Ali bin Abi Thalib RA. pernah berkata,
"Ketika kumohon kepada Allah kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kepada Allah kebijaksanaan, Allah memberiku masalah untuk dipecahkan. Ketika kumohon kepada Allah kesejahteraan, Allah memberiku akal untuk berpikir. Ketika kumohon kepada Allah keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon kepada Allah sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon kepada Allah bantuan, Allah memberiku kesempitan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan. Doaku terjawab sudah."

Ungkapan tersebut mengingatkan kita bahwa Allah memberikan jalan terbaik yang kadang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita, tetapi sebenarnya itulah yang terbaik bagi kita. Sama halnya dengan kesuksesan diharapkan, tetapi kegagalan yang kita dapatkan. Saat itulah kita sering mempersepsikan bahwa kegagalan adalah peristiwa negatif, kejadian buruk dan pengalaman keterpurukan dan kenyataan pahit yang menjauhkan kita dari kesuksesan. Jika tidak memiliki iman yang mumpuni, kita menganggap ini adalah bentuk ketidakadilan Allah atas jalan hidup kita. Akhirnya, sebagai bentuk pemberontakan, kita sering protes mengambinghitamkan Allah atas ketentuan dan takdir-Nya.

Pepatah mengatakan, ketika Allah menutup sebuah pintu, Allah akan membukakan jendela bagi kita. Sering kali kita menunggu sampai pintu itu terbuka tanpa melihat kesempatan lain menunggu di depan mata. Kita banyak mengeluh, panik bahkan menyalahkan orang lain akan kegagalan kita. Padahal, seharusnya kita menggunakan kegagalan itu untuk mendorong kita mencapai kesuksesan. Jika mau menerima kegagalan dan belajar darinya dan menganggap kegagalan merupakan karunia yang tersembunyi serta bangkit kembali, kita memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih kesuksesan.

Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukses, cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita. Secara positif, ada beberapa cara untuk memaknai kegagalan.

Pertama, kegagalan merupakan guru terbaik dalam hidup. Bagi setiap Muslim bermental positif, kegagalan merupakan guru terbaik dalam perjalanan menuju pintu kesuksesan. Pada hakikatnya, kegagalan merupakan hal lumrah terjadi dalam setiap episode kehidupan. Tidak ada suatu pencapaian sukses tanpa pernah terlebih dahulu melewati pintu kegagalan. Kegagalan akan memberikan pelajaran langsung berupa fakta-fakta yang akan membawa kita ke arah yang benar dalam perjalanan menuju puncak kesuksesan.

Kedua, kegagalan adalah tantangan yang akan membuat kita lebih kuat menjalani hidup. Sesungguhnya kegagalan akan memperkuat karakter kita. Bayangkan jika karakter kita laksana bola pingpong yang dipukul dengan kekerasan tertentu. Setelah bola tersebut kena papan akibat pukulan yang keras, bola tersebut akan memantul tinggi. Hal yang sama berlaku dalam hidup kita. Semakin keras tantangan yang ada di hadapan kita, semakin besar pula potensi yang akan kita keluarkan untuk meresponsnya. Itulah realitas hidup.

Ketika jatuh dan gagal dalam suatu episode kehidupan kita, bukan berarti kita akan jatuh selamanya. Kita harus belajar dari sebab-sebab kejatuhan dan kegagalan tersebut dan kemudian memperkuat diri dengannya. Dengan demikian, pasti kita akan menjadi pribadi yang lebih kuat di masa datang.

Ketiga, kegagalan akan menumbuhkan keberanian untuk mengambil risiko. Mereka yang terbiasa dengan kegagalan, tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berani menghadapi risiko dalam kancah kehidupan. Kegagalan bukanlah sesuatu hal yang permanen, tetapi hanya bersifat sementara asalkan kita tidak menyerah. Proses untuk mencoba dan gagal adalah proses pelajaran penting. Jika gagal dan kita tidak pernah mencoba mempunyai risiko, jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kegagalan setelah mencoba.

Oleh karena itu, kegagalan merupakan bagian dari proses kehidupan yang harus kita hadapi setiap saat. Kita harus mampu mengubah ketakutan terhadap kegagalan menjadi kekuatan atas kegagalan karena takut gagal adalah alasan paling utama yang menyebabkan seseorang tidak mengambil tindakan. 

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh ATEP HASAN SUKARNA, Khatib di Masjid Jami Al-Furqan Pacet Bandung, aktifis di Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Cabang Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" edisi Jumat (Wage) 27 September 2013 / 21 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Seorang teman mendatangi meja kerja penulis. "Mengapa ya STMJ terus berjalan. Maksudnya, Shalat Terus Maksiat Jalan. Padahal, seharusnya shalat berfungsi mencegah kemungkaran dan kemaksiatan."

Sesungguhnya formalitas dalam keseharian sungguh amat terasa, malah melembaga. Para pemimpin dan politisi dengan begitu ringannya melakukan formalitas dengan maksud pencitraan diri agar terpilih kembali.

Demikian pula obral janji merupakan hal yang dianggap biasa, bahkan menjadi kewajiban dan kebutuhan. Sepertinya untuk meraih sesuatu harus banyak mengumbar janji. Padahal, janji berkaitan dengan iman karena orang-orang beriman diseru untuk memenuhi semua janjinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Ya ayyuha allatheena amanoo awfoo bialAAuqoodi

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. Al Maidah (5): 1)

Inilah beda antara pil KB dan pilkada. Kalau lupa meminum pil KB, akan jadi. Sementara calon pemimpin kalau sudah jadi, akan lupa. Wajar apabila masyarakat mengingatkan janji-janji yang telanjur diucapkan calon pemimpin.

Hal paling memprihatinkan adalah apabila ibadah juga sudah mulai masuk ke ranah formalitas. Ibadah akan kehilangan makna dan dampaknya dalam kehidupan karena sebatas melakukan ibadah, tanpa ditindak-lanjuti dengan perubahan ucapan, sikap, dan tindakan.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. menegaskan, penciptaan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Wama khalaqtu aljinna waalinsa illa liyaAAbudooni

Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Ad Dzariyyat (51): 56)

Dalam kehidupan sehari-hari terjadi penyempitan makna ibadah sehingga hanya sebatas shalat, puasa, zakat, infak, sedekah, haji, atau umrah. Sementara pekerjaan sehari-hari dianggap urusan duniawi yang tak boleh dicampuri urusan ibadah.

Persoalan lainnya, ibadah sering terjebak pada formalitas. Kalau keformalan ibadah merupakan suatu keniscayaan, misalnya dalam shalat, keformalan tersebut berarti syarat dan rukun untuk melakukan shalat.

Berbeda dengan ibadah formalitas yang secara sederhana bisa diungkapkan sebagai kesia-siaan melakukan ibadah karena rutinitas dan sekadar "menggugurkan kewajiban". Ibadah sekadar syarat dan hanya sampai pada tataran syariat sehingga merasa sudah cukup melakukannya ketika syarat dan rukunnya terpenuhi, sedangkan hakikat dan dampak dari ibadah kurang diperhatikan.

Menemukan makna dan hakikat ibadah secara mandiri akan menciptakan suatu keikhlasan dalam bertindak. Melakukan sesuatu sehingga segala perbuatannya semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Orang yang shalat hakikatnya sedang berbincang-bincang dengan Tuhannya. Ia akan disibukkan dengan gumam dan dzikir.

Ketika selesai melaksanakan shalat, ia mengucapkan dan menyebarkan salam (keselamatan dan kedamaian) kepada sesama manusia dan lingkungannya. Makna khusyuk bukan sebatas dalam shalat, melainkan juga selepas shalat dengan menerapkan ajaran shalat dalam kehidupan.

Dengan jumlah umat Islam yang mayoritas, seharusnya umat Islam mampu memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan disebabkan pancaran keimanannya. Seharusnya potensi umat Islam ini akan menyebabkan negara Indonesia menjadi negara yang adil, tenteram, dan bahagia.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Walaw anna ahla alqura amanoo waittaqaw lafatahna AAalayhim barakatin mina alssamai waalardi walakin kaththaboo faakhathnahum bima kanoo yaksiboona

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A'raaf (7): 96)

Ibadah pada tataran awal membutuhkan rutinitas dan pembiasaan (riyadoh) yang akan membentuk kualitas seseorang yang menikmati ibadah tersebut. Pada akhirnya seorang Muslim melaksanakan ibadah bukan karena sebatas kewajiban, melainkan menjadi kebutuhan. Bahkan, ibadah yang sunah sekalipun seperti shalat tahajud maupun puasa sunah, ia akan merasa kehilangan apabila tidak melaksanakannya. Hal itu disebabkan kita sudah merasa nikmat dan butuh dengan ibadah-ibadah tersebut.

Formalitas ibadah apabila seseorang melaksanakan ibadah, tetapi tidak memberikan perubahan pada dirinya ke arah yang lebih baik. Melaksanakan ibadah hanya sebatas melepaskan kewajiban. Kita sendiri tidak dapat menikmati ibadah itu sendiri.

Niatkan semua sikap dan perbuatan untuk investasi di akhirat, bukan sebatas pencitraan di dunia. Apabila kita menanam untuk akhirat, ibarat menanam padi yang pasti rerumputan akan tumbuh di sela-selanya. Buatlah "pencitraan" kepada Allah, pasti akan terjadi pencitraan kepada manusia. ***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 26 September 2013 /20 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Merusak merupakan perbuatan tercela. Apalagi dalam skala luas. Meliputi areal jagat. Maka, Allah SWT. melarang keras perbuatan itu.

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

wala tabghi alfasada fee alardi inna Allaha la yuhibbu almufsideena

Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash (28): 77)

Kategori perusakan, dari mulai yang terkecil hingga yang terbesar, berdampak sama. Walaupun proses waktunya berbeda-beda. Menebang satu dua pohon, terus-menerus, akan menimbulkan dampak banjir dan longsor, empat lima tahun mendatang. Menebang pohon dan menggunduli hutan satu hektare dua hektare sekaligus, mungkin hanya dua tiga hari kemudian datang banjir dan longsor. Oleh karena itu, hakikat perusakan sama saja.

Nabi Muhammad SAW. merumuskan secara sederhana, mengenai orang-orang yang merusak agama. Sebab agama adalah prinsip, tuntunan, dan tatanan hidup. Dengan demikian, dengan menyebut "perusak agama", memiliki makna lebih luas dan padu dengan kerusakan yang terjadi.

Dalam hadits riwayat Imam ad Dailami dari Ibnu Abbas, Rasullullah SAW. menyatakan,
"Ada tiga macam orang yang menjadi bencana terhadap agama. Pertama, orang pintar yang jahat. Kedua, penguasa yang dzalim. Ketiga, orang yang berijtihad namun bodoh."

Orang pintar, orang berilmu, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan "fajir", jahat, maksiat. Hasil perbuatan mereka pasti sangat merusak berbagai sendi kehidupan. Jika orang bodoh melakukan kejahatan, mungkin akibatnya kecil-kecil saja. Seperti seseorang mencuri ayam. Paling hanya mengegerkan sekitar kampung tempat peristiwa terjadi.

Akan tetapi, jika orang pintar, punya gelar akademik, punya jabatan tinggi dan statregis, melakukan pencurian, tentu lain lagi. Yang dicurinya bukan sekelas ayam seharga sepuluh atau seratus ribu di tingkat kampung. Melainkan, ratusan miliar atau triliun. Akibatnya, mengguncang sendi-sendi ekonomi, politik, sosial, dan budaya secara nasional atau internasional. Termasuk orang yang pintar di bidang hukum, menduduki jabatan yang menentukan dalam pelaksanaan hukum, tetapi ternyata melanggar hukum. Menerima suap sogok, memperjualbelikan vonis, pilih kasih dalam menerapkan hukum, serta bentuk-bentuk "antihukum" lainnya.

Pantas Rasulullah SAW. menyatakan,
Kehancuran umat terdahulu karena tidak benar dalam melaksanakan hukum. Jika yang melanggar, para elite penguasa, pengusaha, atau bangsawan, hukum tak diterapkan sebenar-benarnya. Sementara itu, jika yang melanggar kaum alit, orang-orang sederhana, hukum ditegakkan sebenar-benarnya. (Riwayat Imam Bukhari)

وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

Wainna alfujjara lafee jaheemin

dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. (QS. Al-Infithar (82): 14)

Perusak lainnya, adalah penguasa dzalim. Penguasa seharusnya memikul amanah, kepercayaan orang banyak. Berlaku adil dalam segala tindakan dan ucapan sehingga tidak ada yang dirugikan. Namun, dalam kenyataan, justru kekuasaan di tangan penguasa dzalim dijadikan alat untuk mencari keuntungan sendiri dengan berlaku aniaya terhadap bangsa dan negaranya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
Penguasa yang baik ialah yang mencintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya, suka mendengar ajakan-ajakannya. Penguasa yang jahat adalah penguasa yang benci kepada rakyatnya dan rakyat pun benci kepadanya yang mengutuk rakyatnya dan rakyat pun mengutuknya. (HR. Imam Muslim)

Dapat dibayangkan, bagaimana kehancuran bangsa dan negara yang dikuasai penguasa dzalim. Perusak lainnya adalah orang yang suka membuat pendapat-pendapat baru, tetapi tanpa disertai ilmu. Orang jahil atau bodoh, berlagak pintar. Apalagi jika pendapat-pendapat hasil "ijtihad"-nya itu bertentangan dengan prinsip-prinsip baku yang sudah diakui kemapanannya. Akan tetapi, dengan istilah "pembaruan", hasil pikiran mujtahidun jahilun itu, mendapat publikasi dan promosi luas. Seolah-olah segala macam pekerjaan dapat dilakukan siapa saja yang merasa pintar, sekalipun tidak menguasai substansi persoalan.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya kita koreksi diri. Jangan sampai kita menjadi orang pintar berakhlak jahat, menjadi penguasa dzalim, dan menjadi "mujtahid" bodoh.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. USEP ROMLI HM., Pengasuh Pesantren Anak Asuh Raksa Sarakan Cibiuk Garut, pembimbing Haji dan Umrah Mega Citra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Manis) 19 September 2013 / 13 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "CIKARACAK"]

by
u-must-b-lucky
Menebarkan salam merupakan perintah dalam Islam yang harus kita amalkan. Abu Umarah al-barra' bin Azib RA. berkata,
"Rasulullah SAW. menyuruh kami melaksanakan tujuh hal, yakni menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, mendoakan orang yang bersin, menolong orang yang lemah, membantu orang yang teraniaya, menebarkan salam, dan menepati janji." (Mutafaqun alaih)

Dalam ajaran Islam, perintah menebarkan salam bukan hanya kepada orang hidup, kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia pun kita dianjurkan mengucapkan salam. Rasulullah SAW. ketika memasuki pemakaman selalu berdoa,
"Aku memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan kalian semua." (HR. Nasai)

"Semoga Allah mengampuni kami dan kalian." (HR. Tirmidzi)

Abdullah bin Sinan pernah bertanya kepada Imam Ja'far Ash-Shadiq, "Bagaimana cara mengucapkan salam kepada penghuni kubur? Beliau menjawab, "Ucapkan, 'Salam atas para penghuni kubur, Mukminin, dan Muslimin, engkau telah mendahului kami dan insya Allah kami akan menyusulmu."

Selain itu, mengucapkan salam bukan hanya ketika kita hendak memasuki rumah baik rumah sendiri maupun orang lain. Ketika kita memasuki rumah yang tidak berpenghuni pun (rumah kosong), dianjurkan mengucapkan salam karena kita meyakini di dalam rumah ini ada makhluk lain selain manusia.

Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adabul Mufrod dengan Sanad Hasan dari Ibnu Umar, ia berkata,
"Jika seseorang masuk rumah kosong, katakanlah, 'Assalamu'alainaa wa'ala ibaadillaahis shalihin'." Artinya, "Semoga keselamatan tercurah atas kita dan atas hamba-hamba Allah yang saleh."

Syaikh al-Bani rahimahullah dalam silsilah al-ahadits Adh-Dho'i-fah berkata, maka, dalam atsar ini terdapat syariat untuk mengucapkan salam bagi siapa saja yang memasuki rumah yang di dalamnya tidak ada orangnya. Dan ini termasuk menebarkan salam yang diperintahkan dalam sebagian hadits sahih. Selain itu, kita pun dianjurkan mengucapkan salam ketika kita memasuki hutan atau kebun dengan membaca, "Salamun alan nuuhin fi'aalamin."

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa menebarkan salam tidak terbatas pada orang yang hidup, kepada orang yang sudah meninggal dunia, bahkan pada alam pun kita diperintahkan agar menebarkan salam.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim selayaknya merealisasikan hal ini agar kita mendapatkan berbagai kebaikan. Itu karena ketika kita mampu menebarkan salam, kita akan mendapatkan kedamaian dan keselamatan karena dengan menebarkan salam sama dengan menebarkan perdamaian dan keselamatan sebagaimana arti dari ucapan salam itu sendiri yaitu kedamaian dan terhindar dari sesuatu yang tercela.

Selain itu, akan mendapatkan cinta dan kasih sayang karena menebarkan salam merupakan bagian dari silaturahmi yang akan menjadikan jalan terjalinnya cinta, kasih, dan sayang. Rasulullah SAW. bersabda,
"Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman, kalian tidak akan beriman secara sempurna hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang apabila kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? Tebarkan salam di antara kalian." (HR Muslim)

Selain itu, akan menjadikan kita menjadi seorang Muslim yang baik. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,
"Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. 'Islam yang bagaimana yang baik itu?' Rasulullah SAW. bersabda, 'Hendaklah engkau memberi makan fakir miskin, mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang tidak engkau kenal'." (HR Bukhari)

Lebih dari itu, ketika kita menebarkan salam sesungguhnya kita sedang meneladani akhlak Allah SWT. karena salah satu nama dan akhlak Allah yang harus kita teladani adalah As-Salam. Rasulullah SAW. bersabda,
"Berakhlaklah dengan akhlak Allah."

Hal utama yang harus kita perhatikan ketika menebarkan salam adalah menghayati dan mengamalkan makna salam yang kita ucapkan. Jangan sampai ketika kita tebarkan salam yang notabene menebarkan kedamaian, cinta, dan kasih sayang tetapi dalam praktiknya kita menebarkan kerusakkan dan kebencian. seperti mendzalimi, berbuat syirik, dan merusak alam.

Untuk itu, tebarkanlah salam dan amalkan maknanya, niscaya Allah akan menjadikan kehidupan kita diselimuti kedamaian, cinta, kasih, dan sayang. Alam pun akan memberikan kebaikan serta makhluk yang ada di langit akan menyayangi kita.

Wallahu'alam.***

[Ditulis oleh H. MOCH HISYAM, Ketua DKM Al-Hikmah RW-07 Sarijadi Bandung, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Ranting Sarijadi Kec. Sukasari Kota Bandung. Tulisan disali dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Kliwon) 13 September 2013 / 7 Zulkaidah 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT".]

by
u-must-b-lucky
Hidup ini akan dipenuhi ujian dari Allah SWT. Dia memberikan ujian dari mana saja. Ujian bisa datang dari dalam diri kita, dari luar, dari orang-orang terdekat, dari orang-orang jauh, dari orang yang kita cintai, bahkan dari orang-orang yang membenci kita. Selama hayat dikandung badan, ujian hidup pasti datang menghampiri.
Inilah kenapa Allah SWT. mewanti-wanti bahwa seorang manusia harus meyakini di balik ujian yang terasa sulit sekalipun, tersimpan kemudahan. Firman-Nya,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
Fainna maAAa alAAusri yusran Inna maAAa alAAusri yusran Faitha faraghta fainsab Waila rabbika fairghab
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS. Al-Insyirah [94]: 5-8)

Ujian selalu datang ke dalam kehidupan kita sesuai kapasitas keimanan di dalam diri. Dia (Allah) memberikan dosis ujian sesuai dengan tingkat keimanan kita. Namun, tanpa sadar, kita justru selalu tidak sabaran. Selalu mudah putus asa. Bahkan selalu mencaci-Nya kala ujian hidup menghampiri. Akhirnya ujian yang sebetulnya dapat diselesaikan dengan mudah, menjadi sangat sulit dan mencekik kehidupan kita.

Dalam ayat yang saya kutip di atas, Allah SWT. mendahulukan "kesulitan" atau penderitaan (al-'usr) daripada "kemudahan" atau kebahagiaan (al-yusr). Ayat ini setidaknya membicarakan bahwa ujian hidup akan mampu diselesaikan dengan mudah. Pasti akan selalu ada jalan kemudahan dari setiap ujian yang menimpa kita.

Surah alam nasyrah ini disebut juga dengan Al-Insyirah yang berarti lapang hati atau kebahagiaan. Ini mengindikasikan ketika ujian hidup datang menghampiri, sebagai seorang Muslim, kita patut berhati lapang dan berusaha menghilangkan beban di hati dengan keimanan penuh bahwa Allah akan selalu memberikan jalan terbaik.

Jalaluddin Rakhmat, seorang cendekiawan Muslim, menafsirkan Surah Al-Insyirah tersebut secara optimistik. Ia mengatakan dengan ayat tersebut, bahwa Allah hendak menyampaikan bahwa kesulitan tidak berdiri sendiri. Kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan. Secara redaksional, ada dua tanda penegasan: pertama, kata inna yang berarti sungguh dan benar-benar. Kemudian yang kedua, penegasan itu ialah dengan pengulangan kalimat "sesudah kesulian itu ada kemudahan". Penegasan ini mengindikasikan seorang manusia harus optimistis ketika menghadapi ujian hidup, sebab ujian selalu ada dan berdampingan dengan kemudahan menyelesaikannya. (Tafsir Kebahagiaan, 2011: 29-32)

Lantas, kenapa ketika ujian datang, kadang kita dipenuhi beban dalam hati? Secara psikologis, perasaan ini wajar terjadi. Namun, kalau terus-menerus larut dalam kenestapaan, perjalanan hidup kita akan dilalui dengan pesimistik Kita akan merasa menjadi manusia gagal ketika rumah tangga dihantam badai perceraian. Kita akan menempatkan diri sebagai orang tak berarti ketika gagal mewujudkan harapan jadi kenyataan. Secara psikologis juga, kita gampang tersinggung, mudah cemas, dan alam pikir selalu merasa takut pada sesuatu yang belum tentu terjadi (baca: paranoid).

Kadang ketika ujian tidak mampu dihadapi, seseorang selalu terjebak pada perilaku tak bermoral. Kolusi, korupsi, dan nepotisme selalu diinisiasi persoalan material yang melanda keluarga pejabat. Karena ada anggota keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan biaya mahal untuk pengobatan, akhirnya jalan tak jujur mendapatkan rezeki pun ditempuh. Allah SWT. berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
yureedu Allahu bikumu alyusra wala yureedu bikumu alAAusra
Allah menghendaki untuk kamu kemudahan dan Dia tidak menghendaki untuk kamu kesulitan. (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Berita yang dimuat media cetak, online, dan elektronik beberapa minggu ini yang marak membahas kasus korupsi SKK-Migas menjadi pelajaran penting. Betapa keteladanan seorang akademisi tidak menjamin dirinya jujur dan amanah ketika masalah kehidupan pribadi (keluarga) sedang menimpa. Tak hanya itu, tekanan dari orang-orang yang lebih berpengaruh darinya juga mengakibatkan seseorang selalu terjebak pada perilaku tidak bermoral.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Seseorang yang berakal selama akalnya tidak terkalahkan nafsu, hendaknya memiliki sifat: ada saat dimana dia berdialog dengan Allah, ada saat di mana dia melakukan introspeksi diri; ada saat dia berpikir tentang ciptaan Allah; dan ada juga saat di mana dia memenuhi kebutuhan makanan dan minumannya (secara halal)" (HR. Ibnu Hibban)

Ingat, selama kita masih hidup, ujian atau masalah akan selalu ada. Tugas kita sebagai manusia ialah berusaha keluar dari masalah yang menimpa. Bagi orang yang beriman, ia meyakini bahwa Allah akan selalu memberikan jalan terbaik bagi kehidupan atau kita harus selalu berbaik sangka kepada Allah SWT.
Semoga kita tergolong orang-orang yang beriman dan sabar menghadapi ujian hidup yang berbeda-beda antara kita dengan orang lain.

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh H. IDAT MUSTARI SUKARYA, Ketua Biro Keagamaan DPD Golkar Jawa Barat. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pon) 6 September 2013 / 30 Syawal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]

by
u-must-b-lucky
Seorang mukmin sudah seharusnya memperhatikan dan mengamalkan hadits Nabi Muhammad SAW.,
"Dunia adalah perhiasan dan perhiasan dunia adalah wanita yang salehah." (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Imam An-Nasa'i)

Islam telah mengatur sedemikian indahnya bagaimana seharusnya perilaku kaum wanita, termasuk dalam cara berpakaian, sehingga wanita berhak mendapatkan predikat perhiasan dunia. Wanita selain wanita salehah tidak berhak mendapatkan predikat perhiasan dunia yang sebenarnya. Oleh karena itu, wanita salehah dalam kesehariannya selalu berusaha agar hidup sesuai dengan syariat Islam.

Sebagai perhiasan dunia, bukan berarti wanita salehah mesti ataupun perlu menampakkannya kepada khalayak ramai, bukan pula untuk memperlombakan keindahan rupa dan penampilannya. Akan tetapi, di hadapan Allah SWT. wanita salehah sama halnya dengan pria saleh, mereka perlu berjuang dan berlomba mengerjakan amal saleh sehingga berhak mendapatkan balasan surga.

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa (4): 124,

وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

Waman yaAAmal mina alssalihati min thakarin aw ontha wahuwa muminun faolaika yadkhuloona aljannata wala yuthlamoona naqeeran

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.

Pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri setiap wanita ingin tampil cantik dan fresh (segar). Tentu saja, Islam mengajarkan batasan agar upaya tersebut tidak menjadi fitnah atau jauh dari ridha Allah SWT. Bagaimanapun tubuh yang diamanahkan harus dirawat dan dipelihara. Idealnya cantik luar dalam (inner and outer beauty), dan pria akan mudah jatuh cinta kepada wanita yang berwajah manis dan menarik. Daya tarik wajah ini membantu pemiliknya untuk membangun hubungan sosial yang lebih langgeng.

Bisa dimaklumi ada anggapan, wanita yang memiliki wajah atau postur tubuh yang baik, dipandang banyak pria memiliki karakter positif. Namun, pria menilai kecantikan pada wanita juga relatif, ada wanita yang dikatakan cantik oleh banyak pria, tetapi pria lain berkata biasa saja. Pasti ada pesona lain yang membingkai keindahan wanita sehingga mampu menaklukkan hati pria untuk mengaguminya.

Selain karena kecantikannya, terdapat tiga pesona yang membingkai wanita sehingga tampil indah dipandang mata yaitu karena keimanannya, hatinya, dan balutan busananya.

Keimanannya, sesungguhnya menurut ajaran Islam hanya iman yang disertai amal saleh yang dapat mengantarkan wanita menjadi seseorang yang baik di mata manusia ataupun Tuhannya. Namun, setelah redup cahaya iman di hati wanita lenyaplah nilai-nilai kebaikan pada dirinya. Hidup di masyarakat pun menjadi masyarakat yang penuh kebohongan, kesombongan, kekerasan individualisme, keserakahan, kerusakan moral dan kemungkaran. 

Iman dalam Islam menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal. Tanpa iman, tidaklah sah dan tidak diterima amal perbuatannya.

Hatinya; banyak di antara manusia terkecoh merasakan pesona duniawi ini dari tolok ukur yang semu berdasarkan kulit luar saja, fisik menarik, kedudukan terhormat, atau untaian kata indah. Tidak ada yang paling merugi di dunia ini kecuali orang yang terpukau oleh segala keindahan dan kemewahan dunia dengan segala isinya, lalai memelihara hati sebagai harta yang paling berharga. Tidak jarang bodi memikat, tapi pikiran tidak jernih, mudah putus asa, tidak mempertimbangkan atau tidak peduli larangan dan perintah Allah SWT., tidak mau menjalankan amanat, akibatnya menjerumuskan diri bahkan keluarga, pada kebinasaan.

Sementara, mereka yang senantiasa membersihkan hatinya selalu menyikapi kebahagiaan atau ujian seberat apa pun dengan kesabaran, yang disertai dengan ikhtiar kuat untuk mencari jalan keluar. Orang yang membersihkan hatinya tidak pernah menderita sakit hati dan perasaan stres karena cukup baginya jaminan dari Allah SWT. Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surga tempat tinggalnya.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

Waama man khafa maqama rabbihi wanaha alnnafsa AAani alhawa Fainna aljannata hiya almawa

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. An Nazi'at (79): 40-41)


Balutan busana; bagi kaum wanita, Islam juga mengajarkan letak keindahan lewat busana yang menampakkan identitas pemakainya, tidak menampakkan auratnya. Tentang maraknya berbagai model busana Muslimah sekarang ini, bukan berarti wanita tidak boleh menyukainya bahkan memakainya, asalkan tetap sesuai dengan syariat Islam, sehingga busana yang dikenakannya tidak menyeretnya ke neraka.
Hal ini seperti yang diterangkan Rasulullah SAW. dalam sebuah hadits,
"Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakikatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk."
Wanita salehah senantiasa memelihara perilaku dan penampilannya dengan keimanannya, berselendang rasa malu dengan berpakaian ketakwaan dan sikap tawadhu, serta menjaga kehormatan dengan hijab yang menutupi aurat. Wanita tersebut sejatinya merupakan Ratu Kecantikan Sejagat, dan sejatinya perhiasan dunia adalah Wanita yang Salehah!

Wallahu'alam. ***

[Ditulis oleh SUPRIYONO, SPd. MPd., Dosen Jurusan MKDU FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 30 Agustus 2013 / 23 Syawal 1434 H. pada Kolom "RENUNGAN JUMAT"]


by
u-must-b-lucky