., tanpa mendapat "suara" dari pemegang hak pilih yang mayoritas warga kecil. Benar sekali sabda Nabi SAW.
"Kalian tidak akan dibantu, dibela, dan diberi rezeki, melainkan karena bantuan orang-orang lemah di antara kalian." (al hadits)
 
Tidak akan ada presiden, gubernur, walikota, bupati, anggota DPR/DPRD, jika tidak ada kebaikan dari rakyat yang mendukung mereka. Dengan demikian, Allah SWT. mengingatkan, dengan ayat di atas, janganlah melupakan kebaikan dan bantuan orang lain. Terutama khalayak banyak yang mayoritas "kaum jelata".

Dilarang pula melupakan kesalahan diri sendiri. Melupakan kesalahan diri sendiri pun merupakan perbuatan dzalim. Para ulama salafus shalihin mengutarakan, perbuatan dzalim terdiri atas tiga macam.
  • Dzalim kepada Allah SWT., dengan menentang perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.  
  • Dzalim kepada sesama makhluk, dengan melakukan perbuatan merugikan orang atau makhluk lain.
  • Dzalim terhadap diri sendiri, dengan mengekang hak dan kewajiban dirinya sendiri untuk beriman kepada Allah SWT. dan beramal saleh kepada sesama manusia.
Apalagi jika kesalahan diri sendiri itu ditutupi dengan mencari-cari kesalahan orang lain. Mencari "kambing hitam" dan pengalihan persoalan, agar dirinya selamat dan bersih. Padahal justru menambah kekotoran, karena ia telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., Pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Kliwon) 25 Juli 2013 / 16 Ramadhan 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Berdoa adalah salah satu ciri fitrah manusia yang lemah. Karena kelemahannya dalam ikhtiar meraih segala kebutuhan dan keinginannya, manusia butuh kekuatan dari luar dirinya untuk menopang dan menyempurnakan ikhtiarnya. Maka senjatanya adalah doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Sebagai manusia beriman, ia yakin bahwa Allah adalah sumber dari segala sumber kekuatan yang mengalirkan energi dalam setiap gerak ikhtiarnya.

Hanya kepada Allah semua doa dan pengharapan pantas dipanjatkan. Di kala musibah menimpa, bencana melanda, dan tragedi tragis terjadi pada kita, saat itulah biasanya kita segera mendekat kepada Allah. Ketika semua cara tak mampu memberi jalan keluar, setiap jalan terasa sempit, harapan terputus, dan semua jalan pintas membuntu, kita pun segera mendesah menyebut-nyebut nama Allah.

Sejenak mari kita kembalikan memori kita ke masa lalu untuk mengenang kisah Fir'aun. Ketika ia diberi kelimpahan harta dan kekuasaan tinggi, dia mengaku-ngaku dirinya sebagai Tuhan. Namun, ketika ia hampir tenggelam di lautan dan tidak lagi mampu menolak takdir kematian pada detik-detik terakhir hidupnya, saat itulah ia meneriakkan pertaubatannya kepada Allah.

Kisah singkat Fir'aun ini telah memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa sebagai manusia, kita kadang lupa bersyukur kepada Allah ketika kita berada dalam kondisi lapang, berkecukupan dan berlimpah. Akan tetapi, saat kecukupan dan limpahan itu dicabut oleh Allah dan digantikan dengan kesulitan dan kesempitan, saat itu pula kita segera ingat kepada Allah dengan berdoa dan beristighfar.

Jika kita berdoa hanya pada saat ditimpa kesulitan, maka kesadaran doa yang demikian ini merupakan derajat atau tingkatan doa yang paling rendah. Allah telah menjelaskan tentang sifat dan kebiasaan orang-orang seperti ini dalam firman-Nya,

وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَّسَّهُ ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Waitha massa alinsana alddurru daAAana lijanbihi aw qaAAidan aw qaiman falamma kashafna AAanhu durrahu marra kaan lam yadAAuna ila durrin massahu kathalika zuyyina lilmusrifeena ma kanoo yaAAmaloona

Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia kembali melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus (10): 12)

Derajat kedua manusia dalam berdoa adalah derajat orang-orang yang waktunya lebih banyak digunakan untuk berdoa dan mengingat Allah. Jika kita berada dalam tingkatan ini, kita akan berdoa tidak hanya dalam keadaan sulit, tetapi juga ketika lapang. Dalam kedaan sehat, luang, aman, nyaman, dan berkecukupan kita bisa memanjatkan doa berupa pujian, ungkapan syukur, dan pengakuan terhadap karunia yang Allah berikan, sekaligus berupa permintaan kenikmatan, pertolongan Allah dan permohonan ampunan.

Derajat ketiga atau yang paling tinggi adalah derajat doa para kekasih Allah yang telah sampai pada maqam (tingkatan) dzikir, yaitu suatu keadaan di mana mereka tidak sempat untuk meminta karena sibuk tenggelam dengan mengingat Allah, memuji, dan menganggungkan kebesaran-Nya. Mereka adalah orang-orang yang diam dari meminta bukan karena tidak butuh kepada Allah, tetapi karena mereka telah memperoleh kenikmatan dengan selalu mengingat, memuji, dan berbuat taat kepadanya.

Bagi orang-orang yang berada pada derajat ini, Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta oleh para pendoa. Janji Allah dalam sebuah hadits qudsi,

"Barang siapa disibukkan dengan mengingat-Ku daripada meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yang paling utama yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta." (HR. Bukhari dan Baihaqi)

Oleh karena itu, untuk hal ini Ibnu Qayyim Al-Jauziah mengungkapkan bahwa dzikir itu lebih utama daripada doa, karena dzikir berarti memuji Allah dengan keindahan sifat-sifat, nikmat, dan nama-nama-Nya. Sementara doa berarti permintaan seorang hamba akan hajat dan kebutuhannya. Oleh karena itulah, dalam berdoa disunahkan untuk memulainya dengan memuji Allah, kemudian baru dengan permintaan.

Dengan menyadari kita sebagai manusia lemah, seharusnya kita tetap menggantungkan segala pengharapan kita kepada Allah melalui doa-doa kita. Akan tetapi, alangkah baiknya doa yang kita panjatkan tidak hanya di saat kita berada dalam kesempitan, tetapi dalam keadaan lapang pun kita senantiasa mengingat, memuji, dan mengagungkan Allah agar derajat doa kita terangkat ke tingkatan yang lebih tinggi sebagaimana doa dan dzikir hamba-hamba Allah yang saleh. ***

[Ditulis oleh USEP SAEFUROHMAN, Koordinator Umum Kajian Ilmu Muslim Muda (KIMM) Kabupaten Bandung. Khatib Jumat di Masjid Jami'Al-Kahfi Bina Muda Cicalengka Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Wage) 19 Juli 2013 / 10 Ramadhan 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT."]

by
u-must-b-lucky
Kalau Anda masih memahami puasa sebatas tidak makan, tidak minum, dan tidak menggauli suami/istri di siang hari, maka bisa jadi puasa yang selama ini dilakukan baru sebatas fisik. Puasa yang dilakukan belum bisa membuat perubahan sikap dan perilaku sehingga wajar jika Nabi Muhammad SAW. mengatakan,
"Tidak sedikit orang yang berpuasa hanya memperoleh lapar dan dahaga."

Puasa atau shaum juga harus dimaknai meninggalkan hal-hal yang membuat puasa menjadi sia-sia. Emosi atau meluapkan kemarahan bisa menjadikan puasa sia-sia. Rasulullah SAW. bersabda,
"Puasa adalah perisai, maka barang siapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak keras. Jika seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan aku sedang berpuasa," (Muttafaq 'alaih)

Begitupun dengan perkataan dan perbuatan dusta bisa membuat puasa menjadi sia-sia dan karenanya harus dijauhi. Puasa juga berarti meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Tips lainnya agar puasa bermakna dan berkualitas adalah dengan mempuasakan seluruh organ tubuh, pikiran, dan hati. Inilah yang diistilahkan puasa khusus oleh Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin dan ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qasidin, yaitu mempuasakan mata dengan menahannya dari pandangan kepada sesuatu yang diharamkan, tercela dan dibenci syariat, serta melalaikan Allah SWT. Menurut hadits Nabi, pandangan adalah salah satu anak panah iblis yang berbisa.

"Barang siapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah Azza wa Jalla memberinya keimanan yang manisnya didapati dalam hatinya," (HR. Hakim)

Bukan hanya mata, tetapi juga memuasakan lidah dengan memeliharanya dari berbicara tanpa arah, dusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, berkata kasar, permusuhan, dan mendzalimi orang lain. Telinga juga harus berpuasa dari mendengarkan segala sesuatu yang haram dan makruh karena segala sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan. Bahkan, Allah SWT. menyamakan orang yang mendengarkan haram dengan pemakan harta haram, sebagaimana firman-Nya,

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

SammaAAoona lilkathibi akkaloona lilssuhti

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan makanan haram, (QS. Al-Maidah (5): 42)

Anggota tubuh lain yang harus berpuasa adalah tangan dari mendzalimi orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, serta melakukan perbuatan yang dilarang syariat. Demikian juga kaki dari berjalan ke arah yang diharamkan Allah SWT. Puasakan juga hati dari penyakit-penyakit ruhiyah seperti dengki, iri, marah, kecintaan pada dunia, dan sebagainya. Menurut sabda Nabi Muhammad SAW., terakhir puasakan pikiran dari membayangkan hal-hal yang disenangi syahwat dan dibenci syariat, serta dari tipu daya dan pikiran destruktif lainnya.

Untuk menuju puasa seluruh anggota tubuh, maka kiatnya adalah dengan memperbanyak amal saleh selama Ramadhan. Banyak orang terkecoh dengan memperbanyak tidur saat puasa karena menilai itu sebagai ibadah. Memang itu lebih baik dibandingkan dengan melakukan hal-hal yang makruh atau haram. Namun, tentu lebih baik lagi jika pada saat puasa kita memperbanyak amal saleh, mengisinya dengan aktivitas-aktivitas positif yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Rasulullah SAW. dan para sahabatnya sangat mengerti tentang keutamaan Ramadhan dan cara memperbaiki kualitas puasa mereka. Oleh karenanya, dalam kesempatan istimewa ini mereka memperbanyak amal saleh. Ibnu Abbas RA. menuturkan upaya peningkatan amal saleh Rasulullah SAW., khususnya tilawah dan infak selama Ramadhan.
"Rasulullah SAW. adalah orang yang paling dermawan dan kedermawanannya memuncak pada bulan Ramadhan. Ketika Jibril menemuinya setiap malam untuk tadarus Al-Qur'an, maka sungguh Rasulullah SAW. lebih murah hati melakukan kebaikan daripada angin yang bertiup," (HR. Bukhari).
***

[Ditulis oleh H. HABIB SYARIEF MUHAMMAD ALAYDRUS, Pembimbing Utama KBIH Assalaam, Ketua Umum Yayasan Assalaam, Mantan anggota MPR, dan dosen luar biasa diperguruan tinggi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 18 Juli 2013 / 9 Ramadhan 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Sudah berapa kali kita menjalankan ibadah puasa atau shaum? Seandainya saat ini Anda berusia 20 tahun. minimal telah 13 kali merasakan puasa Ramadhan apabila sudah melaksanakannya sejak usia 7 tahun. Demikian pula apabila usia Anda sekarang 35 tahun, bisa jadi sudah 28 kali menjalankan ibadah puasa.
Pertanyaannya, bagaimana dampak setelah berkali-kali melaksanakan ibadah puasa? Apakah Anda menjadi lebih baik? Sama saja sebelum dan sesudah berpuasa? Atau malah lebih jelek?

Kalau kita bandingkan dengan dunia hewan, maka mahluk Allah bernama binatang juga melakukan puasa dan hasilnya jauh lebih baik dari sebelum berpuasa.

Setidaknya ada lima hewan yang kerap melakukan puasa yakni unta, ayam betina. ular, ulat, dan kukang, Unta mampu bertahan selama delapan hari tanpa makan dan minum. Ayam betina bisa menjalankan puasa selama tiga minggu untuk mengerami telur dan hasilnya mendapatkan anak-anak ayam.

Demikian pula dengan yang saat berpuasa penuh, biasanya ular tidak akan melakukan aktivitas apa-apa. Ular hanya akan bersembunyi dan berdiam diri selama tiga minggu sehingga mengalami proses biologi berupa ganti kulit. Ular akan mengganti kulitnya yang tua dan kusam, dan berubah meajadi kulit yang segar, berwarna-warni, dan indah.

Ulat juga berpuasa antara 14-16 hari sehingga wujudnya berubah menjadi hewan yang indah dan menawan yakni kupu-kupu. Sementara kukang akan berpuasa setelah makan dengan kenyang karena kukang termasuk hewan pemalas.

Sesungguhnya kata puasa berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna menahan diri seperti tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami istri selama waktu tertentu. Ada juga yang memaknai puasa sebagai pengindonesiaan dari kata pause yang bermakna berhenti sesaat, sebentar, atau dalam rentang wakku tertentu.

Tentu ajaran Islam tidak sebatas mengajarkan puasa hanya menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan badan di siang hari antara suami dan istri. Anehnya, sampai bertahun-tahun kita berpuasa, masih saja berkutat pada makna tersebut. Akibatnya puasa kita hanya sebatas rutinitas dan insidental tanpa dampak sama sekali.

Puasa harus dimaknai lebih jauh, yakni menahan diri dari semua hal yang dilarang oleh Allah SWT. seperti bertahan dari godaan maksiat dan menjauhi perbuatan keji serta perbuatan yang tidak terpuji lahir dan batin. Makna menahan diri juga harus direfleksikan di luar Ramadhan, yakni sebelas bulan selepas Ramadhan.

Menahan diri dari perbuatan korupsi, manipulasi, maupun konspirasi yang akan merugikan masyarakat banyak.  Bisa jadi seseorang yang rajin berpuasa, tetapi tetap saja melaksanakan korupsi maupun manipulasi. Lalu, dimanakah dampak dari menjalankan ibadah puasa selama ini?

Puasa merupakan suatu proses menjadi orang yang lebih baik dan lebih bertakwa kepada Allah SWT. Seorang pemimpin harus menahan diri bahkan berhenti dari bicara yang mengumbar janji. Puasa juga dari memamanfaatkan anggaran negara untuk keperluan diri, keluarga, golongan. maupun partainya.

Tentu dampak dari puasa dalam menahan diri untuk melakukan kemungkaran harus dimulai dari kesadaran diri sendiri. Puasa sebetulnya merupakan upaya diri sendiri, dilakukan oleh diri sendiri, dan dalam kerangka hubungan spiritual dengan Ilahi.

Berpuasa adalah rentang waktu perjuangan sekaligus proses dalam bertanding untuk mengalahkan nafsu diri. Berproses untuk melawan diri sendiri seperti kerakusan dan ketamakan. Hawa nafsu yang biasa membawa kita jauh dari hubungan dengan Ilahi serta sesama manusia. Wajar apabila Nabi Muhammad SAW. setelah pulang dari perang Badar ketika bulan Ramadhan dan berpuasa malah menyamakannya seperti baru kembali dari perang kecil, sebab perang besar sesungguhnya ialah mengendalikan hawa nafsu.

Oleh karena itu, jika puasa sebagai upaya menaklukkan diri sendiri terhadap semua hal, walaupun ada godaan, tantangan, ujian, maupun daya tarik serta bujukan di sekitarnya, maka ia tidak menanggapi karena memang ia harus menang dan mengalahkan semuanya itu. Jika tanpa tantangan dan ujian, maka kita tak bisa mengukur diri sendiri bahwa kita sanggup untuk menaklukkan diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi memiliki kewenangan kekuasaan, tentu saja akan banyak tantangan dan ujian yang menggoda. Nah. disinilah peran dari puasa agar kita tetap kuat menahan serbuan ujian tersebut sehingga kita bisa menang dalam menghadapinya.

Selamat berpuasa yang sesungguhnya. Bukan puasa sebatas menahan diri dari lapar dan dahaga. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 11 Juli 2013/2 Ramadhan 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Ramadhan adalah bulan yang selalu dirindukan kehadirannya. Bulan yang nilainya sangat luas. Setiap kali digali, semakin dalam kita mendapatkan hikmah dan kebaikan yang terkandung di dalamnya. Mengkaji luasnya nilai-nilai Ramadhan bagaikan mengarungi samudra lautan yang tak bertepi karena sangat luas, sangat kaya, sangat mencerahkan dan agung mutiara-mutiara hikmah Ramadhan.
Saking melimpahnya nilai-nilai kebaikan Ramadhan, tak salah jika penulis menyebutnya sebagai bulan panen pahala. Sebab selama bulan Ramadhan, Allah SWT. memanjakan hamba-Nya dengan taburan pahala. Maka, sungguh merugi orang yang bertemu Ramadhan tetapi tidak berusaha memburu kebaikan di dalamnya.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa yang terhalangi untuk mandapatkan kebaikan Ramadhan, maka sungguh ia telah dihalangi (benar-benar tidak akan mendapatkanya)." (HR. An-Nasai)

Dalam hadits yang lain,
"Barangsiapa yang menjumpai Ramadhan, namun dosa-dosanya tidak diampuni, pastilah Allah menenggelamkannya ke dalam neraka." (HR. Muslim)

Apa sebab Ramadhan dikatakan saatnya panen pahala?
Pertama, pahala puasa Ramadhan nilainya tak terbatas. Allah-lah yang menyerahkan secara langsung pahalanya kepada orang yang berpuasa.

Sabda Rasulullah SAW.,
"Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Karena, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan langsung membalasnya. Puasa adalah perisai. Maka, apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, bersuara tidak pantas, dan tidak mau tahu. Lantas jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa'." (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua, nilai pahala ibadah di bulan Ramadhan dilipatgandakan sepeluh hingga tujuh ratus kali lipat.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
"Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (balasannya): satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat." (HR. Muslim)
Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa Allah SWT. benar-benar "memanjakan" hamba-hamba-Nya dengan menebar bonus pahala selama bulan Ramadhan.
Ketiga, Ramadan adalah bulan penuh keberkahan. Rasulullah SAW. telah bersabda kepada para sahabatnya pada malam pertama dari bulan Ramadhan,
"Telah tiba kepada kalian bulan penuh berkah. Allah mewajibkan kalian berpuasa di bulan ini. " (HR. An-Nasai)
Salah satu keberkahan pada bulan Ramadhan, para karyawan mendapatkan bonus atau tunjangan hari raya (THR). Para ustaz banyak menerima panggilan untuk berceramah. Anak-anak dibelikan pakaian lebaran oleh orang tuanya. Bahkan tak ketinggalan para artis pun kebanjiran untuk manggung.
Yang pasti Allah SWT. menambahkan rezeki orang-orang beriman. Rasulullah SAW. menegaskan,
"Ramadhan adalah bulan solidaritas (syahrul muwasah), dan bulan ditambahkan rezeki orang beriman ..." (HR. Al-’Uqaili, Ibnu Khumimah, Al-Baihaki, Al-Khatib, dam Al-Asbahani)

Keempat, di dalam bulan Ramadhan terdapat malam seribu bulan yaitu malam lailatulqadar. Allah SWT. berfirman,
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Inna anzalnahu fee laylati alqadri Wama adraka ma laylatu alqadri Laylatu alqadri khayrun min alfi shahrin
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Lailatulqadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam Lailatulqadar itu? Malam Lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan. (QS Al-Qadar (97): 1-3)
Rasulullah SAW. bersabda,
"Barangsiapa yang shalat pada malam Lailatulqadar, niscaya akan diampuni dosa-dosanya." (Muttafaqalaih)
Dalam hadits yang lain,
"Barang siapa yang shalat dalam rangka mencari Lailatulqadar, dan ia bertepatan dengan malam tersebut, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang."

Maka, pantas jika Rasulullah SAW. menyatakan dalam salah satu sabdanya,
"Sekiranya umatku mengetahui keutamaan-keutamaan yang ada di bulan Ramadhan, niscaya mereka menghendaki agar sepanjang tahun adalah bulan Ramadhan." (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk menghidupkan Ramadhan dengan berbagai amalan yang dapat mengantarkan pada ketakwaan. Semoga. ***

[Ditulis oleh H. IMAM NUR SUHARNO, MPdi., penceramah dan dosen agama Islam Fakultas Hukum Universitas Kuningan, Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 5 Juli 2013 / 26 Saban 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
by
u-must-b-lucky

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوا وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

La tahsabanna allatheena yafrahoona bima ataw wayuhibboona an yuhmadoo bima lam yafAAaloo fala tahsabannahum bimafazatin mina alAAathabi walahum AAathabun aleemun

Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (QS. Ali Imram (3): 188)

Pada dasarnya manusia itu paling tidak suka dikritik terutama kritikan yang akan menunjukkan kelemahan dan kekurangan dirinya, apalagi kesalahannya. Kritikan-kritikan semacam itu sungguh kontraproduktif dengan kecenderungan syahwat manusia. Manusia itu paling suka dipuji dan disanjung bahkan sampai pada perkara yang sebenamya tidak dimilikinya atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pemimpin atau pejabat yang ikhlas, jernih dalam berpikir serta menyadari kepemimpinan serta jabatannya itu merupakan amanat yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Yang Mahaadil. Tegasnya pemimpin yang diberi hikmah oleh Allah SWT. tentulah akan senang dan berterimakasih apabila masih ada orang yang memberikan perhatian meskipun dalam bentuk kritik. Pemimpin yang bijak akan menerima bahkan menikmati kritik itu seraya berintrospeksi dan berevaluasi, barang kali dalam dirinya masih terdapat kekurangan atau kesalahan yang dapat diperbaiki.
Pemimpin-pemimpin besar Islam, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abu Thalib yang mereka itu disebut khulafaurrasyidin, mereka paling suka apabila ada umat, kawan atau lawan yang sudi memberikan kritikan kepada mereka. Bahkan mereka pada khutbatul arsy, yaitu khotbah pada saat mereka disahkan sebagai pemimpin umat Islam, rata-rata mendahulukan pernyataan bahwa, "Saya dipercaya memimpin kalian bukan berarti sayalah yang terbaik, jika saya berada di jalan yang benar maka tolong dan dukunglah saya, tetapi apabila saya berada di dalam kebatilan maka tegurlah dan luruskanlah saya."

Mereka, para khulafaurrasyidin menyadari dengan ikhlas bahwa di hadapan Allah SWT. di yaumul akhir, setiap yang didzalimi akan menudingkan telunjuknya terhadap pelaku yang mendzalimi dirinya dan mengadukannya kepada Allah SWT. Maka yang tidak mengindahkan peringatan ini, hanyalah jiwa-jiwa dengan mental sakit.

Bagi pemimpin yang bijak yang mampu berpikir jernih tidak menjadi masalah apapun kritikan yang ditujukan kepada dirinya, ia sadar bahwa dirinya bukanlah yang paling tahu, paling tinggi ilmunya, apalagi menganggap dirinya tidak mungkin berbuat salah. Ia pun akan mampu mencari kebaikan dan setiap hikmah di balik kritikan, demi kepemimpinan atau jabatan yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan umat dan di hadapan Allah Rabbul alamin.

Allah SWT. berfirman,

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

wafawqa kulli thee AAilmin AAaleemun

Dan di atas tiap-tiap yang berpengetahuan itu ada Yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf (12): 76)

Dan ayat ini pulalah yang dibacakan oleh Ali bin Abu Thalib ketika seseorang menyampaikan kritikan terhadap kebijakan yang telah ditetapkannya. Adapun pujian, hanya Allah yang layak menerima pujian. Sementara manusia adalah gudangnya kesalahan dan kekurangan, sehingga pujian yang ditujukan kepada dirinya sering kali bila diterima dengan sombong dan pongah, senang dan gembira yang berlebihan, akibatnya pujian itu menjadi racun yang merusak bahkan mematikan keikhlasan dan kejelian dalam kepemimpinan. Bila sudah demikian keadaaannya, hilanglah kecermatan, kehati-hatian dan ketelitian, hilang pula kemampuan mencerna setiap krtitikan untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan.

Dalam keadaan demikian, dapat dibayangkan seseorang yang sedang betah dan terlena menduduki kursi kepemimpinan atau suatu jabatan, tentulah setiap kritikan atau yang sebenamya hanya berupa sebuah saran akan diterima sebagai sesuatu yang akan mengoyang kedudukan, merusak kenikmatan dan akhirnya selalu berprasangka buruk walaupun kepada yang berniat baik.

Biasanya pemimpin atau pejabat yang demikian akan sangat suka bila pembantu-pembantu atau para pejabat di bawahnya itu para penjilat yang senantiasa mengucapkan, "yes sir," dan tidak pernah mengucapkan, "no sir," karena dari bawahan seperti ini akan senantiasa mengalirkan pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan yang sebenarnya terus meracuni dirinya. Akhirnya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sangat lengkap karena berada di bawah kepemimpinan seperti itulah dapat hidup dengan subur. Para bawahan merasa bersalah bila berbuat benar untuk rakyat karena harus berhadapan dengan iklim kepemimpinan yang salah.

Oleh karena itu, bergembira dan berbahagialah bila masih banyak kritikan diarahkan kepada para pemimpin. Hal itu berarti masih terbuka pintu komunikasi dan menjadi obat penawar atas kekurangan dalam mengemban kepemimpinan. Tetapi curigalah bila terlalu banyak sanjungan, karena pasti akan mengelabui pintu mata, hati, telinga, dan nurani.

Pemimpin yang berbahagia itu adalah yang tidak terlambat menyadari kekurangan dan kesalahan dirinya seraya memperbaikinya dengan cepat, tepat, dan penuh kebijaksanaan. Kita wajib senantiasa teringat akan Firman Allah SWT.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Qul innama harrama rabbiya alfawahisha ma thahara minha wama batana waalithma waalbaghya bighayri alhaqqi waan tushrikoo biAllahi ma lam yunazzil bihi sultanan waan taqooloo AAala Allahi ma la taAAlamoona Walikulli ommatin ajalun faitha jaa ajaluhum la yastakhiroona saAAatan wala yastaqdimoona

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. Al-A'raf (7): 33-34)

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh WAWAN SHOFWAN SHALEHUDDIN, Ketua Bidang Dakwah PP. Persis. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 4 Juli 2013 / 25 Saban 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK']

by
u-must-b-lucky